Teori

Krisis Telah Kembali. Semua Telah Berubah. Marxisme Kembali.

ditulis oleh Daniel Taylor

Dalam beberapa bulan terakhir yang singkat, pandemi telah menghancurkan semua argumen mutakhir yang mengatakan bahwa marxisme sudah ketingalan zaman.

Ingatlah argument ini bahwa kelas buruh tidak eksis lagi? Para ahli mengatakan kita semua kelas menengah atau kita semua komsumen atau kita semua memiliki sejuta identitas yang berbeda. Produksi, eksploitasi, dan kelas tidak penting lagi. Di dunia terbelakang, para teoritis akademik mutakhir berpendapat bahwa kelas dan eksploitasi itu konsep “Eropa-sentris” dan bahwa masyarakat yang lain diorganisir dengan berbeda.

Sebuah buku teks terbaru, Understanding Modern Sociology, menjelaskan dakwaan terhadap perjuangan kelas “Marx sudah ‘ketinggalan zaman’ karena peran produksi dalam menentukan lokasi sosial orang, semakin berkurang signifikasinya ketika kita telah menjadi ‘masyarakat konsumen’, masyarakat dimana indentitas kita ditentukan dari apa yang kita beli, kita pakai, kita makan dan gunakan.”

Kalimat tersebut terasa seperti dituliskan beberapa abad yang lalu. Kalimat tersebut berasal dari dunia sebelum COVID-19. Siapa yang saat ini merasa ditentukan oleh apa yang mereka “gunakan”?

Sekarang kita semua dipaksa setiap hari berpikir tentang peran kita dalam proses produksi, Kenapa kita melakukan pekerjaan kita, dan siapa yang mengontrol pekerjaan kita? Jika kita bekerja dalam kondisi keramaian, tidak higenis, – seperti pekerja gudang di Amazon, atau guru sekolah di Australia – kenapa? Apakah pekerjaan kita melayani kebutuhan manusia atau hanya untuk keuntungan?

Jika kita melayani kebutuhan manusia, lalu kenapa kita tidak bisa menentukan bagaimana kita melakukannya  untuk memastikan itu aman dan bersih? Logika apa yang mengatur kehidupan kita, ketika perawat yang bekerja di rumah sakit swasta dipecat karena bisnis tidak menguntungkan, sedangkan pekerja kontruksi lanjut usia dengan paru-paru yang buruk dipaksa bekerja di proyek komersial?

Seluruh planet sedang mendebatkan tentang apa itu “kerja esensial”; setiap hari buruh bertanya-tanya, jika mereka tetap harus bekerja, kenapa mereka tidak dapat mengikuti peraturan yang ditegaskan oleh petugas medis pemerintah dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup manusia. Dari kota metropolis terkaya dari kekuasaan imperialis ke daerah kumuh Selatan yang disiksa oleh berabad-abad kolonialisme dan keterbelakangan, kelas buruh telah menjadi pusat perhatian pada lockdown tahun ini.

Kesimpulan yang tidak dihindari: masyarakat ditentukan oleh bagaimana ia mengatur produksi kekayaan. Kapitalisme berproduksi untuk keuntungan bukan untuk kebutuhan manusia. Orang paling penting di dunia juga merupakan orang yang paling tidak berdaya; mereka yang menghasilkan makanan dan rumah kita, yang membangun rumah sakit dan membuat peralatan medis, yang menyembuhkan yang sakit dan menjaga anak-anak.

Apa yang bisa kita pakai, makan, dan gunakan adalah penting, bahkan vital. Begitu juga kondisi kehidupan rakyat miskin dan tersingkirkan yang ada di luar ekonomi formal. Namun, sebagaimana diungkapkan oleh krisis ini, semua hal itu pada akhirnya ditentukan oleh bagaimana masyarakat mengatur dan mengendalikan “kerja esensial”, dan untuk siapa.

Pandemi telah mengungkapan apa yang kita butuhkan untuk masyarakat yang manusiawi: emansipasi kelas pekerja dan reorganisasi produksi untuk kebutuhan manusia daripada logika pasar.

Logika pasar sekarang mengalami kekalahan telak. Sejak tahun 1980an, kita diberitahu bahwa sosialisme telah dikalahkan  secara ideologis, perencanaan adalah hal yang tidak mungkin, dan pasar ‘bebas’ – ditegakkan oleh kediktaktoran, jika di perlukan – adalah satu-satunya cara untuk mengatur sebuh masyarakat yang kompleks. Sekarang – dengan sedikit keenganan – politisi yang dilatih sebagai neoliberal tulen beralih menjadi manajer negara yang hiper-sentralis serta intervensionis.

Kota-kota metropolitan kapitalis lock down, jalan-jalan dipatroli oleh drone polisi untuk menggiring para pencari-kesenangan kembali ketempat mereka. Sentralisasi supermarket, maskapai penerbangan dan gudang-gudang besar berarti mereka bertahan hidup sebagai sesuatu seperti utilitas publik namun, gilanya, dioperasikan untuk keuntungan dari pemegang saham mereka.

Nasionalisasi, universal basic income dan larangan pengusuran telah berubah dari skema utopis menjadi pengumuman pemerintah sehari-hari. Negara kapitalis telah dipaksa campur tangan secara dramatis untuk mengatur ulang dan merencarakan setiap aspek kehidupan sehari-hari, karena pasar pada dasarnya tidak bisa mencapai hasil yang dapat diterima secara sosial.

“Tatanan yang mengatur hidup kita, membentuk masyarakat kita dan ekonomi kita dan menentukan kemakmuran kita dihancurkan,” tulis Peter Hartcher di Age koran yang terbit di Melbourne tanggal 30 Maret. “Pemerintah telah dipaksa untuk melenyapkan ortodoksi ekonomi dan fiskal yang telah susah payah didirikan sejak resesi awal 1980an.” Neoliberalisme telah mengalami pukulan ideologis setelah krisis finansial tahun 2008, yang menjadikan ketimpangan sebagai masalah sosial yang tak terhindarkan sementara meningkatkan kemungkinan bahwa demokrasi kapitalis tidak memadai. Krisis saat ini lebih jauh lagi.

Ini bukan hanya tentang ketimpangan. Ini tentang kekuatan yang akan menentukan masa depan; negara, bisnis besar atau mereka “pekerja esensial” yang menyelamatkan hidup kita dan yang, jika mereka bisa bekerja sama secara internasional, tanpa motif keuntungan mengendalikan mereka, akan mampu untuk membangun dunia yang dapat keluar dari krisis seperti ini dengan jalan yang manusiawi, rasional dan demokratis.

Kita membutuhkan solusi yang bukan hanya kembali ke pertunjukan ekonomi neoliberalisme, atau ke kapitalisme nasionalis yang datang sebelumnya. Kelas buruh internasional adalah satu-satunya kekuatan yang dapat menjadi alternatif bagi pasar bebas dan negara lockdown. “Buruh sedunia, bersatulah!”: slogan itu mendefinisikan Marxisme. Sekarang kita dapat melihat bahwa itu bukan hanya slogan, tetapi solusi.

Kita juga bisa melupakan gagasan bahwa kapitalisme pernah atau akan pernah menemukan sebuah cara untuk memastikan stabilitas, untuk mengatasi krisis ekonomi untuk menghindari “keretakan” yang membuat perjuangan revolusioner jadi mungkin. Ketika sistem itu macet dan tatanan lama hancur, revolusi menjadi pilihan yang realistis, dan lebih realistis daripada kembali ke status quo.

Buruh di dunia pertama yang dikatakan sudah terlalu nyaman, disogok, dan puas sehingga tidak akan berjuang melawan sistem, sekarang bekerja di tempat-tempat yang mungkin membuat mereka terpapar pandemic yang mematikan, atau berbaris dalam antrian sedekah, menghadapi kehancuran global yang banyak para ekonomi prediksi akan seperti Depresi Besar.

Sementara itu, para administrator negara-negara kapitalis mengakui bahwa cara lama mereka mengatur masyarakat telah mengecewakan mereka. Lenin sendiri menguraikan dua syarat untuk sebuah revolusi: “Massa yang dieksploitasi dan tertindas harus memahami ketidakmungkinan hidup dengan cara lama dan menuntut perubahan,” dan “pengeksploitasi tidak dapat hidup dan memerintah dengan cara lama”.

Siapa yang sekarang memiliki keberanian untuk menentang kaum Marxis bahwa kita tidak akan melihat kondisi-kondisi ini muncul bersama di tahun-tahun yang akan datang?

Dalam krisis, ketika negara mengatur setiap aspek kehidupan sehari-hari, dan ketika gangguan terhadap produksi mengancam mengguncang seluruh sistem, prinsip-prinsip kekuatan buruh, internasionalisme dan perjuangan dari bawah akan sangat penting untuk menentukan taktik dan strategi. Jika kita memahami ini, kita dapat beralih dari buruh yang sekarang berjuang untuk menutup industri non-esensial, menjadi buruh yang berjuang untuk menata kembali masyarakat sepenuhnya; dari perjuangan kelas dalam krisis global, menjadi reorganisasi revolusioner masyarakat.

“Tanpa otak dan otot kita, tidak satu roda pun yang bisa berputar.” Lirik lagu buruh berusia seabad, “Solidarity Forever”, kadang-kadang tampak aneh dan kuno. Tetapi mereka mengekspresikan satu-satunya cara pandangan dunia yang sesuai dengan kenyataan krisis kontemporer: “Di tangan kita terdapat kekuatan yang lebih besar daripada timbunan emas mereka”, begitu liriknya. “Kita bisa melahirkan dunia baru dari abu yang lama.”

Naskah diambil dari website Red Flag. Dapat diakses melalui Crisis is back. Everything has changed. Marxism returns dimuat pada 1 April 2020. Diterjemahkan oleh Ezra Noland, anggota Lingkar Studi Kerakyatan

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: