InternasionalPojok

Anak Laki-laki yang Memegang Erat Paramedis : Cerita Dibelakang Foto

Anak Lelaki Gaza
Foto ini tentang seorang anak laki-laki yang terluka akibat serangan Israel memegang erat pada seseorang paramedic di rumah sakit al-Shifa menyebar luas di internet.

Kamis malam, 17 Juli, belumlah serangan terbesar sejak bombardier Israel terhadap Gaza dimulai dua minggu lalu. Belasan orang tiba di rumah sakit Gaza, al-Shifa, dimana saya sedang piket saat itu. Beberapa tiba tercabik-cabik, beberapa terpenggal kepalanya, beberapa cacat hingga tak mampu dikenali, meskipun masih hidup dan bernafas.

Tembakan artileri membabi buta, sebuah elemen baru dalam serangan Israel, telah mengakibatkan banyak korban diantara rakyat sipil. Staf paramedis cukup beruntung bisa mendapatkan istirahat kurang dari setengah jam. Beberapa menghabiskannya dengan melihat kobaran api dan bom Israel yang menghujani tetangga bagian timur dari Kota Gaza, sementara yang lainnya coba mengembalikan tenaga dengan minum kopi atau berbaring sesaat.

Ketenangan relatif tidak bertahan lama. Sekitar pukul 3 pagi, sekitar delapan atau sembilan korban datang kedalam ruangan gawat darurat sekaligus. Yang terakhir datang adalah empat bersaudara–dua dari mereka adalah anak kecil berumur sekitar tiga tahun, dengan luka yang relatif tidak parah. Namun jelas bahwa mereka ditarik dari reruntuhan, wajah dan pakaian mereka ditutupi debu dan kotoran.

Kemudian datang yang paling tua dari empat bersaudara tersebut, seorang anak laki-laki diawal umur sepuluh tahunnya. Kepala dan wajahnya tertutup darah dan dia menekan kain di kepalanya untuk menahan aliran darah. Namun fokusnya ada pada hal yang lain: “Selamatkan adik laki-laki saya!” dia terus berteriak.

Yang terakhir datang adalah adik laki-lakinya, anak didalam foto diatas yang menyebar keseluruh dunia.

“Aku ingin Ayahku!”

Dia dibawa oleh paramedic dan segera dibawa ke unit perawatan intensif, yang berada disebelah unit gawat darurat. Dia memegang erat pada seorang paramedic, menangis, “Aku ingin Ayahku, mana ayahku!” hingga dia dipaksa untuk melepaskan pegangannya.

Seiring saya berdiri, bersiap-siap untuk perintah, empat orang personil paramedis dengan segera mulai merawat anak laki-laki itu. Namun dia terus menendang dan berteriak serta memanggil ayahnya.

Lukanya serius: luka disisi kiri kepalanya dapat mengindikasikan keretakan tengkorak dan sepotong besar pecahan peluru di lehernya. Pecahan peluru yang lainnya telah masuk kedalam dadanya dan yang ketiga telah masuk ke perutnya. Terdapat banyak luka yang lebih kecil diseluruh tubuhnya.

Langkah-langkah segera harus diambil untuk menyelamatkan nyawanya; dia diberikan obat bius sehingga perawatan dapat dilakukan.

Setelah meneliti luka-luka, terlihat bahwa ledakan dari peluru artileri menerbangkan potongan-potongan kecil batu dari tembok rumahnya, dan beberapa luka-lukanya disebabkan oleh proyektil berkecepatan tinggi tersebut.

Dia sangat beruntung: luka di lehernya hanya se-inci dari pembuluh darah utama, luka di dadanya tembus namun tidak melukai paru-parunya, dan perutnya tertembus pecahan peluru namun tidak mengenai ususnya.

Keberuntungan

Dia mendapatkan sedikit keberuntungan yang tidak didapatkan banyak orang malam itu. Paramedis melakukan langkah-langkah heroik dalam waktu yang sangat singkat, dan nyawa anak kecil itu terselamatkan. Sementara itu di ruang gawat darurat, anak laki-laki yang paling tua dijahit dan dua anak saudaranya yang paling muda dibersihkan dan diperiksa secara menyeluruh untuk kemungkinan luka-luka yang tersembunyi.

Entah bagaimana, meskipun horror dan rasa sakit, mereka tidur. Saya tidak tau bagaimana mereka bisa seperti itu, namun saya merasa iri dan bersyukur untuk rahmat yang mereka dapatkan. Saudara laki-laki mereka dengan luka yang paling serius bisa dipastikan akan bertahan, namun dengan banyak bekas luka dan periode penyembuhan yang sulit, baik fisik maupun psikologis.

Terlalu banyak korban datang malam itu, terlalu banyak untukku bisa mendapatkan nama anak laki-laki itu, untuk mengetahui apakah dia disatukan kembali dengan ayahnya, atau bahkan apa yang terjadi pada keluarganya.

Namun ada satu yang saya tau pasti, yaitu bahwa ratusan anak-anak seperti dia menderita luka-luka yang serupa atau lebih parah, dan hingga momen saya menulis ini, hampir delapan anak seperti dia telah terbunuh seiring serangan tanpa ampun Israel terus berlangsung.

Oleh : Belal Dabour, seorang doctor yang baru lulus dari Gaza, Palestina. Blognya di belalmd.wordpress.com.

Diterjemahkan oleh Ignatius Mahendra Kusumardhana dari situs The Electronic Intifada.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: