Perjuangan

Hak Asasi Manusia dan Kapitalisme

Hak Asasi Manusia (HAM) dianggap sebagai sebuah hak yang melekat di semua manusia, tidak memandang ras, jenis kelamin, nasionalitas, etnisitas, bahasa, agama ataupun status lainnya. Namun betulkan HAM adalah sesuatu yang alamiah dan melekat di semua manusia? Mari kita ambil contoh kebebasan berserikat ataupun kebebasan pers, kedua hak tersebut tidak muncul sejak dahulu inheren di dalam manusia. Tidak akan ada (tuntutan) hak kebebasan berserikat serta kebebasan pers ketika kelas buruh ataupun mesin cetak, televisi ataupun radio belum muncul di tengah-tengah masyarakat.

Marxisme melihat bahwa semua entitas sosial merupakan hasil dari hubungan produksi sosial. Hal yang sama berlaku juga untuk “hak asasi manusia”. Dalam masyarakat kuno dan suku, konsep hak tidak akan bermakna karena kepentingan personal belum berkembang menjadi sesuatu yang berbeda dari kepentingan komunal.

Dalam feodalisme, raja adalah perwakilan tuhan di bumi dan semua disubordinasikan serta harus setia melayani kemauan sang raja. Kekuasaan monarki tersebut berdiri diatas kaum tani yang sama sekali tidak memiliki hak dan harus bekerja di tanah milik tuan tanah. Namun feodalisme menghambat perkembangan embrio borjuasi, menghambat akumulasi modal. Dari sini munculah konsep “Rights of Man” (karena diskriminatif terhadap perempuan, istilah tersebut kemudian diganti dengan Human Rights/ Hak Asasi Manusia) ataupun hak alamiah/ natural rights (hak yang secara inheren ada di diri setiap manusia). Konsep yang menjunjung tinggi kebebasan individu dan dengan begitu menentang loyalitas terhadap kekuasaan monarki raja.

Berbagai deklarasi yang sering dianggap sebagai tonggak hak asasi manusia menggambarkan pertarungan tersebut. Magna Charta misalnya merupakan hasil dari perang sipil antara Raja John Pertama, para bangsawan dan gereja dalam memperebutkan bagian terbesar jarahan hasil kerja petani. Buktinya, deklarasi tersebut terutama berisi tentang persoalan uang, yaitu membatasi raja dalam menarik pajak atau cara lain mengumpulkan uang dari bawahannya. Demikian juga dengan Declaration of the Rights of Man adalah hasil dari Revolusi Perancis yang menghancurkan feodalisme.

Pasca Perang Dunia Kedua (PD II), Perserikat Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan. Kemudian Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia disahkan oleh Majelis Umum PBB namun tidak begitu “laku”. PBB dibangun bukanlah untuk perdamaian dunia, kerjasama internasional ataupun penegakan hak asasi manusia. Pada analisa akhir, PBB merupakan alat dari mereka yang memenangi Perang Dunia Kedua (Amerika Serikat, Uni Soviet (sekarang Rusia), Tiongkok, Perancis dan Inggris Raya) untuk membagi-bagi dunia demi keuntungan ekonomi dan militer mereka. Semua janji akan hak, kebebasan, dsb dalam Deklarasi Universal tersebut dikalahkan oleh kepentingan untuk mempertahankan daerah jajahan. Ini adalah periode perjuangan pembebasan nasional dari kolonialisme yang sebenarnya tidak secara eksplisit menggunakan istilah “hak asasi manusia”.

Hak asasi manusia, gerakan serta organisasinya sendiri membesar baru pada periode 1970an. Ini berhubungan dengan meredupnya apa yang dianggap sebagai alternatif dari kapitalisme yaitu “sosialisme” Uni Soviet maupun Tiongkok termasuk meredupnya anti kolonialisme negara dunia ketiga. Terdapat juga perkembangan berbagai gerakan seperti gerakan anti Apartheid di Afrika Selatan, Solidaritas di Polandia ataupun gerakan prodemokrasi di Tiongkok. Sementara Amerika Serikat sendiri mengalami kekalahan memalukan di Vietnam, ditambah dengan dibongkarnya kekejaman rejim militer dan fasis di Amerika Latin (terutama Chile) yang didukung Amerika Serikat. Situasi tersebut mendorong munculnya organisasi-organisasi HAM seperti Amnesty Internasional, Helsinki Watch dan Americas Watch. Istilah HAM kemudian semakin mendunia ketika mulai digunakan oleh Amerika Serikat sebagai serangan ideologis terhadap Uni Soviet serta untuk meningkatkan hegemoni Amerika Serikat.

Analisa bahwa kemunculan dan perkembangan hak asasi manusia adalah hasil dari hubungan sosial, khususnya kapitalisme juga menjelaskan kontradiksi yang diidap oleh berbagai organisasi hak asasi manusia. Dunia organisasi hak asasi manusia memiliki ideologi politik liberal ataupun demokratik yang implisit. Kaum liberal dan demokratik tersebut yang menjadi sumber dukungan utama dalam keanggotaan, staf dan pendanaan. Banyak di antara mereka adalah orang-orang yang memiliki prinsip hak asasI manusia dan demokrasi yang tegas, bukan sekedar orang-orang oportunis mengejar karir ataupun kepentingan politik sendiri. Oleh karena itu kita bisa melihat berbagai laporan yang mereka keluarkan berisikan data-data yang dapat dipercaya.

Berbagai organisasi hak asasi manusia telah memberikan kontribusi dalam membongkar berbagai kekejaman dan kejahatan kemanusiaan melalui laporan-laporan dan dokumen-dokumen mereka. Mereka mengkritik kesenjangan praktek negara dengan komitmen serta kewajiban negara di bawah ketentuan hukum nasional maupun internasional. Mereka mempublikasikan temuan-temuan mereka seluas-luasnya untuk mendorong tanggapan dari pemerintah terhadap kekejaman yang terjadi dan dengan begitu mendorong mereka untuk berubah.

Namun organisasi hak asasi manusia menutup mata terhadap sejarah serta konteks politik dan sosioekonomi. Mereka cenderung melihat pemerintahan kapitalis demokratis dan negara sebagai entitas yang netral dan dapat dipengaruhi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Oleh karena itu mereka terus menerus berusaha membangun interaksi dengan pemerintah dan institusi-institusi HAM internasional. Dengan begitu memberikan sedikit banyak legitimasi kepada negara dan institusi-institusi HAM internasional.

Sejak kapan Negara adalah institusi yang netral? Negara adalah alat represi dari kelas yang berkuasa, dalam kapitalisme adalah kelas borjuis. Kejahatan kemanusiaan adalah alat bagi kelas borjuis untuk mempertahankan kepentingan ekonomi mereka. “Orang-orang dipenjara agar harga-harga bisa dibebaskan” begitu tulis Eduardo Galeano, penulis Uruguay, menggambarkan bagaimana kebijakan ekonomi neoliberalisme diterapkan di Amerika Latin pada dekade 70 dan 80an melalui serangkaian kudeta dan berdirinya rejim militer maupun fasis. Hal yang sama berlaku juga, misalnya, pada Dewan HAM PBB yang merupakan kumpulan kebanyakan pemerintah negara-negara kapitalis. Mereka berpura-pura mendukung hak asasi manusia namun faktanya dalam voting resolusi PBB pertimbangan utamanya adalah riil politik alias kepentingan kelas borjuis yang berkuasa di negara mereka masing-masing.

Sepanjang sejarah, pemenuhan hak asasi manusia adalah hasil dari perjuangan massa. Perjuangan kelas borjuis melawan feodalisme hanya akan menghasilkan deklarasi-deklarasi indah namun hanyalah jalan untuk membebaskan akumulasi modal. Kaum sosialis memainkan perang penting dalam perjuangan tersebut untuk kesejahteraan buruh, pembebasan perempuan, pembebasan LGBT ataupun perjuangan anti penjajahan dan hak menentukan nasib sendiri. Kita harus jeli menggunakan istilah “hak asasi manusia”, menghilangkan analisa kelas akan membuat kita menganggap bahwa kelas borjuis dengan aparatus negaranya, kapitalisme akan menjunjung tinggi hak asasi manusia untuk semua orang.

Ditulis oleh Dipta Abimana | Kader KPO-PRP

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 33, III-IV November 2017, dengan judul yang sama.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: