Brasília, 5 Agustus 2025 – Dalam pidato yang menggugah di hadapan ribuan pendukung dan pemimpin sosial di ibu kota Brasil, Presiden Luiz Inácio Lula da Silva menegaskan bahwa pemerintahannya akan melangkah lebih jauh dalam melaksanakan agenda sosialisme demokratik untuk mentransformasikan struktur sosial dan ekonomi negara. Presiden Lula menyoroti perlunya negara yang hadir secara aktif dalam menjamin kesejahteraan rakyat, mendistribusikan kembali kekayaan, serta memperkuat kontrol atas sumber daya strategis nasional seperti mineral dan energi. Ia menyebut kebijakan tersebut sebagai upaya “menyelesaikan pekerjaan sejarah” yang selama ini tertunda akibat tekanan neoliberalisme dan kooptasi kapital global.
Dalam pidatonya, Lula menegaskan bahwa Brasil tidak dapat terus menjadi koloni bagi kekuatan korporat internasional. Pemerintahannya, menurutnya, akan mengambil langkah-langkah berani untuk merebut kembali kontrol atas industri vital demi menjamin kedaulatan rakyat. Hal ini mencakup nasionalisasi parsial sektor strategis, perluasan program kesejahteraan seperti Bolsa Família, dan investasi besar dalam pendidikan dan kesehatan publik. “Kita bukan hanya ingin menghapus kelaparan. Kita ingin menghapus ketidakadilan yang menciptakan kelaparan itu sendiri,” tegas Lula, disambut sorak sorai.
Namun langkah ini tidak datang tanpa perlawanan. Elite bisnis, media arus utama yang berpihak pada oligarki, serta tokoh-tokoh oposisi di Kongres menuduh Lula hendak “mengotoritaskan demokrasi” dan mengancam “iklim investasi”. Namun seperti yang ditunjukkan sejarah, kekuatan rakyat tak gentar menghadapi narasi ketakutan yang diluncurkan oleh kaum borjuis yang selama ini menikmati status quo. Demonstrasi tandingan dari gerakan petani tanpa tanah (MST), buruh kota, serta mahasiswa sosialis justru menyambut langkah ini sebagai awal dari “fase baru revolusi rakyat.”
Jalan Lula dan Dialektika Revolusi
Langkah Presiden Lula yang mempertegas haluan sosialis dalam kebijakan negara tidak hanya merupakan koreksi terhadap kerusakan sosial yang diwariskan oleh neoliberalisme, tetapi juga bentuk materialisasi dari prinsip dialektika sejarah: bahwa rakyat pekerja adalah penggerak utama kemajuan masyarakat. Kebijakan seperti nasionalisasi sumber daya strategis dan penguatan program sosial bukanlah sekadar kebijakan progresif melainkan tahap-tahap awal dari transisi menuju kekuasaan proletariat yang sejati.
Tentu, kita tidak boleh naïf. Negara borjuis tidak serta-merta berubah wataknya hanya dengan kepemimpinan progresif. Namun, seperti yang diajarkan Lenin, kekuasaan dapat dimanfaatkan secara taktis untuk menciptakan basis ekonomi dan kesadaran kelas yang memadai menuju revolusi sejati. Lula meskipun lahir dari rahim Partai Buruh yang reformis, sedang menavigasi realitas dunia multipolar hari ini untuk membebaskan rakyat Brasil dari dominasi kapital asing. Penguatan negara dalam kehidupan sosial-ekonomi bukan bentuk tirani, melainkan syarat obyektif untuk memutuskan siklus eksploitasi modal.
Sebagaimana sejarah mengajarkan, kekuatan rakyat yang terorganisir, bukan kompromi elitis, adalah jaminan bagi kemenangan perjuangan kelas. Brasil sedang menapaki jalan panjang menuju sosialisme. Tugas kita sebagai kaum revolusioner adalah mendukung langkah tersebut secara kritis, memperkuat basis massa, dan mendorong transformasi negara dari alat dominasi menjadi instrumen pembebasan.
Dalam menyuarakan tekadnya itu, gema pemikiran Fidel Castro terasa kuat. Castro, dalam banyak pidatonya, menekankan bahwa “keadilan sosial tidak mungkin dicapai tanpa pembebasan nasional”. Bagi Fidel, pembebasan rakyat dari kemiskinan selalu berjalan beriringan dengan pembebasan negara dari imperialisme. Apa yang kini dilakukan Lula adalah bentuk kontemporer dari prinsip tersebut: membebaskan Brasil dari ketergantungan pada modal asing dan logika neoliberal yang menjadikan negara sebagai satelit kepentingan kapital global.
Fidel juga pernah mengatakan: “Revolusi bukanlah jalan mudah. Ia adalah hasil dari kesadaran, pengorbanan, dan keberanian menantang kekuasaan yang menindas.” Dalam konteks ini, langkah Lula bisa dibaca sebagai manifestasi dari keberanian itu. Sebuah keberanian untuk menantang tatanan ekonomi yang selama ini menyandera Amerika Latin dalam ketimpangan struktural. Meskipun belum sepenuhnya revolusioner secara struktural, kebijakan Lula membuka ruang bagi konfrontasi ideologis yang lebih tajam antara rakyat dan elite pemodal. Dari perspektif Marxist-Leninis, langkah-langkah Lula dapat dilihat sebagai strategi “front luas” yang digunakan untuk menggalang kekuatan rakyat dalam rangka memperlemah dominasi borjuasi nasional dan internasional.
Fidel Castro sering menekankan bahwa “Revolusi dimulai ketika rakyat menyadari kekuatan kolektifnya dalam melawan ketidakadilan structural”. Di Brasil hari ini, program-program sosial bukan semata bentuk amal negara, tetapi harus dibaca sebagai taktik awal untuk membangun basis material bagi transisi menuju masyarakat sosialis, yakni masyarakat tanpa kelas, tanpa eksploitasi, dan tanpa dominasi modal asing.
Namun seperti telah diingatkan oleh Fidel dan Lenin, tanpa kesadaran kelas yang terorganisir dalam partai pelopor, kebijakan progresif dapat dengan mudah dibelokkan kembali oleh kekuatan reaksioner. Oleh karena itu, tugas kaum revolusioner Brasil hari ini bukan hanya mendukung Lula, tetapi juga memperkuat gerakan rakyat, serikat buruh, organisasi tani, dan partai-partai kiri yang mampu mempersiapkan langkah selanjutnya: pembongkaran sistem borjuis secara menyeluruh.
ditulis oleh Libby Qahtany, Pemerhati Gerakan Rakyat
Comment here