Opini Pembaca

Oh, Bachtiar dan Turang

Untuk selama agustusan 2025 “merayakan ulang tahun” kemerdekaan Indonesia

“Merdeka!”

“Merdeka!”

Berucap dengan tangan kanan terangkat sebahu, begitu aku menyapa teman-temanku secara langsung sejak menonton film Turang (Bachtiar Siagian – 1957). Setiap pagi sarapan kopi dan nikotin, aku sembari menonton film fiksi atau non-fiksi artistik (arthouse film), dan sebelum tidur nonton film kategori hiburan (spectacle film). Sineas praktisi kerjanya apa? nonton film! Kadang juga, setelah cuci muka dan gosok gigi bangun tidur pada pagi atau siang hari, aku langsung lari ke bioskop yang ada di Bali untuk nonton film produksi Eropa atau Amerika Serikat yang tersedia, hegemoni budaya dalam neokolonialisme ini… ampun.

Sudah terlalu banyak aku membaca manifesto-manifesto sinema, jelas yang paling mengena di aku sebagai individu dari masyarakat kelas pekerja adalah [esai] Third Cinema Manifesto oleh Fernando Solanas and Octavio Getino. Tulisan yang sangat bagus mengubahmu. “Pentingnya hal ini dapat ditemukan dalam makna khusus film sebagai bentuk komunikasi dan karena karakteristik khusus mereka, karakteristik yang memungkinkan mereka untuk menarik khalayak dari berbagai asal, banyak dari mereka adalah orang-orang yang mungkin tidak menanggapi dengan baik pengumuman pidato politik. Film menawarkan dalih yang efektif untuk mengumpulkan penonton, di samping pesan ideologis yang dikandungnya.”

Pada hari Minggu, 27 Juli 2025, Cinema Poetica dan Forum Lenteng mengadakan pemutaran luring film fitur ganda (double features), pertama di saat sore sebuah dokumenter yaitu Bachtiar (Hafiz Rancajale – 2025) dan saat malam sebuah fiksi yaitu Turang (Bachtiar Siagian – 1957). Film dokumenter Bachtiar merupakan jejak singkat Bachtiar Siagian. Intelektual audio-visual di Indonesia harusnya memang dapat tergolong sangat maju seperti India setelah kemerdekaan negara, sedangkan film fiksi Turang menceritakan perjuangan gerilya masyarakat tanah Karo (Sumatera Utara) melawan penjajahan Belanda. Film Turang menjadi film personal bagi Bachtiar Siagian sebagai pejuang kemerdekaan sebelum menjadi sineas.

Bachtiar Siagian adalah banyak hal untuk sejarah sinema Indonesia. Untuk aku sendiri mengamini setelah menonton film dokumenter tentangnya dan salah satu film fiksi buatannya yang (sungguh keistimewaan) dimudahkan aksesnya tahun ini untuk ditonton adalah beliau merupakan Bapak Sinema Nasional, Bapak Pelopor Sinema Kiri Indonesia, Sineas Kelas Pekerja, Sineas Revolusioner, dan Seniman Film Artistik, dan tentu saja seorang Pegiat Film. Filmnya Bachtiar Siagian perlu dikirim lagi ke festival-festival film internasional, dengan begitu yang terkenal di level Sinema Dunia bukan hanya Lewat Djam Malam-nya Usmar Ismail (1954).

Ternyata film Turang ditemukan di arsip perfilman di Tashkent, Uzbekistan dari hasil pelacakan Forum Lenteng. Film dokumenter Bachtiar menunjukkan “penghilangan” film-film progresif atau revolusioner tahun 50an dan 60an. Sungguh membuat sedih, tidak kalah disayangkan dari lagu sendu menghantui yang dinyanyikan di film Turang berjudul “Oh, Turang”, yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Oh, Saudara” atau “Oh, Comrade” dalam bahasa Inggris. 

Mirip dengan tujuan Third Cinema Manifesto, Bachtiar Siagian juga menyetujui bahwa politik sebagai panglima dalam film. Setiap film pasti berkenaan dengan politik atau ideologi tertentu.

Dipengaruhi banyak gaya film abad 20, Bachtiar Siagian–yang menggaungkan pemboikotan sinema hollywood dan mempertegas wacana kebudayaan revolusioner–menelurkan realisme romantik untuk anti-imperialisme, mengembangkan lebih dari sekedar realisme sosial seni Uni Soviet. 

Maka, kawan-kawan sosialis dan revolusioner di Indonesia sangat direkomendasikan untuk mengorganisir nonton bareng film dokumenter Bachtiar dan film fiksi Turang sebagai dalih untuk mengorganisir calon kawan-kawan lain yang sedang mencari atau tergerak gelora semangatnya untuk suatu arti hidup dari isi audio-visual film. Bisa banget lho menghubungi Forum Lenteng atau anak perempuan Bachtiar Siagian sendiri, Bunga Siagian untuk izin mendapatkan film dokumenter dan film fiksinya. 

Mari hidupkan kembali di Indonesia suatu gerakan sinema progresif! Seperti kala Festival Film Asia-Afrika di Jakarta (1964) sebagai tindak lanjut dari Internasionalisme Semangat Bandung untuk ranah sinema, yang menentang hegemoni sinema hollywood.

“Romantisme revolusioner adalah kegairahan hidup menuju masa depan yang lebih bagus akibat perjuangan kita.” – Putu Oka Sukanta (penyair & mantan anggota LEKRA).

ditulis oleh Vogysta & Fabian, Simpatisan Perserikatan Sosialis

Loading

Comment here