Opini Pembaca

Pahami Hari Air Dunia Secara Utuh Bukan Momentuman

1 dari 10 orang di dunia kesulitan mendapatkan akses terhadap air bersih dan 1 dari 3 orang di dunia tidak mendapatkan akses kepada toilet. Faktor penting kesehatan adalah air beserta sanitasinya, ironisnya di dunia lebih banyak orang mempunyai telepon seluler (ponsel) ketimbang akses ke toilet.

Hal ini disebabkan banyak ruang terbuka hijau (RTH) sebagai penyerap air telah diubah menjadi pemukiman, kompleks industri dan perdagangan, serta hal-hal lain yang mengubah fungsi lahan sebagai penyerap air. Di Balikpapan sendiri jika tidak ada hujan dalam dua minggu maka Waduk Manggar sebagai sumber air akan mengering. (National  Geoghraphic, 2016)

Secara umum, di Indonesia sendiri kebutuhan akan air menduduki angka fantastis. Jika mengikuti acuan World Health Organization (WHO) pada 2010, setiap orang membutuhkan 30 liter air setiap harinya, 10 liter untuk konsumsi dan 20 liter untuk sanitasi. Maka jika menurut jumlah penduduk Indonesia 252 juta jiwa (BPS, 2014) ada 7,56 milyar liter air per harinya yang digunakan orang Indonesia. (Mongabay, 2015).

Ironisnya baru sekitar 36,7 juta kepala keluarga di Indonesia yang bisa mendapatkan akses air minum. 73 % dari 53 sungai utama di Indonesia juga tercemar. (Mongabay, 2015). Ini belum lagi diperparah privatisasi sumber mata air oleh perusahaan air minum dalam kemasan yang mengakibatkan warga semakin kesusahan mengakses air minum, terhitung mencapai 76% dengan merek ternama seperti Aqua (50%), Ades (10%), Nestle (10%) dan Club (6%). Perusahaan lokal hanya 24%. Swasta asing juga menguasai pelayanan air perpipaan 15,3%. (Mongabay, 2016). Hal ini belum lagi dengan industri-industri perusak lainnya seperti pertambangan dan sawit.

Masalah ini muncul karena World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia menetapkan air bukan sebagai hak manusia (“human rights”) melainkan sebagai kebutuhan manusia (“human needs”). Klasifikasi air sebagai kebutuhan manusia ini yang kemudian membolehkan air dijadikan komoditas. Apapun yang jadi komoditas kapitalisme mengakibatkan kaum miskin kurang mampu mengaksesnya di satu sisi. Sedangkan di sisi lain membuat kapitalis semakin kaya dari monopoli, eksploitasi, dan akumulasi laba atas komoditas itu.

Secara umum memang ada pengakuan mengenai kerawanan terkait air di dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lewat sidang umum ke-47 tanggal 22 Desember 1992 di Rio De Jenairo, Brazil menetapkan bahwa setiap tanggal 22 Maret adalah Hari Air Dunia. Hari Air Dunia diperingati guna untuk meningkatkan kesadaran secara moral manusia akan pentingnya air bagi kehidupan.

Setiap tahun pun tema-tema yang digunakan berbeda-beda seperti pada tahun 2018 memakai tema “Nature from Water” atau “Alam dari Air.” Tema ini bertujuan memperlihatkan pada manusia bahwa permasalahan air adalah permasalahan alam yang semakin rusak. Masalahnya, peringatan hari air begini sering kali bukan hanya tidak menyentuh akar permasalahan. Namun juga sering berakhir menjadi perayaan, aksi (sebatas) simbolis, “feel good activism” atau aktivisme yang menyenangkan diri para pelakunya saja. Terlihat bagus di atas kertas, di permukaan, dan di penampilannya saja.

Negara-negara di dunia dengan gembira merayakan hari air, dari pawai sampai pada pembersihan langsung mata air. Seringkali ini bukan hanya sehari selesai dan tidak berkelanjutan namun juga menutupi fakta bahwa pemerintah dan perusahaan-perusahaan masih terus melakukan operasi yang merusak, mencemari, dan atau mengurangi kuantitas serta kualitas air.Bahkan sumber perusakan dan pencemaran terhadap air terus terjadi lewat kebijakan pembangunan dan bahkan semakin meningkat.

Kehadiran industri-industri perusak lingkungan tidak terlepas dari kebijakan yang memperbolehkan hadirnya pertambangan dan industri-industri perusak lainnya. Di Kalimantan saja ada 2.700 IUP pada 2015 (Katadata.com, 2016). Menurut Greenpeace, salah satu kasus yang terjadi disebabkan PT Indominco Mandiri, anak perusahaan PT ITM. Demi meningkatkan produksi pertambangannya, perusahaan tersebut berusaha mengalihkan aliran sungai sehingga perusahaan bisa melakukan penambangan di Sungai Santan termasuk anak Sungai Santan, yakni Sungai Kare dan Sungai Pelakan.

Di sisi lain, Direktur Jendral Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Karliansyah mengatakan bahwa PT Indominco Mandiri pernah mendapatkan peringkat Biru pada Program Penilaian Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Proper) tahun 2014. Namun, untuk tahun 2015, hasil Proper PT Indominco tidak diumumkan.

Ini belum lagi program padat modal (padat karya) yang mengharuskan eksploitasi terhadap alam terus berjalan. Seperti kehadiran industri sawit yang boros air, menurut peneliti dari UGM saja bahwa satu kilogram sawit setara dengan menghabiskan 100 liter air. Ini pun belum soal bagaimana fungsi lahan berubah dan ekologi merosot.

Air pun tidak lepas dari pencemaran limbah domestik (sampah rumah tangga). Di Samarinda kasusnya ada pada sungai sepanjang 34,7 km ini bernama Sungai Karang Mumus yang dicemari banyak limbah dan sampah. Program revitalisasi tidak berfungsi dan berkontribusi. Satu sisi sedemikian banyaknya institusi pemerintahan dari atas, pusat, provinsi, kota, kabupaten, dusun, desa, kelurahan, kecamatan, sampai bawah RT/RW lengkap dengan paralel institusi-institusi komando ekstra teritorialnya justru tidak berbanding lurus dengan pengelolaan lingkungan yang lestari pada khususnya dan pelayanan rakyat sekaligus pemberdayaan masyarakat. Sedangkan di sisi lain negara sangat memudahkan urusan penanaman investasi namun mencampakkan soal hajat hidup rakyat.

Oleh karenanya, perayaan tehadap Hari Air perlu dikaji ulang lagi. Peringatan Hari Air tidak bisa hanya sebagai perayaan momentuman yang menggembirakan. Pelaku-pelaku yang menginginkan perubahan atas kondisi di atas perlu mengkaji ulang bagaimana “melawan” biang masalah pencemaran, perusakan, dan penurunan kuantitas serta kualitas air.

Kapitalisme di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya menjadi medan bagi para konglomerat berkongkalikong dengan pejabat serta aparat dalam melebarkan arus modal mereka. Ini dilakukan dengan mengesampingkan bahkan mengebelakangkan urusan hidup orang banyak. Artinya perubahan tidak bisa dengan meminta atau mengharapkan kebaikan hati pemerintah saja. Baik lewat jalur-jalur lobi maupun advokasi. Melainkan harus dengan mereorientasikan gerakan lingkungan di bawah perspektif kesadaran melawan kelas serta sistem penindas dan ke atas landasan perjuangan kelas. Ini dalam momentum, peringatan Hari Air Dunia ini penting dijalankan dengan diskusi dan edukasi yang ilmiah dan demokratis. Mengkaji data tentang alam, menginvestigasi kondisi lingkungan dan bagaimana pengaruhnya terhadap hidup rakyat pekerja yang berbanding terbalik dengan kehidupan konglomerat, pejabat, dan aparat, serta mengombinasikannya dengan kajian-kajian ekologi dan sosialisme: sosialisme ekologis.

ditulis oleh Musa Talutama, Anggota Lingkar Studi Kerakyatan

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: