Perspektif

Kisah Dua Pilkada

Badai krisis yang semakin menguat dan kompetisi antar kubu pemodal bukan hanya berujung kebangkrutan berbagai perusahaan raksasa di dunia, namun juga mempertajam kesenjangan sosial antara kaya dan miskin. Ini di tunjukkan dengan konsentrasi kekayaan yang hanya di kuasai oleh segelintir orang. Laporan Oxfam menyatakan 1 persen orang paling kaya di dunia, jauh lebih kaya dari seluruh penduduk dunia. Dilain hal menajamnya krisis, juga mendorong masyarakat semakin terpolarisasi ke kanan dan kekiri. Kita menyaksikan kebangkitan gerakan ultra kanan berikut juga kebangkitan gerakan kiri di berbagai negeri.

Mendalamnya kriris kapitalisme menyebabkan perpecahan antar kubu-kubu borjuis juga semakin tajam. Berbagai faksi penghisap saling menuduh mengenai siapa yang paling tidak becus dalam menangani krisis, bagaimana menyelamatkan kapitalisme, saling menyalahkan dan menjegal satu sama lain. Berbagai perusahaan global, saling bahu membahu untuk menyelamatkan kapitalisme dari krisis. Seluruh institusi negara borjuis, turut serta dalam agenda penyelamatan krisis kapitalisme tersebut. Pukulan-pukulan terhadap gerakan rakyat, perjuangan buruh, dan perlawanan petani semakin marak kita temui di banyak tempat.  Pemotongan subsidi rakyat, kenaikan harga bahan-bahan pokok, PHK, pemotongan upah pekerja, penggusuran lahan petani, di satu sisi semakin menyeret rakyat dalam jurang kesengsaraan, disisi yang lain juga membakar kemarahan rakyat kepada kelas pemilik modal.

Serangan terus menerus dari kelas borjuis dengan kriminalisasi maupun ideologi reaksioner, memberi tekanan yang besar bagi kaum revolusioner. Sementara itu berbagai perlawanan rakyat yang muncul, belumlah memberi sebuah tantangan bagi sistem yang ada. Perlawanan yang berkembang di berbagai sektor, didominasi dengan tuntutan kepentingan mendesak dari rakyat. Masihlah bersifat membela diri dari serangan-serangan kapitalisme, belum menyerang kapitalisme dan mengusung penghapusan sistem yang menindas dan menggantikannya dengan sistem kolektif. Kondisi tersebut, tidak bisa dipungkiri sebagai akibat dari kekuatan revolusioner yang masih kecil. Satu sisi kaum kiri banyak yang tidak (mampu) menjalankan kerja agitasi-propaganda yang mampu menjangkau lapisan luas dari massa rakyat dan edukasi ideologis terhadap lapisan termaju dari kelas buruh dan di sisi lain perspektif hiperaktivisme masih sangat mencengkeram banyak aktivis di Indonesia. Akibatnya semakin sulit menantang dan melawan hegemoni ideologi dan wacana borjuasi yang disebarkan lewat penguasaan terhadap media massa-media massa kapitalistisnya. Termasuk wacana borjuistis yang disebarkan dalam kampanye-kampanye Pilkada serentak.

Pilkada DKI Jakarta dan Lesser-Evil-ism yang Tak Kunjung Padam

Indonesia, menjelang Pilkada serentak yang akan dilaksanakan 15 Februari 2017 ini, drama demokrasi borjuis kembali dipertontonkan. Rakyat kembali diilusi dengan berbagai propaganda borjuasi dan janji-janji semu pasangan calon kepala daerah yang saling bertarung untuk memperebutkan tropi kekuasaan politik dan kendali ekonomi. Drama demokrasi kali ini sedikit berbeda,karena pertarungan antar wayang politik borjuis turut menggunakan politik rasisme, mulai dari penistaan agama, anti tenaga kerja asing, termasuk juga hysteria anti komunis. Seperti telah kami sampaikan dalam AJ 10, untuk memahami perkembangan politik rasis saat ini kita tidak bisa melihatnya hanya dalam kasus Pilkada saja. Perkembangan ideologi dan gerakan rasis terkait erat dengan kondisi krisis dan pertarungan kelas yang terjadi. Kondisi krisis tersebut bisa terlihat dari situasi ekonomi di satu sisi dengan kepemimpinan kelas borjuis yang semakin melemah.

Perdebatan menjelang pilkada kali ini, juga terjadi di kalangan gerakan. Secara khusus perdebatan yang menguat berkaitan dengan pilkada DKI Jakarta dan Kota Bekasi. Dua hal tersebut menjadi topik utama dalam tulisan ini. Perdebatan tersebut, berkaitan erat dengan perjuangan kelas dan kolaborasi kelas. Lebih lanjut, dua hal tersebut juga mengandung pelajaran-pelajaran yang penting bagi gerakan.

Pilkada memang seperti drama dalam demokrasi borjuis. Seperti halnya sebuah teater, cerita yang akan dimainkan oleh sang aktor akan bergantung dari si pembuat naskah. Begitulah halnya Pilkada, jargon-jargon, mantra-mantra yang diucapkan oleh setiap calon kepala daerah saat bertemu dengan masyarakat tidak lain adalah untuk mempermulus jalan mereka dalam mendapatkan kuasa atas politik dan ekonomi. Begitulah drama dalam demokrasi borjuis, memang penuh dengan sandiwara yang menyesatkan. Kita paham benar, dalam sistem kapitalisme, pilkada, demokrasi keterwakilan, bagaimanapun bentuknya, adalah demokrasi borjuis. Begitulah demokrasi yang senantiasa melayani kepentingan kelas pemilik modal. Jika kita memulai analisis kita (dan secara konsisten) dengan analisis kelas, maka kita tidak mungkin menafikan bahwa dalam sistem kapitalisme, masyarakat terbelah menjadi dua kelas utama yakni kelas pemilik modal dan kelas buruh. Begitupun dengan demokrasi, tentu saja  akan mewakili kepentingan dari dua kelas tersebut. Demokrasi borjuis yang sekarang sedang berkuasa, akan mewakili kepentingan kelas kapitalis. Sebaliknya, demokrasi proletariat akan mewakili kepentingan kelas buruh dan rakyat tertindas lainnya. Atas alasan inilah kita harus mengkaji masalah Pilkada ini dari kepentingan kelas-kelas yang ada. Segala sesuatunya harus diperiksa dari sudut pandang kelas kalau kita tidak ingin terombang-ambing, dari apa itu demokrasi sampai kelas mana yang bisa diandalkan untuk membela demokrasi.

Dalam drama demokrasi borjuis seperti halnya pilkada, ongkos menjadi seorang aktor tidaklah murah. Jika ingin “duduk” di parlemen – atau untuk menjadi seorang kepala daerah – haruslah memiliki modal yang besar. Kita bisa melihat hal tersebut dari ketiga calon gubernur dan wakil gubernur  yang bermain sebagai aktor dalam drama demokrasi borjuis di DKI Jakarta. Komisi Pemilihan Umum(KPU) DKI Jakarta merilis laporan harta kekayaan tiga pasang Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta. Dalam daftar pengumuman laporan harta kekayaan Cagub-Cawagub DKI.Calon nomer urut tiga Sandiaga Uno, memiliki harta kekayaan terbanyak, yakni Rp 3.856.763.292.656 (Rp 3,8 triliun) dan 10.347.381 dollar AS. Sementara pasangannya, calon gubernur nomor pemilihan tiga, Anies Baswedan, memiliki harta sebanyak Rp 7.307.042.605 (Rp 7,3 miliar) dan 8.893 dollar AS.Kemudian, calon gubernur nomor pemilihan dua, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), memiliki harta Rp 25.655.887.496 (Rp 25,6 miliar) dan 7.228 dollar AS. Wakil Ahok, Djarot Saiful Hidayat, memiliki harta sebanyak Rp 6.295.603.364 (Rp 6,2 miliar).Selanjutnya, harta kekayaan calon gubernur nomor pemilihan satu, Agus Harimurti Yudhoyono, sebanyak Rp 15.291.805.024 (Rp 15,2 miliar) dan 511.332 dollar AS. Pasangan Agus, Sylviana Murni, memiliki kekayaan sebanyak Rp 8.369.075.364 (Rp 8,3 miliar).

Sebenarnya, semenjak dukungan dari berbagai partai dideklarasikan terhadap masing-masing calon dalam pilkada DKI Jakarta, kita telah bisa melihat siapakah yang memegang kendali atas peran dari para aktor drama demokrasi borjuis di DKI Jakarta tersebut. Ahok-Djarot yang mendapat dukungan penuh dari parta PDIP, sementara Anis-Sandi di dukung oleh partai Gerindra, serta Agus-Syilvi yang mendapat dukungan dari Demokrat. Pengelompokan borjuis yang mengendalikan para aktor Pilkada DKI semakin kelihatan, di antaranya adalah kelompok jokowi-mega, kelompok SBY, dan Kelompok Prabowo. Situasi ini, sebenarnya adalah kelanjutan dari pertarungan Pilpres di tahun 2014 lalu.

Jam Tangan AHY SentulPartai Demokrat yang sudah babak belur kena skandal korupsi dan memosisikan diri seolah-olah netral di luar KIH dan KMP, merasa harus merangsek balik menyerang Jokowi agar bisa mempertahankan pengaruh politiknya atau bahkan bangkit mengembalikan prestisnya lagi. Kita melihat bagaimana SBY, Partai Demokrat, dan para pendukungnya seperti FPI, mendorong putranya Agus Yudhoyono pensiun dini dari karir militer untuk maju dalam Pilgub DKI. Demi memenangkan pasangan Agus-Sylvie, dilancarkanlah kampanye rasis, anti asing-aseng-asong, anti Tionghoa, hingga anti Kafir, untuk menyasar Basuki Tjahaya Purnama. Politik rasis ini bagi mereka bermanfaat pula untuk menyerang rezim Jokowi.Dari sini muncullah secara masif politik rasis dalam Pilgub DKI, mobilisasi anti penistaan agama, serta tarik-menarik seputar kasus dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Munir antara Jokowi dan SBY setelah terpojok didesak oleh Suciwati dan para pejuang HAM.

Sementara itu, Ahok yang dijuluki raja gusur menjadi calon kuat di antara dua pasangan lainnya.Penggusurannya pada pemukiman-pemukiman kaum miskin kota seringkali diiringi dengan cap kaum miskin penyebab banjir. Bahkan tak jarang juga diiringi represi.Sementara itu pemukiman-pemukiman mewah yang merusak lingkungan tidak pernah disentuh. Basuki juga dengan keras kepala mendesakkan proyek reklamasi yang akan berakibat penyingkiran kaum nelayan.  Selain itu,  Basuki berpolitik dengan sangat oportunis. Sedemikian oportunisnya sampai ia tidak pernah mempermasalahkan maju lewat partai-partai (yang dipimpin) pelanggar HAM dan bekas Orde Baru (yang mempraktikkan rasisme anti-Tionghoa secara sistematis). Awalnya maju melalui Partai Golkar, kemudian masuk Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo, sampai akhirnya keluar, mendirikan Teman Ahok kemudian membubarkannya dan bersekutu dengan PDIP. Padahal PDIP ini partai yang sama yang bertanggungjawab atas penggempuran Aceh lewat pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM). Jadi jelas urusan HAM tidak pernah menjadi prioritas utama Basuki. Sebaliknya, dan ini menjadi poin Ketiga, Basuki tidak segan-segan menjalankan represi dan memberangus demokrasi. Baik dengan mengerahkan aparat-aparat militer dan kepolisian untuk melancarkan penggusuran-penggusuran maupun dengan memberlakukan peraturan larangan demonstrasi di depan Istana Negara.

Sedangkan Anies Baswedan yang dicopot dari kursi Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) dan dikorbankan dengan diberikan jabatannya kepada PAN dan Muhammadiyah sebagai imbalan dukungan mereka, akhirnya kemudian balik melawan rezim dengan maju di Pilgub DKI bersama Sandiaga Uno yang didukung oleh partai Gerindra sebagai partai oposisi rezim pemerintah. Sandiago Uno, bukanlah orang biasa. Pada tahun 2009 ia adalah orang terkaya ke 29 di Indonesia versi majalah forbes meskipun di tahun 2011 meskipun peringkatnya turun menjadi ke-37 pada tahun 2011, dengan total kekayaan yang di milikinya sebesar US$ 660 juta. Sandiaga Uno juga merupakan pemilik dari beberapa perusahan besar Diantaranya adalah PT. Adaro Energy Tbk, PT. Tower Bersama Infrastruktur Group Tbk, PT. Recapital Advisors (Perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan Aset), Saratoga Capital (perusahaan yang berkonsentrasi di bidang sumber daya alam dan infrastuktur), serta PT. Langgam Inti Hibrindo (LIH), anak perusahaan dari PT. Provident Agro Tbk, yang saat ini sedang terseret kasus, dugaan pembakaran hutan di Riau.

Kini semakin jelas, bahwa ketiga calon tersebut, tidak lain adalah aktor-aktor dalam drama demokrasi borjuis. Mereka sudah pasti akan mewakili kepentingan kelas pemilik modal. Sementara rakyat hanya menjadi penonton dari drama yang sedang mereka mainkan.Bahkan dari semua program yang di tawarkan oleh ketiga calon tersebut, tidak ada satupun yang berbicara soal nasib para pekerja.Padahal kelas pekerjalah yang paling terhisap dari dalam kapitalisme. Setiap kali kapitalisme mengalami krisis, rakyat pekerja pulalah yang menjadi korban, mulai dari pemotongan upah,PHK dan lain sebagainya. Dengan begitu tidak ada alasan lagi bagi kaum buruh dan rakyat pekerja lainnya untuk  mendukung salah satu aktor dari drama demokrasi borjuis tersebut.

Lesser Evilism dan Tugas-Tugas Kita Seharusnya

Kolaborasi kelas yang berkedok dukungan kritis terhadap kelas penindas dalam drama demokrasi borjuis, tidaklah dapat dibenarkan. Karena kolaborasi kelas yang bermakna perkawinan paksa kelas tertindas dengan kelas penindas hanya akan menundukkan kepentingan kelas tertindas ke bawah kelas penindas serta berakibat langsung hantaman bagi perjuangan kelas, rusaknya independensi kelas, dan semakin tak tercapainya kepeloporan revolusioner. Terkait konteks Pilkada, sekali lagi, kita harus membongkar persoalan Pilkada ini, dari kepentingan kelas-kelas yang ada. Benar bahwa kita berkepentingan untuk berjuang  bagi setiap pencapaian di bawah demokrasi borjuasi yang dapat mempermudah perjuangan kelas buruh untuk memperkuat kesadaran dan kemandirian kelas mereka, hak-hak demokrasi dasar seperti hak berserikat, hak berorganisasi, dan sebagainya. Namun, ini tidak membolehkan kita bersikap gegabah. Jangan mengabaikan bahwa kita berada dalam pertentangan kelas yang semakin tajam antara kelas borjuis dan kelas buruh. Jangan membuat seolah-olah pertentangan antar aktor drama demokrasi borjuis, adalah suatu hal yang terpisah dari kenyataan bahwa kelas pekerjalah yang paling di rugikan.

Premis Lesser Evilism (yang terbaik di antara yang terburuk) kini kembali populer setelah mengalami kematian pasca pilpres  2014 lalu, dimana beberapa elemen gerakan saling memberi dukungannya kepada calon-calon yang ada. Beberapa di antaranya menggunakan alasan memilih yang terbaik di antara yang terburuk, dan pada akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada Jokowi yang dianggap dapat mewakili kepentingan sipil. Sebenarnya, fenomena lesser evilsm ini bukan hanya terjadi di indonesia tapi juga di negara lainnya. Saat pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) beberapa elemen gerakan yang menganggap bahwa salah satu calon yakni Donal Trump sebagai presiden – yang menurut mereka “tidak hanya akan menempatkan orang brengsek yang tidak berkualitas, bodoh, narsistik, otoriter di Gedung Putih, namun juga akan menguatkan kecenderungan yang paling ganas di masyarakat Amerika. Tidak banyak pilihan bagi mereka,  karena pilihan terbatas yang ada pada sistem dua partai, kaum Kiri harus berusaha untuk memilih salah satu di antara dua yang paling sedikit merusak. Strategi ini secara historis berkebalikan dengan seruan untuk keluar dari Partai Demokrat dan menggunakan pemilihan umum untuk membangun partai ketiga yang independen.

Anies dan FPIKali ini kita temukan juga dalam pilkada DKI. Kali ini ditunjukkan oleh grup kolaborator kelas yakni Indoprogres.Dalam tulisan yang berjudul “Ahok Melawan : Apa yang Sebenarnya Terjadi?”  dikatakannya bahwa “PILKADA DKI Jakarta saat ini memperlihatkan gambaran yang paling baik dari pertentangan yang tak bisa didamaikan lagi antara para borjuis (mafia) rente di satu pihak melawan borjuis reformis (borjuis nasional) di pihak yang lain. Kini adalah saat-saat penentuan dari perseteruan mereka. Tesis saya masih sama sampai sekarang, yaitu politik masa kini adalah pertentangan tak terelakkan antara kaum borjuis rente (kapitalis birokrat) dengan kaum borjuis nasional”. Tulisan ini telah secara terang-terangan mengaburkan kenyataan bahwa persoalan pilkada tidak terlepas dari kepentingan kelas-kelas yang ada.Kita bisa melihat disini, bagaimana Bonnie Setiawan menggambarkan secara berlebihan, pertentangan antar kubu borjuis tersebut.“Kaum Oligarki Rente ini akan selalu memakai cara-cara demikian dalam melawan kaum reformis sejati. Reformasi total adalah bahaya paling nyata di mata mereka saat ini. Karenanya pertentangan saat ini akan menentukan jalannya sejarah Indonesia ke depan. Pertentangan paling mematikan dan paling berbahaya yang bisa terjadi terus menerus, semenjak Pilkada DKI Jakarta sekarang hingga nanti Pilpres 2019 kelak”

Dengan menyatakan betapa berbahayanya (yang mereka istilahkan dengan) “oligarki rente” sebenarnya Bonnie Setiawan dan atau Indoprogres, secara eksplisit telah menyerahkan sepenuhnya tugas tersebut kepada borjuasi nasional. Untuk itu, menurut mereka (bonnie dan atau Indoprogres) Jokowi-Ahoklah yang paling memungkinkan menyelesaikan pekerjaan tersebut.“Karena itu Jokowi-Ahok memang tidak bisa dipisahkan, karena mereka adalah simbol dari perjuangan kaum borjuis reformis dalam melawan “sekarang dan selamanya” (once and for all) kekuatan borjuis rente yang terus menerus menggerogoti perekonomian dan perpolitikan Indonesia”. Bisa dikatakan, inilah alasan Indoprogres memberi dukungan kepada Jokowi di pilpres 2014 sebelumnya.

Indoprogres  memang gemar memakai “Lesser-Evilism” alias kolaborasi kelas. Pada saat pilpres 2014, mereka malah menyerukan untuk memilih Jokowi-JK.Kali ini dalam pilkada DKI Jakarta mereka kembali menyerukan memilih Basuki. Bukannya membangun independensi kelasi malah mendorong mengekor dan menundukkan diri ke salah satu kubu borjuasi. Dalihnya selalu sama “borjuis reformis harus melawan ‘sekarang dan selamanya’ borjuis rente”. Seharusnya bukan lah sekedar melihat mana calon yang paling menguntungkan rakyat dan gerakan, tetapi terutama melihat peluang penyebaran dan pemajuan gagasan politik kelas bagi tumbuh dan menguatnya kesadaran kelas di kalangan gerakan dan rakyat yang sedang bangkit. Tanpa ini, kita tidak berangkat dari suatu (tanggung jawab meningkatkan) kesadaran kelas yang tumbuh secara pasti bagi perjuangan selanjutnya.

Namun propaganda Bonnie Setiawan di Indoprogres memang kontradiktif dengan kenyataan. Bonnie Setiawan tidak tahu atau memang tahu tapi tidak mau memberitahukan bahwasanya sebenarnya pihak yang ia sebut-sebut sebagai borjuasi reformis seperti Jokowi dan Ahok sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan pihak yang ia pertentangkan hadap-hadapan yaitu borjuis rente atau kapitalis birokrat. Jokowi bersekutu dengan Jusuf Kalla, antek Orde Baru sekaligus kapitalis yang menguasai banyak perkebunan kelapa sawit dan perusahaan yang menerapkan sistem kerja kontrak dan outsourcing, bahkan juga menjadi salah satu patron utama pendukung ormas lumpen-premanisme-fasistis: Pemuda Pancasila. Jokowi juga menggandeng banyak bekas Orba lainnya sepert Surya Paloh—pelaku pemberangusan serikat wartawan di Metro TV,  dan kaum militeris pelanggar HAM seperti Hendro Priyono—otak terduga pembunuhan Munir, Ryamizard Ryacudu—otak pelanggaran HAM di Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh, dan Sutiyoso—pelaku pembunuhan wartawan di insiden Balibo, Wiranto—pelanggar HAM dalam penembakan Trisakti dan Semanggi serta penculikan para aktivis. Sementara itu Basuki Tjahaya Purnama juga pelaku pemberangusan demokrasi dengan menerapkan pelarangan demonstrasi di depan Istana Negara dan mengotaki penggusuran paksa terhadap kaum miskin kota.

Lagipula penggunaan pelabelan oligarki yang sering digunakan para kolaborator kelas semenjak Pilpres 2014 silam ini bersifat kontradiktif. Mereka menyematkan cap oligarki ini pada kubu borjuasi yang menjadi musuh kubu borjuasi yang mereka bela. Seolah-olah Jokowi dan juga Basuki bukan bagian dari oligarki. Padahal pengertian oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau pihak tertentu. Dengan demikian, selama kapitalisme berkuasa maka selama itulah kekuasaannya berdasarkan oligarki. Karena dalam kapitalisme, pemerintahan dijalankan oleh para kapitalis dan atau wakil kapitalis untuk melayani kepentingan kelas penindas. Dus, Jokowi dan Basuki justru merupakan bagian integral dari oligarki itu sendiri atau lebih tepatnya kita sebut bagian dari kelas kapitalis.

Maka jelas kaum sosialis terlarang untuk menyerukan massa rakyat mendukung pasangan calon manapun di Pilgub DKI Jakarta, termasuk Basuki Tjahaya Purnama. Sebab dukungan tersebut, termasuk yang berdalih lesser-evilism, hanya akan menguntungkan salah satu kubu borjuasi dan merugikan massa rakyat pekerja. Kenyataannya sebagian juru propaganda dan penganjur lesser-evilism ini, termasuk Bonnie Setiawan, memang bekerja dan dibayar oleh faksi borjuasi yang jadi klien sekaligus tuannya. Namun janji-janji dan ilusi-ilusi semu yang mereka tabur soal demokrasi dan HAM yang akan lebih terjamin di bawah lesser-evil tersebut tidak akan terpenuhi. Karena rezim manapun saat kapitalisme mengalami krisis akan semakin merampas hak-hak rakyat pekerja, termasuk di bidang demokrasi dan HAM. Lesser-evilism inilah yang justru malah memberi jalan pada kebangkitan Greater Evil atau Penjahat yang Lebih Jahat (daripada lesser evil). Sebab massa rakyat yang memilih lesser evil dan menyadari janji-janji HAM dan demokrasi serta reforma tidak terbukti bukan hanya bisa terdemoralisasi namun juga malah bisa bergeser ke kutub kanan reaksioner. Mereka yang sadar dibohongi janji-janji palsu ini bisa berpikir, “Oh, para kiri pendukung Jokowi (atau Ahok) ini memang membohongi kita karena mereka dibayar,” atau “Oh, katanya rezim Jokowi (atau Basuki) ini lebih demokratis dan manusiawi dibanding kubu lain, ternyata malah mereka yang menindas.” Sehingga sebagian di antara massa rakyat malah berpikir dan menyimpulkan “(Harusnya) saya tidak mendengarkan mereka,” “(Harusnya) saya memilih kubu lainnya”, demikianlah maka justru lesser-evilism yang mengantarkan pada greater evil (penjahat yang lebih jahat) atau bahkan (pandangan dan penganut) necessary-evilism (penjahat yang dibutuhkan).

Kaum Sosialis seharusnya memanfaatkan Pilgub DKI ini untuk memblejeti semua kontradiksi dan watak borjuasi sekaligus sepak terjang penindasan dari Paslon dan para pendukungnya. Kemudian menggunakannya sebagai pijakan untuk menekankan pentingnya sekaligus mendorong membangun kemandirian kelas dan kubu alternatif di luar semua kubu borjuasi berupa persatuan perjuangan rakyat secara independen. Bukannya malah menyebarkan ilusi lesser-evilism yang merusak perjuangan kelas.

ditulis oleh Leon Kastayudha dan Dipta Abimana, kader KPO PRP

bersambung ke bagian II

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: