Internasional

Venezuela Vis A Vis Imperialisme

Gerakan revolusioner di Venezuela bermula dari krisis sosial dan politik yang menandai dekade 1980-an. Di tengah liberalisasi ekonomi yang dipaksakan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, jurang antara elite dan rakyat semakin lebar. Peristiwa “Caracazo” tahun 1989, yakni pemberontakan massa terhadap kebijakan pengetatan ekonomi dan privatisasi, menjadi titik balik yang melahirkan generasi perwira muda nasionalis radikal, termasuk Hugo Chávez. Dari pengalaman itu, Chávez membentuk Movimiento Bolivariano Revolucionario-200 (MBR-200), yang pada 1992 mencoba melakukan kudeta terhadap pemerintahan Carlos Andrés Pérez. Meski gagal dan membuatnya dipenjara, kudeta tersebut menjadikan Chávez simbol perlawanan rakyat terhadap oligarki dan dominasi neoliberal.

Ketika terpilih sebagai presiden pada 1998, Chávez memulai apa yang disebut sebagai Revolución Bolivariana. Ia memanfaatkan keuntungan dari lonjakan harga minyak untuk membiayai program sosial berskala besar; pendidikan gratis, klinik komunitas, perumahan rakyat, dan distribusi pangan bersubsidi. Kebijakan nasionalisasi terhadap sektor-sektor strategis seperti minyak, listrik, dan telekomunikasi memperkuat kontrol negara terhadap ekonomi nasional. Venezuela di bawah Chávez menegaskan posisi anti-imperialisnya melalui kebijakan luar negeri yang menentang dominasi AS dan mempererat solidaritas dengan Kuba, Bolivia, dan negara-negara progresif di Amerika Latin. Chávez juga menggagas pembentukan ALBA (Aliansi Bolivarian untuk Rakyat Amerika Kita) sebagai alternatif atas skema perdagangan neoliberal seperti ALCA.

Setelah wafatnya Chávez pada 5 Maret 2013, kepemimpinan berpindah ke tangan Nicolás Maduro. Venezuela mengalami perubahan ke kanan dalam pemerintahan Maduro. Ini diperparah oleh sanksi ekonomi dan embargo finansial yang diberlakukan Amerika Serikat serta sekutunya, yang menutup akses Venezuela terhadap sistem keuangan internasional dan menghambat impor bahan pokok serta obat-obatan. Upaya Washington untuk menggulingkan Maduro maupun Chavez mengambil berbagai macam cara. Dari upaya kudeta yang gagal, percobaan pembunuhan termasuk menggunakan pesawat nirawak, pengakuan terhadap figur oposisi seperti Juan Guaidó, seruan pejabat Washington secara terbuka agar perwira militer Venezuela untuk campur tangan, invasi oleh kelompok para-militer dari Kolombia, kampanye internasional terbuka maupun tertutup untuk mengisolasi Venezuela, pendanaan sangat besar untuk kelompok-kelompok oposisi, merancang kerusuhan luas di jalanan, serta sanksi-sanksi tambahan untuk menekan perusahaan ataupun pemerintah berbagai negara menghindari kerjasama perdagangan dengan Venezuela termasuk juga embargo, menunjukkan keterlibatan politik yang jelas dalam memperburuk instabilitas internal Venezuela.

Kronik Panjang Intervensi Amerika Serikat terhadap Venezuela

Sejarah modern Venezuela tidak dapat dipisahkan dari ketegangan antara proyek kedaulatan nasional yang dirintis oleh Hugo Chávez dan upaya sistematis Amerika Serikat untuk menggagalkan arah politik tersebut. Sejak awal Revolusi Bolivarian pada 1999, Caracas berdiri sebagai simbol perlawanan terhadap hegemoni neoliberal di Amerika Latin. Chávez, seorang perwira militer yang menjadi presiden setelah menang pemilu 1998, meluncurkan proyek politik untuk mengembalikan kendali negara atas sumber daya alam, menasionalisasi sektor minyak melalui PDVSA, dan memperkenalkan model demokrasi partisipatif di bawah bendera sosialisme abad ke-21. Langkah-langkah itu segera menimbulkan konfrontasi dengan Washington, yang melihat kebijakan nasionalisasi dan orientasi anti-imperialis Venezuela sebagai ancaman terhadap kepentingan geopolitiknya di kawasan.

Intervensi pertama yang paling nyata terjadi pada April 2002, ketika Chávez digulingkan dalam kudeta militer singkat yang hanya bertahan selama dua hari. Dokumen yang kemudian dideklasifikasi menunjukkan bahwa badan intelijen Amerika Serikat telah mengetahui rencana kudeta tersebut sebelumnya dan tetap menjalin kontak dengan tokoh-tokoh oposisi yang terlibat. Walaupun pemerintahan sementara Pedro Carmona gagal karena mobilisasi besar-besaran rakyat dan militer loyalis yang memulihkan kekuasaan Chávez, peristiwa itu mempertegas bahwa Washington tidak berniat membiarkan Venezuela berdaulat di luar orbitnya. Sejak saat itu, bentuk intervensi bergeser: bukan lagi kudeta terbuka, melainkan tekanan ekonomi, dukungan terhadap oposisi, dan perang media yang terus-menerus.

Pada dekade berikutnya, terutama setelah 2006, AS memperkuat instrumen tekanan melalui sanksi, pendanaan terhadap kelompok oposisi lewat lembaga seperti NED (National Endowment for Democracy), serta upaya diplomatik untuk mengisolasi Caracas. Setelah Chávez wafat pada 5 Maret 2013, kekuasaan beralih ke Nicolás Maduro, mantan menteri luar negeri yang juga merupakan penerus politik yang dipilih langsung oleh Chávez. Di sinilah tekanan eksternal menemukan momentumnya: sanksi ekonomi dari Washington diperluas secara bertahap sejak 2014, hingga mencapai puncak pada 2017-2019 dengan pembekuan aset PDVSA dan pemblokiran akses Venezuela ke sistem perbankan internasional. Dampaknya jelas sangat besar; devisa menurun drastis, impor pangan dan obat-obatan merosot, dan inflasi melambung hingga jutaan persen.

Krisis ini diperparah oleh perang diplomatik yang dilancarkan Washington melalui pengakuan Juan Guaidó sebagai “presiden interim” pada Januari 2019, langkah yang didukung oleh sebagian besar negara sekutu AS. Tujuannya jelas: mendeligitimasi pemerintahan Maduro dan membuka jalan bagi pengambilalihan politik dari luar. Namun, strategi itu gagal total. Oposisi terpecah, Guaidó kehilangan legitimasi bahkan di kalangan pendukungnya sendiri, sementara pemerintah Venezuela tetap bertahan dengan dukungan militer dan basis sosial kelas pekerja. Dalam periode yang sama, muncul pula Operation Gideon pada Mei 2020, sebuah operasi militer kecil yang melibatkan kontraktor keamanan asal AS (Silvercorp USA) dan eks-militer Venezuela, yang ditangkap ketika berusaha memasuki wilayah Venezuela melalui pantai utara. Pemerintah Caracas menuduh operasi ini bagian dari rencana pembunuhan dan sabotase terhadap Maduro, sementara Washington menyangkal keterlibatan resmi, fakta bahwa operasi ini digerakkan oleh warga AS memperkuat dugaan adanya jaringan intelijen dan tentara bayaran yang beroperasi di bawah bayang-bayang kepentingan geopolitik Amerika. Pemerintahan Donald Trump pertama pada tahun 2020 menawarkan 15 juta USD untuk penangkapan Maduro, kemudian dinaikan menjadi 25 juta USD pada 10 Januari 2025 dan naik lagi menjadi 50 juta USD pada 7 Agustus 2025.

Motif Washington dalam menumbangkan pemerintahan Venezuela tidak semata politis, melainkan juga material. Venezuela memiliki salah satu cadangan minyak terbesar di dunia, dan sejak nasionalisasi sektor minyak di bawah Chávez, perusahaan-perusahaan energi Barat kehilangan akses strategis terhadap sumber daya itu. Di bawah logika kapitalisme global, kontrol terhadap sumber energi bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga soal hegemoni geopolitik. Negara yang berani mengalihkan arah ekonominya ke model sosialisme dan menolak dominasi dolar dianggap membahayakan tatanan neoliberal yang menopang kekuasaan modal internasional. Karenanya, kebijakan luar negeri AS terhadap Venezuela mencerminkan formula klasik imperialisme: destabilisasi politik, embargo ekonomi, dan dukungan terhadap elit lokal yang pro-pasar bebas.

Kini, dua dekade setelah kudeta 2002 dan lebih dari sepuluh tahun sejak wafatnya Chávez, Venezuela tetap berdiri di garis depan konfrontasi global antara kedaulatan nasional dan imperialisme. Washington terus berusaha menundukkan Caracas melalui kombinasi tekanan ekonomi, diplomatik, dan operasi terselubung. Sementara itu, pemerintahan Maduro mempertahankan kekuasaan dengan dukungan Rusia, Tiongkok, dan Iran, serta mobilisasi basis rakyat yang masih mewarisi semangat Bolivarian. Namun di balik semua itu, persoalan mendasarnya tetap sama: apakah Venezuela akan mampu keluar dari cengkeraman kapitalisme global dan membangun sosialisme yang sejati dari bawah, ataukah Revolusi Bolivarian akan tinggal sebagai simbol heroik yang dibekukan dalam sejarah oleh kekuatan imperialisme dan degenerasi internal?

Paska Pemilu 2024

Pemilihan umum Venezuela 2024 berlangsung dalam suasana tegang dan sarat tekanan eksternal. Nicolás Maduro kembali memenangkan masa jabatan berikutnya setelah mengalahkan pasangan oposisi yang disponsori langsung oleh jaringan lembaga dan perusahaan yang berafiliasi dengan Washington. Kandidat oposisi María Corina Machado, yang sebelumnya dilarang mencalonkan diri karena kasus korupsi dan keterlibatan dalam upaya kudeta, digantikan oleh Edmundo González Urrutia sebagai figur kompromi yang mendapatkan dukungan logistik dan diplomatik dari Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS). Dalam banyak hal, pemilu itu bukan sekadar pertarungan elektoral internal, melainkan konfrontasi geopolitik, kedaulatan nasional dan tekanan imperialisme.

Sejak awal, AS berupaya membangun narasi bahwa pemilu Venezuela tidak sah, menolak hasil yang mengukuhkan kemenangan Maduro dengan selisih sekitar lima persen. Retorika ini diiringi dengan sanksi ekonomi tambahan, pembekuan aset minyak PDVSA di luar negeri, dan kampanye disinformasi di media global yang menggambarkan Venezuela sebagai “negara gagal.” Di balik tuduhan itu, kepentingan Washington tetap sama seperti sejak era Chávez: menguasai cadangan minyak terbesar di dunia dan memastikan Venezuela kembali ke orbit neoliberal yang tunduk pada kepentingan modal transnasional.

Di sisi lain, kelompok-kelompok kiri pun melancarkan protesnya pada pemilu tahun lalu. Pemilu Venezuela tahun 2024 membuka babak baru dalam krisis revolusi Bolivarian. Di tengah tekanan blokade ekonomi dan disinformasi internasional, kelompok kiri sendiri melancarkan protes terhadap proses elektoral yang dianggap penuh kecurangan, ketertutupan, dan kooptasi negara terhadap ruang-ruang rakyat. Alih-alih menjadi perayaan demokrasi rakyat, pemilu itu dipandang oleh banyak organisasi kiri termasuk Alternativa Popular Revolucionaria (APR), Partido Comunista de Venezuela (PCV), dan beberapa organisasi basis Chavista independen sebagai panggung konsolidasi kekuasaan kelompok borjuis baru yang bersembunyi di balik simbol Bolivarianisme. Mereka menolak menganggap Maduro sebagai representasi revolusi rakyat, karena menurut mereka, negara kini berfungsi sebagai alat dominasi kelompok kapitalis birokratik yang mengendalikan sumber daya minyak dan perdagangan melalui mekanisme rente.

Ini kemudian menjadi titik balik yang memperjelas krisis legitimasi rezim Nicolás Maduro. Banyak kelompok kiri memboikot atau memprotes hasil pemilu bukan karena berpihak pada oposisi liberal, tetapi karena menilai proses elektoral sudah sepenuhnya dikooptasi oleh negara rente otoriter. Mahkamah Agung mengintervensi partai-partai kiri, membentuk “junta ad hoc” untuk mengambil alih nama, simbol, dan kartu pemilih PCV, sehingga PCV yang sah dilarang berpartisipasi. Selain itu, hasil pemilu tidak pernah diumumkan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Nasional, dan ratusan aktivis rakyat ditangkap setelah protes menolak hasil.

Bagi kelompok kiri, pemilu tersebut bukan lagi sekadar pertarungan antara Maduro dan oposisi kanan pro-AS, tetapi konfirmasi dari penyimpangan historis Revolusi Bolivarian. Mereka menilai pemerintah sudah menjadi representasi borjuasi birokratis yang melindungi kepentingan kapital baru dan menindas gerakan rakyat yang dulu melahirkannya. Karena itu, protes yang terjadi adalah bentuk penegasan bahwa Madurismo bukan lagi perlawanan terhadap imperialisme, melainkan reformisme represif yang mempertahankan kapitalisme rente dalam wujud otoriter.

Istilah “kapitalisme rentenir” merujuk pada model akumulasi di mana sebagian besar kekayaan nasional tidak dihasilkan dari produksi nyata, melainkan dari kontrol atas rente; sewa, lisensi, atau akses istimewa terhadap sumber daya alam, valuta asing, dan kontrak negara. Dalam konteks Venezuela, sistem ini terbentuk dari ketergantungan historis pada ekspor minyak. Di bawah pemerintahan Maduro, terutama pasca 2013, model itu justru menguat. Ketika harga minyak jatuh dan sanksi ekonomi AS menutup akses kredit luar negeri, negara beralih membuka konsesi luas kepada investor asing, terutama di sektor pertambangan dan migas, dengan imbalan devisa dan dukungan politik. Di sisi lain, elite militer dan pejabat tinggi sipil menguasai rente impor, distribusi BBM, serta spekulasi valuta asing. Maka, kekuasaan tidak lagi berpijak pada kelas pekerja dan rakyat miskin kota seperti masa awal Chávez, melainkan pada jaringan pejabat–pengusaha–militer yang beroperasi layaknya borjuasi rentier. Investasi asing tersebut, berdasar dari data yang kami himpun per 2013-sekarang di antaranya adalah CNPC (China National Petroleum Corporation), Perusahaan Tiongkok swasta & EPC (Anhui Erhuan, Kerui, China Concord / China Concord Resources Corp., dll), Chevron Corporation (A.S), Rosneft (Rusia), Eni (Italia), Repsol (Spanyol), ONGC Videsh (India), Veneoranto (Nigeria), dan beberapa perusahaan Eropa/Asia kecil lainnya juga tercatat terlibat dalam proyek servis, suplai peralatan, atau eksplorasi di periode 2018–2025.

Posisi Komune-Komune di Venezuela

Komune-komune di Venezuela merupakan salah satu unsur penting dalam proyek politik yang disebut oleh pemerintahan Hugo Chávez sebagai “kekuatan rakyat” atau poder popular. Proses pembentukan komune bermula dari pembentukan lembaga yang lebih kecil bernama consejos comunales (dewan komunal) yang diatur melalui Undang-Undang Konsekto Komunal tahun 2006.

Setiap dewan komunal biasanya mencakup sekitar 150–400 keluarga di area urban, atau jumlah keluarga yang jauh lebih kecil di area pedesaan atau komunitas adat.  Pada fase berikutnya, beberapa dewan ini bergabung membentuk “komune” (comunas) yang mencakup wilayah yang lebih besar dan memiliki potensi untuk mengambil alih fungsi produksi, organisasi sosial dan politik. Contoh paling awal: pada September 2013 dilaporkan sudah lebih dari 1.000 komune terdaftar. Dalam survei tahun 2020, sekitar 68% responden melaporkan bahwa terdapat “komune aktif” di wilayah mereka. Pemerintahan Maduro pada Februari 2025 meluncurkan sistem “Gobierno Popular y Comunal” dengan lebih dari 3.600 komune sebagai bagian dari “pusat sistem perencanaan publik”.

Komune-komune berfungsi sebagai jaringan organisasi rakyat tingkat lokal yang melakukan beberapa aktivitas utama seperti menyusun dan mengeksekusi proyek infrastruktur komunitas (air, jalan, pendidikan, kesehatan) melalui konsultasi populer antara anggota komunal. Sebagai contoh, “popular and communal consultations” telah dilaksanakan sejak 2024 untuk menentukan proyek-proyek lokal yang akan dibiayai. Memfasilitasi produksi lokal atau pertanian kolektif di beberapa komune; misalnya komune pedesaan yang berupaya membangun agroekologi sebagai alat melawan “perang ekonomi”. Dan menjadi saluran partisipasi rakyat dalam perencanaan dan eksekusi kebijakan publik di tingkat lokal, yang secara teori memperkuat “demokrasi protagonis” (democracia protagonista) yang digagas oleh Chávez.

Dalam kerangka ideologis Bolivarian, komune–komune ditempatkan sebagai langkah menuju sosialisme. Bukan sosialisme yang dibangun dari atas saja, tetapi melalui kekuasaan rakyat di wilayah teritorial. Ide Chávez: “Comuna o nada” (“Komune atau tidak sama sekali”) sebagai slogan yang menegaskan bahwa tanpa pembentukan komune yang kuat, transformasi sosial tidak akan mencapai tujuan. Komune dilihat sebagai “embrio” kekuasaan buruh dan tani, di mana produksi bisa dikendalikan secara sosial (bukan hanya oleh negara atau pasar) dan distribusi diarahkan oleh komunitas. Pemerintah menetapkan target bahwa komune-komune akan menjadi “epicentro del poder del pueblo” (pusat kekuasaan rakyat) dalam sistem pemerintahan komunal yang lebih luas.

Meskipun banyak potensi, realitas di lapangan menunjukkan sejumlah hambatan besar, yang memengaruhi kemampuan komune untuk benar-benar menjadi basis sosialisme rakyat. Hingga saat ini, banyak komune masih bergantung pada dana negara, kendaraan birokrasi dan regulasi yang tidak selalu fleksibel, yang menimbulkan ketegangan antara otonomi komunitas dan kontrol negara. Krisis ekonomi yang mereka hadapi pun mengakibatkan kelangkaan bahan produksi, belum lagi sanksi eksternal dan keruntuhan sektor minyak membuat banyak komune kesulitan mengembangkan produksi berkelanjutan dan menuju “ekonomi komunal” yang mandiri. Beberapa analis mengkaji bahwa komune-komune yang paling berhasil adalah yang memiliki otonomi tinggi dan sumber daya produk nyata (contoh: pedesaan), sementara di banyak area urban atau yang sangat tergantung subsidi negara, partisipasi menurun atau institusionalisasi membuat dinamika rakyat melemah.

Adapun tantangan politik yang muncul, yaitu komune yang sejak awal hadir sebagai basis rakyat kadang harus bersaing atau diagregasi oleh struktur partai negara (PSUV), yang bisa melemahkan karakter otonom komunitas. Demikian pula dalam perspektif Sosialisme, komunal-komunal tersebut seharusnya menjadi perwujudan pemerintahan sosialis, dimana alih-alih kekuasaan yang sebelumnya berada di tangan “negara” menjadi di tangan komunal-komunal tersebut.

Revolusi Sorong Kanan

Beberapa analis Marxist mengamati bahwa sejak awal masa Maduro (pasca kematian Hugo Chávez pada 2013) sudah terdapat tanda-tanda pergeseran ke kanan dalam kebijakan ekonomi dan sosial, yang menunjukkan bahwa negara Bolivarian tidak secara mutlak tetap pada orientasi “sosialis rakyat” semata. Wawancara dengan Malfred Gerig dan tulisan oleh Steve Ellner pada LINKS mengemukakan bahwa krisis Venezuela telah berlangsung sejak 2013, yang ia sebut sebagai permulaan “Long Depression” Venezuela, sebelum sanksi AS yang lebih kuat lagi diberlakukan atas Venezuela. Menurutnya, pemerintahan Maduro telah mengalami transformasi struktural dalam basis kelasnya: dari basis yang lebih luas berupa rakyat miskin dan kelas pekerja, menjadi lebih berorientasi kepada modal dan kelas kapitalis lokal/ borjuis birokratis. Gerig menyebut rezim Maduro sebagai penerapan “neoliberalism with patrimonialist characteristics” (neoliberalisme dengan karakter patrimonial), yakni kombinasi deregulasi ekonomi, pembukaan kepada kapital, dan negara yang menjadi ladang keuntungan bagi aparat/birokrat sendiri. Di sisi lain, Steve Ellner dalam artikel “‘Neoliberal and authoritarian’? A simplistic analysis of the Maduro government that leaves much unsaid” menekankan bahwa banyak analisis yang hanya fokus pada kebijakan neoliberal dan represi internal, tanpa cukup memperhitungkan blokade, sanksi ekonomi dan tekanan imperialisme AS sebagai faktor eksternal yang sangat memengaruhi kondisi Venezuela. Ia mengingatkan bahwa analisis kiri sebaiknya tidak jatuh ke dalam polarisasi hitam-putih (“rezim ini sepenuhnya buruk” atau “rezim ini sosialis sempurna”) dan harus mempertimbangkan konteks struktur ekonomi, tekanan eksternal, dan ruang-ruang manuver yang hadir.

Apakah gerak ke kanan sudah berlangsung sebelumnya? Jawabannya adalah ya, gerak ke kanan (atau setidak-nya perubahan orientasi menuju prioritas modal, deregulasi, dan subordinasi rakyat) sudah dipersiapkan sebelum tekanan A.S mencapai puncaknya. Argumennya ialah meskipun sanksi belum berada di puncaknya, sudah terdapat kontraksi produksi, penurunan investasi, dan pergeseran orientasi kebijakan ekonomi. Gerig menulis bahwa sejak sekitar 2016 dan terutama 2018-2019, rezim mulai mengubah basis politiknya, “Pemerintah tidak lagi memerintah untuk rakyat; sebaliknya, rakyatlah yang dipaksa menanggung beban kebijakan ekonomi pemerintah dan neoliberalisme yang bercorak patrimonial.” Jadi, meskipun tekanan eksternal ada, perubahan internal struktural (basis kelas, orientasi ekonomi) sudah berlangsung dan tampak sebagai indikasi gerak ke kanan yang tidak hanya disebabkan oleh sanksi eksternal.

Maka daripada itu, rezim Maduro sejak sekitar 2016-2019 telah bergeser ke kanan dalam orientasi kelas dan ekonomi; dari prioritas rakyat dan produksi nasional menuju pembukaan terhadap modal dan akomodasi kapital. Tekanan imperialisme/AS bukanlah satu-satunya sebab, tetapi mempercepat dan memperluas proses ini. Analisis yang hanya memfokus pada salah satu sisi (eksternal atau internal) tanpa dialektika keduanya akan kurang tepat.

Tensi di Perairan Karibia

Sementara itu Trump melangsungkan manuvernya di perairan Karibia, eskalasi meningkat pada September 2025 ketika pemerintahan A.S, di bawah tekanan koalisi keamanan Karibia dan kepentingan energi, mengirimkan gugus kapal induk dan armada laut ke perairan selatan Karibia. Langkah itu dilakukan dengan alasan pemberantasan narkoba, namun pola manuver dan jenis kapal yang dikerahkan, termasuk kapal amfibi dan pesawat tempur F-35, menunjukkan operasi yang bersifat ofensif. Caracas menilai ini sebagai provokasi militer yang melanggar prinsip “Zona Perdamaian” CELAC dan kedaulatan teritorial Venezuela.

Maduro merespons dengan meningkatkan kesiagaan militer nasional serta memperkuat koordinasi sipil-militer melalui pembentukan barisan milisi rakyat dan patroli maritim bersama. Pemerintah juga menegaskan bahwa Venezuela tidak akan menyerahkan haknya atas laut Karibia dan kekayaan sumber daya di dalamnya. Dukungan datang dari Rusia, Tiongkok, Iran, Kuba, dan Bolivia yang memandang kehadiran militer AS di Karibia sebagai bentuk agresi terhadap tatanan multipolar yang sedang tumbuh.

Di tengah situasi itu, berbagai cabang Internacional Antifascista di Amerika Latin dan Karibia menyatakan dukungan terhadap rakyat Venezuela. Dalam pernyataan per September 2025, jaringan antifasis ini menegaskan bahwa “setiap upaya militer AS di Karibia adalah manifestasi dari fasisme global yang mengabdi pada kapital finansial internasional.” Mereka menyerukan konsolidasi gerakan rakyat lintas benua untuk membela hak bangsa-bangsa menentukan nasibnya sendiri, melawan ekspansi ekonomi dan militer yang menindas.

Secara analitik, krisis Venezuela hari ini menunjukkan paradoks dari revolusi yang belum selesai. Venezuela berusaha mempertahankan kedaulatannya dari dominasi langsung Washington serta bergerak menuju sosialisme, tetapi belum mampu melepaskan diri dari kapitalisme dengan model akumulasi model rentier. Sehingga terdapat berbagai macam kontradiksi termasuk perdebatan diantara gerakan kiri terkait Venezuela.

Sementara itu bagi kita di Indonesia, posisi yang tegas perlu diambil. Solidaritas terhadap rakyat Venezuela melawan Imperialisme tetap menjadi kebutuhan. Ini bukanlah sekadar sikap moral, melainkan kesadaran politik bahwa imperialisme yang menindas Venezuela juga merupakan bentuk dominasi yang sama terhadap negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Dukungan terhadap Venezuela berarti menegaskan kembali prinsip kedaulatan rakyat, anti-hegemoni, dan solidaritas internasional kelas pekerja. Di tengah tekanan geopolitik global, perjuangan rakyat Venezuela melawan intervensi Amerika Serikat adalah cermin dari perlawanan yang lebih luas: melawan sistem kapitalisme global dan kapitalisme renteir negara yang terus berupaya menundukkan bangsa-bangsa yang berani berdiri di luar orbit kekuasaan modal.

ditulis oleh Libby Qahtany, Pemerhati Gerakan Rakyat

Loading

Comment here