#BEBASKANKAWANKAMI
#PENJARAKANPELANGGARHAM
Solidaritas Akan Menang Melawan Represi!
Demokrasi Akan Menang Melawan Militerisme!
Rakyat Akan Menang Melawan Oligarki!
Di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran, pola-pola otoritarian kembali dilancarkan. Ini dibarengi konsolidasi kekuasaan dengan membangun aliansi kuat di antara elit politik dan memperluas peran militer dalam ranah sipil, sebuah praktik yang mengingatkan pada konsentrasi kekuasaan di masa lalu. Legitimasi pemerintahan ini juga dipertanyakan akibat manipulasi konstitusi yang menguntungkan pasangan tersebut dalam pemilu. Dalam kebijakan domestik, pemerintah menerapkan efisiensi anggaran yang justru membebani sektor publik seperti pendidikan, sementara menggelontorkan dana fantastis untuk program-program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan anggaran fantastis mencapai 391 triliun digulirkan, bersamaan dengan proyek Daya Anagata Nusantara (Danantara) hanya terus memperkaya para elit politik.
Perkembangan militerisme juga ditandai dengan disahkannya Revisi UU TNI pada Maret 2025, yang pada dasarnya menguatkan kembali doktrin Dwifungsi secara legal. Kebijakan ini memperluas jalan bagi keterlibatan militer dalam urusan sipil sekaligus melanggengkan impunitas atas pelanggaran HAM masa lalu. Sepanjang tahun 2025, tindakan represif aparat menjadi bukti nyata ancaman militerisasi tersebut, terutama apa yang terus kita bisa saksikan di Papua, di mana kekerasan berlebihan, penembakan terhadap warga sipil, dan penangkapan sewenang-wenang sering terjadi. Rezim hari ini telah mengembalikan militerisme sebagai instrumen kekuasaan, mengorbankan demokrasi, keadilan sosial, dan hak asasi manusia.
Under the Prabowo-Gibran administration, authoritarian patterns have been waged again. This has been accompanied by the consolidation of power through the building of strong alliances among political elites and the expansion of the military’s role in the civilian sphere, a practice reminiscent of past concentrations of power. The legitimacy of this administration has also been questioned due to the constitutional manipulation that benefited the pair in the elections. In domestic policy, the government has implemented budget efficiency measures that only burden public sectors such as education, while pouring out substantial funds for programs such as the Free Nutritional Meals (MBG) program, with a staggering budget of 391 trillion rupiah, along with the Daya Anagata Nusantara (Danantara) project, which only further enriches the political elite.
The growth of militarism was also marked by the enactment of the Revised TNI Law in March 2025, which essentially reaffirmed the concept of the Dwifungsi doctrine. This policy broadened the path for military involvement in civilian affairs while perpetuating impunity for past human rights violations. Throughout 2025, repressive actions by the authorities have been clear evidence of the threat of this militarisation, particularly what we continue to witness in Papua, where excessive violence, shootings of civilians, and arbitrary arrests are common occurrences. The current regime has reinstated militarism as an instrument of power, thus sacrificing democracy, social justice, and human rights.
Rentetan aksi massa yang mengguncang Indonesia sepanjang Agustus 2025 menandai kembali munculnya situasi radikal yang memuncak dalam sejarah Indonesia. Aksi-aksi tersebut lahir dari akumulasi kekecewaan dan kemarahan rakyat atas kebijakan negara yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat. Kebijakan ekonomi yang berpihak pada oligarki, praktik politik dinasti yang mencederai demokrasi, serta jurang kesenjangan sosial yang semakin melebar menjadi pemicu utama ledakan perlawanan. Perlawanan Agustus menunjukkan dengan jelas bahwa rakyat tidak akan tinggal diam ketika hak-haknya diinjak dan ruang demokrasinya dipersempit. Ledakan demonstrasi itu adalah wujud nyata bahwa kekuatan rakyat masih hidup. Demikian pula Perlawanan Agustus menghasilkan kemenangan dengan dibatalkannya kenaikan pajak di beberapa daerah.
Rezim Prabowo-Gibran merespons gelombang aksi tersebut dengan represi brutal secara sistematis. Represi ini membuat perlawanan mereda bukan karena gagalnya gerakan rakyat, melainkan karena kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi yang dilakukan negara dengan skala besar. Sejarah mencatat bahwa sejak Reformasi 1998, belum pernah terjadi penangkapan dan kriminalisasi terhadap rakyat dalam jumlah sebesar ini. Data yang terhimpun 24 September 2025 menunjukkan 5.444 orang ditangkap dalam Perlawanan Agustus, data terakhir pada 26 September menyebutkan 997 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Terdapat kemungkinan kriminalisasi tersebut akan terus berlanjut. Setidaknya 46 orang dinyatakan hilang, dengan 33 orang di antaranya menjadi korban penghilangan paksa oleh aparat dan hingga hari ini, 2 orang masih hilang.
The series of mass demonstrations that shocked Indonesia throughout August 2025 marked the re-emergence of a radical situation that peaked in Indonesian history. These actions stemmed from the accumulation of public disappointment and anger over state policies that hold absolutely no regard for the people. Economic policies favouring oligarchs, dynastic political practices that undermined democracy, and widening social inequality were the main triggers for the explosion of resistance. The August uprising clearly demonstrated that the people would not remain silent when their rights were trampled upon and their democratic space narrowed. This escalation was a clear demonstration that the power of the people was still alive. Likewise, the August uprising resulted in victory, with the cancellation of tax increases in several regions.
The Prabowo-Gibran regime responded to this wave of protests with systematic, brutal repression. This repression made the resistance subside, not because of the failure of the people’s movement, but because of the violence, intimidation, and criminalisation carried out by the state on a large scale. History records that since the 1998 Reformation, there has never been such a large number of arrests and criminalisation of people. Data collected on September 24, 2025, showed 5,444 people were arrested during the August Uprising; the latest data on September 26 indicated that 997 of them were named as suspects. This criminalisation will likely continue. At least 46 people have been declared missing, with 33 victims of enforced disappearance by the authorities. To this day, two remain missing.
Kekejaman rezim dengan menggabungkan kekuatan militeris ini terjadi juga khususnya di Papua. Campur tangan militerisme di tanah Papua terus terjadi bahkan dalam rentetan Perlawanan Agustus. Data yang terhimpun pada 27-28 Agustus 2025, Polresta Kota Sorong melakukan penangkapan 24 orang masa aksi—yang mana hal ini buntut dari protes pemindahan empat Tapol Papua ke Makassar. 16 orang di antaranya dibebaskan setelah negosiasi panjang antara keluarga, Majelis Rakyat Papua (MRP), dengan polisi pada 30 Agustus 2025. Sementara sisanya, dipaksa untuk meminta maaf dan mengaku bersalah yang kemudian dapat dibebaskan dalam kurun waktu 1 minggu kemudian. Sementara itu, 2 orang lainnya ditembak dan meninggal dunia di Kota Sorong dan Manokwari. Pada 23 September 2025, polisi melakukan penangkapan sebanyak 13 orang aktivis KNPB yang membagi selebaran berkaitan Hari Tani Nasional di Sentani, Jayapura. Kriminalitas ini terus berlanjut, pada 30 September 2025—polisi melakukan penahanan 4 orang masa aksi pada momentum Roma Agremeent, yang mana korban tersebut merupakan mahasiswa Universitas Cendrawasih yang kemudian dijatuhkan sanksi wajib lapor. Sementara itu, 4 Tahanan Politik yang sebelumnya ditahan secara paksa saat mengantar surat perundingan damai untuk penyelesaian konflik Papua dari organisasi Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) masih menjalani proses sidang di Pengadilan Negeri (PN) Makassar hingga saat ini.
The regime’s brutality, combined with military force, also occurred, particularly in Papua. Militarist intervention in Papua continued even during the August Uprising. Data collected on August 27-28, 2025, showed that Sorong City Police arrested 24 people during the protest, which was a follow-up action of the protest against the transfer of four Papuan political prisoners to Makassar. 16 of them were released after lengthy negotiations between their families, the Papuan People’s Assembly (MRP), and the police on August 30, 2025. While the rest of them were forced to apologise and admit guilt, and were then released within a week. Meanwhile, 2 others were shot and killed in Sorong City and Manokwari. On September 23, 2025, police arrested 13 KNPB activists who distributed leaflets related to National Farmers Day in Sentani, Jayapura. This criminalisation continued. On September 30, 2025, the police detained 4 people during the protest on the occasion of the Roma Agreement, where the victims were students at Cendrawasih University who then received mandatory reporting sanctions. Meanwhile, four political prisoners who were forcibly detained while delivering a letter requesting peace negotiations for a resolution of the Papua conflict from the Federal Republic of West Papua (NFRPB) are still undergoing trial at the Makassar District Court.
Tindakan represif yang terjadi sepanjang Perlawanan Agustus tidak berhenti pada penangkapan massal. Brutalitas aparat terwujud dalam berbagai bentuk: penggunaan gas air mata secara membabi buta, penyiksaan terhadap massa aksi, pelecehan seksual, penghalangan bantuan hukum, hingga jatuhnya korban jiwa. Pola kekerasan yang terorganisir ini mengingatkan pada praktik negara otoriter di masa lalu, ketika rakyat dipaksa tunduk melalui ketakutan. Rezim kemudian melanjutkan dengan penegasan kebijakan peninggalan Jokowi dan pembuatan kebijakan baru. Prabowo menegaskan bahwa demonstrasi atau aksi massa harus bubar pada pukul 18:00 WIB. Selain itu, muncul juga Perkapolri Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Kepolisian RI. Aturan internal ini absurd karena melampaui aturan untuk “internal” itu sendiri dengan mengatur penindakan tegas hingga menggunakan senjata api tajam maupun karet untuk orang-orang yang dianggap “menyerang” kantor kepolisian. Dengan demikian, Perlawanan Agustus juga menjadi penanda bahwa demokrasi yang sejak 1998 kini berada di titik paling genting. Kebebasan sipil kian menyempit, hak-hak politik rakyat kian tergerus, dan negara secara terang-terangan memperlihatkan wajah otoriternya. Rezim Prabowo-Gibran melancarkan penangkapan dan kriminalisasi terbesar paska Reformasi 1998.
The repressive actions that occurred during the August Uprising did not stop at mass arrests. Security forces’ brutality manifested itself in various forms: indiscriminate use of tear gas, torture of demonstrators, sexual exposure, obstruction of legal aid, and even loss of life. This pattern of organised violence is reminiscent of past practices of state authorities, when people were forced to submit through fear. The regime then continued it by reaffirming Jokowi’s legacy policies and creating new ones. Prabowo emphasised that demonstrations or mass rallies must disperse by 6:00 PM WIB. Besides that, the National Police Chief Regulation No. 4 of 2025 concerning the Prosecution of Attacks on the Indonesian Police was issued. These internal regulations are unreasonable because they go beyond the “internal” regulations themselves by mandating firm action, including the use of sharp weapons and rubber bullets, against those deemed to have “attacked” police stations. Thus, the August Uprising also marks a critical moment for democracy, which has been in place since 1998. Civil liberties are increasingly restricted, people’s political rights are increasingly eroded, and the state is blatantly displaying its authoritarianism. The Prabowo-Gibran regime has launched the largest number of arrests and criminalizations since the 1998 Reformation.
Bagi kita, perlawanan terhadap represi negara bukanlah reaksi yang dilihat sebagai momentuman saja. Sebaliknya, ia adalah bagian dari upaya panjang mempertahankan hak-hak politik dan ruang hidup rakyat yang terus dikebiri. Brutalitas negara bukan hanya deretan angka korban, tetapi penderitaan manusia yang diproduksi secara sistematis. Situasi ini menegaskan bahwa perjuangan untuk membebaskan kawan-kawan yang ditahan sekaligus menuntut penghukuman pelaku represi serta kejahatan kemanusiaan bukan hanya agenda gerakan sosial, melainkan sebagai langkah politik untuk membangun kekuatan masa aksi dan seluruh rakyat tertindas.
Perlawanan Agustus, justru menunjukkan satu hal penting bahwa seluruh rakyat yang tertindas memiliki keberanian untuk melawan. Tugas kita hari ini adalah memastikan bahwa penderitaan yang lahir dari brutalitas negara tidak dilupakan, bahwa pengorbanan massa aksi menjadi fondasi untuk melanjutkan perjuangan, dan bahwa demokrasi sejati hanya mungkin lahir bila rakyat berani menentang kekuasaan yang menindas. Penyatuan rakyat tertindas dan buruh sepanjang sejarahnya dibuktikan mampu menantang rezim yang represif.
For us, resistance against state repression is not a momentary reaction. Rather, it is part of a long-term effort to defend the political rights and living space of the people, which are continually being undermined. State brutality is not merely a series of numbers of victims, but a systematically produced form of human suffering. This situation confirms that the struggle to free detained comrades and demand punishment for perpetrators of repression and crimes against humanity is not merely a social movement agenda, but a political step to build the strength of the masses and all oppressed people.
The August resistance demonstrated one important fact: all oppressed people dare to resist. Our task today is to ensure that the suffering born of state brutality is not forgotten, that the sacrifices of the masses become the foundation for continuing the struggle, and that true democracy is only possible when the people dare to challenge oppressive power. The unity of oppressed people and workers has historically proven its ability to challenge repressive regimes.
Dengan menahan ribuan massa aksi, negara saat ini secara nyata menunjukan dirinya sebagai alat para elit politik. Brutalitas aparat yang melakukan kriminalitas kepada massa aksi, penghilangan paksa hingga memakan korban jiwa tidak boleh dibiarkan tanpa pertanggungjawaban. Jika korban dibiarkan dipenjara atau bahkan berakhir memakan korban jiwa. sementara pelaku represi kebal hukum, maka ketidakadilan akan terus berulang, dan demokrasi hanya tinggal nama. Sayangnya, ini sudah terjadi. Sejak Reformasi 1998, kita belum mampu menyeret para pelanggar HAM ke dalam penjara. Pembunuhan serta penganiayaan Rezim Prabowo-Gibran terhadap massa aksi Perlawanan Agustus menunjukan bahwa Tindakan tersebut merupakan kelanjutan dari tindakan-tindakan serupa sejak Malapetaka 1965. Kekejian yang dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan para elit politik.
Oleh karena itu, kami menuntut penghukuman terhadap pelanggar HAM—baik aparat maupun elit pejabat politik—hal ini merupakan langkah strategis untuk memutus rantai impunitas dan menuntut penghukuman yang adil bagi mereka yang terus melakukan pemberangusan, pengiblisan hak demokratis mengemukakan pendapat di muka umum, hingga pembunuhan terhadap rakyat itu sendiri.
By detaining thousands of protesters, the state is now clearly showing its true self as a tool of the political elite. The brutality of authorities committing crimes against demonstrators, including forced disappearances that have claimed lives, must not be allowed to continue without accountability. If victims are left imprisoned, or even killed, while perpetrators of repression remain impunity, injustice will continue to recur, and democracy will remain in name only. Unfortunately, this has already happened. Since the 1998 Reformation, we have not been able to bring human rights violators to justice. The killings and abuses of the Prabowo-Gibran regime against demonstrators in August demonstrate that these actions are a continuation of similar acts dating back to the 1965 disaster. These atrocities were committed to maintain the power of political elites.
Therefore, we demand the punishment of human rights violators—both officials and elite politicians—this is a strategic step to break the chain of impunity and demand just punishment for those who continue to perpetrate suppression, demonise the democratic right to express opinions in public, and even murder the people themselves.
Mari kawan-kawan semua kita serukan: “Bebaskan Kawan Kami! Penjarakan Pelanggar HAM!” Hanya dengan persatuan dan masa yang terorganisir, kita dapat membangun kekuatan tandingan yang sanggup menghadapi represi dan merebut kembali ruang demokrasi yang dirampas.
Let us all shout together: “Free our comrades! Imprison human rights violators!” Only through unity and organized action can we build a counterforce capable of confronting repression and reclaiming the democratic space that has been taken away from us.
Apa Yang Bisa Kita Lakukan:
Paling utama adalah terorganisir dan melancarkan PERLAWANAN bersama-sama.
Tandatangani/ Signed Petisi
Tandatangani petisi daring untuk menuntut “Bebaskan Kawan Kami! Penjarakan Pelanggar HAM!”
Sebarluaskan & Galang Dukungan
Sebarluaskan link berikut ini dengan ajakan untuk memberikan dukungan
Unduh poster aksi dan selebaran di bawah. Cetak atau dapat langsung disebarluaskan
Swafoto/ Selfie Campaign
- Unduh poster swafoto di bawah.
- Muat di telpon genggam.
- Ambil swafoto sendiri atau bersama-sama.
- Kirimkan ke Narahubung kami
Terlibatlah
Jika Organisasi anda ingin bergabung dalam Kampanye Bersama ini silahkan isi form berikut ini
Kampanye Bersama “Bebaskan Kawan Kami! Penjarakan Pelanggar HAM!” Didukung Oleh:
Juga Didukung Oleh
![]()














































Comment here