DiskusiPerempuan dan LGBT

Marsinah dan Tugas-tugas Gerakan Perempuan

MarsinahAda apa dengan Marsinah?

Tepat 23 tahun yang lalu salah satu pejuang perempuan menjadi korban kekejaman negara dan apparatur keamanannya. Marsinah, Salah seorang Buruh dari PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong-Sidoarjo. Ia ditemukan tewas terbunuh dengan kondisi tubuhnya penuh dengan luka memar,pergelangan tangan lecet diduga akibat diseret dalam keadaan tangan terikat,tulang panggulnya hancur,dari sela-sela pahanya tersebar bercak-bercak darah diduga penganiayaan dengan benda tumpul. Perlu di ketahui bahwa, marsinah hanya seorang perempuan yang berasal dari pedesaan dan menggantungkan kebutuhan hidupnya pada pabrik. Marsinah merupakan salah satu seorang pejuang perempuan pada saat itu yang ikut serta  menuntut kenaikan upah 20 % dari gaji pokok di pabrik arloji tempat ia bekerja sesuai dengan surat edaran Gubernur KDH Tingkat 1, Jawa Timur , No.50/Th.1992 kenaikan upah dari Rp.1.700 per hari menjadi Rp.2.250.

Kematian marsinah merupakan salah satu kasus yang memperlihatkan dengan jelas, bagaimana negara bersama dengan aparatur keamanannya tak lebih hanyalah alat bagi si pemilik modal untuk menjaga dan memastikan akumulasi modal terus berjalan. Terlebih lagi, sampai sekarang kasus kematian marsinah, belum terungkap dengan jelas, siapa dalang di balik kematiannya. Periode kepemimpinan soharto adalah periode represif. Kebijakan di buat dan di tetapkan secara otoriter. Setiap upaya rakyat dalam menuntut haknya akan di anggap sebagai tindakan pengkhianatan terhadap negara dan berhak untuk di tangkap bahkan di bunuh.

Pada masa orde baru, gerakan rakyat mengalami intimidasi yang cukup kuat. Organisasi-organisasi di tiap sektor khususnya sektor buruh yang ada dibatasi pada satu payung yaitu SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Militer terlibat langsung dan menjadi bagian dari pola penyelesaian hubungan industrial. Lebih lanjut, militer diberikan wewenang untuk melakukan tindakan yang repsresif guna menghentikan gerakam perlawanan buruh.

Meskipun ruang-ruang demokrasi setelah era reformasi mulai terbuka lebar namun sisa-sisa peninggalan orde baru disimpan sebagai warisan dan budaya yang harus tetap diteruskan demi berjalannya proses akumulasi modal di negeri ini. Di satu sisi gerakan rakyat tidak pernah berhenti dan memperjuangkan hak nya meski harus berhadapan dengan kekuatan para pengawal modal.

Marsinah dan Akar dari Kekerasan Seksual yang Terjadi

Kekerasan yang berujung pada pembunuhan, yang dialami oleh Marsinah adalah cirik pokok dari sistem Kapitalisme itu sendiri, dimana kekerasan seksual bukan hanya dialami perempuan namun juga laki-laki dalam hal ini adalah salah satu senjata yang digunakan Rezim untuk memukul mundur gerakan rakyat. Oleh sebab itu kekerasan seksual merupakan alat perang paling ampuh yang dilakukan oleh imperialism untuk menguasai daerah jajahannya. Kekerasan Seksual dan pembunuhan yang dialami Marsinah merupakan cara Negara untuk menanamkan rasa takut terhadap gerakan perempuan terutama Buruh perempuan termasuk juga sebagaian besar rakyat hari ini. Kekerasan digunakan untuk merendahkan dan mempermalukan kaum tertindas dan demikian Negara memaksakan otoritasannya.

Kekerasan seksual senantiasa dipelihara oleh sistem yang menghisap ini, demi menjaga keberlangsungan akumulasi modalnya, maka kita tidak perlu berharap lebih jika Negara akan menyelesaikan setumpuk kasus kekerasan seksual yang terjadi khususnya di Indonesia, mengapa demikian?

Negara saat ini secara tidak kasatmata membenarkan kekerasan dan penindasan yang terjadi demi menciptakan perpecahan didalam gerakan rakyat, dan juga kekerasan digunakan sebagai sarana untuk menertibkan rakyat menurut aturan nilai dan norma yang mereka ciptakan.

Dan menurut beberapa data kasus kekerasan seksual yang dialami saat ini, kebanyakan pelaku adalah orang terdekat, yaitu orangtua,saudara,kerabat bahkan teman dekat. Hal ini juga tidak seratus persen kesalahan pelaku, jika kita meneliti lebih jauh lagi kebanyak kekerasan seksual yang dialami oleh ibu atau anak didalam suatu keluarga, tidak jauh dari motif ekonomi, yang merupakan hasil logis dari sistem yang mengandalkan model produksi mengeruk sumber daya alam, dan menghisap sumber daya manusia tanpa batas.  Seorang buruh diupah rendah, dengan kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin hari semakin mahal, dimana nilai lebihnya dicuri lewat jam kerja yang tidak manusiawi, tekanan ekonomi yang tinggi yang berujung pada pelampiasan amarah kepada istri dan anak dirumah, yang dianggap beban olehnya. Yang walaupun sebenarnya disebabkan oleh sistem keluarga yang tidak setara.

Selain kekerasan seksual, banyak motif dari kekerasan yang dilakukan oleh Negara, sebagai contoh bentuk lain dari kekerasan yang dilakukan ialah Represifitas terhadap aksi yang dilancarkan para buruh diberbagai tempat, termasuk juga digerakan rakyat lainnya.

Keluarga dan Asal-Usul Penindasan Perempuan

Penindasan yang sebenarnya terjadi pada perempuan di akibatkan oleh karakter sosial dan ekonomi. Karena, perubahan status perempuan telah berkembang sesuai dengan produktivitas tenaga kerja dan pembagian kerja manusia dalam pertanian, peran domestik, peternakan dan pengumpulan bahan, kemuculan divisi pekerja baru. Dimana kaum perempuan karena tugas biologisnya dalam produksi sosial untuk menghasilkan generasi berikutnya, penghasil tenaga kerja baru untuk di eksploitasi sama halnya seperti ternak. Seiring dengan kemunculan instititusi sosial ekonomi atas kepemilikan pribadi, diperkuat dengan pembelian perempuan beserta seluruh hidupnya oleh laki-laki (patriarkat). Hilangnya tradisi komunal primitif menjadi peluang bagi munculnya penghisapan kelas dan hubungannya dengan akumulasi kekayaan pribadi.

Sistem keluarga menginstitusikan dan menjadi lembaga penindasan perempuan, peran independen perempuan dalam kondisi sosial dihilangkan dan ketergantungan akan ekonomi yang menepatkan perempuan bekerja hanya untuk wilayah domestik saja, memasak, merawat anak dan lain sebagainya.sistem keluarga dilegalkan melalui sistem kelas, sepanjang berkembangnya kelas masyarakat. Bentuk keluarga sebagai mesin produksi disusun dan di adaptasi sesuai kelas penguasa dan bentuk kepemilikan pribadi mengalami perkembangan dengan tahap yang berbeda. Sistem keluarga di jaman perbudakan berbeda dengan jaman feodalisme. Dalam sistem perbudakan, institusi keluarga hanya terdapat pada kelas pemilik budak (budak tidak berkeluarga). Di jaman feodalisme, sistem keluarga diperluas hingga kelas pekerja dan budak, yang memiliki sedikit alat produksi (sebidang kecil lahan, binatang dan alat pertukangan), dan menjadi unit dasar yang mengerjakan produksi sosial.

Kapitalisme telah memodifikasi  penindasan terhadap perempuan agar sesuai dengan kebutuhan dan keuntungan ekonomi. Kemunculan industrialisasi kapitalis sebelumnya sudah memiliki banyak kontradiksi dalam mempertahankan penindasan perempuan, dengan munculnya pertembuhan kelas pekerja, diantara para pekerja merupakan unit keluarga yang tumbuh menjadi unit produksi dalam skala kecil. Tingginya jumlah perempuan yang tidak bekerja dan diperkuat suprastruktur yang menyebutkan bahwa tempat perempuan adalah dirumah, jika bekerja hanya dikatakan sebagai penambah penghasilan keluarga, ketika tidak bekerja maka perempuan akan terkurung dalam kerja-kerja rumah tangga. Dibawah sistem kapitalisme, sistem keluarga juga menciptakan mekanisme yang mengeksploitasi kaum perempuan sebagai pekerja upahan.

Terserapnya sejumlah besar kaum perempuan dalam industri telah membangun kontradiksi antara bertambahnya kemandirian ekonomi dan penundukkan domestik ke dalam unit keluarga. Sejak kaum perempuan menyadari bahwa penindasan terhadap mereka berasal dari masyarakat kelas, maka untuk meraih kebebasan struktur masyarakat harus dirubah.

Perjuangan Marsinah dan Kondisi Buruh Perempuan

Kasus Marsinah tentu saja menjadi pelajaran berharga bagi perjuangan kaum buruh khususnya perempuan. Seperti halnya marsinah, kaum buruh sampai saat ini masih belum mandapatkan upah yang layak, jaminan kesehatan, jaminan sosial dan kebutuhan lainnya. Begitu juga dengan buruh perempuan, di gaji dengan upah yang rendah karena dianggap makhluk yang lemah, mudah diintimidasi dan tidak berani melawan.

Perjuangan marsinah sebagai seorang buruh perempuan yang dengan tegas dan penuh keberanian menentang penghisapan oleh pemodal terhadap kaum buruh, akan terus hidup dalam setiap perjuangan kaum buruh. Perlawanannya, tetap akan hidup dalam setiap teriakan “hidup buruh yang melawan” dan dalam setiap langkah kaum buruh yang masih berjuang sampai hari ini.

Perlu di ketahui bahwa, Sebagian besar buruh di Indonesia khususnya buruh pabrik di dominasi oleh buruh perempuan. Dari keseluruhan pemenuhan tenaga kerja tahun 2014 terdapat sebanyak 625.187 jiwa buruh di indonesia. sebanyak 288.614 diantaranya adalah buruh perempuan (Data BPS rilis 09 sep 2015). Di Jakarta misalnya, terdapat sekitar 80.000 orang buruh. Sebanyak 90 persen dari angka tersebut merupakan buruh perempuan (Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan).  Ribuan pabrik-pabrik seperti pabrik garmen, pabrik tekstil, pabrik sepatu, dan pabrik rokok lebih senang mempekerjakan buruh perempuan karena dianggap lebih teliti dan dapat dibayar murah. Hal ini merupakan fenomena dari sistem kapitalisme global.  Dengan kebijakan ekonomi neoliberalnya, pemerintahan koalisi liberal dan nasional berupaya  terus menerus untuk menurunkan upah buruh, serta pemotongan insentif sosial terutama bagi kaum perempuan. di berbagai negara termasuk Indonesia, hak-hak dasar bagi  buruh perempuan seperti cuti haid, jaminan kesehatan, keamanan, dan jaminan sosial lainnya tidak pernah di perdulikan.

Selain itu, terdapat juga persoalan pada buruh migran. Data kasus 2012-2013, dari 89 kasus, kekerasan terhadap PRT migran menduduki peringkat ke-3 dengan rincian 10 kasus. perempuan petani banyak yang terancam akan kehilangan lahan produktifnya karena keberadaan pertambangan yang merusak lingkungan. Pelecehan seksual di tempat kerja pun masih dirasakan bagi kebanyakan buruh perempuan di tempat kerja. Di beberapa pabrik, buruh perempuan mendapat kekerasan seksual baik dari sesama teknisi atau mekanik, security, preman pabrik, atasan kerja, dan juga pemilik pabrik. Kesehatan dan Hak reproduksi buruh perempuan tidak di perhatikan. Pelanggaran-pelanggaran seperti dipersulitnya hak cuti melahirkan, menyusui, dan penangguhan upah sering tidak terpublikasi dan kurang mendapatkan pembelaan yang serius. Dari catatan tahunan yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan tahun 2012, terdapat 216.156 kasus kekerasan terhadap perempuan. Di antaranya diterima oleh buruh perempuan sebanyak 2.521. Angka itu berdasarkan kepada buruh perempuan yang melaporkan kejadian yang dialaminya.

Posisi buruh perempuan semakin lemah akibat adanya penerapan sistem kerja kontrak dan outsourcing di perusahaan-perusahaan. Perusahaan mempekerjakan buruh perempuan sebagai buruh kontrak yang tidak memiliki hak-hak normatif yang sama layaknya buruh tetap perusahaan. Akibat statusnya sebagai buruk kontrak, mereka rentan mengalami berbagai persoalan pelanggaran hak, seperti: PHK secara sepihak tanpa alasan yang jelas, upah rendah, lembur paksa yang tidak dibayar, larangan kebebasan berserikat, kondisi dan fasilitas kerja yang buruk, larangan cuti haid, melahirkan, dan keguguran, dan lain-lain.

Kondisi tersebut, semakin memperpanjang deretan penderitaan kaum buruh khususnya buruh perempuan. penindasan dan penghisapan terhadap kaum perempuan dan kaum buruh hanya bisa di akhiri dengan menggulingkan sistem yang tidak masuk akal yaitu kapitalisme. Sistem tersebut membuat kaum buruh dan perempuan terasingkan dari ekspresi kehidupan sehari harinya. hanya dengan menggulingkan kekuasaan kelas pemodal-lah dan menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada kelas buruh yang berkesadaran sosialislah rakyat tertindas dapat terbebaskan dari jeratan sistem yang tidak masuk akal tersebut.

Negara dalam hal ini tak lebih hanya sekedar lembaga dimana hukum dan militer di gunakan untuk melegitimasi serta menjaga keberlangsungan akumulasi modal dapat terus berjalan. Sementara hak-hak dasar seperti pendidikan di bebankan terhadap keluarga sebagai lembaga penindasan perempuan. Keluarga di kalangan pekerja, sejak kecil sudah diindoktrinasi sebagai hal yang alami dan abadi dalam hubungan antar manusia (upah buruh, kepemilikan pribadi dan negara). Sejak kecil dalam lingkungan keluarga ide-ide borjuis telah di tanamkan. Ini-pun turut serta memperpanjang sederetan panjang penindasan kelas buruh dan perempuan.

Tugas-tugas Gerakan Perempuan                                

Tindakan Pemerintah yang melakukan pemotongan di sektor pendidikan, kesehatan, tunjangan sosial untuk, dan penerima santunan akan melumpuhkan akses perempuan pada pekerjaan tertentu dan pelayanan publik, dan membuat perempuan semakin terpuruk dalam kemiskinan. Selain terbeban dengan peran domestik di keluarga. Tekanan ini juga disertai kampanye ideologis yang menyatakan bahwa tempat terbaik untuk mendapatkan santunan bagi perempuan yang hidupnya tergantung pada santunan, adalah keluarga dan bukan Pemerintah. Perempuan harus lebih bertanggungjawab pada perawatan anak, orangtua dan orang sakit dalam keluarga. Kampanye ideologis yang bertentangan dengan perjuangan pembebasan perempuan ini adalah bagian integral dari tekanan yang dilancarkan oleh kelas penguasa terhadap seluruh ide-ide progresif. Memutarbalikkan kesadaran massa yang masih tersisa dari gelombang kedua feminisme-bahwa perempuan memiliki hak terhadap kesetaraan pendidikan, di tempat kerja, pilihan pribadi dan kesempatan dan meyakinkan perempuan bahwa peran pentingnya adalah dalam keluarga. Hal ini terutama menguntungkan kapitalisme dalam menciptakan angkatan kerja yang ‘fleksibel’ (kerja paruh waktu, tidak resmi, buruh yang terhisap) dan pemotongan santunan tanpa terkena resiko adanya gejolak politik.

Perjuangan ini adalah untuk mempertegas tentang perempuan oleh perempuan. Untuk memenangkan perjuangan tersebut perempuan harus belajar dari sejarah, yang berhasil dimenangkan oleh gerakan selama bertahun-tahun. Perempuan harus membangun sebuah gerakan pembebasan perempuan progresif militant dan tidak kompromis untuk meraih kesetaraan dan keadilan untuk perempuan. Perjuangan untuk meraih kesetaraan bukanlah perjuangan antara perempuan melawan laki-laki yang dianggap sebagai penindas, melainkan sebuah perjuangan melawan penindasan masyarakat kelas. Dengan begitu gerakan perempuan harus merancang strategi untuk membangun aliansi dengan kelompok tertindas lainnya saling belajar tentang perbedaan penindasan di masing-masing sektor, juga memperkuat jaringan yang menyatukan kita untuk berjuang mengakhiri penindasan kelas dan untuk menciptakan sebuah masyarakat dimana setiap orang memiliki kesamaan dalam pilihan hidup dan kesempatan terlepas dari asal-usul ras, kelas dan jenis kelamin.

Satu-satunya gerakan yang dapat memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak perempuan, hingga membebaskan kaum perempuan sepenuhnya, adalah sebuah gerakan yang mementingkan kebutuhan dan aspirasi mayoritas kaum perempuan daripada segelintir kaum elit. Dengan memperjuangkan upah dan kondisi kerja yang layak bagi perempuan di tempat kerja, di masyarakat melawan kekerasan dan pemerkosaan untuk layanan yang lebih baik bagi perempuan, melawan praktek diskriminasi di semua bidang pendidikan, pekerjaan dan di masyarakat, menjadi bagian dalam perjuangan sosial, dan ideologis untuk memebebaskan perempuan dari defenisi tenteng peran yang dibatasi hanya sebagai istri dan ibu bagi keluarga. Dengan adanya stereotype atas perempuan tersebut, gerakan perempuan harus terlibat dalam sebagian besar kampanye untuk hak-hak perempuan dalam mengontrol reproduksi dan kesuburan, memperjuangkan agar gerakan buruh mengangkat isu dan tuntutan perempuan, dan menghapuskan pemisahan dan diskriminasi jenis kelamin dalam industri.

Selanjutnya tugas mendesak dari gerakan perempuan adalah mereorganisasi seluruh masyarakat dari unit represif terkecil-keluarga-hingga yang terbesar-negara. Lebih lanjut, gerkan perempuan di haruskan untuk ikut serta dalam perjuangan menuju revolusi sosialis sebagai pra kondisi bagi pembebasan mereka. Dan mulai membangun Partai Revolusioner yang mampu memimpin klas proletariat menuju revolusi sosialis.

Terakhir, tanpa kesadaran dan partisipasi luas kaum perempuan, kelas pekerja tidak mungkin dapat melakukan revolusi sosialis dan menciptakan masyarakat tanpa kelas, sebab jika masih ada penindasan terhadap perempuan kita belumlah sampai pada masyarakat tanpa kelas. perjuangan marsinah dalam merebut haknya untuk mendapatkan upah dan kehidupan yang layak, akan terus berlanjut. Semangat dan gelora perjuangan marsinah masih tetap menyatu dalam gerakan buruh selamanya.

Kaum perempuan haruslah memiliki garis politiknya sendiri, melibatkan dirinya terhadap perjuangan kelas, dan pengorganisirian rakyat serta membangun politik alternative bersama dengan organisasi rakyat lainnya yang diyakini jalan yang harus ditempuh menuju pembebasan manusia sejati.

 

Ayo berjuang Bersama!

Rangkuman diskusi Komite Perjuangan Perempuan Samarinda

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: