Opini Pembaca

Keterasingan Kolektif dan Strukturalisme

Era kapitalisme—yang pada dasarnya menimbulkan berbagai macam pergesekan kelas sosial dan tidak jarang para kapitalis dengan sengaja membuat kesenjangan sosial semakin para melalui penindasan dan diskriminasi sosial. Akan tetapi, kita tidak akan secara komprehensif membahas kapitalisme, namun kita lebih cenderung membahas strukturalisme yang terkenal dengan upaya untuk menghapuskan atau mengesampingkan subjek. Biasanya kita akan melihat corak-corak yang sangat erat dengan bahasa yang dapat dianggap sebagai pembahasan utama di dalam strukturalisme. Pada dasarnya di dalam analisanya, kita dapat menemukan bahwa aspek-aspek penting—tanda-tanda, simbol, komunikasi, dan suatu makna yang akan dikonstruksi agar dapat dipahami—tidak dapat ditinggalkan atau dianggap sebagai pelengkap.

Keseluruhan aspek-aspek tersebut dianggap memiliki suatu lingkungan yang lebih luas, dan manusia merupakan bagian yang terdapat di dalamnya. Manusia terlibat secara langsung dengan sistem tersebut, sehingga tidak jarang manusia diarahkan oleh sistem yang sudah terbentuk dan dengan demikian “bahasa” menduduki posisi sentral di dalam perkembangan analisa strukturalisme. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa pergeseran ekstrem dari pandangan antroposentrisme menuju suatu pembahasan yang sangat erat dengan analisa bahasa akan menyebabkan manusia kehilangan hakikatnya dan dapat menimbulkan suatu konklusi yang masih bisa kita perdebatkan, dengan adanya peralihan—dari subjek menuju ke bahasa—di dalam strukturalisme, maka kita akan melihat, khususnya di dalam bidang perekonomian. Manusia-manusia cenderung dikendalikan oleh sistem bahasa yang dapat menggiring suatu opini atau membentuk psikologis seseorang kepada motif-motif konsumsi tertentu, yang pada dasarnya akan menentukan bagaimana suatu sistem dapat berjalan dengan baik atau tidak.

Keterasingan Kolektif

Istilah keterasinga, atau alienasi sering digunakan oleh Karl Marx yang merupakan seorang filsuf dan ekonom. Yang menciptakan teorinya berdasarkan kekhawatiran atau keresahan yang ia rasakan terhadap kondisi pekerja yang semakin memburuk akibat perkembangan revolusi industri yang kemudian menyebabkan para kapitalis semakin membabi buta dalam melakukan penindasan dan penghisapan nilai guna seorang manusia. Hal ini menyebabkan beberapa orang, khususnya para pekerja kehilangan otentisitas dan biasanya juga mengalami keterasingan yang bersifat lebih luas lagi. Keterasingan dalam pekerjaan merupakan hal yang perlu kita perhatikan sebelum kita melompat ke dalam keterasingan kolektif. Pekerjaan yang seharusnya menjadi sarana untuk merealisasikan hakikat seseorang, justru berubah menjadi suatu keterasingan yang membuat dirinya tidak mengenali apa yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut. Akibatnya, pekerjaan kehilangan arti yang substantial bagi seseorang dan objektivasi manusia melalui pekerjaan semakin terasa tidak masuk akal untuk dilakukan oleh para pekerja dengan perasaan hati yang gembira. Keterasingan dalam pekerjaan, biasanya terjadi dalam kapasitas dan kuantitas yang terbatas pada personal-personal tertentu, khususnya para buruh—para kapitalis hampir tidak pernah merasakan keterasingan di dalam pekerjaan, namun bagi para kapitalis menengah atau kecil, peluang untuk terjadinya keterasingan di dalam pekerjaan cukup besar. Karena pada dasarnya, kapitalis menengah dan kecil masih dapat terancam apabila tindakan-tindakan kapitalis besar menyebabkan usaha atau perusahaan-perusahaan mereka gagal beroperasi. Selanjutnya, setelah kita memahami bagaimana keterasingan dalam pekerjaan (yang dialami secara personal) terjadi, maka kita akan memasuki “keterasingan kolektif” yang terjadi di antara kelompok-kelompok sosial.

Keterasingan kolektif dapat terjadi ketika dua kelompok besar saling memisahkan diri mereka untuk menjadi yang paling superior dengan kelebihan atau atribut tertentu yang mereka hubungkan berdasarkan kesamaan prinsip-prinsip antar anggotanya. Misalnya, dua kelompok besar saat ini dapat kita lihat dari segi penggunaan handphone—para pengguna android dan ios akan saling mengasingkan diri mereka sendiri ke dalam dua kelompok yang tidak jarang saling menyimpan sentiment dan berbagai macam upaya untuk melegitimasi keunggulan masing-masing. Masyarakat terbentuk berdasarkan hubungan-hubungan antar manusia dan termasuk di dalamnya menggunakan “bahasa” sebagai sarana atau sistem yang menyeluruh dalam melaksanakan suatu komunikasi. Keterasingan yang terjadi saat ini, tidak terbatas pada individu, namun sudah lebih parah jika kita bandingkan sebelum perkembangan teknologi atau globalisasi menyebar ke seluruh dunia. Keterasingan kolektif terjadi ketika masyarakat tidak lagi dipandang sebagai sarana untuk merealisasikan aspek-aspek sosial seseorang, namun masyarakat lebih dilihat sebagai arena pertandingan yang mencoba untuk mereduksi nilai substantial di dalamnya. Hakikat seseorang sebagai bagian dari masyarakat sudah tidak lagi diperhatikan sebagaimana mestinya, hubungan tersebut—saat ini—hanya sebatas kewajiban administrasi untuk memperlihatkan suatu identitas yang ia peroleh dari kelompok tertentu yang dianggap berpengaruh di dalam masyarakat secara komprehensif.

Objektivasi manusia tidak lagi berdasarkan suatu faktor tanggal, namun sudah lebih banyak faktor-faktor yang mendukung untuk terbentuknya keterasingan kolektif. Objektivasi yang terjadi melibatkan nilai-nilai alami interaksi sosial, misalnya seseorang dapat menjadi bagian dari masyarakat ketika ia ikut membantu tetangga di sekitarnya membangun jalan. Nilai dari interaksi sosial tersebut kemudian dialihkan ke dalam suatu proses pengerjaan pembangunan jalan dan hal ini merupakan penyaluran hakikat manusia di dalam masyarakat. Akan tetapi, saat ini, hal tersebut sudah tidak lagi relevan. Masyarakat hanya dilihat sebagai lingkungan yang berfungsi untuk melegitimasi apa yang kelompok tertentu inginkan, dan akibat dari pluralitas di dalam masyarakat, tentu saja, banyak kelompok yang terbentuk dan dengan demikian hakikat yang sebenarnya harus disalurkan seseorang di dalam masyarakat berubah menjadi persaingan antar golongan yang sebenarnya akan merusak tubuhnya sendiri (dibaca: merusak masyarakat).

Implikasi Strukturalisme di dalam Keterasingan Kolektif

Apa yang mempengaruhi keberlangsungan keterasingan kolektif? Tentu saja, bahasa. Di dalam strukturalisme, bahasa adalah hal yang penting. Dan ia (bahasa) memiliki posisi penting untuk menciptakan keterasingan kolektif. Hal ini dibuktikan—khususnya dari segi ekonomi—melalui iklan-iklan dari berbagai macam produk teknologi yang menyajikan ratusan spesifikasi dari jenis yang berbeda. Tentu saja, spesifikasi tersebut dapat dikomunikasikan melalui bahasa sebagai suatu sistem yang menyeluruh. Seseorang akan dihadapkan dengan pilihan yang beragam dan sudah tentu ia dapat terdemarkasi oleh pengguna-pengguna teknologi tertentu yang mencoba untuk menjadi superior. Misalnya, pengguna iPhone 11 akan membentuk kelompok mereka sendiri agar tidak merasa tersaing oleh para pengguna iPhone 14. Mereka akan mencoba untuk membuat demarkasi atau otentisitas semu yang bertujuan untuk menjaga status quo. Hal ini menjadi salah satu titik tolak bagi konflik serta keterasingan kolektif di dalam masyarakat. Bahasa yang menjadi peran penting di dalam strukturalisme, kemudian membantu para kapitalis mengkomunikasikan suatu komoditas untuk terus menjaga keterasingan individu atau kolektif terjadi. Penyampain keunggulan dan fitur tertentu atas suatu komoditi akan menimbulkan superioritas abstrak yang hanya didasarkan pada sentiment kolektif tertentu yang mencoba untuk menjadi yang berbeda di dalam masyarakat yang menyeluruh.

