Opini Pembaca

Operasi Militer dan Kondisi Rakyat Maybrat

Pada tanggal 2 september 2021, Pos Rayon Militer (Posramil) kampung Kisor, Aifat Selatan, kabupaten Maybrat diserang oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) Komando Operasi (kodap) 4 Sorong Raya pimpinan Deny Mos. Dalam penyerangan tersebut 4 orang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) meninggal dunia, sementara 2 orang anggota mengalami luka-luka.  

Pada hari yang sama Komisi Nasional (Komnas) Pusat TPN-PB melalui juru bicaranya Seby Sambom menyatakan bertanggung jawab. Sekaligus mengkonfirmasi bahwa penyerangan Posramil tersebut merupakan bagian integral dari tahapan perang revolusi untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat. Sehingga, lebih lanjut Seby menegaskan bahwa “TPN-PB lah yang menyerang Posramil. Untuk itu, TNI silahkan menyerang markas TPN-PB dan jangan menyerang pemukiman warga.”

Penyerangan Posramil Kisor bukan tanpa sebab, menurut Pater Bernardus Bovitwos Baru, dari Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Keuskupan Manokwari-Sorong bahwa tanda-tanda konflik sudah terlihat sejak pihak militer Indonesia mendirikan pos-pos baru di daerah Kisor. Masyarakat sudah bereaksi (menolak), bahkan meminta agar ada dialog terlebih dahulu sebelum pembangunan pos. Tetapi TNI tetap memaksa, akhirnya TPN-PB mengambil tindakan pada 2 september 2021 di Kisor.

Sehari setelah penyerangan, dua pleton TNI-AD dikerahkan ke lokasi dengan dalil ‘pengamanan’ dan pengejaran pelaku. Kepala Penerangan Kodam XVIII/Kasuari Letnan Kolonel, Arm Hendra Pesireron mengaku bahwa 100 sampai 150 personel telah dikerahkan. Ini belum menghitung jumlah personel tetap di Maybrat dan Sorong Selatan. Sehingga saat ini diperkirakan jumlah militer telah mencapai 400an personel dan mereka telah menguasai seluruh teritori Maybrat.

Dalam operasi ini, TNI melancarkan penembakan secara serampangan dan menyisir rumah-rumah milik warga. Akibatnya beberapa orang warga sipil, Simon Waymbewer, Maikel Yaam, Yosias Sowe dan Frins Sowe ditangkap. Tidak hanya itu, pos-pos militer didirikan sepanjang jalan-jalan utama seperti di Susmuk dan Sungai Kamundan untuk menyita barang-barang milik warga.

Akibat dari operasi ini, 2.086 orang, 69 diantaranya adalah balita di bawah umur 5 tahun, dari 10 kampung yang tersebar di lima distrik terpaksa mengunsi ke hutan dan kampung-kampung tetangga. Dalam laporan “Kampung Su Kosong” yang diluncurkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat mengatakan bahwa sampai saat ini masyarakat sebagian masih bertahan di hutan dengan bahan makanan dan obat-obatan seadanya, akibatnya 11 orang saat ini mengalami sakit berat.

Lebih lanjut dalam laporan yang sama, Yohanes Mambrasar menyatakan bahwa akibat dari operasi ini “anak sekolah tidak bersekolah. Ribuan pengungsi kehilangan hak asasi mereka, yaitu hak atas rasa aman, hak untuk tidak disiksa, hak atas pendidikan, kesehatan, hak beribadah dan hak-hak sosial.”

Operasi militer Indonesia di kabupaten Maybrat kali ini  telah menambah daftar catatan kekerasan negara Indonesia sejak pendudukan tahun 1961 di atas tanah Papua. Penundukan dengan menggunakan kekuatan bersenjata, kekerasan dan manipulasi sejarah adalah cara negara Indonesia untuk menghancurkan penduduk asli Papua demi penguasaan atas sumber daya alam. Tiga tahun terakhir ini terdapat peningkatan pengerahan kekuatan militer Indonesia, legal maupun ilegal. Pos militer dan kepolisian sering dibangun di sekitar konsensi tambang yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan para jenderal. Demikian rasio pendudukan dan personel militer di Papua merupakan yang tertinggi di seluruh Indonesia. Militerisasi Papua bukan meningkatkan keamanan tapi meningkatkan kejahatan kemanusiaan.

Tahun 1965 orang Amungme dihancurkan demi emas Freepot; tahun 1996 penduduk Mapenduma dihancurkan demi Taman Nasional Lorents; tahun 2018 hingga kini Nduga dan Intan Jaya dihancurkan demi emas senilai 8.1 juta ton di Blok Wabu; kini di Aifat demi penguasaan hutan oleh perusahan kayu PT. Bangun Kayu Irian dan PT. Wananggala Utama. Berbagai macam perusahaan tersebut berhubungan dengan para jenderal seperti Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, Hinsa Siburian mantan Pangdam XVII/ Cenderawasih Papua, Bambang Sunarwibowo Sekretaris Utama Badan Intelijen Nasional, Doni Manardo mantan Kepala BNPB dan Satgas Covid-19 serta Muhammad Munir Ketua Dewan Analisa Strategis Badan Intelijen Negara.

Apa yang dibutuhkan oleh Papua bukanlah militerisasi, apa yang dibutuhkan adalah penyelesaian secara demokratis. Ini hanya bisa terjadi ketika militer organik dan non-organik ditarik dari Papua, satuan teritorial dari Kodam hingga Babinsa dibubarkan, pengadilan HAM terhadap para jenderal-jenderal dan elit politik. Disamping itu ruang demokrasi dibuka seluas-luasnya ini seperti pembebasan seluruh tahanan dan narapidana politik, menghentikan kriminalisasi aktivis, kebebasan pers serta kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat. Itu adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari perjuangan rakyat Papua untuk hak menentukan nasib sendiri. Rakyat Papua dan rakyat tertindas lainnya mau tidak mau, suka tidak suka, tidak ada jalan lain kecuali bersatu, saling bersolidaritas dan memberi diri berjuang.

Ditulis oleh Sharon Muller, anggota Lingkar Studi Sosialis

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: