Perjuangan

ASoe-harto Bukan Pahlawan, Soeharto Adalah Kontra-Revolusi

Malapetaka 1965 bukan saja dimaksudkan untuk menghabisi sayap kiri terorganisir namun juga untuk mengakhiri proses revolusi nasional. Itu artinya menghentikan politik pergerakan: semua gagasan dan metode yang sudah menjadi bagian integral revolusi nasional Indonesia antara 1909 hingga 1965.

Soeharto dan Rezim Militer Orde Baru menghadapi revolusi sosial yang diambang kemenangan. Oleh karena itu mereka harus melakukan penyerangan kontra-revolusi dengan membabat habis gagasan-gagasan dan metode tersebut.

Pembantaian, penangkapan besar-besaran serta teror merupakan tahapan pertama untuk membabat habis revolusi sosial. Ini bukanlah bertujuan hanya untuk menghancurkan ataupun memberikan “terapi kejut” kepada kepemimpinan gerakan melainkan memenggal kepemimpinan gerakan, membabat habis aktivis di basis dan meneror jutaan simpatisan Kiri. Ini diikuti dengan kebijakan menindas sesegera mungkin organisasi dan terbitan Kiri.

Segera setelah ancaman mendesak diselesaikan, Rezim Militer Orde Baru menerapkan kebijakan untuk merestrukturisasi politik. Perancang kontra revolusi tersebut adalah Jenderal Ali Murtopo, penasehat khusus Soeharto dalam bidang intelijen, mengepalai unit Operasi Khusus (Opsus) dan Asisten Pribadi (Aspri) Soeharto kemudian menjadi Menteri Penerangan.

Dalam bukunya, Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun, terdapat gagasan-gagasan kontra-revolusi. Inti dari konsep tersebut adalah gagasan “massa mengambang” dengan menciptakan: (1) deideologisasi; (2) depolitisasi dan (3) deorganisasi. Konsepnya bahwa rakyat akan “menyibukkan dirinya dalam usaha-usaha pembangunan.” Gagasan yang mengingatkan gagasan dalam masyarakat perbudakan dimana budak adalah “alat yang hidup”.

Pada inti sistem tersebut terletak sistem komando teritorial angkatan bersenjata. Sejak awal pembentukan tentara republik, selalu terdapat bagian perwira yang berdalih bahwa tentara harus punya peran sentral dalam politik. Rezim Militer Orde Baru membekali struktur tersebut dengan otoritas khusus untuk campur tangan dalam urusan politik.

Badan-badan koordinasi khusus di tingkatan nasional, yang berbasis di markas besar tentara, didirikan untuk mengkoordinasikan sistem manajemen politik tersebut. Yang pertama dinamakan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), yang kemudian berubah menjadi Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas).

Pos komando militer ada di hampir setiap tingkatan masyarakat, dengan menempatkan personel tentara di seluruh desa. Struktur tersebut bertujuan menjamin bahwa larangan aktivitas politik di pedesaan dengan ketat dilaksanakan.

Setelah menghancurkan organisasi-organisasi yang menyebarkan gagasan-gagasan kiri, ancaman berikutnya adalah gagasan-gagasan mengenai revolusi nasional.

Untuk menghapuskan itu, dibutuhkan pendekatan yang sistematik. Penulisan ulang sejarah Indonesia yang akan disebarluaskan ke institusi pendidikan dan media massa. Tugas yang diemban oleh Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, dipimpin oleh sejarahwan yang dipakai oleh Angkatan Darat dan diberi gelar tituler Brigadir Jenderal: Nugroho Notosusanto.

Intelektual Angkatan 66, Arifin C Noer diinstruksikan membuat film layar lebar yang menggambarkan versi Rezim Militer Orde Baru mengenai politik di masa Sukarno dan apa yang mereka sebut sebagai “kup komunis yang gagal” pada 1965. Film tersebut diwajibkan ditonton oleh anak-anak sekolah seluruh Indonesia selama hampir dua dekade. Ada juga film yang khusus menggambarkan aktivitas heroik Soeharto ketika keluar dari KNIL dan bergabung dengan kekuatan Republik.

Narasi sejarah yang baru menghapus sebutan pergerakan serta peran massa rakyat dalam perjuangan pembangunan bangsa. Menggantikannya dengan peran Angkatan Darat. Menghapuskan peran militer dalam menciptakan ketidakstabilan di periode paska kemerdekaan. Termasuk juga mengibliskan PKI dan simpatisannya.

Kebudayaan nasional yang sebelumnya terintegrasi dengan aktivitas politik dan perjuangan massa dihapuskan. Kebudayaan nasional Indonesia digantikan dengan federasi berbagai budaya Nusantara ala kolonial Belanda. Manifestasi paling kasarnya adalah Taman Mini Indonesia Indah.

Rakyat pedesaan diarahkan untuk bekerja, berproduksi dan tidak memiliki peran dalam politik. Mereka dilarang sama sekali berpartisipasi dalam aktivitas politik kecuali untuk mencoblos dalam pemilu.

Partai politik yang tersisa kemudian didepolitisasi. Terdapat 9 partai politik yang kemudian “disederhanakan” dengan menggabungkan partai-partai Islam dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP); partai-partai non-Islam digabungkan dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Itu terjadi setelah partai-partai tersebut secara sistematis dipaksa dibersihkan. PPP dan PDI juga menjadi sasaran campur tangan pemerintah saat memilih pemimpinnya. Partai ketiga yaitu Golkar, merupakan kendaraan dari Rezim Militer Orde Baru. Mobilisasi serta pengorganisiran politik dilarang kecuali dalam 10 hari menjelang pemilu lima tahunan. Inipun diawasi dengan ketat dan arak-arakan hanya 3 hari dalam 10 hari tersebut.

Gerakan mahasiswa yang sebelumnya sebagian mendukung Rezim Militer Orde Baru baru terkena kebijakan depolitisasi setelah melakukan perlawanan. Pada tahun 1978 berkembang gerakan mahasiswa, terutama melalui Dewan Mahasiswa, yang menolak pencalonan kembali Soeharto dan menolak keterlibatan militer dalam kehidupan sipil. Setelah berhasil menghancurkan gerakan tersebut, Rezim Militer Orde Baru menerapkan Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kampus (NKK/ BKK). Ini adalah kebijakan rezim Orde Baru di Indonesia yang bertujuan untuk membabat kegiatan politik mahasiswa dan mengembalikan fokus kampus pada urusan akademik.

Rezim Militer Orde Baru mengorganisir kelas-kelas sosial untuk mendeorganisasikannya. “Serikat-serikat” dan organisasi lainnya didirikan berbasiskan satu organisasi untuk setiap sektor – buruh, petani, nelayan, perempuan, pemuda, dsb. Semua organisasi tersebut didirikan dengan kebijakan ketat yang dapat menjamin bahwa sektor-sektor tersebut tak bisa direorganisasi. Pengurus organisasi-organisasi tersebut juga berada di tangan pejabat-pejabat yang dipilih Rezim Militer Orde Baru, termasuk juga tentara aktif ataupun pensiun. Mereka kemudian berafiliasi ke Golkar. Pada 1985 disahkan satu undang-undangan yang memperketat pengawasan terhadap seluruh organisasi tersebut termasuk secara legal bisa diberangus jika tidak menggunakan ideologi resmi negara, Pancasila.

Kejahatan Kemanusiaan Rezim Militer Orde Baru

Kejahatan kemanusiaan Rezim Militer Orde Baru harus dilihat juga sebagai upaya untuk mempertahankan kekuasaannya.

I.  Malapetaka 1965

Soeharto, naik ke dalam kekuasaan dengan Malapetaka 1965. Malapetaka 1965 bukan saja kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Namun ini menjungkirbalikan seluruh proses pembangunan bangsa Indonesia sejak 1920an. Soeharto berhasil menjegal revolusi demokratik dan semua tendensi revolusi sosial serta mengembalikan cengkraman Imperialisme di Indonesia.

Kejahatan kemanusiaan dalam Malapetaka 1965:

a.  Antara 78 ribu hingga 3 juta orang dibantai.

b.  Setidaknya 12.500 orang dipenjara di Pulau Buru, Plantungan dan kamp konsentrasi serta penjara-penjara lainnya.

c.  Setidaknya 32.774 orang hilang.

d.  Setidaknya 500 hingga 1.500 warga negara Indonesia dipaksa menjadi eksil di luar negeri.

II.  Invasi dan Pendudukan Timor Leste 1975-1999

Pendudukan Timor Leste dimulai dengan invasi dengan Operasi Seroja: Sekitar 1.400 rakyat Timor Leste dibantai.

Selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste diperkiraan 200 hingga 250 ribu rakyat Timor Leste menjadi korban. Itu 20 hingga 30% rakyat Timor Leste dibantai.

Setidaknya 18.600 rakyat Timor Leste hilang.

Ribuan anak dipisahkan paksa dari keluarganya dan dibawa ke Indonesia.

III.  Operasi Militer dan Daerah Operasi Militer di Aceh 1976-2005

Diperkirakan antara 10 ribu hingga 30 ribu rakyat Aceh dibantai.

Setidaknya 3.000 perempuan menjadi janda akibat suaminya hilang atau dibunuh.

Setidaknya 20 ribu anak menjadi yatim.

Lebih dari 300 perempuan dan anak-anak menjadi korban perkosaan.

Setidaknya 1.935 orang hilang.

IV.  Operasi Militer dan Pendudukan di Papua 1960an

Diperkirakan 3.000 hingga 500.000 rakyat Papua dibunuh.

V.  Operasi Militer Penembakan Misterius (Petrus) 1983-1985

Setidaknya 300 hingga 10.000 orang dibunuh. Diduga 23 orang hilang terkait Operasi Militer Petrus.

VI.  Tragedi Tanjung Priok 12 September 1984

Setidaknya 24 orang dibunuh. Sebanyak 54 orang mengalami luka berat dan ringan. Sedangkan 23 orang hilang dan belum ditemukan hingga kini.

VII.  Peristiwa Talangsari 1989

Setidaknya 130 orang dibunuh, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53 orang dirampas haknya sewenang-wenang, 88 orang hilang dan 46 orang lainnya disiksa.

VIII.  Pembunuhan Marsinah

Marsinah, buruh PT Catur Putra Surya (CPS) disiksa dan dibunuh karena menuntut upah dinaikan sesuai dengan UMR.

IX.  Tragedi 27 Juli 1996

Setidaknya 5 orang dibunuh, 149 orang luka-luka, 136 orang ditahan, dan 23 orang hilang.

X.  Penculikan Aktivis 1997-1998

Sebanyak 23 aktivis diculik. Sembilan orang dikembalikan, 1 orang ditemukan tewas, dan 13 lainnya masih hilang hingga saat ini.

XI.  Pembunuhan Mahasiswa Trisakti Mei 1998

Empat mahasiswa Trisakti dibunuh penembak jitu saat mengikuti aksi massa.

XII.  Pogrom Mei 1998 (Jakarta 13-15 Mei; Solo pada 14-15 Mei; Palembang 14-15 Mei; Surabaya 14 Mei)

1.190 orang meninggal akibat terbakar dan dibakar, 27 orang meninggal akibat penembakan, 91 orang luka-luka, dan setidaknya ada 168 lebih perempuan mengalami pemerkosaan serta 20 diantaranya meninggal selama kerusuhan berlangsung.

Dirusak 13 pasar, 2.479 ruko, 40 mall/plaza, 1.604 toko, 45 bengkel, 2 kecamatan, 11 polsek, 383 kantor, 65 bank, 24 restoran, 9 pom bensin, 8 bus kota, 1.119 mobil, 821 motor, 486 rambu lalu lintas, 11 taman 18 pagar, hingga 1.026 rumah penduduk dan gereja.

Harta Jarahan Harto

Selama berkuasa Soeharto juga menjarah kekayaan nasional untuk keluarga, kroni dan militer. Ini dilakukan terutama lewat lebih dari 100 yayasan. Berapa jumlah pastinya, tidak ada yang tau kecuali Soeharto dan keluarga dekatnya, serta bendahara yayasan-yayasan tersebut.

Kekayaan keluarga Soeharto tumpang tindih dengan kekayaan sejumlah keluarga lain, misalnya keluarga Liem Sioe Liong, keluarga Eka Tjipta Widjaya, keluarga Prajogo Pangestu, keluarga Bob Hasan, keluarga Bakrie bersaudara dan keluarga Habibie.

Taksiran terhadap total kekayaan yayasan-yayasan yang diketuai Soeharto dan istrinya sangat beragam.

  • Paul Hunt yang menulis di koran Guardian and Mail di Inggris edisi 1 Agustus 1996 memperkirakan kekayaan Soeharto sekitar 5 miliar USD.
  • Greg Earl, koresponden Australian Financial Review memperkirakan kekayaan Soeharto sekitar 10 miliar AUD.
  • Menurut CIA, yang dikutip dalam tesis Ph.D Jeffrey Winters tahun 1991 kekayaan Soeharto mencapai 15 miliar USD.
  • Menurut majalah Forbes kekayaannya sebesar 16 miliar USD.

Itu taksiran tahun 1991, dengan melihat perkembangan yayasan serta perusahaan-perusahaan yang dikuasainya maka taksiran total kekayaan seluruh keluarga besar Soeharto pada tahun 1998 sebesar 40 miliar USD cukup masuk akal.

Seratusan Yayasan tersebut dapat dibagi menjadi delapan kelompok.

Pertama, yayasan-yayasan yang diketuai Soeharto sendiri. Yayasan Supersemar; Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais); Yayasan Dana Abadi Karya Bakti (Dakab); Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila; Yayasan Serangan Umum 1 Maret; Yayasan Bantuan Beasiswa Yatim Piatu Tri Komando Rakyat (Trikora); Yayasan Dwikora; Yayasan Seroja, Yayasan Nusantara Indah, Yayasan Dharma Kusuma; Yayasan TVRI; Yayasan Dana Sejahtera Mandiri; Yayasan Ibu Tien Soeharto

Kedua, yayasan-yayasan yang diketuai atau dikuasai Nyonya Tien Soeharto di masa hidupnya. Yayasan Harapan Kita; Yayasan Kartika Chandra; Yayasan Kartika Djaja; Yayasan Taman Mini Indonesia Indah (TMII); Yayasan Purna Bhakti Pertiwi; Yayasan Kemajuan dan Pengembangan Asmat; Yayasan Dharma Bhakti Dharma Pertiwi; Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan.

Ketiga, yayasan-yayasan yang dipimpin atau ikut dikelola oleh saudara sepupu Soeharto, Sudwikatmono, serta adik tiri Soeharto, Probosutedjo. Yayasan Prasetya Mulya; Yayasan Bangun Citra Nusantara; Yayasan Tujuh Dua; Yayasan Indocement; Yayasan Kyai Lemah Duwur; Yayasan Islamic Centre; Yayasan (Universitas) Mercu Buana; Yayasan Wangsa Manggala; Yayasan Ki Hajar Dewantara.

Keempat, yayasan-yayasan yang diketuai atau dikuasai anak, menantu dan cucu Soeharto.

  1. Yayasan yang dikuasai Siti Hardiyanti Indra Rukmana (Tutut), Bambang Trihatmojo (Bambang) dan Istrinya Halimah: Yayasan Tiara Indonesia; Yayasan Dharma Setia; Yayasan Kebudayaan Portugal-Timor; Yayasan Tunas Harapan Timor Lorosae; sebuah yayasan pendidikan tinggi di Dili; Yayasan Tri Guna Bhakti; Yayasan Bermis; Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS); Yayasan Bhakti Nusantara Indah (alias Yayasan Tiara Putra) Yayasan Bimantara; Yayasan Bhakti Putra Bangsa; Yayasan Intinusa Olah Prima; Yayasan Ibadah dan Amalyah Bimantara Village; Yayasan Kesra Karyawan Bimantara.
  2. Yayasan yang dikuasai Sigit Harjojudanto.
  3. Yayasan yang diketuai atau dikuasai Tommy: Yayasan Tirasa; Yayasan Bhakti Putra Bangsa; Yayasan Otomotofi dan Yayasan Bulog
  4. Yayasan yang diketuai atau dikuasai Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek Soeharto): Yayasan peneliti objek wisata Taman Buah Mekarsari; Yayasan Bunga Nusantara; Yayasan Rally Indonesia
  5. Yayasan yang diketuai atau dikuasai Titiek Prabowo: Yayasan Veteran Integrasi Timor Timur; Yayasan Hati; Yayasan Kerajinan Indonesia; Yayasan Tenaga Kerja Indonesia; Yayasan Pencari Dana KONI.

Yaysan yang dikuasai suami Titiek, Letjen Prabowo: Yayasan Badan Intelijen ABRI, yang dikuasai melalui teman dekatnya, MayJen Zacky Anwar Makarim: Yayasan Kobame; Yayasan Dharma Putera Kostrad.

Kelima, yayasan-yayasan yang diketuai atau dikuasai para besan Soeharto beserta keluarga mereka:

  1. Yayasan yang dipimpin oleh anggota keluarga Kowara (ayah mertua Tutut): Yayasan Pembangunan Jawa Barat; Yayasan 17 Agustus 1945; Yayasan Pendidikan Triguna.
  2. Yayasan yang dipimpin oleh anggota keluarga Djojohadikusumo: Yayasan Pralaya Loka; Yayasan Dana Mitra Lingkungan; Yayasan Balai Indah.

Keenam, yayasan-yayasan yang diketuai atau dikuasai sanak saudara Soeharto dan istrinya dari kampung halaman mereka di Yogyakarta dan Solo. Yayasan Mangadeg; Yayasan Pendidikan Grafika; Yayasan Kesejahteraan dan Sosial Sahid Jaya; Yayasan HIPMI Jaya; Yayasan Suryasumirat; Yayasan Aji Kinasih Kencana; Yayasan Puteri; Yayasan Ngadi Saliro-Ngadi Busono; Yayasan Kinasih; Yayasan Kemusuk Somenggalan

Ketujuh, yayasan-yayasan yang dikuasai Soeharto melalui beberapa orang tangan kanannya, yakni Habibie, Bob Hasan, Sudomo dan Joop Ave.

  1. Habibie: Yayasan Pengembangan Teknologi Indonesia; Yayasan Abdi Bangsa; Yaysan Amal Abadi Beasiswa Orangtua Bimbing Terpadu; Yayasan Dompet Dhuafa Republika; Yayasan Bina Bhakti; Yaysan Pengembangan Wallacea; Yayasan Keluarga Batam; Yayasan Merah-Putih; yayasan pengelola Poliklinik Baruna.
  2. Bob Hasan: Yayasan Toyota Astra; Yayasan Dana Bantuan Astra; Yayasan Dharma Satya Nusantara; The Indonesian Cultural Foundation; Yayasan Adikarsa Nugraha Cestita; Yayasan Patria Mas Katulistiwa; Yayasan Maju Bersama; Yayasan Freeport Irian Jaya
  3. Sudomo: Yayasan Perhimpunan Manajemen Mutu Indonesia; Yayasan Esok Penuh Harapan
  4. Joop Ave dan Moerdiono: belum jelas namanya, tapi yang bidang usahanya adalah membangun dan mengelola patung Garuda Wisnu Kencana di Bali; Yayasan Gelora Senayan.

Kedelapan, yayasan-yayasan ABRI yang sangat terlibat dalam bisnis keluarga Soeharto; Yayasan Kartika Eka Paksi; Yayasan Adi Upaya AU; Yayasan Kesejahteraan Angkatan Laut Republik Indonesia; Bhumiyamca; Yayasan Brata Bhakti; Yayasan Dharma Wirawan Pepabri; Yayasan Markas Besar ABRI; Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman.

Secara finansial yayasan yang paling kuat adalah: Dakab, Dharmais dan Supersemar. Ketiga yayasan tersebut memiliki saham sendiri-sendiri atau bersama-sama di perusahaan berikut ini: Majalah Gatra, Bank Duta, Bank Windu Kentjana, Bank Umum Nasional, Bank Bukopin, Bank Umum Tugu, Bank Muamalat Indonesia, PT Multi Nitroma Kimia, PT Indocement Tunggal Prakarsa, PT Nusantara Ampera Bakti (Nusamba), PT The Nusamba, PT Gunung Madu Plantation, PT Gula Putih Mataram, PT Werkudara Sakti, PT Wahana Wirawan, Wisma Wirawan, PT Fendi Indah, PT Kabelindo Murni, PT Mc Dermott Indonesia, PT Kalhold Utama, PT Kertas Kraft Aceh, PT Kiani Lestari, PT Sagatrade Murni, Mandala Airlines, Sempati Airlines, Gedung Granadi (Graha Dana Abadi).

Ini belum termasuk penguasaan saham lewat perusahaan-perusahaan yang disebutkan di atas. Trio yayasan ini diperkirakan menguasai saham sekitar 140 perusahaan yang kekayaannya ditaksi sebesar 5 miliar USD.

Selain tiga besar tadi ada dua yayasan yang mulai menyainginya: Yayasan Harapan Kita dan Yayasan Trikora. Kedua yayasan tersebut memiliki saham di perusahaan sebagai berikut: PT Bogasari Flour Mills, PT Bank Windu Kencana, PT Kalhold Utama, PT Fatex Tory, PT Batik Keris, PT Gula Putih Mataram, PT Gunung Madu Plantation, PT Hanurata, PT Harapan Insani, PT Kartika Chandra, PT Kartika Tama, PT Marga Bima Sakti, PT Rimba Segara Lines, PT Santi Murni Plywood, RS Harapan Kita, Taman Mini Indonesia Indah.

Ini juga daftar minimal sebab perusahaan-perusahaan tersebut sudah banyak beranak-cucu.

Selain itu juga terdapat Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Yayasan Amalbhakti Muslim Pancasila (YAMP), Yayasan Dana Sejahtera Mandiri. Mereka mengelola museum di TMII, Museum Purna Bhakti Pertiwi. Memiliki saham dalam perusahaan jalan tol PT Citra Marga Nusaphala Persada. YAMP menjadi sumber utama pembiayaan Golkar dengan “sumbangan wajib” bagi setiap pegawai negeri yang muslim. Juga mengelola proyek-proyek Bantuan Presiden (Banpres). Selain itu YAMP menggalang dukungan umat Islam untuk Golkar dan Soeharto lewat sumbangan pembangunan masjid dimana-mana. Wajib pajak dengan penghasilan di atas 100 juta juga harus menyisihkan sedikitnya 2 persen laba bersih perusahaannya ke Yayasan Dana Sejahtera Mandiri.

Dampak Sosial-Politis-Ekonomis Yayasan Soeharto

Pertama, dana triliyunan rupiah yang dikuasai yayasan-yayasan itu membantu Soeharto menguasai para elit politik Indonesia serta berbagai faksi di dalamnya.

Kedua, korupsi merajalela dimana-mana.

Ketiga, proyek-proyek Banpres dan Inpres yang dikelola Sekretariat Negara dan Sekdalopbang dananya berasal dari beberapa yayasan yang diketuai Soeharto. Ini memupuk kultus individu karena seolah-olah berasal dari kantong pribadi Soeharto yang dermawan. Demikian juga tidak dapat dipertanggungjawabkan karena berada di luar APBN.

Keempat, yayasan-yayasan ini menciptakan ekonomi biaya tinggi yang tidak hanya mengurangi daya saing namun juga menambah beban rakyat Indonesia sebagai pembayar pajak dan cicilan serta bunga hutang luar negeri pemerintah Soeharto.

Kelima, yayasan-yayasan ini memanfaatkan jasa sejumlah pegawai serta fasilitas pemerintah, mulai dari gedung, personil hingga sarana komunikasi. “Subsidi terselubung” rakyat Indonesia bagi akumulasi kekayaan keluarga besar Soeharto dan antek-anteknya sudah mencapai miliaran rupiah.

Keenam, yayasan-yayasan ini memfasilitasi capital outflow dari sebagian besar sarana usaha Negara dan simpanan pegawai negeri serta perusahaan-perusahaan negara ke rekening-rekening bank keluarga besar Soeharto.

Ketujuh, terdapat akibat-akibat struktural ke rakyat Indonesia lainnya misalnya: gizi buruk dimana karena monopoli terigu impor oleh Yayasan Harapan Kita dan Yayasan Dharma Putera Kostrad maka produk Bogasari dalam bentuk berbagai merk mie kemasan dibuang ke pasar. Sedangkan nilai gizi makanan kemasan ini jauh lebih rendah dibandingkan berbagai jenis makanan asli buatan desa. Perampasan dan penguasaan tanah lewat konsensi-konsesi hutan, perkebunan dan peternakan yang dikuasai oleh yayasan-yayasan Soeharto. Lewat Yayasan Seroja, Soeharto melakukan salah satu bentuk genosida yaitu menculik anak-anak yatim piatu Timor Leste dan menghilangkan identitas mereka. Terlibat pencucian uang lewat bank di luar negeri yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang dimiliki berbagai yayasan-yayasan tersebut. Melumpuhkan gerakan koperasi dengan mengubah Bukopin menjadi PT sebagai sumber dana trio Dakab, Dharmais dan Supersemar. Memanfaatkan sentimen agama untuk mendapatkan dukungan bagi Soeharto lewat mewajibkan setiap pegawai negeri untuk menyumbang secara reguler untuk pembanguann masjid di Indonesia dan Timor Leste. Sebagian yayasan Soeharto mengambilalih tugas Departemen Luar Negeri dengan dalih menangkis serangan kelompok-kelompok “anti-Indonesia” di luar negeri sambil memperkaya perusahaan yang berafiliasi ke yayasan tersebut.

=====

Kemajuan bangsa ini, menuju sistem yang demokratis, adil dan makmur mensyaratkan penghancuran sisa-sisa kekuatan lama. Soeharto merupakan orang yg paling bertanggung-jawab terhadap segala bentuk kejahatan di masa 32 tahun orde baru. Soeharto bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan, politik dan ekonomi, juga kesalahan kepemerintahan yang menyolok. Kita sudah melihat ketika itu tidak terjadi, kekuasaan ekonomi dan politik paska Reformasi 1998 terus dipegang oleh para elit politik, termasuk sisa-sisa Rezim Militer Orde Baru seperti Prabowo.

Program perjuangan seperti penangkapan, pengadilan dan pemenjaraan terhadap pelanggar HAM termasuk Soeharto walaupun secara in absentia; kemudian juga program seperti penangkapan, pengadilan, pemenjaraan serta penyitaan seluruh aset koruptor termasuk Soeharto, keluarga dan kroni-kroninya; merupakan bagian dari proses membangun bangsa baru yang demokratis, adil dan makmur.

Kesemuanya tersebut menjadi bagian dari rekonsiliasi, rehabilitasi dan revolusi. Rekonsiliasi, rehabilitasi dan revolusi adalah pemulihan hak-hak para korban dan penyintas yang dirampas serta pengadilan dan penghukuman terhadap para pelaku. Rekonsiliasi sejati tidak akan terwujud tanpa rehabilitasi. Tanpa rehabilitasi, rekonsiliasi hanya bersifat semu yang dilakukan untuk menghentikan gugatan para korban dan penyintas dalam menuntut HAM serta demokrasi.

Rekonsiliasi serta rehabilitasi tidak bisa diwujudkan tanpa revolusi. Sebab rekonsiliasi sejati berarti harus diiringi dengan penegakan keadilan sekaligus pemulihan hak bagi para korban dan penyintas yang tidak bersalah serta di sisi lain pengadilan dan penghukuman terhadap para pelaku. Rekonsiliasi dan rehabilitasi demikian akan ditentang habis-habisan oleh kaum reaksioner dari segala kubu, terutama mereka yang sebelumnya mendukung Rezim Militer Orde Baru. Sebab itu membahayakan kekuasaan dan hak-hak istimewa yang mereka peroleh dengan penindasan. 

Untuk melakukan itu buruh dan rakyat harus memiliki kekuatan atau partai politiknya sendiri. Kemudian merebut kekuasaan dari tangan para elit politik dan menjalankan program rekonsiliasi, rehabilitasi dan revolusi.

ditulis oleh Dipo Negoro, kader Perserikatan Sosialis

Referensi:

Lane, Max. 2021. Unfinished Nation. Penerbit Djaman Baroe: Yogyakarta

Aditjondro, George. 1988. Harta Jarahan Harto. Pustaka Demokrasi.

Suharsih&Kusumawardhana, Mahendra. 2006. Bergerak Bersama Rakyat. Resist Book: Yogyakarta

Loading

Comment here