Struktur atau sistem yang menyeluruh tersebut terbentuk mengikut perkembangan kebutuhan-kebutuhan dasar yang semakin membeludak ketika jumlah manusia semakin bertambah, keinginan yang tidak dapat terbendung akibat perkembangan fashion dan gaya hidup yang bercorak hedonistic semakin mengukuhkan—bahasa sebagai alat—untuk melakukan penghisapan nilai guna seseorang di dalam modus produksi dan keterhubungannya dengan kapital. Bahasa yang digunakan, khususnya dalam ekonomi, adalah suatu hal mutlak yang dikhususkan untuk memenuhi target penjualan—bujuk-rayu diskon, buy one get one, atau kalimat-kalimat flexing—merupakan senjata yang berbahaya di tengah arus pergeseran subjek. Pada dasarnya subjek tidak lagi memiliki daya mandiri dan terikat dengan sistem universal di dalam bahasa yang kemudian—pada titik tertentu—bahasa berubah menjadi sistem dominan yang membentuk modus konsumsi yang kita kenal dengan konsumerisme radikal.

Kesimpulan

Pergerakan yang akhirnya terpecah ke dalam berbagai kelompok menyebabkan pergerakan secara komprehensif sulit terjadi. Kita sendiri harus menyadari bahwa keterasingan individu sudah berubah semakin parah ketika bahasa yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari dikonversi menjadi senjata-senjata untuk membuat berbagai variasi kelompok sesuai dengan urgensinya. Saat ini keterasingan kolektif yang ditandai dengan adanya kelompok besar yang saling menolak dan mengasingkan kelompok lainnya, khususnya bagi kaum proletar. Keterasingan ini kemudian mempermudah para kapitalis untuk menjaga rasa kecurigaan antar kelompok dan mempersulit kesadaran setiap anggota di dalamnya, sehingga tanpa kita sadari benyak kepentingan yang saling berbenturan sehingga sistem yang rusak sulit untuk dibenahi. Apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah ini? Tentu saja—sebuah jawaban klasik—pada dasarnya budaya literasi, pengorganisasian massa yang lebih kritis atas isu-isu terkini dan perkembangan nalar individu yang bertujuan untuk menolak isu-isu perpecahan pergerakan kolektif di era post-truth. Meski suatu pergerakan tidak mudah terbentuk saat ini—disebabkan oleh duri-duri (dibaca: hambatan) alami yang coba dibuat oleh para kapitalis, namun probabilitas tersebut masih terbuka bagi suatu pergerakan di masa depan untuk perubahan kaum buruh dan rakyat yang tertindas.

Ditulis oleh Angga Pratama, pendiri Ruangan Filsafat

Referensi:

Suseno, Frans Magnis. 1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama;

Bertens, K, Johanis Ohoitimur, Mikhael Dua. 2018. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius;

Freud, Sigmund. 2020. Civilization and Its Discontents. Yogyakarta: Immortal Publishing dan Octopus;

Bertens, K. 2019. Filsafat Barat Kontemporer Jilid II Prancis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama;

Suryajaya, Martin. 2016. Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer. Yogyakarta: Resist Book;

Suryajaya, Martin. 2016. Teks-Teks Kunci Filsafat Marx. Yogyakarta: Resist Book;

Marx, Karl. 2007. Das Kapital III: Proses Produksi Kapitalis secara Menyeluruh. Jakarta: Ultimus

Ini adalah Kolom Opini Pembaca. Kolom Opini Pembaca tidak harus merefleksikan pandangan Dewan Redaksi Arah Juang. Arah Juang menerima kiriman tulisan tentang perjuangan kelas buruh, pergerakan rakyat, pembebasan perempuan, dan anti penindasan, baik dalam bentuk artikel, opini, liputan, rilis pers, dan lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan sosialisme. Kirim ke: https://www.arahjuang.com/surat-pembaca/ atau ke: redaksi.arah.juang@gmail.com

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: