Perspektif

Kisah Dua Pilkada (Bagian II)

Pilkada Bekasi: Urgensi Melawan Arus Parlementarisme, Membangun Kepeloporan Revolusioner

Momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun ini juga menjadi medan intervensi politik buruh. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengusung pasangan Obon Tabroni dan Bambang untuk maju dalam Pemilihan Bupati (Pilbup) dan Wakil Bupati Kabupaten Bekasi. Berbeda dengan Go Politic KSPI sebelumnya yang menitipkan para buruh sebagai Caleg ke partai-partai borjuasi, kali ini kontestasi Obon-Bambang menggunakan jalur independen.

Sepintas kontestasi Obon Bambang tampak mewakili kelas buruh dalam Pilkada serentak pada umumnya dan Pilbup Bekasi pada khususnya. Bagaimanapun juga meskipun Obon berasal dari latar belakang kelas buruh namun keliru bila memandang bahwa keterlibatannya bertanding dalam Pilbup Bekasi sebagai salah satu bentuk perjuangan kelas buruh. Demi kepentingan politik mencalonkan diri di Pilkada Obon pernah berpidato di Rumah Buruh meminta agar situasi kondusif menjelang Pilkada. Apa yang dimaksud permintaan situasi kondusif disini adalah agar organisasi buruh meredam konflik-konflik berbasis perjuangan kelas. Dengan kata lain demonstrasi, aksi massa, dan pemogokan di Bekasi harus diredam, diturunkan, atau bahkan ditiadakan untuk melancarkan kontestasi politik Obon. Ini bukan sekadar kompromi namun sudah menjadi suatu kapitulasi, atau menyerahkan perjuangan buruh demi melancarkan kontestasi politik elit birokrat serikat. Akibatnya pemogokan buruh di Kabupaten Bekasi mengalami pelemahan. Hari H Monas 2015 Obon tidak memimpin demonstrasi dan atau aksi pemogokan di Bekasi melainkan malah pergi ke Bogor dan Bekasi Kota.

Selain itu Obon bersama elit birokrat serikat KSPI di Kabupaten Bekasi juga berkolaborasi dengan kaum lumpen atau kelompok premanisme. Demi melancarkan kontestasi politiknya, Obon menjalin lobi-lobi ke Anwar Musyadad—tokoh Masyarakat Peduli Investor (MPI)—dengan didampingi Darwoto dari Asosiasi Penguasaha Indonesia (Apindo). Patut diketahui MPI adalah ormas lumpen-premanisme yang sering digunakan pemodal untuk menyerang kelas buruh. Mereka pernah menghadang demonstrasi buruh di kawasan MM2100, melucuti baju dan atribut buruh, bahkan mendirikan pos-pos pengawasan di banyak titik kawasan industri. Sebelum kontestasi politik Obon, sebenarnya sudah ada kritik bahkan penentangan diarahkan ke MPI. Presidium Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), Indra Munaswar, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR bersama KAJS dan Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) tanggal 29 Februari 2013 silam menyatakan, “LSM ini baru dibentuk dan langsung dibenturkan dengan buruh. Contohnya di setiap kita demo, mereka yang menghadang. Walaupun buruh sudah berdemo sesuai dengan undang-undang, mereka menghadang,” kata Indra. Maka dengan demikian bisa dilihat bahwa kolaborasi dengan MPI bukan hanya bertentangan dengan perjuangan kelas buruh namun juga secara langsung mengkhianati aksi-aksi massa buruh.Obon APINDO MPI

Selain itu Obon bersama elit birokrat KSPI lainnya juga sudah menjalin kesepakatan harmonisasi dengan para pengusaha. Salah satu akibatnya mereka melarang buruh agar tidak memakai taktik-taktik radikal seperti grebeg pabrik, sweeping, tutup tol, tutup kawasan industri, dan sebagainya. Ini sebenarnya sudah dilakukan jauh-jauh hari bahkan berulangkali oleh KSPSI dan KSBSI. Kali ini elit birokrat KSPI juga mengikutinya.

Sarinah mengungkapkan, tindakan-tindakan demikian berawal sejak 2012 yang sekaligus merupakan salah satu ciri yang menandai kemunduran gerakan buruh. Ia menyebutkan, “Perjanjian Harmoni terjadi pada 8 November 2012 yang dihadiri oleh unsur-unsur pengusaha (Forum Investor Bekasi), pemerintah provinsi dan kabupaten, ormas dan serikat buruh. Serikat buruh diwakili oleh Konsulat Cabang FSPMI Kab. Bekasi, Obon Tabroni dan SPSI Bekasi, Abdullah. Menghasilkan 6 butir deklarasi, termasuk penghentian geruduk pabrik, penegakan Undang-Undang dan pembentukan posko-posko bersama untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan. Dari sisi perjuangan ekonomisme, isi perjanjian pada poin penegakkan Undang-Undang sebetulnya sesuai dengan tuntutan buruh selama ini yang berkisar pada masalah normatif. Namun, pengusaha bersama preman yang berkedok ormas melakukan pelanggaran. Terbukti, malam harinya setelah deklarasi ditandatangani, sekelompok preman menyerbu posko buruh yang berdiri di pabrik HGW Chemicals. Deklarasi ini juga kerap digunakan oleh ormas seperti Masyarakat Bekasi Bergerak (MBB) atau GMBI (Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia) untuk melarang geruduk pabrik. Seperti kasus PT Yohzu pada bulan Juli 2013 lalu di mana FSPMI dan serikat lainnya mencoba melakukan geruduk pabrik lagi.”, ungkapnya.

Lebih parahnya lagi, bahkan sebenarnya banyak kesepakatan-kesepakatan antara elit birokrat serikat dengan pengusaha yang akhirnya memecahbelah buruh, termasuk perpecahan dan rusaknya soliditas antara buruh kontrak dan buruh tetap. Sebagaimana keterangan Sarinah, “komposisi massanya terbelah berdasarkan status kerja. (Padahal) salah satu kunci membangkitkan kekuatan massa buruh adalah memperjuangkan nasib buruh kontrak, tapi mereka menguncinya. Entah dengan kesepakatan apa,” ujarnya. Lebih detail tentang ini ini Sarinah memaparkan, “Biasanya, buruh yang sudah diangkat menjadi buruh tetap tidak akan mau membela kawan-kawannya lagi, karena mereka merasa posisinya sudah aman. Mereka juga merasa tak ada celah dalam Undang-Undang untuk memperjuangkan kawan-kawannya yang berstatus kontrak. Cara ini sangat efektif dalam merusak kekompakan buruh. Apalagi, buruh-buruh ini sebagian besar baru masuk serikat dengan alasan ingin menjadi buruh tetap. Mereka belum mendapatkan pendidikan yang cukup. Kebanyakan serikat juga tidak mengajarkan pendidikan kelas kepada buruh agar buruh menyadari keberadaannya sebagai satu kelas.” Ditiadakannya tuntutan penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing dari KSPI pada umumnya maupun program Obon-Bambang, semakin memperjelas pengabaian perjuangan buruh kontrak ini.

Ini belum termasuk tindakan Obon Tabroni, Said Iqbal, dan para elit birokrat serikat lainnya dari KSPI yang telah menjalin kolaborasi kelas dengan kaum oposisi kanan borjuis. Pemilihan Presiden (Pilpres) kemarin mereka mendukung Prabowo-Hatta serta setelahnya juga menjalin persekutuan dengan Koalisi Merah Putih (KMP). Persekutuan elit birokrat serikat kuning dengan oposisi sayap kanan borjuis ini tidak hanya berhenti pada Pilpres namun terus berkelanjutan. Ini ditunjukkan dengan lobi Said Iqbal, Iswan Abdullah, Agustoniman, Sofyan Latif, Roni Febrianto, dan Wati Anwar dari KSPI dan GF/ILO dengan Fadly Zon, Ketua DPR RI bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) sekaligus politisi dari Partai Gerindra dan Koalisi Merah Putih (KMP) pada Selasa 1 Desember 2015. Lobi yang mengeluhkan PP Pengupahan, pemberangusan demokrasi, intimidasi, dan represi oleh aparat rezim penguasa dan mengadukannya kepada Fadly Zon merupakan suatu tindakan ironis dan naif. Sebab Fadly Zon sendiri mewakili Partai Gerindra yang menghendaki pengembalian kekuasaan ala Orde Baru di bawah pimpinan Prabowo Subianto yang notabene merupakan pelanggar HAM sekaligus penghisap kaum buruh. Bahkan kolaborasi kelas KSPI dengan kaum borjuis dari Partai Gerindra sudah berkali-kali mengarah pada kooptasi gerakan. Dalam rapat akbar di Tugu Proklamasi, Jumat 20 November 2015 di Jakarta Pusat, misalnya, yang dihadiri Komite Persiapan Konfederasi Pergerakan Buruh Indonesia (KP KPBI), Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), FSPMI, SBSI, SPJICT, KSPI, dan KSBI, ternyata juga mendatangkan Ferry Juliantono, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, yang berdalih mendukung pemogokan buruh padahal hanya memanfaatkan momentum tersebut untuk kepentingan oposisi kanan borjuis KMP dalam melawan rezim Jokowi-JK.Obon Fadli Zon SetNov

Parahnya lagi kolaborasi kelas KSPI dan KMP disertai dengan penyebaran sentimen rasisme. Ini dibuktikan dengan pernyataan Ferry dalam rapat akbar tersebut “Pemerintah dianggap lebih mementingkan pengusaha dan apalagi ingin menukar buruh Indonesia dengan buruh yang didatangkan dari Cina. Saya mendukung sepenuhnya pemogokan buruh ini sebagai hak konstitusional mereka yang sudah diatur oleh undang-undang yang ada,” tutur dia.” Ini diiringi dengan kampanye dan aksi-aksi KSPI yang getol menyerukan penolakan terhadap Tenaga Kerja Asing (TKA) yang diarahkan kepada buruh Tiongkok.

Sebagaimana ditulis dalam Koran Bumi Rakyat edisi 61, tuntutan menolak tenaga kerja asing karena tingginya pengangguran di Indonesia sebenarnya tidak tepat. Selain akan melukai kawan-kawan buruh migran Indonesia di luar negeri juga karena tuntutan demikian hanya akan menguntungkan kapitalis. Buruh jadi saling bersaing, saling bertengkar, saling menolak satu sama lain, saling mengusir satu sama lain, bahkan saling menyerang satu sama lain untuk berebut mendapatkan pekerjaan yang sebenarnya adalah perbudakan upahan oleh kapitalis. Jadi rasisme anti-Tionghoa hanya melayani kepentingan kapitalisme. Rasisme anti-Tionghoa berfungsi mengamankan dominasi para kapitalis dan korporat yang selama ini bersaing melawan Tiongkok. Perusahaan-perusahaan kompetitor Tiongkok seperti perusahaan-perusahaan otomotif dan elektronik Jepang dijaga dominasi kapital dan hegemoni pasarnya lewat elit birokrat serikat yang menyebar rasisme anti-Tionghoa. Sementara elit birokrat serikat yang selama ini berkolaborasi kelas dengan para kapitalis dan korporat saingan Tiongkok, diuntungkan dengan sokongan dari para kapitalis patronnya yang semakin membuat hegemoni elit birokrasinya semakin kokoh terhadap serikat dan kaum buruh itu sendiri. Ini menjelaskan mengapa Said Iqbal melakukan pembelaan terhadap para kapitalis dan korporat dari Jepang dengan membandingkan bahwa kapitalis Jepang lebih baik daripada kapitalis Tiongkok.

Sehingga sentimen rasisme dan pandangan nasionalistis yang digembar-gemborkan dan disebarkan oleh para elit birokrat serikat pada hakikatnya merupakan pengkhianatan terhadap internasionalisme proletar dan perjuangan kelas buruh. Pengkhianatan ini bukanlah lahir sekadar akibat ketidakmampuan ataupun ketidakmauan elit birokrat dalam memahami persoalan buruh. Namun sebaliknya pandangan rasis dan nasionalistis justru merupakan produk langsung dari basis material dan posisi kelas elit birokrat serikat.

Birokrat serikat buruh muncul awalnya dari tuntutan keperluan atas adanya para pengurus serikat buruh yang bekerja penuh waktu. Sebab buruh yang bekerja di pabrik atau di tempat kerja kesulitan menyambi mengurusi serikat. Buruh yang tetap bekerja sambil menyambi jadi pengurus belum tentu sewaktu-waktu bisa ditemui kawan-kawan buruhnya yang diPHK dan ingin mengurus pengaduan atau konsultasi, juga belum tentu bisa membagi waktu untuk mengurus ke Disnaker, serta hal-hal lainnya. Sehingga beberapa buruh kemudian diangkat jadi pengurus serikat penuh waktu. Mereka meninggalkan pekerjaan mereka sebagai buruh dan menjabat posisi-posisi pengurus dalam serikat buruh dan hidup dengan digaji dari iuran-iuran buruh untuk menangani kasus-kasus perburuhan. Semakin besar suatu serikat umumnya semakin besar pula iuran maupun keuangannya. Para pengurus ini menjalankan peran mediator atau negosiator. Semakin besar suatu serikat semakin besar pula struktur dan jajaran pengurusnya. Dengan kata lain semakin besar proses birokratisasinya. Proses birokratisasi ini berjalan di bawah tekanan-tekanan dari kapitalisme, seiring berjalannya proses perundingan dengan majikan, para birokrat ini sering diajak berunding di tempat yang bagus bahkan mewah, diajak bersantap makan dengan jamuan mahal, bahkan tidak jarang diberi uang saku pula. Seiring berjalannya waktu mereka mengidap anggapan seakan-akan ternyata majikan itu bukanlah penindas, bos itu bukan orang jahat, karena semua perlakuan baik yang disaksikannya. Meskipun sebenarnya perlakuan baik majikan itu juga memiliki kepentingan terselubung, yaitu agar kapitalis bisa mengooptasi para pengurus serikat. Politik kooptasi ini berakibat buruk dengan tindakan kaum birokrat serikat buruh ini kemudian lebih mencari jalan tengah dalam perundingan-perundingan daripada sepenuhnya memperjuangkan tuntutan para buruh yang diwakilinya agar dipenuhi sepenuhnya. Birokrat-birokrat ini kemudian juga semakin kolot dan reaksioner, mereka jadi tidak suka kalau buruh-buruh serikatnya berdemonstrasi atau mogok kerja lepas dari kendali mereka. Mereka lebih menghendaki urusan rundingan diserahkan pada mereka sementara para buruh mereka dorong kembali bekerja.

Bahkan dalam konteks ini, patut diingat dan menjadi peringatan pula bahwa Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang tergabung dalam KSPI, serikat asal Obon dan para pendukung utamanya, bukan hanya menempuh kolaborasi kelas namun juga pernah melakukan pemberangusan serikat. FSPMI PT. Yamaha Motor Electronics Indonesia pernah melayangkan surat permohonan kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Bekasi untuk mencabut pencatatan serikat mandiri PT Yamaha.

Maka bisa disimpulkan bahwa kontestasi politik Obon-Bambang sebenarnya justru berjalan di atas rel kolaborasi kelas dan elit birokrasi serikat buruh. Dengan demikian, mendukung Obon-Bambang juga berakibat mendukung kolaborasi kelas dan elit birokrasi serikat.

Serikat, Partai, dan Tugas Sosialis

Penting untuk memahami hubungan antara serikat buruh, partai kelas buruh, dan kaum sosialis. Serikat buruh pada dasarnya adalah suatu instrumen kolektif bagi kelas buruh untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan hajat hidupnya di tengah gempuran penghisapan serta penindasan kapitalisme. Serikat buruh berfungsi menanamkan kesadaran buruh akan hak-haknya serta berjuang bersama untuk memenangkan pemenuhannya. Baik berupa upah layak, kondisi kerja layak, kemanan kerja, delapan jam kerja maksimal per hari, jaminan sosial, tunjangan, dan sebagainya. Bahkan juga bisa sebagai kendaraan untuk memperjuangkan hal-hal di luar pabrik, seperti memprotes kenaikan harga BBM, menentang pencabutan subsidi, bahkan juga menolak kebijakan dan peraturan yang merugikan buruh, serta lain sebagainya. Namun karena sekali lagi serikat buruh adalah instrumen yang bersifat defensif maka dari waktu ke waktu serikat dihadapkan dengan naik turunnya gempuran serangan dari kapitalisme. Maka dari sini sebagian lapisan dari kelas buruh yang mencapai kesadaran tertentu, memandang kelas buruh tidak cukup hanya memiliki serikat. Mereka menyadari kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi hajat hidup buruh dihasilkan dari keputusan maupun produk politik, baik berupa regulasi, undang-undang, surat keputusan, dan sebagainya. Sehingga mereka kemudian berpikir bahwa buruh juga harus memiliki partainya sendiri agar bisa merumuskan dan melahirkan kebijakan-kebijakan pro buruh. Inilah yang menjadi dasar latar belakang umum pendirian partai buruh seperti Partai Buruh di Australia, Britania, Norwegia, dan sebagainya.

Namun kaum sosialis, termasuk buruh yang mencapai kesadaran sosialis dan mempelajari teori sosialisme, menyadari bahwa meskipun kelas buruh bisa memenangkan kekuasaan politik di parlemen (maupun lewat pemilihan Presiden) namun kekuasaan politik tersebut masih berada dalam kerangka sistem kapitalisme. Saat kapitalisme sedang naik, ekonomi mengalami booming, kaum borjuasi bisa dengan mudah menyetujui reforma-reforma atau konsesi-konsesi yang menguntungkan buruh. Seperti kenaikan upah, tunjangan, subsidi, bahkan juga pendidikan gratis. Namun saat kapitalisme mengalami krisis, maka reforma-reforma atau konsesi-konsesi tadi bisa dirampas lagi oleh borjuasi. Borjuasi akan memaksakan pemotongan anggaran publik, pencabutan subsidi, dan berbagai bentuk penyerangan terhadap hajat hidup buruh, demi menyelamatkan sistemnya yang krisis. Sehingga dalam situasi seperti inilah partai-partai buruh yang berkuasa sering dipaksa tunduk untuk menerima peran manajer krisis kapitalisme dan menjadi eksekutor langsung pemotongan anggaran yang menyerang hajat hidup buruh. Bisa dilihat contohnya pada Partai Buruh di rezim Tony Blair silam, Partai Buruh di rezim Julia Gillard dan Kevin Rudd dulu, maupun Partai SYRIZA di rezim Tsipras saat ini.

Obon PrabowoBagi kalangan buruh yang memenangkan Pemilu namun tetap ingin mendesakkan reforma saat kapitalisme berada dalam krisis, mereka dihadapkan pada kenyataan bahwasanya kekuasaan ekonomi—sumber untuk memberikan reforma pro buruh dan rakyat tadi—masih tetap dipegang kelas borjuasi. Alat-alat produksi, seperti tambang, kilang minyak, perkebunan, pabrik, stasiun, terminal, rumah sakit, dan sebagainya, masih dikuasai para kapitalis. Bukan hanya mereka akan mendepatkan penentangan hebat dari kapitalis ini. Namun kapitalis juga bisa menggunakannya untuk menyerang rezim partai buruh, baik dengan cara mogok kapital, membiayai serangan-serangan politik terhadap pemerintahan partai buruh, maupun mengorganisir para pendukung borjuasi di instansi-instansi pemerintahan, termasuk aparat militer dan kepolisian, yang dalam tingkatan ekstrim tidak jarang didorong untuk melakukan kudeta. Seperti yang terjadi terhadap Allende di Chile maupun PSUV di Venezuela.

Arus parlementarisme—parlementarisme dengan pengertian suatu paham yang memandang bahwa partisipasi dalam pemilu dan parlemen sebagai hal segala-galanya dan memandang bahwa penghapusan sistem penindasan bisa diwujudkan lewat jalan elektoral atau kepemiluan dan parlemen, tanpa menghapus kapitalisme—demikian menjadi godaan besar yang melanda perjuangan kelas di Indonesia saat ini dan menjangkiti banyak pihak.

Terkait ini kaum Sosialis memandang peran serikat dan partai sangat penting, harus ada, dan tak tergantikan. Namun partai buruh yang hendak didirikan kaum sosialis berbeda dengan partai buruh lainnya yang menganut parlementarisme. Partai buruh kaum sosialis dibangun sebagai Kepeloporan Revolusioner: lapisan kelas buruh yang paling sadar kelas dan paling maju secara politis mengorganisir diri ke dalam partai politik demi menarik lapisan-lapisan lebih luas dari kelas buruh dan memenangkan mereka ke politik Marxisme revolusioner dan menjadi perwujudan kekuatan politik melawan musuh-musuh kelasnya. Kepeloporan Revolusioner ini bukan hanya berfungsi membangun kesadaran kelas, menanamkan ideologi sosialisme, namun juga menggembleng kelas buruh dalam praktik perjuangan kelas, serta memimpin kelas buruh dalam momen menentukan, terutama dalam revolusi sosial—untuk menggulingkan kelas penindas, mendirikan negara buruh, dan membangun sosialisme.

Memang dalam momen-momen serta konteks tertentu pembangunan partai revolusioner bisa menggunakan taktik entryisme, yaitu memasuki gerakan buruh yang sedang mengalami radikalisasi dan gelombang pasang kesadaran kelas untuk dimenangkan ke ideologi serta politik Sosialisme. Namun sekali lagi ini tidak bisa dilakukan secara permanen, dengan buntutisme, apalagi diterapkan pada organisasi buruh yang bukan saja mengalami penurunan gerakan namun juga semakin bergeser ke politik-politik reaksioner seperti KSPI yang bersekutu dengan Prabowo dan oposisi kanan borjuis, menebar sentimen rasis anti buruh Tiongkok, serta menggiring pada rasisme GNPF-MUI.

Kawan-kawan dari Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN) dengan demikian telah melakukan kesalahan dengan mendukung Obon-Bambang. Dewan Pengurus Nasional Sentral Gerakan Buruh Nasional (DPN SGBN) melalui Sikap Politik SGBN Bekasi terhadap Pilkada Kabupaten Bekasi sama sekali tidak memblejeti sepak terjang Obon dan KSPI yang bukan hanya melakukan kolaborasi kelas namun juga pengkhianatan kelas. Bahkan juga secara tidak sadar juga turut menabur ilusi seolah-olah Obon dan para elit serikat lainnya tidak mungkin mewakili kepentingan pemodal padahal ini sudah mereka lakukan berkali-kali sebagaimana kami jelaskan dalam paragraf-paragraf sebelumnya. Mengatakan bahwa “kelas buruh dan rakyat tidak akan mengikat tangannya di atas dukungan. Kita tidak perlu segan-segan untuk menuntut dan menagihnya, serta meluruskan dengan tegas apa yang mungkin berbelok di kemudian hari” namun ironisnya tidak tahu atau tidak memberitahukan bahwa Obon tidak terikat kontrak politik dengan SGBN maupun kaum buruh pada umumnya, bahkan ketiadaan partai juga makin membuatnya tidak terkungkung mekanisme kontrol dan pendisiplinan massa buruh.

Penutup

Dengan semakin buntunya kapitalisme hari ini, semakin menemukan jalan buntu pula demokrasi borjuasi. Kebangkrutan para elit politik dan sistem politik yang mereka wakili semakin hari semakin terpampang jelas di depan mata rakyat, tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia. Skandal demi skandal mengguncang dunia politik.Demokrasi yang ada hanya jadi alat untuk mengesahkan perang, intervensi militer dan pemboman. Kini, rakyat semakin jenuh menggantungkan nasib pada politisi yang tidak dapat di percaya. Kita semakin muak dengan seksisme, rasisme, dan ketidak adilan, dengan begitu semakin terang sudah jalan bagi  tugas historis dari kaum buruh untuk menumbangkan demokrasi borjuasi dan mencanangkan demokrasi buruh. Ini melibatkan pembubaran semua institusi demokrasi borjuasi (negara borjuasi) yang ada di semua tingkatan dan menggantikannya dengan Negara buruh.

Disitu pulalah tugas kita, menyebarkan dan meyakinan buruh serta rakyat atas ide-ide  Sosialisme dan Revolusi. Menjelaskan secara utuh, luas, menarik pelajaran, dan menyimpulkan berbagai pengalaman historis maupun kontemporer mengenai Sosialisme. Bukannya malah menyesatkan rakyat pekerja  dengan ilusi lesser evilsm atau kolaborasi kelas. Anasir seperti ini harus di letakkan ke dalam tong sampah sejarah agar tidak mengakibatkan kerusakan di lapangan perjuangan kelas.

Maka ke depannya kerja-kerja propaganda yang mengungkap kepentingan-kepentingan borjuasi dalam berbagai penindasan haruslah kita perhebat. Hal tersebut beriringan dengan analisis kelas terhadap pergolakan sosial yang juga harus di pertajam.Termasuk memperluas propaganda-propaganda sosialistis. Dengan begitu, wacana sosialisme akan mampu memenangkan pikiran dan perasaan massa rakyat pekerja sebagai solusi jalan keluar permasalahan yang ada.

Pembangunan partai revolusioner mau tidak mau harus dijalankan di atas kerja keras yang sabar dan telaten. Jalan pintas dengan memeluk godaan parlementarisme atau oportunisme berupa ekonomisme hanya akan berujung pada kebuntuan atau malah lebih parah, berujung pada jurang maut perjuangan kelas buruh. Kaum Sosialis, tidak seperti kaum Parlementaris yang hanya memikirkan nasib pada lima tahunan momen Pemilu, berpikir tidak hanya lima tahun atau sepuluh tahun ke depan namun juga lima puluh atau bahkan seratus tahun ke depan, pada kemenangan revolusi, pada perwujudan sosialisme, dan pada penghapusan masyarakat kelas. Apakah praksis kita mendekatkan diri ke cita-cita dan masa depan itu ataukah malah menjauhinya.

ditulis oleh Leon Kastayudha dan Dipta Abimana, kader KPO PRP

Selesai

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: