Sejarah

Asal Usul Tentara Nasional Indonesia

Saat awal pendirian RI, Sukarno-Hatta awalnya kurang berminat pada pembentukan tentara reguler Indonesia. Pertama, karena khawatir rekam jejak mereka yang memutuskan bekerjasama dengan Jepang akan dianggap Sekutu sebagai bukti kolaborator fasis. Konsekuensinya bukan hanya mereka bisa diseret ke pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Namun juga Republik Indonesia (RI) bisa dianggap negara boneka bentukan fasis Jepang dan kemerdekaannya dibatalkan serta dikembalikan jadi jajahan Belanda. Sukarno-Hatta memandang bahwa pembentukan tentara reguler akan membuat RI semakin dicap fasis oleh Sekutu.

Namun di sisi lain, pembentukan organ-organ bersenjata untuk mempertahankan kemerdekaan adalah kebutuhan mendesak riil. Berbagai elemen rakyat lebih dulu berinisiatif melucuti tentara Jepang, menyerbu gudang senjata, mengambil alih amunisi dan persenjataan, serta membentuk organ-organ bersenjata yang dikenal sebagai laskar. Terdapat laskar buruh, laskar tani, laskar minyak, laskar wanita, laskar Islam, laskar merah, laskar Hizbullah, laskar pemuda sosialis Indonesia (Pesindo), dan sebagainya. Banyak di antaranya berinisiatif bukan juga merebut pabrik, tambang, stasiun dan perkeretaan, perkebunan, dan sebagainya. Semuanya inisiatif dari bawah dan karena banyak di antaranya bentukan elemen rakyat dan organisasi politik yang beranekaragam maka sifatnya juga tidak tersentral.

Demi memenuhi desakan itu pemerintah Indonesia menyetujui pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 23 Agustus 1945 yang berfungsi memperkuat polisi untuk pemeliharaan hukum dan ketertiban juga mendukung pemerintah. Para ex-KNIL dan ex-PETA banyak yang protes ke pemerintah. Mereka meminta segera dibentuk tentara nasional. Bagi mereka mustahil jika Negara tidak dilengkapi dengan organisasi pertahanan untuk melawan ancaman dari luar. Maka 5 Oktober 1945 Presiden Sukarno menandatangani Maklumat pemerintah tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan mengangkat Mayor Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Mayor Jendral, Muhammad Sulyoadikusumo sebagai Menteri Keamanan Rakyat, dan Supriyadi sebagai Panglima Tertinggi TKR. Lalu 27 Oktober, Sukarno-Hatta mengeluarkan Maklumat menegaskan tujuan didirikan TKR untuk menanggung keamanan dalam negeri dan tidak bertindak sendiri-sendiri. Tapi bagi kalangan pejuang bersenjata, baik ex-KNIL, ex-PETA, maupun anggota laskar-laskar ini menunjukkan pemerintah masih tidak serius dan ragu-ragu dalam membentuk tentara nasional. Menurutinya, 25 Januari 1946 Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit menggantikan TKR menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) dan menegaskan bahwa TRI adalah satu-satunya organisasi militer yang ada di Indonesia. 5 Mei 1947 kembali dikeluarkan Dekrit Presiden tentang pembentukan panitia yang diketuai Presiden Sukarno untuk menangani reorganisasi yang kedua kalinya dalam tubuh angkatan perang yang kemudian mensahkan pembentukan TNI (Tentara Nasional Indonesia) pada tanggal 3 Juni 1947.

Saat Amir Sjarifuddin jadi Perdana Menteri, ia mencanangkan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra). Isi-isi pokoknya modernisasi tentara, menempatkan tentara di bawah kementerian pertahanan, dan merasionalisasi jumlah tentara. Ini diikuti Pendidikan Politik Tentara (Pepolit) dan Tentara-Masjarakat (pendaftaran dan karenanya pengesahan terhadap laskar-laskar yang berafiliasi kepada TNI sekaligus menerapkan garis komando pemerintah ke laskar-laskar itu). Re-Ra Amir ini banyak ditentang. Pertama, lewat Re-Ra ini ia dianggap menganakemaskan kelompok Kirinya sendiri dan di sisi lain meminggirkan Sudirman (yang dekat dengan kelompok Tan Malaka lewat Persatoean Perdjoeangan dan program Merdeka 100%) serta Oerip Soemohardjo. Kedua, sebagai politisi sipil (meskipun punya rekam jejak perjuangan anti-fasis) ia dianggap orang luar yang campur tangan dan mengekang kelompok bersenjata. Konflik ini diperparah meningkatnya ketidakpercayaan kalangan yang memprioritaskan perjuangan bersenjata terhadap politisi sipil yang memprioritaskan diplomasi. Banyak perjanjian justru menguntungkan Belanda dan banyak kompromi-kapitulasi justru mengembalikan aset-aset ke modal asing. Re-Ra Amir ini gagal karena terinterupsi agresi militer Belanda I dan mundurnya Amir sebagai Perdana Menteri.

Hatta lalu jadi Perdana Menteri dan meneruskan Re-Ra dengan perubahan. Ia mencanangkan pengurangan jumlah tentara dan memprioritaskan profesionalitas tentara. Dalam praktiknya, hanya ex-KNIL dan ex-PETA yang bisa menjadi tentara. Sedangkan anggota laskar yang tidak punya pendidikan militer tidak bisa diterima meskipun berjasa dan berpengalaman dalam pertempuran bersenjata merebut aset dan melawan musuh. Laskar-laskar juga harus dibubarkan.Termasuk TNI-Masjarakat juga dibubarkan. Ini diprotes besar-besaran. Mengurangi tentara dan pasukan bersenjata di masa perang dipandang banyak kalangan sebagai kebijakan yang justru mendatangkan malapetaka karena mengurangi kekuatan melawan musuh. Tapi protes terbesar datang dari Sajap Kiri, yaitu partai-partai, organisasi massa, dan kelompok bersenjata yang di bawah pengaruh kepemimpinan Amir-Muso. Sebab kekuatan bersenjata mereka dipangkas besar-besaran. Sementara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Front Demokrasi Rakjat (FDR) lewat rumusan Jalan Baru-nya Muso menolak demiliterisasi serta menuntut pembentukan pemerintahan Front Nasional. Pecahnya peristiwa Madiun kemudian mempercepat Re-Ra dan penghilangan elemen-elemen rakyat dalam militer Indonesia. Sisanya akhirnya didominasi tentara-tentara bekas didikan Belanda dan atau Jepang.

Intervensi militer (AD) ke sipil secara vulgar terjadi 17 oktober 1952. AD dikomando Nasution mengerahkan ribuan massa beserta meriam-meriamnya dengan menggunakan truk-truk tentara ke depan Istana Merdeka. Tujuan mereka menekan presiden Sukarno untuk membubarkan parlemen. Ini gagal karena presiden Sukarno menolak. Ini membuat AD terpecah ke dua kubu: kubu pro 17 Oktober dan anti 17 Oktober sehingga membuat AD berada dalam posisi yang paling lemah dalam politik. Sehingga pada saat itu Nasution dipecat sebagai KSAD.

Namun upaya AD untuk tetap menguasai peran politik dan ekonomi terus berlanjut. Menurut Supriyatmono, ada tiga kesimpulan. Pertama, militer menegaskan dirinya menolak sekedar menjadi alat pemerintah serta dengan tegas menolak campur tangan dari politisi sipil/pemerintah terhadap urusan internal yang sangat prinsipil. Kedua, sikap militer kini lebih jauh dalam menangani permasalahan politik. Ketiga, lebih dari itu, militer telah memperlihatkan kecenderungan yang semakin kuat untuk mengambil peran politik tertentu dalam kehidupan Negara.

Pecahnya pemberontakan-pemberontakan dan penumpasannya kian memperkuat posisi militer Indonesia. Darurat militer ditetapan tahun 1957. Banyak daerah ditempatkan di status operasi militer dimana militer juga menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan bahkan juga berperan di bidang ekonomi. Pasca-pencabutan status darurat militer, Nasution ingin melanjutkan bahkan memperluas peranan ini. Karenanya ia menawarkan konsepsi Jalan Tengah kepada Presiden Sukarno dengan cara meminta perwira-perwira Angkatan Darat diberi jatah jabatan dalam pemerintahan. 8 april 1957, Presiden mengumumkan susunan kabinet baru  pasca jatuhnya Kabinet Ali II dengan Djuanda sebagai perdana menterinya yang juga merangkap sebagai Menteri Pertahanan. Dalam situasi staatvanoorlog en beleg (SOB) peran militer sangat menentukan sehigga Nasution diangkat sebagai co-formatur, dengan peran yang sangat menentukan. Peran militer dalam pemerintahan semakin besar dengan disahkannya pembentukan Dewan Nasional (DN) berdasarkan UU Darurat tanggal 6 Mei 1957. Dengan ini militer turut berperan dalam menyetir pemerintahan berdasarkan jatah golongan fungsional. Secara de facto Soekarno tidak bisa lagi berbuat banyak tanpa kolaborasi maupun persetujuan dengan AD. Sehingga antara Sukarno dan AD terjadilah persatuan paksa, keduanya saling membutuhkan tapi berbeda kepentingan politik mendasar. Bahkan di luar pemerintahan, saat Sukarno semakin mengandalkan dukungan mobilisasi massa dari PKI, justru AD di bawah kepemimpinan Nasution mendorong pengorganisiran kelompok-kelompok anti-komunis. Mulai dari SOKSI, Pemuda Pancasila, Resimen Mahasiswa, Manikebu, dan lainnya. Banyak diantaranya di danai secara rahasia oleh intelijen negara-negara Imperialis. Ini kemudian diadopsi dan diperluas Harto dipakai Orba jadi Dwifungsi ABRI dengan memanfaatkan peristiwa G30S untuk merebut kekuasaan. Sejak itu karakter politik militer Indonesia benar-benar menjadi ekstrem Kanan. Bukan hanya mendukung kediktatoran Orba tapi juga memulihkan kekuasaan Imperialisme atas Indonesia dan melindungi kepentingan penghisapan.

Ditulis oleh Misbah Pekter| Kader KPO PRP

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 52 I-II Oktober 2018, dengan judul yang sama.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: