Kebudayaan

Nasib Realisme Sosialis: Antara Estetika dan Politik Kebudayaan

Bagaimana nasib realisme sosialis di tengah kepungan budaya populer yang berisik soal estetika dan memecah makna perjuangan dalam seni dan sastra? Realisme sosialis berdiri di persimpangan antara seni dan propaganda partai. Realisme sosialis pertama kali dirumuskan secara resmi sebagai doktrin estetika pada Kongres Penulis Soviet Pertama tahun 1934, dengan Andrei Zhdanov sebagai tokoh utama perumusannya. Setelah itu, nama Maxim Gorky selalu melekat jika membahas persoalah realisme sosialis.  

            Revolusi Oktober pada 1917 yang terjadi di Rusia juga menimbulkan sebuah gairah baru bagi kalangan seniman di bawah ide-ide Marxis. Polemik yang kemudian lahir menghadirkan sebuah pertanyaan tentang kapan kebudayaan baru akan lahir yang sesuai dengan dasar-dasar ekonomi sosialis dan sebuah premis yang muncul kemudian ialah apakah sebuah tindakan-tindakan politik dapat membantu mempercepat kelahiran kebudayaan proletar yang baru itu serta bagaimana sisa-sisa kebudayaan borjuis. Saat itu karya-karya Tolstoy, Gogol, atau bahkan Dostoevsky cukup dikenal. Perdebatan lahir selanjutnya di antara seniman muda yang tergabung di dalam Proletkul’t yang mendukung pembentukan budaya proletar dan menolak pencapaian budaya kaum borjuis sebelumnya. Sekolompok seniman lainnya tetap memandang seni klasik bagian penting untuk perjuangan kelas proletar karena menganggap bahwa kebudayaan baru tidak akan muncul begitu saja akan tetapi hasil dari perkembangan dari budaya-budaya sebelumnya.

            Hal yang menarik di awal kelahiran realisme sosialis justru sebagai jalan tengah atau kompromi atas pertentangan antar seniman. Negara sosialis yang baru berdiri ini diwarnai oleh pertentangan para seniman dalam menentukan budaya dan seni proletar. Kelompok seniman Proletkul’t yang beranggotakan antara lain RAPP (Russian Association of Proletarian Writers), bersikeras ingin menciptakan kebudayaan proletar secara mandiri tanpa bantuan pihak manapun. Sikap pimpinan partai saat itu begitu juga pengarang-pengarang yang mendahuluinya tampak tidak sepakat dengan sikap kelompok itu, mereka menganggap bahwa dalam situasi ekonomi dan politik yang belum stabil tidak bijaksana jika juga mengatur kehidupan kebudayaan secara ketat.

Karya-karya klasik seperti Homer, Shakespeare, ataupun Balzac masih diperbolehkan untuk disebarluaskan. Kebijakan ini membuka kesempatan bagi pengarang-pengarang non-Marxis untuk terus menerbitkan karya-karya mereka. Situasi ini semakin ditentang oleh kelompok Proletkul’t, mereka terus mengkampanyekan gagasan mereka untuk menunjukkan ketidaksepakatan terhadap kebijakan yang ada. Kelompok mereka ini juga didukung oleh garis Stalin dan memperkuat posisi mereka karena akhirnya RAPP (Rusian Association of Ploretarian Writers) sendiri hampir menguasai seluruh organisasi pengarang pada tahun 1930-an. Kekuasaan Stalin selanjutnya juga mempengaruhi gejolak kebudayaan yang ada di Rusia. Kediktatoran Stalin pada awal 1930-an mengambil kontrol terhadap seni hingga menjadi terpusat di tangan partai. Kegelisahan dan kekecewaan muncul di kalangan penulis menghadapi situasi tersebut. Maxim Gorky bersama seniman lainnya yang kontra pada Proletkul’t menyerukan pembentukan Penghimpun Pengarang untuk menyatukan semua pengarang yang mendukung program kekuasaan Soviet dalam pembentukan sosialisme. Dalam Kongres Pertama Pengarang Sovyet (1934) itulah realisme sosialis muncul sebagai alat untuk dapat meredam perdebatan yang terjadi. Pada Kongres Kedua Perkumpulan Pengarang Sovyet (1954), setelah kematian Stalin perubahan ketentuan-ketentuan realisme sosialis dibahas lebih lanjut. Sebuah kreasi artistik yang dituntut untuk menggambarkan realitas perkembangan revolusioner dan pendidikan ideologi yang digabungkan, dianggap sebagai tindakan yang berlebihan. Pada kongres itu kemudian menyederhanakan definis realisme sosialis itu sendiri—menuntut pengarang untuk menggambarkan realis yang benar dalam perkembangan revolusinya.

            Realisme sosialis berkembang kemudian ke negara-negara blok Timur, seperti Tiongkok, Korea Utara, Kuba, dan Vietnam. Misalnya di Tiongkok sendiri yang juga menghasilkan perdebatan dalam perkembangan realisme sosialis . Sekitar tahun 50-an, realisme sosialis pernah dianggap cukup ideal sebagai sastra revolusioner. Akan tetapi pada periode Hundred Flowers (Seratus Bunga), terjadi perubahan rumusan realisme sosialis di Tiongkok yang mengkritik kondisi yang terjadi di Soviet. Upaya untuk melepaskan diri dari pengaruh Soviet mempengaruhi para seniman dan kritikus Tiongkok untuk menciptakan teori dan kritik sastra Marxis milik mereka sendiri. Di lain hal, seperti yang kita ketahui bersama bahwa Tiongkok memiliki kebudayaan dan kesenian yang cukup kuat dan  tidak dipengaruhi oleh seni klasik Eropa. Di lain hal, mereka tidak menerima secara utuh teori marx yang dianggap sebagai ketidakseimbangan perkembangan produksi artistik dan produksi material yang bertentangan dengan pandangan Marxis itu sendiri. Hal lainnya, pengaruh teori-teori Maois muncul di waktu bersamaan. Buku Mao yang biasa disebut Yenan Talks kemudian seringkali menjadi acuan teori sastra Marxis Tiongkok. Teori sastra Maois menempatkan sastra dalam garis politik—yang mana pengarang dan kritikus dalam karya-karyanya harus berpihak kepada partai dan dalam prakteknya wajib mengikuti petunjuk partai. Pecahnya revolusi kebudayaan juga kemudian menghapuskan tradisi lama yang tidak sesuai dengan ide-ide komunis ala Maois.

            Nama Lu Hsun, merupakan salah satu penulis beraliran realisme sosialis asal Tiongkok yang tidak bisa dilewatkan dalam perkembangan sastra marxis Tiongkok. Ia merupakan salah satu penulis yang masuk dalam arus pergerakan revolusioner Tiongkok di abad ke-20 ketika pemikiran Marxis mulai masuk. Ia secara konsisten membentuk dan membangun apa yang disebut sebagai seni Marxis milik Tiongkok. Ketika Mao berfokus pada teorinya mengenai hubungan sastra dan partai—Lu Hsun mencoba melihat kekuatan sastra sebagai propaganda revolusioner untuk cita-cita sosialisme. Akan tetapi, ia menekankan bahwa ketika karya sastra berfokus pada tujuan propaganda maka sastra itu sendiri akan kehilangan kekhasannya sebagai sebuah sastra.

            Perkembangan realisme sosialis sebagai suatu aliran seni tidak bisa dilepaskan kemudian dengan paham sosialisme itu sendiri. Gejolak yang lahir dari negara asalnya—juga dipenuhi dengan konflik politik dalam penerapan ide-ide sosialisme di dalam masyarakatnya. Bagaimana kemudian perkembangannya di Indonesia? Penelaahan sejarah masuknya aliran tersebut akan dibarengi dengan masuknya ide sosialisme Marxis beserta kondisi objektif masyarakatnya yang memungkinkan ajaran Marxis itu sendiri dapat di terima dan menyaksikan bagaimana sebuah seni bisa begitu dihargai dan berujung pada pembungkaman.

            Masuknya ide-ide sosialisme Marxis di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari masuknya modernisme Hindia-Belanda di awal abad ke-20 dan sekaligus sebagai momen Kebangkitan Nasional. Sosialisme mulanya dibawa ke Indonesia oleh orang-orang yang beraliran sosial-demokrat, Sneevliet, Baars, Bergsma, Bransteder, Dekker, dan C. Hartogh adalah nama-nama yang membawanya—yang didasarkan atas ajaran Marx dan Engels. Dari deretan nama tersebut, Sneevliet sebagai orang yang paling menonjol. Ia mendirikan ISDV (Indische Social Democratische Vereeniging) di Semarang. ISDV menjadi partai pertama di Hindia Belanda yang berlandaskan pada ide Marxisme. Di kemudian hari, ISDV memiliki peran penting dalam mempengaruhi organisas-organisasi pribumi yang telah hadir sebelumnya. Di kalangan pribumi sendiri nama Semaoen dan Darsono dari Serikat Islam (SI) Semarang, menjadi pelopor Marxisme di Indonesia. Kondisi kemelaratan yang terjadi di daerah-daerah dan kemiskinan yang menggilas kaum tani dan buruh saat itu menjadi perhatian penting bagi mereka. SI Semarang di bawah Semaoen kemudian melakukan kaderisasi. Salah satu kader yang cukup penting adalah Marco Kartodikromo, yang kemudian dicatat sebagai pelopor penjajakan awal kemunculan realisme sosialis di Indonesia.  Pada 23 Mei 1920, lahirlah Perserikatan Komunis di Hindia Belanda yang mana Semaoen menjadi ketua dan Darsono wakilnya. Pendirian PKI dan penyebaran ide-ide Marxis kemudian begitu masif. Dan nama Marxis ala pribumi seperti Tan Malaka kemudian menonjol.

Sebelum sampai pada realisme sosialis, tahap awal yang perlu disoroti juga ialah kemunculan sastra sosialis. Pramoedya Ananta Toer, menyumbangkan buku penting untuk dibaca lebih lanjut—dalam bukunya berjudul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia ia menganalisa ada perbedaan antara sastra sosialis dan sastra realisme sosialis sama pentingnya kita harus membedakan antara sosialisme utopis dan ilmiah. Perkembangan sastra sosialis mulai tumbuh pada awal abad ke-20 yang tidak bisa dilepaskan dari kondisi objektif ketimpangan masyarakat di masa kolonial dan menggerakkan para sastrawan menuliskannya. Pembatasan akses penerbitan di awasi langsung oleh pihak Hindia Belanda, yang kemudian mendirikan Balai Pustaka. Di kemudian hari Balai Pustaka menjadi sebuah “media” yang membatasi karya-karya yang berpandangan politik berbeda dengan kebijakan pemerintah kolonial. Di lain hal, sastra sosialis lebih banyak menggambarkan gejolak masyarakat dan tidak muncul melalui Balai Pustaka. Karya-karya pertama yang lahir dari sastra sosialis, seperti karya Hadji Moekti berjudul Hikayat Siti Mariah dan selanjutnya karya Tirto Adhi Soerjo berjudul Nyai Permana. Menurut Pram, dalam bukunya—kedua karya ini belum secara sungguh-sungguh menunjukkan upaya untuk menkontradiksikan dua kelas yang bertentangan. Ini dipahami karena kurangnya pendidikan ideologi yang teratur saat itu.

Dalam tulisan Pram, nama Marco Katrodikromo atau yang dikenal sebagai Mas Marco merupakan nama yang perlu diperhitungkan sebagai pengarang yang memiliki kadar sosialis lebih tinggi dari sebelumnya. Mas Marco Paling sedikit mencerminkan perpaduan antara kehidupan perjuangan dengan politik, tapi juga perkembangan realitas itu sendiri dan terutama sekali memimpin perkembangannya. Pemimpin perkembangan ini dapat ditemukan tendensinya atau sasarannya yaitu membangkitkan pengertian rakyat akan asal muasal penjajahan. Marco mengubah realitas kekikukan dan keterbelakangan rakyat jelata yang menderita dan dengan sendirinya juga pendidikan itu tampil ke depan mimbar dan menyatakan pendapatnya tanpa menutupi kekurangan individualnya sebagai pencerminan dan kekurangan sosialnya. Dalam tulisannya, Pramoedya menyatakan bahwa pada tahap awal perkembangan Sastra Realisme Sosialis terdapat sejumlah kekeliruan. Kekeliruan ini, menurutnya, bersumber dari latar sosial para pengarang yang masih membawa jejak dan beban warisan kelas asal mereka. Selain itu, pemahaman ideologi yang mereka miliki pun belum kuat atau belum terbentuk secara sistematis. Pram menilai bahwa bahkan tokoh seperti Mas Marco belum sepenuhnya mencapai tahap perjuangan untuk mewujudkan sosialisme secara ilmiah, karena belum mampu bersikap objektif dan realistis. Perjuangan para tokoh tersebut, kata Pram, baru sebatas berada di jalur menuju sosialisme. Oleh karena itu, kelemahan dalam pendidikan ideologis, minimnya pengalaman dalam mengintegrasikan teori dan praktik, serta kompromi-kompromi yang tampak dalam nuansa cerita yang ditulis Mas Marco, tidak dapat dikategorikan sebagai kesalahan mutlak, melainkan sebagai kekeliruan yang wajar dalam proses perkembangan. Sastra sosialis yang berwatak utopis menjadi sebuah catatan yang tidak bisa dinegasikan dalam perkembangannya yang kemudian digantikan oleh sastrawan-sastrawan dengan kematangan ideologi di masa selanjutnya.

Dalam gelombang periodesasi sastra indonesia dua aliran yang cukup banyak disoroti yaitu Humanisme Universal dan Realisme Sosialis. Perlu diingat bahwa gelombang sejarah Sastra Indonesia tidak ada yang original semua hasil cangkokan dari Kolonialisme ataupun negara-negara berpengaruh terhadap perkembangannya. Seperti misalnya, definisi baku sejarah sastra Indonesia modern yang telah ditanamkan sejak tahun 1966 adalah karya ahli linguistik dan kritikus sastra Belanda, A. Teeuw dengan judul Modern Indonesian Literature. Menurut Foulcher dalam bukunya berjudul Komitmen Sosial Sastra dan Seni Sejarah Lekra 1950-1965 (6), buku yang ditulis oleh Teeuw telah disahkan pada level otoritas kritis yang membuat buku tersebut sebagai pengaruh penting dalam membentuk tradisi kritis antikiri dalam penulisan tentang Sastra Indonesia setelah perang kemerdekaan. Kehadiran Teeuw di Universitas Indonesia pada awal tahun 1950-an serta hubungannya dengan kritikus H.B. Jassin merupakan salah satu pengaruh formatif dalam pembentukkan tradisi kritik sastra Indonesia yang berawal dari kelompok seniman nasionalis dan non-komunis bernama Gelanggang, yang kemudian disahkan dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang” pada bulan Oktober 1950.

Dokumen tersebut berpusat pada gagasan utama tentang “Humanisme Universal” sebagai asas kreatif sekaligus sikap kritis. Dibuka dengan pernyataan “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri,” teks tersebut menegaskan keyakinan bahwa kebudayaan bersifat universal. Dengan demikian, perkembangan kebudayaan dan sastra modern Indonesia diyakini akan mengikuti pola yang serupa dengan perkembangan budaya di Eropa modern dan dapat dipahami dengan kerangka yang sama. Kelompok yang mendukung gagasan ini kemudian dikenal dengan sebutan “Angkatan 45,” dan “Surat Kepercayaan Gelanggang” menjadi penanda penting sikap mereka.

Dokumen ini banyak dikritik karena dianggap mencerminkan individualisme: pandangan bahwa seniman merupakan sosok yang terpisah dari masyarakatnya, memiliki karakter khas dan unik, serta hidup di semacam “menara gading.” Gagasan “Humanisme Universal” yang dianut oleh kelompok Gelanggang dan Angkatan 45 dinilai menjadi ladang subur bagi berkembangnya kebudayaan borjuis, kapitalis, dan feodal akibat ketundukannya pada semangat individualisme. Istilah avant-gardisme pun melekat pada kelompok ini untuk menunjukkan sikap mereka yang ingin mengambil jarak sejauh mungkin dari rakyat.

Melihat sebuah kemerosotan yang terjadi pada Angkatan 45, para penganut realisme sosialis yang sebelumnya lahir kemudian mencetuskan sebuah organisasi yang dinamai Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).Lekra sebagai sebuah organisasi kebudayaan, dalam keyakinannya melihat ketidaklepasan para seniman dengan masyarakat. Pandangan-pandangannya antara lain tersurat dalam naskah Mukaddimah Lekra. Kehadiran Lekra dapat dipahami sebagai tanggapan atas situasi politik dan kebudayaan yang mengkhawatirkan saat itu. Lekra memandang bahwa ekspresi kebudayaan, khususnya dalam bidang sastra, harus berakar pada kondisi nyata yang tengah berlangsung dan yang terpenting, setiap bentuk ekspresi tersebut harus memiliki tanggung jawab politik yang jelas.

Perkembangan realisme-sosialis di tingkat pertama yang dipelopori oleh Mas Marco belum cukup mendapat waktu untuk membuktikan kemenangan-kemenangan sosialisme, baik di bidang politik dan sastra. Pada tahun 1926 dengan dipatahkannya pemberontakan November 1926 dan dilikuidasinya PKI, juga menandai surutnya realisme-sosialis di Indonesia yang notabene masih pada taraf pertama dalam perkembangannya. Dengan munculnya Salah Asuhan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka,pemerintah Hindia-Belanda juga telah berhasil membuktikan dirinya bisa memberikan bacaan yang bernilai yang memenuhi syarat-syarat sastra, berisi, dan berhasil pula membuktikan bahwa sastra yang baik adalah sastra yang jauh dari soal-soal politik ataupun kepartaian. Atau dengan maksud lain, politik penerbitan pemerintah kolonial telah memenangkan perjuangannya dalam menon-politikan sastra, dan membuktikan bahwa sastra perlawanan itu salah, emosional dan bahasanya buruk. Dengan dilikuidasinya PKI dan usaha likuidasi atas PNI, praktik sastra perlawanan pada umumnya surut, dan sastra realisme sosialis surut untuk waktu yang lama.

Dalam perkembangan lainnya, Peristiwa G30S 1965 menjadi titik balik. Dengan ditudingnya PKI sebagai dalang kudeta, seluruh organisasi yang berafiliasi dengan partai tersebut—termasuk Lekra—dibubarkan. Seniman-seniman kiri ditangkap, dibuang, atau dibungkam. Realisme sosialis pun ikut terhapus dari panggung resmi kebudayaan Indonesia. Orde Baru di bawah Soeharto mengusung narasi kebudayaan yang “netral” secara politik tetapi sesungguhnya dikendalikan dengan ketat oleh negara, dan lebih mengakomodasi nilai-nilai pembangunanisme, nasionalisme konservatif, serta spiritualitas yang terpisah dari konflik kelas. Sementara itu, realisme sosialis dicap sebagai alat propaganda komunisme dan dihapus dari kurikulum, penerbitan, dan ruang-ruang ekspresi seni. Pramoedya Ananta Toer sendiri, meski tetap menulis dalam penjara, dilarang karyanya dan dijauhkan dari ruang publik selama puluhan tahun

Akan tetapi, dalam dekade-dekade setelah Reformasi 1998, muncul kembali minat terhadap karya-karya Pramoedya dan kajian kritis terhadap sejarah kebudayaan kiri. Sebagian seniman dan akademisi mulai menggali kembali potensi realisme sosialis sebagai metode kritik sosial dan alternatif estetika yang berpihak pada rakyat kecil.

Apa yang kemudian menjadi dasar filsafat dari realisme sosialis itu sendiri? Realisme sosialis pada dasarnya memiliki juga memiliki fondasi filosofis. Ia tidak lahir semata-mata sebagai alat politik, melainkan sebagai upaya yang bertujuan menggabungkan visi ideologis dengan ekspresi kreatif. Namun, dalam perkembangannya, realisme sosialis sering kali disederhanakan dan dipersempit maknanya. Ia tidak lagi dilihat sebagai hasil dari perenungan filosofis atau perdebatan intelektual, melainkan semata-mata sebagai instrumen propaganda yang tunduk pada kepentingan politik kekuasaan. Reduksi ini mengaburkan sejarah panjang realisme sosialis sebagai medan pemikiran yang serius dan sebagai bagian dari aliran kesusastraan.

Lebih jauh, bukan hanya realisme sosialis yang berisiko disalahgunakan oleh kekuasaan. Dalam konteks hegemoni, semua bentuk dan aliran seni berpotensi digunakan sebagai sarana untuk mempertahankan dominasi politik. Seni menjadi alat reproduksi ideologi, bukan karena sifat aliran estetikanya, tetapi karena siapa yang mengontrol dan memanfaatkan produksi kebudayaan. Fenomena ini dapat ditemukan dalam berbagai rezim, seperti di Uni Soviet, Tiongkok, maupun Indonesia, di mana seni kerap dimobilisasi demi kepentingan kekuasaan, terlepas dari kecenderungan estetik yang diusung oleh senimannya.

Realisme sosialis muncul sebagai kelanjutan dari tradisi seni yang bersifat kritis, khususnya sebagai bentuk sistematis dari aliran realisme yang telah berkembang di Eropa. Tradisi realisme di Barat—yang sering disebut sebagai realisme borjuis—cenderung membatasi pandangan terhadap realitas hanya sebatas apa yang tampak secara langsung, atau dengan kata lain, berdasarkan persepsi subjektif individu. Dengan demikian, realisme borjuis lebih dekat pada pendekatan yang menganggap realitas sebagai sesuatu yang tetap dan dapat ditangkap secara langsung oleh pancaindra, meskipun pada saat yang sama ada upaya untuk menundukkan realitas itu demi kepentingan idealisme.

Sebaliknya, realisme sosialis—sebagai metode berpikir yang berpijak pada sosialisme—memahami realitas bukan sebagai sesuatu yang absolut, melainkan sebagai bahan mentah yang dapat diolah dalam kerangka pemikiran dialektik. Bagi pendekatan ini, setiap fakta atau peristiwa nyata hanyalah bagian kecil dari keseluruhan kebenaran yang lebih kompleks. Dengan kata lain, realitas bukanlah kebenaran yang final, tetapi merupakan satu titik dalam proses sejarah yang terus bergerak dan berubah. Maka, realisme sosialis tidak berhenti pada penggambaran permukaan realitas, melainkan menggunakannya sebagai pijakan untuk mengungkap dan mendorong perubahan sosial yang lebih besar dengan penggunaan metode dialektika.

Dalam artikel berjudul On Socialist Realism yang ditulis oleh Doctor Zhivago, bahwa definisi paling tepat tentang realisme sosialis diberikan dalam pernyataan dari Asosiasi Penulis Soviet: “Realisme sosialis adalah metode dasar dalam sastra dan kritik sastra Soviet. Metode ini menuntut seniman untuk menyajikan representasi yang jujur dan konkret secara historis tentang kenyataan dalam perkembangan revolusionernya. Selain itu, kejujuran dan kekonkretan historis dari representasi artistik realitas ini harus dikaitkan dengan tugas transformasi ideologis dan pendidikan para pekerja dalam semangat sosialisme.” (Kongres Seluruh Persatuan Penulis Soviet Pertama, 1934). Formula yang tampak sederhana ini sebenarnya menjadi fondasi utama bagi keseluruhan bangunan pemikiran realisme sosialis. Di dalamnya terkandung hubungan dengan tradisi realisme sebelumnya, sekaligus penekanan pada ciri khas baru yang membedakannya. Hubungan tersebut terletak pada komitmen terhadap kejujuran dalam menggambarkan kenyataan. Sementara itu, keistimewaan realisme sosialis terletak pada kemampuannya menangkap dinamika perubahan revolusioner dan mendidik masyarakat sesuai arah perkembangan menuju sosialisme.

Para realis terdahulu—yang sering disebut juga sebagai realis kritis karena berani mengkritik tatanan borjuis—seperti Balzac, Tolstoy, dan Chekhov, memang menggambarkan kehidupan secara jujur dan apa adanya. Namun, karena mereka tidak memiliki landasan dalam teori Marxis, mereka tidak memiliki kemampuan untuk membayangkan kemungkinan kemenangan sosialisme di masa depan, maupun memahami jalur konkret yang dapat mengarah ke sana. Seorang seniman realisme sosialis, yang berlandaskan pada ajaran Marx dan ditempa oleh pengalaman perjuangan serta keberhasilan revolusioner, menciptakan karya dengan dorongan semangat kolektif dari rekan seperjuangannya dan bimbingan ideologis dari Partai Komunis. Dalam menggambarkan kondisi masa kini, ia tidak hanya memotret kenyataan, tetapi juga menyimak irama sejarah yang sedang bergerak menuju masa depan. Ia mampu menangkap tanda-tanda awal dari tatanan masyarakat komunis—sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh pandangan biasa. Karya seninya menjadi kelanjutan dan penyempurnaan dari warisan seni sebelumnya; ia merupakan titik tertinggi dalam evolusi ekspresi artistik umat manusia, sekaligus bentuk realisme yang paling sejati di antara semua aliran realis yang pernah ada.

Sekilas tampak sederhana, namun cukup lentur untuk merangkul berbagai tokoh seperti Gorki, Mayakovski, Fadeev, Aragon, Ehrenburg, serta ratusan seniman lainnya. Meski demikian, pemahaman kita terhadap konsep ini tidak akan pernah utuh jika hanya berhenti pada lapisan luarnya tanpa menelusuri kedalaman makna yang tersembunyi di baliknya. Karya yang dihasilkan oleh realisme sosialis beragam dalam gaya dan isi. Namun, semuanya memiliki tujuan, entah secara langsung atau tidak langsung, terbuka atau terselubung. Karya-karya ini adalah pujian untuk Komunisme, sindiran terhadap banyak musuhnya, atau gambaran tentang “perkembangan revolusioner” kehidupan, yaitu kehidupan yang bergerak menuju Komunisme.

Pram menuliskan dalam bukunya, bahwa realisme sosialis bukan sekadar penamaan satu metode di bidang sastra tapi dikatakan sebagai suatu hubungan filsafat, metode penggarapan dengan apresiasi estetiknya sendiri. Realisme sosialis sendiri mencakup pula persoalan taktik dan strategi sekalipun dalam ruang sastra—yang mana hanya mungkin mengambil manifestasi dalam pengemukakan plot, gaya bahasa, pemilihan diksi, metode penyampaian, dll. Hal ini selalu bernafaskan perlawanan terhadap segala sesuatu yang berbau humanisme borjuis untuk memenangkan humanisme ploretar. Unsur-unsur setempat realisme sosialis di indonesia, di antaranya; 1) Romantisme-Patriotik, bagian integral dalam realisme-sosialis sebagai salah satu syarat untuk mewujudkan objektivisme dalam tulisan di lapangan politik. Hal itu membuat pengarang menguasai realitas kehidupan-sosial tanah airnya sendiri. Dikatakan Romantisme karena perasaan manusia yang positif terhadap keadilan-sosial bagi rakyat dan keselamatan tanah air adalah objektif. 2) Realisme Kreatif/Realisme Revolusioner,ia juga merupakan bagian integral dalam realisme sosialis, yang dalam penulisan sastra mewujudkan dialektik perkembangan realitas itu sendiri. Bahwa realitas hanya bagian-bagian belaka daripada kebenaran sebelum dirangkum dengan perkembangannya (dialektik) dan dengan demikian membuat pengarang harus mampu mengubah realitas itu sesuai sesuai dengan perkembangan dan arah yang dipilih untuk memenangkan sosialisme, dan bukan hanya mengubah bahkan menciptakan kebaruan, dan memberikan pola-pola baru.

Perkembangan realisme sosialis, baik sebagai doktrin estetika maupun sebagai praksis budaya, menunjukkan bahwa seni tidak pernah hadir dalam ruang hampa sosial-politik. Ia selalu terikat pada konteks zaman, perjuangan kelas, serta visi masa depan yang ingin dibangun. Dalam perjalanannya, realisme sosialis mengalami pasang surut—dari kejayaan di bawah rezim-rezim sosialis hingga terpinggirkan sebagai doktrin yang dianggap kaku dan dogmatis. Namun, di balik semua itu, realisme sosialis tetap menyimpan potensi besar sebagai bentuk seni yang berpihak pada rakyat dan menempatkan realitas sosial sebagai pijakan utama penciptaan. Daripada meributkan persoalan estetika dalam sastra, realisme sosialis mendorong untuk secara kritis melihat perkembangan masyarakatnya dan mendorong suatu perubahan menuju masyarakat sosialis.

Di tengah krisis budaya kontemporer—di mana seni sering kali tereduksi menjadi komoditas pasar dan ekspresi individual semata—gagasan-gagasan dasar dari realisme sosialis layak untuk dikaji ulang. Bukan untuk mengulang dogma masa lalu, melainkan untuk merumuskan kembali seni yang kritis, membumi, dan mampu mendorong transformasi sosial. Akan tetapi perlu dipahami bersama, setiap kreasi artistik akan selalu memiliki keterbatasannya sebagaimana ia memiliki kekhasan yang menopangnya.

            Nama George Lukacs yang turut membahas persoalan Realisme Sosialis sebagai suatu aliran kesenian dalam perkembangan sastra dan seni di dunia menyumbangkan banyak pemikirannya baik dalam bidang akademik ataupun dalam ranah praksis. Walaupun dikemudian hari ia melabeli pandangan keseniannya sebagai Realisme Kritis karena kekecewaannya terhadap kepemimpinan Stalin yang saat itu menggunakan dan mempengaruhi kesenian yang hadir di Rusia. Dalam bukunya berjudul The Meaning of Contemporary Realism (1962) ia menuliskan bahwa realisme sosialis mengalami distorsi serius selama periode Stalin. Salah satu masalah utamanya adalah subjektivisme ekonomi, yaitu pandangan yang mengabaikan fakta-fakta ekonomi objektif dan mencoba menerapkan hukum sosialis tanpa memperhatikannya. Subjektivisme ini merupakan konsekuensi dari “kultus kepribadian” Stalin dan melahirkan polarisasi antara dogmatisme kaku dan pragmatisme tanpa arah. Ia menganggap bahwa terdapat hubungan historis yang erat antara  realisme kritis dan realisme sosialis, terutama dalam perjuangan melawan modernisme dan anti-realisme. Landasan teoretis dari hubungan ini adalah kepedulian sosialisme terhadap kebenaran, di mana Marxisme menempatkan penggambaran realitas yang jujur sebagai pusatnya. Setiap penggambaran realitas yang akurat, terlepas dari niat penulisnya, dianggap berkontribusi pada kritik terhadap kapitalisme. Oleh karena itu, para ahli teori realisme sosialis menganggap para realis kritis dapat menjadi bagian dari realisme sosialis itu sendiri. Ia juga menekankan bahwa—karena ideologi realisme sosialis didasarkan pada pemahaman tentang masa depan, ia mampu menggambarkan secara mendalam individu yang energinya diarahkan untuk membangun masa depan tersebut. Ini menjadi titik perbedaan utama, di mana para realis kritis sering kali gagal menembus batasan ini.

Jika dilihat lebih lanjut dalam lanskap teoritis, Kedua aliran ini memiliki ambisi untuk menggambarkan totalitas atau keseluruhan masyarakat. Namun, metodenya berbeda. Di lain hal kekecewaan Lukacs terhadap kepemimpinan Stalin menjadi hal dapat dinilai sebagai tindakan politis dalam pengembangan teorinya.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa perkembangan realisme sosialis dalam ranah kesenian dan kebudayaan tidak bisa sekadar dilihat dalam form estetika saja akan tetapi bagaimana kecenderungan tindakan politik yang membersamainya. Setelah kematian Gorky, masih adakah penerus realisme sosialis atau jika menariknya di Indonesia setelah kematian Pram masih adakah penerus tradisi realisme sosialis ini? hal ini kemudian perlu dibahas dan didiskusikan lebih lanjut. Di lain hal, kita tidak bisa benar-benar memisahkan kesenian dan kesusastraan sebagai ruang untuk mengupayakan perjuangan seperti pengalaman historis sebelumnya yang diupayakan oleh LEKRA. Akan tetapi, perlu digaris bawahi sastra dan seni memiliki hukum dan prinsip-prinsip yang menyertainya.

ditulis oleh Sagra, anggota Lingkar Studi Sosialis

Loading

Comment here