Teori

Tinjauan Historis Komite-komite Perlawanan Sebagai Embrio Kekuasan Buruh dan Rakyat

Dalam peristiwa revolusi di berbagai negara, tidak ada satu jenis komite perlawanan yang universal, akan tetapi berbagai bentuk komite muncul untuk tujuan spesifik di tengah situasi radikal dan kemendesakan untuk menguatkan kekuatan kelas tertindas. Seperti halnya sebagai bentuk pemerintahan sementara atau perjuangan kepentingan buruh dan rakyat. Pembentukan komite perlawanan selama peristiwa revolusi di banyak negara umumnya terjadi sebagai respons spontan terhadap situasi krisis yang memuncak, terdapat kebutuhan untuk mengorganisir kekuatan rakyat atau untuk menjamin dukungan dari buruh serta rakyat untuk tujuan revolusioner.

Pembentukan komite perlawanan dalam berbagai situasi revolusioner selalu lahir dari kebutuhan mendesak rakyatuntuk bertahan hidup sekaligus melawan kekuasaan lama. Saat negara lama runtuh atau melemah, kebutuhan dasar seperti pangan, keselamatan, dan keamanan tidak lagi dapat dipenuhi oleh struktur negara borjuis. Di titik inilah rakyat merasa perlu membentuk organ alternatif yang bisa menjadi wadah kolektif untuk mengatur kehidupan sehari-hari sekaligus mengorganisir perlawanan. Komite perlawanan muncul bukan semata-mata karena ide politik, melainkan karena kebutuhan praktis: menjaga logistik, mendistribusikan bahan pokok, melindungi buruh dan rakyat, hingga mengoordinasikan aksi massa.

Strategi pembentukannya umumnya dilakukan dengan mengorganisir basis sosial terdekat. Di kota, buruh membentuk komite di pabrik atau lingkungan kerja mereka, yang kemudian melebar menjadi jaringan antar-pabrik atau kota. Di desa, petani membentuk komite rakyat yang mengatur tanah, hasil pertanian, dan pertahanan lokal. Para pemuda, mahasiswa, dan tentara rakyat sering menjadi penghubung antara berbagai komite, sehingga terbentuk koordinasi lebih luas. Strategi lain yang sering dipakai adalah menggabungkan spontanitas massa dengan kepemimpinan politik yang terorganisir. Komite perlawanan tidak hanya berfungsi sebagai wadah perlawanan lokal, tetapi juga bisa berkembang menjadi embrio kekuasaan baru yang menantang negara lama dan memberi bentuk pada tatanan politik revolusioner.

Dalam Revolusi Rusia 1905, buruh di berbagai kota mulai membentuk soviet-soviet dan komite pemogokan sebagai wadah koordinasi perjuangan. Komite ini bukan sekadar panitia teknis mogok, melainkan berkembang menjadi pusat politik yang mengekspresikan kepentingan kelas buruh. Misalnya di Petrograd, lahirlah Soviet Buruh Petrograd yang berfungsi seperti “pemerintah alternatif” buruh, mengorganisir aksi, menerbitkan selebaran, hingga mengatur kehidupan sehari-hari di tengah kekacauan politik. Soviet ini diisi oleh delegasi buruh dari pabrik-pabrik besar, yang dipilih dan dapat ditarik kembali kapan saja—sehingga jauh lebih demokratis dibanding lembaga resmi Tsar.

Komite perlawanan lahir sebagai reaksi terhadap represi militer dan polisi Tsar. Pemogokan massal pada 1905 sering dihadapi dengan kekerasan, sehingga buruh mulai membentuk komite sebagai bentuk pertahanan untuk melawan pasukan bersenjata. Di beberapa daerah, buruh bahkan membentuk milisi bersenjata sendiri. Semua organ ini, baik komite pemogokan, komite pertahanan, maupun soviet, menjadi bentuk-bentuk awal komite perlawanan yang kelak pada 1917 berkembang lebih matang dalam Revolusi Oktober.

Dalam Ten Days That Shook the World, John Reed menggambarkan bahwa yang dimaksud dengan berbagai “komite perlawanan” adalah badan-badan revolusioner yang dibentuk oleh buruh, maupun tani di tengah gejolak Revolusi Rusia 1917. Komite-komite ini muncul baik secara spontan maupun terorganisir, berfungsi sebagai alat perjuangan massa melawan pemerintahan lama dan upaya kontra-revolusi. Bentuknya beragam: di pabrik-pabrik buruh mendirikan komite pabrik untuk mengatur jalannya produksi sekaligus membentuk garda merah; di barak-barak tentara lahir komite resimen yang menolak perintah perwira Tsar dan hanya tunduk pada keputusan soviet; sementara di Petrograd, Soviet membentuk Komite Revolusioner Militer sebagai pusat komando politik-militer yang memimpin perebutan kekuasaan.

Sejarah kemunculan komite perlawanan dalam Ten Days That Shook the World berakar pada krisis mendalam yang melanda Rusia menjelang Revolusi Oktober 1917. Perang Dunia I telah menghancurkan ekonomi, menewaskan jutaan tentara, dan membuat rakyat kelaparan. Revolusi Februari menjatuhkan Tsar, tetapi kekuasaan tidak berpindah ke tangan rakyat. Sebaliknya, lahir “kekuasaan ganda” di mana Pemerintah Sementara yang didominasi kaum liberal borjuis tetap berkuasa, sementara di sisi lain soviet-soviet buruh, tani, dan tentara tumbuh sebagai organ baru rakyat pekerja. Pemerintah Sementara gagal memenuhi tuntutan rakyat—mereka melanjutkan perang, menolak membagi tanah, dan tidak memperbaiki kondisi buruh—sehingga ketidakpuasan massa kian membesar.

Dalam situasi ini, berbagai komite perlawanan mulai bermunculan. Buruh membentuk komite pabrik untuk mengatur produksi, menetapkan upah, dan membentuk garda merah karena para pemilik pabrik kerap menutup atau menyabotase produksi. Tentara di garis depan dan garnisun kota membentuk komite resimen yang menolak perintah perwira tsaris, memilih komandan sendiri, dan lebih setia pada soviet daripada Pemerintah Sementara. Di Petrograd, Soviet bahkan mendirikan Komite Revolusioner Militer (Military Revolutionary Committee/MRC)yang berfungsi sebagai pusat komando politik dan militer untuk menghadapi ancaman kudeta kontra-revolusioner, seperti kudeta Kornilov, dan kemudian menjadi motor utama dalam perebutan kekuasaan pada Revolusi Oktober.

Komite-komite ini lahir karena tiga kondisi mendasar: Pertama, terjadinya vacuum of power (kekosongan kekuasaan) pasca-runtuhnya Negara Tsaris, di mana institusi-institusi lama seperti polisi, birokrasi, dan komando tentara kolaps dan kehilangan legitimasinya secara menyeluruh. Kedua, ketidakmampuan mutlak Pemerintahan Sementara borjuis, yang terus melanjutkan Perang Imperialis dan menunda reformasi tanah, untuk memenuhi tuntutan mendasar rakyat akan “Roti, Damai, dan Tanah”. Kegagalan ini memaksa massa—buruh, prajurit, dan petani—untuk mengambil inisiatif dan mengorganisir dirinya sendiri guna memecahkan masalah langsung produksi, distribusi, keamanan, dan pertahanan. Ketiga, situasi ini diperkuat oleh menguatnya mobilisasi revolusioner yang menemukan saluran politiknya dalam bentuk soviet-soviet, yang bertindak sebagai kekuatan tandingan (dual power) terhadap pemerintah resmi.

Komite-komite ini memang jauh lebih dari sekadar organ pertahanan spontan; mereka adalah embrio dari kekuasaan kelas baru—negara buruh yang berdasarkan pada demokrasi soviet—yang secara organik tumbuh dari dalam keruntuhan negara lama. Seperti diamati oleh John Reed dalam Ten Days That Shook the World, komite-komite inilah—dengan basisnya yang luas dan langsung di akar rumput—yang menjadi tulang punggung nyata Revolusi Oktober. Tindakan Koalisi Komite Revolusioner Militer (MRC) Petrograd, yang dengan efisien mengoordinasikan perebutan kekuasaan, hanyalah puncak dari sebuah proses dimana kekuasaan nyata telah dialihkan secara de facto dari bawah. Revolusi Oktober pada hakikatnya bukanlah sebuah “kudeta” oleh segelintir orang, melainkan tindakan pengambilalihan kekuasaan secara politis dan fisik oleh kelas buruh yang telah terorganisir melalui komite-komite ini, yang akhirnya menyerahkan kedaulatan sepenuhnya kepada Kongres Soviet Seluruh Rusia.

Peristiwa Mei 1968 di Perancis menunjukkan bahwa pemberontakan ini tidak hanya berupa letupan spontan mahasiswa, tetapi juga melahirkan berbagai komite aksi yang menjadi organ penting dalam menggerakkan perlawanan. Awalnya, keresahan mahasiswa muncul dari sistem pendidikan yang penuh kontradiksi, ditambah inspirasi dari perjuangan rakyat Vietnam. Sejak 1966, terbentuk komite solidaritas para pelajar dan universitas untuk Vietnam, yang menjadi basis awal radikalisasi mahasiswa. Dari sini, lahir ratusan komite aksi pelajar dan mahasiswa yang mengorganisir boikot kelas, pendudukan kampus, serta demonstrasi melawan represi polisi dan imperialisme.

Setelah pecahnya “Malam Barikade” 10 Mei dan meningkatnya simpati publik, gelombang perjuangan menjalar ke kelas buruh. Pada pertengahan Mei, buruh mulai menduduki pabrik dan membentuk komite-komite buruh di tempat kerja. Komite ini tidak hanya mengatur mogok, tetapi juga menjadi wadah pengambilan keputusan kolektif dan simbol kemandirian politik kelas pekerja, melampaui kendali serikat resmi. Dalam waktu seminggu, 10 juta buruh terlibat dalam mogok nasional, dengan komite-komite buruh dan mahasiswa menjadi penghubung nyata antara dua kekuatan sosial terbesar.

Di berbagai wilayah, juga bermunculan komite solidaritas lokal, baik di lingkungan perumahan, di antara buruh migran, maupun di sektor kebudayaan, yang memperluas basis revolusi. Dengan cepat, komite-komite ini menjelma sebagai embrio kekuasaan alternatif yang berpotensi menantang negara borjuis. Namun, potensi revolusioner tersebut terhambat karena kepemimpinan Partai Komunis Prancis (PK) dan serikat buruh CGT justru menahan arus dengan membatasi perjuangan pada tuntutan ekonomi semata, menolak menggulingkan rezim de Gaulle, dan bahkan menstigma mahasiswa radikal sebagai provokator. Dengan demikian, meskipun komite-komite aksi menjadi jantung radikalisasi dan sempat menciptakan situasi revolusioner yang mengguncang Prancis, ketiadaan kepemimpinan revolusioner yang konsisten membuat mereka akhirnya dilemahkan dan ditarik mundur ke dalam kerangka kompromi elektoral. Peran komite-komite ini tetap menjadi pelajaran penting: bahwa organ-organ basis semacam itu dapat menjadi alat transisi menuju kekuasaan rakyat, tetapi keberhasilannya bergantung pada arah politik yang jelas dan keterlibatan kaum revolusioner dalam memimpinnya.

Pengalaman revolusi di Spanyol 1936-1937, Ketika kudeta militer yang dipimpin Franco pecah, negara Republik Spanyol terbukti tidak mampu memberi jawaban terhadap ancaman fasisme maupun kebutuhan rakyat pekerja. Di tengah kekosongan kekuasaan inilah buruh, tani, dan rakyat miskin terdorong untuk mengorganisir kehidupan mereka sendiri. Dari sini lahirlah komite-komite rakyat yang berfungsi sekaligus sebagai organ perlawanan bersenjata, pengelola ekonomi, hingga pengatur kehidupan sosial sehari-hari. Di kota-kota industri, terutama di Catalonia, buruh mengambil alih pabrik-pabrik yang ditinggalkan pemiliknya dan membentuk komite pabrik untuk mengatur produksi. Di pedesaan, petani mendirikan komite kolektif yang mengorganisir pembagian tanah, mengelola hasil pertanian, dan menyusun kehidupan ekonomi secara komunal. Sementara itu, untuk menghadapi ancaman militer Franco, lahir pula komite milisi yang mengkoordinasikan kelompok-kelompok bersenjata rakyat. Kondisi yang menyertai kemunculan komite perlawanan ini adalah kekosongan kekuasaan akibat kelemahan negara Republik dalam menghadapi kudeta fasis. Aparat lama lumpuh, kaum borjuis banyak yang melarikan diri atau bersekutu dengan Franco, sementara pemerintahan Republik tidak mampu menjawab kebutuhan mendesak rakyat.

Peristiwa Hari-Hari Mei 1937 di Barcelona menunjukkan bahwa kekuasaan sesungguhnya berada di tangan proletariat Catalonia melalui barikade-barikade dan aksi massa yang mereka dirikan. Pada momen itu, kelas pekerja—dengan dukungan komite-komite pekerja dan milisi rakyat—telah secara efektif menguasai kota dan berpotensi memperluasnya menjadi kekuasaan revolusioner di seluruh Spanyol. Komite-komite perlawanan yang sejak 1936 menjadi organ kekuasaan alternatif rakyat pekerja kembali menunjukkan perannya sebagai basis pertahanan dan alat demokrasi langsung. Namun, kesempatan ini terbuang akibat kepemimpinan CNT dan POUM yang menolak mengambil langkah merebut kekuasaan secara penuh. Alih-alih memperkuat komite sebagai organ pemerintahan buruh-tani, mereka justru menyerukan pekerja untuk meninggalkan barikade.

Kegagalan untuk mengonsolidasikan kekuasaan komite perlawanan membuka jalan bagi kontra-revolusi. Kaum Stalinis, dengan dukungan Sosialis kanan, melakukan penumpasan sistematis terhadap anarkis dan POUM, membubarkan kolektif-kolektif, serta menghancurkan komite-komite pekerja. Aparatus negara kapitalis pun dipulihkan, mengembalikan hakim, polisi, sipir, hingga perwira militer lama ke kursi kekuasaan. Dengan hancurnya organ-organ perlawanan rakyat, semangat revolusi patah, dan jalan terbuka lebar bagi kemenangan Franco.

Kita juga perlu melihat apa yang terjadi di Kuba, yaitu komite bernama CDR (Committees for the Defense of the Revolution). CDR merupakan kelompok yang berbasiskan lingkungan sekitar di seluruh Kuba untuk mempertahankan dan meluaskan capaian revolusi. Pada 28 September 1960, Fidel Castro mengumumkan pembentukan CDR. Pada 1961, CDR memiliki keanggotaan setengah juta orang. Pada 1970, keanggotaannya 3,2 juta atau 37% dari rakyat kuba; 5,4 juta pada 1980 atau 56% dari rakyat Kuba dan pada 2010 beranggotakan 8,4 juta rakyat kuba dari total populasi 11,2 juta terdaftar sebagai anggota CDR. Komite ini merupakan sebuah jaringan komite kewilayahan di Kuba. Komite ini disebut sebagai “mata dan telinga Revolusi” yang dibentuk untuk menjaga agar situasi revolusioner tetap berjalan dan mengamankan perubahan yang terjadi paska penggulingan kediktatoran Fulgencio Batista. Pembentukan mereka ini juga sebagai respons adanya ancaman kontra-revolusioner dari dalam dan luar negeri. CDR ini menggordinasikan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk memperkuat revolusi, seperti mengumpulkan informasi, mengorganisir partisipasi rakyat dalam kegiatan revolusi dan menjaga keamanan lingkungan. Revolusi Kuba merupakan salah satu peristiwa bersejarah yang penting untuk dilihat,

Di lain hal, kita juga dapat melihat pemerintahan revolusioner Komune Paris yang dibentuk sekitar 1871 dan bertahan selama 72 hari. Ini adalah salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah gerakan buruh dan sosialis. Komune Paris ini juga sebagai salah satu peristiwa penting bagaimana kekuasaan buruh untuk pertama kalinya dapat menduduki kota Paris. Pemogokan buruh yang terorganisir dari pabrik-pabrik yang dalam perjalanannya tentu mendapatkan represi sepanjang 18 Maret hingga 28 Mei 1871. Latar belakang utamanya adalah kekalahan Prancis dalam Perang Prancis-Prusia (1870-1871). Kaisar Napoleon III ditangkap, dan Republik Ketiga diproklamasikan. Pemerintah Republik yang baru, yang berpusat di Versailles dan dipimpin oleh Adolphe Thiers, ingin menyerah kepada Prusia. Rakyat Paris, yang telah menderita selama pengepungan kota oleh tentara Prusia, marah dengan keputusan menyerah ini. Terbentuknya Komune ini, puncaknya pada 18 Maret 1871, ketika tentara pemerintah mencoba menyita meriam di Montmartre. Mereka disambut oleh kerumunan warga dan perempuan, dan para tentara menolak untuk menembak massa. Jenderal pemerintah, Claude Lecomte, ditembak mati oleh anak buahnya sendiri. Pemerintah di Versailles melarikan diri, meninggalkan Paris di tangan rakyat. Pada 26 Maret, pemilihan umum diadakan untuk membentuk Komune Paris. Pada 28 Maret, Komune secara resmi diproklamasikan di balai kota. Pada 21 Mei 1871, tentara Versailles masuk ke Paris dan memulai minggu pembantaian berdarah yang dikenal sebagai “La Semaine Sanglante” (Minggu Berdarah). Selama seminggu, terjadi pertempuran jalanan yang sengit. Tentara pemerintah membantai puluhan ribu warga Paris—para komunard maupun warga sipil. Komune Paris ini memberikan inspirasi besar bagi gerakan revolusioner di seluruh dunia.  Termasuk bagi Soviet-Soviet dalam Revolusi Rusia dan Dewan-Dewan Buruh (Räte) di Jerman, yang terbentuk setelah Perang Dunia I

Hal serupa juga terjadi di Indonesia, dalam buku berjudul One Soul One Struggle Peristiwa Tiga Daerah yang ditulis oleh Anton E. Lucas. Buku ini meneliti peristiwa revolusi sosial di Indonesia yang terjadi di tiga wilayah (Brebes, Tegal, dan Pemalang) seputaran tahun 1945. Buku ini menggali akar revolusi sosial di basis akar rumput dan juga peran penting badan perjuangan serta peran militer lokal dalam konteks revolusi kemerdekaan Indonesia.

Munculnya kepemimpinan revolusioner di Tiga Daerah ini berasal dari berbagai kelompok yang terlibat dalam kegiatan bawah tanah. Dalam memahami dinamika Revolusi Sosial di Tiga Daerah, harus diketahui bagaimana permulaannya, siapa pemimpinnya, apa yang terjadi dengan para pejabat tatanan lama yang dianggap ternoda oleh rakyat karena menjalankan kebijaksanaan pemerintah penjajah Jepang yang menindas. Juga tidak dilupakan dalam pembahasan peranan  golongan setengah bandit yang dikenal sebagai lenggaong dalam menumbangkan pemerintah di desa.

Setelah terjadinya Proklamasi, kelaparan dan kekurangan yang dialami rakyat selama masa penjajahan Jepang tidaklah menjadi lebih ringan. Berton-ton padi yang disetorkan sehabis panen (Mei-Juni 1945) di Tiga Daerah, menumpuk di gudang-gudang tak digunakan. Tuntutan rakyat desa agar padi itu dibagikan, sama sekali tidak ditanggapi oleh pamong desa maupun camat. Ketegangan serupa itu dapat dengan jelas dilihat pada apa yang terjadi di Kecamatan Moga, Pemalang Selatan. Dalam suatu rapat pada awal bulan Oktober rakyat memita agar padi dibagikan. Akan tetapi, camat sedang tidak ditempat dan para pejabat tidak berani bertindak apapun selain menunggu camat tesebut kembali. Wakil Camat saat itu Fuko Soncho yang merupakan adik dari Bupati Pemalang berusaha untuk menenangkan suasana. Akan tetapi, rakyat yang berkumpul saat itu menjadi marah dan melempari gedung dan tempat-tempat simpanan padi dengan batu. Di Tiga Daerah ketegangan-ketegangan serupa terjadi di mana-mana. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah setempat sudah tidak punya waktu lagi untuk bertindak, karena pada akhir minggu kedua bulan Oktober, sudah terlambat untuk membagi-bagi padi. Hal ini menandai dimulainya Revolusi Sosial.

Pengarung Lenggaong dalam revolusi sosial Tiga Daerah sangat jelas—mereka memimpin aksi dombreng dan menyerahkan lurah-lurah semasa revolusi sosial di bulan Oktober. Dalam kekosongan kekuasaan selama revolusi sosial, mereka cepat bertindak terhadap pejabar korup, khususnya lurah-lurah. Kaum Lenggaong di Tiga Daerah merupakan penggerak revolusi kemerdekaan di pedesaan pada bulan Oktober 1945, juga memplopori perlawanan terhadap elite birokrat yang dianggap korup dan mengambil alih pabrik gula yang dikuasi oleh Jepang. Hal yang menarik dari kelompok lenggaong di Tiga Daerah adalah Barisan Cengkrong (arit) di daerah Comal. Tokohnya yang terkenal yaitu Idris, sedangkan wakilnya Tarbu adalah seorang buruh tani. Kelompok ini juga mengangkat Ilham, seorang guru desa dan bekas anggota Sarekat Rakyat sebagai penasihat politik. Ini mencerminkan adanya hubungan kaum lenggaong dengan kaum pergerakan radikal tua yang terdiri dari pada guru sekola dan bekas anggota Sarekat Rakyat dan Sarekat Islam. Hubungan mereka dirintis sejak tahun 1920. Barisan Cengkrong menahan lurah Desa Tumuireng, memecat lurah Petarukan yang korup dan membagi-bagi tekstil yang kedapatan dalam kasur-kasurnya. Dengan algojo Haji Dimyato, Barisan Cengkrong mengambil alih pabrik gula Petarukan.

Pada zaman revolusi sosial Kecamatan Talang terkenal terutama karena kutil yang dikenal sebagai jagoan rakyat Talang. Dalam sidang pengadilan Pekalongan, Kutil mengaku telah melakukan banyak pembunuhan dan menurut pendukungnya hal itu dilakukan demi melindungi teman-temannya di Talah. Peristiwa Tiga Daeerah juga sering disebut sebagai “Gerakan Kutil”. Dalam bulan Oktober 1945, Kutil membentuk organisasi bernama Amri dan menggunakan Bank Rakyat Talang sebagai markas besarnya. Para pengikut AMRI ini diantaranya pedagang-pedang, penjual makanan, penjahit, petani miskin, tukang besi, dan penjual jamu. Seperti badan-badang perjuangan lainnya saat itu. tugasnya yaitu mencari sisa-sisa orang jepang dan melucutinya. Di lain hal juga melakukan pengejaran terhadap agen-agen NICA. Di talang revolusi sosial mulai lebih awal daripada di tempat-tempat lain. Tujuan AMRI bentukan Kutil di masa revolusi sosial adalah pembagian kekayaan. Tujuan lainnya ialah menumpas setiap orang yang dicurigai menjadi agen NICA, yang dianggap sebagai pengkhianat Republik.

Distribusi kain di Talang dan di daerah-daerah lainnya menunjukkan adanya keselarasan antara kemauan rakyat dan tindakannya walaupun tujuan jangka panjang kelompok Kutil tidak jelas. Distribusi kain merupakan permasalahan paling mendesak waktu itu karena ada kondisi di mana masyarakat selama pendudukan jepang terpaksa memakai baju yang terbuat dari goni dan serat pohon. Kutil merupakan kelompok perantara antara kelompok agam dan kelompok lenggaong. Dia juga memiliki hubungan yang baik dengan kaum nasionalis yang berpendidikan Belanda.

Telah kita lihat bahwa revolusi sosial atau istilah populernya “rakyat bergerak” dimulai dengan tuntutan agar padi dibagikan, disusul dengan aksi dombreng di Desa Cerih, Tegal Selatan, yang kemudian meluas ke daerah lain termasuk Moga (Pemalang Selatan). Pola-pola pergolakan yang terjadi di Tiga Daerah. Di desa-desa tempat elite keagamaan menguasai desa, kaum lenggaong bukanlah tantangan dan hanya sedikit terjadi perubahan. Di Pemalang Selatan, unsur pergerakan sebelum perang yang diwakili KNI-KNI setempat juga lemah dan Sarekat Rakyat tidak mempunyai pengikut di dalamnya. Di antara kedua pola ini, terdapat variasi-variasi yang seringkali merupakan kombinasi dari para priyai desa, elit keagamaan, tokoh pergerakan sebelum perang dan kaum longgang dan elite keagamaan. Kedua, peranan moderat para pemimpin pergerakan sebelum perang yang radikal seperti Bumireja. Ketinga, pengaruh kesengsaraan masa perang dan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah lama yang melawan penindasan seperti di Krasak.

Dalam buku One Soul, One Struggle Peristiwa Tiga Daerah juga dapat dilihat bahwa komite perlawanan digambarkan sebagai salah satu bentuk organisasi rakyat yang lahir dari gejolak revolusi di Tegal, Brebes, dan Pemalang pasca Proklamasi 1945. Sejarahnya berawal dari keresahan buruh tani, buruh perkebunan, serta rakyat miskin yang selama masa kolonial Belanda hingga pendudukan Jepang terus dieksploitasi dan ditindas, baik oleh tuan tanah, aparat kolonial, maupun birokrat lokal yang bersekutu dengan kekuasaan lama. Ketika Jepang menyerah dan kekuasaan kolonial goyah, ruang politik terbuka bagi rakyat untuk mengambil inisiatif. Dari sinilah lahir komite-komite perlawanan, terbentuk oleh buruh, tani, dan pemuda untuk mengisi kekosongan kekuasaan, mengusir pejabat-pejabat yang dianggap mewakili rezim lama, dan mengambil alih fungsi pemerintahan di daerah. Komite perlawanan tidak hanya mengorganisir aksi-aksi massa, tetapi juga mengatur soal distribusi pangan, keamanan desa, hingga pembagian tanah, sehingga berperan sebagai otoritas alternatif di tengah krisis legitimasi negara. Namun, sejarah mencatat bahwa keberanian rakyat ini segera dihadapkan pada represi: pemerintah pusat yang berupaya mengonsolidasikan kekuasaannya bersama militer memandang komite perlawanan sebagai ancaman. Akibatnya, gerakan Tiga Daerah yang berakar dari komite-komite tersebut akhirnya ditumpas, dan para pemimpinnya banyak yang ditangkap atau dibunuh. Meski demikian, pengalaman komite perlawanan di Tiga Daerah menjadi bukti bahwa rakyat pekerja mampu menciptakan organ kekuasaan sendiri, yang lahir dari kebutuhan sejarah dan semangat revolusioner massa.

Situasi ini kembali terjadi di Indonesia, setidaknya memuncaknya situasi radikal di bulan Agustus. Di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran ledakan perlawanan massa kembali muncul. Penyebab mendasarnya ialah kebijakan yang eksploitatif dan menunjukkan suatu kontras perbedaan sosial dari para elit politik dan rakyat secara umum dan represi yang secara sistematis terus dilakukan. Keterlibatan militer dalam ruang-ruang sipil hingga gelontoran anggaran yang membuat institusi mereka semakin berkuasa. Pada bulan Juli-Agustus 2025, pemerintah serentak menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan di berbagai daerah. Kebijakan ini dilakukan secara sepihak dengan menetapkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) properti milik masyarakat yang sebagian besar tinggal di desa yaitu petani dan produsen lokal. Selain itu, wacana kenaikan iuran BPJS kesehatan yang direncakan akan dilaksanakan pada 2026. Iuran jaminan kesehatan yang melonjak ini seiring dengan merosotnya perekonomian di Indonesia. Di tengah pajak yang terus mencekik rakyatnya, pemerintah menjalankan program-program yang berdumpuk buruk bagi rakyat. Misalnya, program MBG (Makan Bergizi Gratis) yang menghabiskan banyak dana. Kondisi seperti ini diperparah, saat Sidang Paripurna HUT Indonesia ke 80 tahun, Prabowo mengumumkan kenaikan tunjangan DPR RI yang menyentuh angka 100 juta perbulan. Ditambah dengan tunjangan lain yang tentu saja tidak memikirkan kondisi masyarakat hari ini. Di tengah kondisi yang menyiksa rakyatnya, para anggota DPR yang kebanyakan di isi oleh selebritis tidak kompeten mengejek kondisi rakyat dan menari di atas penderitaan rakyatnya.

Rentetan aksi terjadi di berbagai daerah, setidaknya dimulai pada 13 Agustus 2025 di Pati. Kenaikan PBB-P2  yang menyentuh angka 250% memantik masyarakat Pati untuk melancarkan aksi yang kemudian disertai dengan tuntutan pencabutan jabatan Bupati Pati. Demonstrasi yang berangkat dari perpajakan ini kemudian berlangsung di daerah lain, setidaknya di Bone, Cirebon dan Cianjur. Pada 25 Agustus 2025, aksi terjadi di kota-kota besar terutama menolak pajak yang tinggi dan hak istimewa yang didapatkan oleh anggota DPR. Aksi ini terjadi di Medan, Jakarta, Pontianak,  dan Surabaya. Pada 27 Agustus, dalam isu demokratis di Papua—masyarakat Sorong menggelar demo di Polresta Sorong. Pada 28 Agustus, aksi kembali dilancarkan di Jakarta dan masa berupata menduduki DPR dan menewaskan satu orang Driver Ojek Online yang tewas dilindas kendaraan Brimob. Respon Prabowo maupun jajarannya dengan mengungkapkan bela sungkawa dan permintaan maaf. Tindakan represif yang dilakukan, kekerasan, penangkapan dan meninggalkan banyak korban jiwa diselesaikan dengan respon moralis oleh rezim hari ini. Pada 30 Agustus dikeluarkan pengumuman untuk “menindak tegas” para pendemo setelah Prabowo berkoordinasi dengan Kapolri, Listyo Sigit dan Panglima TNI, Agus Subiyanto.

Di tengah situasi hari ini, dibutuhkan masa yang terorganisasi untuk terus menerus dapat menjaga situasi radikal dan juga masa yang teradikalisasi. Tentu kekuatan ini perlu didorong oleh seluruh masyarakat dan perlunya perlawanan yang teorganisir sehingga tidak terjebak pada perbaikan-perbaikan permukaan yang dapat dikelabui oleh dominasi kekuasaan hari ini. Kemendesakan untuk membangun komite-komite perlawanan ini sebagai wadah bagi buruh dan rakyat untuk mengkonsolidasikan kekuatannya. Untuk dapat berfokus pada perjuangan buruh dan rakyat dibutuhkan karakteristik perjuangan yang terorganisir. Komite-komite perlawanan ini akan menjadi pusat aktivitas perjuangan buruh dan rakyat. Koordinasi aksi-aksi, rapat-rapat akbar, hingga pemogokan-pemogokan—pendudukan-pendukan ruang-ruang kekuasaan. Komite-komite perlawanan ini dapat dibangun di ruang kampus, tempat kerja—pabrik,  hingga seluruh pelosok desa. Berdasarkan pengalaman historisnya, membangun komite perlawanan merupakan strategi yang penting bagi keberhasilan sebuah revolusi. Komite ini berfungsi sebagai tulang punggung yang mengubah kemarahan rakyat yang sporadis menjadi sebuah gerakan yang terorganisir dan strategis. Komite perlawanan bukan hanya sebagai suatu “alat”untuk meruntuhkan tatanan lama, akan tetapi juga dapat membangun fondasi untuk membangun tatanan politik baru yang di pegang oleh kendali buruh dan rakyat.

ditulis oleh Sagra, anggota Lingkar Studi Sosialis.

Loading

Comment here