Perjuangan

Ilhamsyah Jadi Komisaris Pelindo: Menguntungkan atau Merugikan Gerakan Rakyat Pekerja?

Pada 19 September 2025, Ilhamsyah, Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), diangkat sebagai Komisaris Independen PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Pengangkatan ini didasarkan atas Keputusan Menteri BUMN dan Direktur Utama PT Danantara Asset Management selaku pemegang saham PT Pelindo.

Peristiwa ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan gerakan rakyat. Di antara yang pro adalah Komite Politik Nasional (Kompolnas). Mereka dengan segera mengeluarkan pernyataan dukungan. Dalam pernyataannya, Kompolnas berharap Ilhamsyah bisa menggunakan jabatannya sebagai komisaris untuk memperluas pengorganisiran serikat pekerja pelabuhan; meningkatkan kualitas kerja dan perlindungan pekerja pelabuhan, serta mendorong tata kelola pelabuhan yang anti-korupsi dan bebas pungli.

Sementara itu, di kalangan gerakan yang lain, berkembang penilaian yang kontra. Ada yang menganggap bahwa komisaris BUMN adalah jabatan politik. Karenanya, menjadi komisaris BUMN sama dengan menjadi bagian dari pemerintahan Prabowo. Peristiwa ini juga terjadi di tengah ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah sedang menguat, sehingga bisa berdampak pada rusaknya kepercayaan publik terhadap gerakan rakyat.

Secara umum, tindakan mempenetrasi negara yang masih dikuasai kapitalis untuk bertarung di dalamnya sah untuk dilakukan. Namun, ada syaratnya, yaitu sejauh tindakan itu menguntungkan gerakan rakyat pekerja. Jika justru menghasilkan kooptasi dan merugikan gerakan, maka tindakan itu tidak dapat dibenarkan. Dengan demikian, pertanyaannya adalah apakah pengangkatan Ilhamsyah sebagai Komisaris Independen PT Pelindo akan menguntungkan atau justru merugikan gerakan rakyat pekerja?

Penulis cenderung melihat bahwa pengangkatan Ilhamsyah akan merugikan gerakan rakyat pekerja. Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa komisaris BUMN adalah jabatan politik. Artinya, pengisian jabatan itu ditentukan oleh proses politik, bukan melalui mekanisme karier yang normal, seperti ujian seleksi atau kenaikan pangkat berdasarkan masa kerja atau prestasi.

Proses politiknya pun bukan melalui pemilihan oleh rakyat, seperti jabatan anggota DPR, DPRD, presiden atau kepala daerah. Tetapi, lewat “penunjukan politik” oleh pemerintah selaku pemegang saham mayoritas di BUMN. Artinya, pengangkatan Ilhamsyah sarat dengan kepentingan pemerintahan Prabowo. Dan tidak sulit untuk melihat bahwa kepentingan pemerintahan Prabowo dalam pengangkatan itu adalah untuk mengooptasi gerakan rakyat.

Kooptasi tentu bisa dilawan, tetapi ada syarat-syaratnya. Pernyataan Kompolnas memaparkan dengan cukup panjang kualitas pribadi Ilhamsyah, seolah-olah hanya itu saja cukup untuk melawan kooptasi. Bahwa Ilhamsyah sudah lama menjadi pengorganisir buruh pelabuhan yang berani, teguh dan militan. Dia sudah biasa “menghadapi tekanan dari perusahaan maupun aparat, tetapi konsisten menjadikan pelabuhan sebagai ruang perjuangan kelas.”

Kualitas pribadi tentu punya peran dalam melawan kooptasi. Tapi, kualitas pribadi semata bukan syarat cukup untuk melawan kooptasi. Dulu, tidak sedikit relawan Jokowi yang punya kualitas pribadi yang baik, tetapi setelah sekian tahun direkrut pemerintah ke posisi-posisi tertentu, termasuk komisaris BUMN, tidak sedikit pula yang tergelincir ke dalam oportunisme. Alih-alih menghasilkan penguatan gerakan, mereka malah ikut menguatkan hegemoni Jokowi dan melemahkan gerakan rakyat pekerja.

Sekarang, mari kita lihat karakter objektif dari jabatan komisaris yang berpotensi mengondisikan kecenderungan Ilhamsyah. Pertama, wewenang komisaris secara umum adalah mengawasi dan memberikan nasihat kepada direksi. Jadi, berbeda dengan direksi, komisaris tidak memiliki kewenangan eksekutorial. Artinya, tidak banyak yang bisa dilakukan Ilhamsyah dengan kewenangannya sebagai komisaris.

Pasal 27G ayat (2) UU No. 1 Tahun 2025 Tentang BUMN memang menyatakan bahwa dewan komisaris bisa mengambil alih fungsi direksi. Tetapi, tampaknya ini tidak akan terjadi dalam situasi normal. Lagipula, peralihan fungsi itu hanya bisa dilakukan atas dasar keputusan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), yang artinya atas dasar keputusan pemerintah selaku pemegang saham mayoritas.

Jadi, janji memperluas pengorganisiran buruh di pelabuhan rasa-rasanya lebih tampak sebagai ornamen politik untuk memaniskan jabatan yang baru diperoleh, alih-alih menjadi agenda yang mungkin direalisasi. Bagaimana caranya seorang komisaris melakukan kerja-kerja untuk mendorong penguatan serikat buruh? Bagaimana caranya seorang komisaris mampu menekan pihak direksi untuk mengangkat ribuan pekerja outsourcing pelabuhan menjadi pekerja tetap?

Lagipula, jika niatnya memang memperkuat perjuangan kelas pekerja di pelabuhan, kenapa harus jadi komisaris? Apakah ada presedennya dalam sejarah gerakan buruh di Indonesia atau dunia, bahwa menjadi komisaris akan memperhebat perjuangan kelas pekerja di sebuah perusahaan atau sektor industri tertentu? Gerakan buruh tidak pernah dan tidak akan pernah bisa diperhebat dengan cara-cara oportunistik.

Kedua, komisaris pada dasarnya adalah posisi yang mewakili pemilik saham atau pemilik kapital. Artinya orang yang duduk di posisi tersebut merupakan delegasi dari kepentingan kapitalis. Ia tidak datang ke meja rapat untuk mewakili agenda buruh. Justru suaranya mewakili pihak yang berseberangan dengan kelas buruh itu sendiri, yaitu kelas kapitalis.

Mungkin sebagian orang akan berdalih, bukankah dalam kasus ini Ilhamsyah menjadi komisaris di BUMN dan bukan korporasi swasta? Sehingga premis di paragraf sebelumnya bisa dianggap tidak relevan atau setidaknya diragukan. Sehingga dapat dibilang Ilhamsyah mewakili pemerintah, bukan pemilik korporasi swasta.

Kalaupun memakai alur berpikir semacam itu, pertanyaan yang muncul adalah pemerintahan seperti apa yang sedang diwakili Ilhamsyah? Pemerintahan Prabowo yang mewakili kepentingan kapitalis cum oligarki, atau kepentingan kelas buruh? Tidak terlalu sulit untuk memberikan jawaban atas karakter pemerintahan yang eksis di Indonesia selama ini. Benar, mereka mewakili kepentingan kapitalis par excellence!

Mungkin tetap akan ada yang berdalih lagi, bahwa Ilhamsyah adalah seorang aktivis buruh yang memiliki relasi dengan gerakan buruh, dan relasi ini akan membuatnya membawa kepentingan buruh. Di sini, penulis mengingatkan bahwa komisaris BUMN adalah jabatan yang diperoleh melalui penunjukan politik oleh pemerintah selaku pemegang saham mayoritas. Siapa pun yang mengisi jabatan itu akan terkena tekanan yang tinggi untuk mematuhi pemerintah. Karena jika ia membangkang, ia bisa diberhentikan oleh pemerintah. Artinya, jabatan ini memiliki relasi ketergantungan dengan pemerintah, yang membuatnya menjadi jabatan berdaya tawar rendah.

Agar lebih jelas, mari kita bandingkan dengan jabatan anggota DPR yang diperoleh melalui pemilihan oleh rakyat. Seorang anggota DPR tidak bisa diberhentikan karena punya posisi yang bertentangan dengan anggota DPR lain atau pemerintah. Ia bahkan punya hak imunitas dan tidak bisa dituntut secara hukum karena pendapat atau pernyataannya yang terkait dengan fungsinya sebagai anggota DPR. Ini kenapa jabatan anggota legislatif kerap digunakan gerakan kiri untuk bertarung dengan kelas kapitalis dalam negara. Karena, sejauh si anggota DPR terpilih bukan lewat partai oligarki dan tanpa bantuan oligarki, jabatan itu relatif bebas dari relasi ketergantungan dengan oligarki, sehingga membuatnya menjadi jabatan berdaya tawar tinggi.

Ketiga, jabatan komisaris disertai insentif ekonomi yang cukup besar. Gaji bulanan komisaris BUMN memang bervariasi, tetapi beberapa laporan media menyebutkan gaji mereka berada di kisaran ratusan juta. Ini belum termasuk tunjangan yang mereka dapatkan. Insentif ekonomi yang cukup besar ini akan menekan si komisaris untuk tidak melakukan hal-hal yang bisa membuat dia kehilangan insentif dan jabatan itu. Dengan kata lain, insentif ekonomi ini akan menekan dia untuk patuh kepada pemerintah.

Melihat karakter jabatan komisaris di atas, kecil kemungkinan Ilhamsyah akan bisa menggunakan jabatan itu untuk memperjuangkan kepentingan buruh. Sebaliknya, ia cenderung akan mengikuti tekanan untuk patuh kepada pemerintah. Ia juga mungkin akan mempengaruhi basis-basisnya untuk mengikuti tekanan pemerintah. Singkatnya, besar kemungkinan akan terjadi kooptasi yang merugikan gerakan rakyat pekerja. Ini bukan karena kualitas pribadi Ilhamsyah buruk, tetapi karena tekanan yang tinggi dari karakter objektif jabatan komisaris.

Apalagi jabatan itu diperoleh Ilhamsyah di saat gerakan rakyat pekerja sedang lemah. Kalau gerakan rakyat pekerjanya kuat, dan ada tekanan dari gerakan rakyat pekerja agar Ilhamsyah memperjuangkan kepentingan mereka, Ilhamsyah dengan kualitas pribadinya mungkin akan mengikuti tekanan dari rakyat pekerja dan melawan tekanan pemerintah. Tetapi, skenario ini bisa kita keluarkan dari kalkulasi politik kita, karena gerakan rakyat pekerja kita sedang lemah.

Perlu dicatat bahwa sudah lama gerakan buruh kita mengalami proses deradikalisasi. Salah satunya dikarenakan peran reaksioner para aristokrat serikat pekerja, yaitu elite serikat yang mendapatkan hak istimewa dan keuntungan tertentu karena kedudukannya sebagai pimpinan serikat pekerja. Dulu, lapisan aristokrasi ini hanya beredar di sekitar mereka yang dilabeli “serikat kuning.” Sekarang lapisan ini merambah ke serikat merah, yang selama ini dianggap memiliki perbedaan prinsipil dengan “serikat kuning.” Kaum aristokrat ini memandulkan potensi eksplosif kelas pekerja dengan berbagai manuver, kompromi, dan jalinan kerjasama dengan kelas penguasa.

Mereka boleh saja berpidato dengan galak di setiap demonstrasi, tetapi tidak ditemukan satupun pemikiran dan tindakan politiknya yang radikal. Mereka menghindari bentrokan-bentrokan tajam massa buruh, dengan dalih buruh belum siap dengan semua itu, sembari terus menjaga hubungan hangat dan koordinatif dengan aparat. Mereka lebih nyaman pergi ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) atau menghadiri audiensi ini dan itu, daripada mempersiapkan konfrontasi kelas yang nyata. Tanpa radikalisasi dari aksi-aksi kelas pekerja, hanya soal waktu saja aristokrat serikat pekerja yang sudah impoten ini terus berayun jauh ke kanan. Mereka semakin permisif untuk menerima peluang menjadi bagian dari kelas penguasa. Dan anggota mereka yang sudah lama dimandulkan akan ikut menerima itu semua sebagai pencapaian pimpinan mereka yang hebat.

Terakhir, pengangkatan Ilhamsyah menjadi komisaris Pelindo terjadi ketika radikalisasi kaum muda sedang meningkat. Radikalisasi ini sebenarnya adalah peluang bagi gerakan kiri untuk memperluas basis sosialnya. Namun, hal ini sulit dilakukan karena kredibilitas gerakan kiri sudah lama rusak, dan salah satu sebabnya adalah karena oportunisme kronis yang sudah lama menjangkiti gerakan kiri.

Pengangkatan Ilhamsyah bisa ikut memperdalam kerusakan ini, dan membuat kita semakin sulit menjangkau kaum muda yang sedang teradikalisasi. Ia hanya akan menambah kemuakkan kaum muda radikal akan wajah kusam oportunisme yang terus berulang di gerakan kiri. Tindakan Ilhamsyah yang didukung Kompolnas sama sekali bukanlah inspirasi. Sebaliknya, ia cuma contoh buruk dari kebuntuan dan demoralisasi gerakan kiri itu sendiri.

ditulis oleh Yudha Prasetyo, pemerhati dan pegiat gerakan rakyat. Saat ini berdomisili di Pulau Jawa.

Loading

Comment here