Perempuan dan LGBT

Indonesia Tanpa Feminis = Pendukung Penindasan Terhadap Perempuan

Sembilan hari pasca-Hari Perempuan Internasional (HPI) 2019 muncul akun Instagram Indonesia Tanpa Feminis (ITF). Hari berikutnya mereka mengunggah karikatur yang mengolok transgender bingung memilih toilet mana. 20 Maret mereka mempropagandakan tubuh perempuan bukan milik perempuan tapi milik Allah. 21 Maret mereka mulai terbuka memfitnah, menolak, dan menyerang Feminisme. ITF mengunggah ilustrasi yang menyatakan “FEMINISME ingin: memanusiakan manusia katanya yang terjadi: malah seperti menuhankan manusia.”

ITF adalah akun Instagram yang memilki pandangan dengan kultur Bigot-Fundamentalis Islam. Bigot adalah orang yang menjalankan pandangan dan perlakuannya berdasarkan sebagian besar atau bahkan sepenuhnya pikiran sempit, prasangka, dan fanatisme (alih-alih logika, fakta, dan objektivitas) serta bertujuan menyingkirkan pandangan-pandangan, ras-ras, gender-gender, agama-agama, atau aliran-aliran politik yang dijadikan sasaran permusuhannya. Sedangkan Fundamentalisme adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham, sekte atau agama yang mengupayakan penghapusan tatanan masyarakat yang dianggap sudah menyimpang untuk dikembalikan sesuai ajaran-ajaran fundamental atau dasar. Pengertian terhadap ajaran-ajaran fundamental/dasar ini mereka bangun secara literal atau harafiah dan bukannya secara kontekstual (dengan melihat konteks sejarah, sosial, ekonomi, politik, dan kultural secara menyeluruh). Oleh karena itu mereka berusaha mendirikan kembali negara agama dengan berdasarkan hukum agama serta aliran resmi yang tunggal diakui pemerintahannya. Sehingga dengan demikian menempatkan para pemeluk aliran dan agama lain sebagai warga negara kelas dua. Termasuk dengan mendiskriminasi serta banyak merampas hak-hak kaum perempuan. Contoh-contoh rezim fundamentalis Islam antara lain: rezim Taliban di Afghanistan, rezim ISIS, rezim Arab Saudi, dan rezim Republik Islam Iran.

Semua unggahan ITF harus dicermati, dikritik, bahkan dilawan karena memilki pola pikir keliru dan logika  yang  tidak masuk akal mengenai konsep feminisme. Memang Feminisme sebagai suatu istilah baru muncul dari gerakan perlawanan anti-Orba di dekade 80an. Juga betul, sebelum 80an tidak ada organisasi perempuan dan gerakan emansipasi perempuan di Indonesia yang memakai label maupun teori Feminisme. Sebab dalam sejarahnya tidak semua gerakan perempuan yang memperjuangkan kesetaraan, pembebasan perempuan, dan penghapusan penindasan terhadap perempuan merupakan Feminis ataupun memakai identitas Feminis. Feminisme secara spesifik adalah pergerakan perjuangan perempuan yang menyatakan bahwa Patriarki adalah akar penindasan perempuan serta karenanya harus dilawan dan dicabut. Patriarki, menurut Feminis, adalah suatu sistem sosial dimana kaum laki-laki memegang kekuasaan dan mendominasi dalam peran-peran kepemimpinan politik, otoritas moral, previlese sosial, dan kontrol atas kepemilikan/properti. Banyak aktivis dan organisasi pembebasan perempuan menganut teori patriarki namun tidak sedikit yang menolak dan mengkritiknya. Sandra Bloodworth dan Liz Walsh dari Socialist Alternative  misalnya, memandang garis kelas membelah semua identitas, termasuk jenis kelamin dan gender, sehingga laki-laki buruh dan kelas tertindas juga dirugikan atas penindasan terhadap perempuan. Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pun juga, dalam Konstitusi Gerwani tidak ada satu pun istilah Feminis maupun Patriarki. Dipa Nusantara (DN) Aidit dalam tulisannya “Madjulah Terus Gerakan wanita Indonesia untuk Emansipasi dan Masjarakat Baru” juga menolak Feminisme dengan mengkritik kecenderungannya menjadi gerakan perempuan sendiri secara eksklusif dan menolak terlibat dalam perjuangan kebangsaan-kerakyatan. Namun seiring berjalanannya waktu, Feminisme mengalami perluasan makna menjadi pergerakan perempuan yang memperjuangkan kesetaraan perempuan serta penghapusan penindasan terhadap perempuan. Persis, perlawanan terhadap perjuangan untuk kesetaraan dan penghapusan penindasan terhadap perempuan inilah yang jadi agenda seksis sebenarnya dari ITF.

Dengan memakai tanda pagar (tagar) #UninstallFeminsm, ITF jelas menempatkan diri sebagai para perempuan pengkhianat yang menjadikan diri mereka sebagai musuh emansipasi, hak-hak perempuan, kemerdekaan, dan keadilan sosial itu sendiri. ITF bukan hanya menjadi antek kebigotan dan fundamentalisme tapi juga agen seksisme dan penindasan terhadap perempuan.

Maka akun tersebut berusaha mereduksi peran para feminis di Indonesia. Faktanya, perempuan sekarang yang memiliki hak untuk menggunakan media sosial, hal berkumpul dan menyatakan pendapat di muka umum dan lainnya adalah buah dari teori-praktik perjuangan Pembebasan Perempuan dan Feminisme. Kebebasan yang didapatkan perempuan dalam ruang publik adalah hasil dari perjuangan kesetaraan perempuan. Menggunakan hak perempuan untuk menyerang hak-hak perempuan jelas sebuah pengkhianatan.

Salah satu serangan awal yang dilancarkan para pengkhianat perempuan ini adalah slogan “Tubuhku bukan milikku tapi milk Allah.” Berhadap-hadapan secara frontal melawan “Tubuhku adalah otoritasku”. Dengan ini mereka menyebarkan pandangan konservatif atas dalih agama yang mendikte bagaimana perempuan berpakaian, bagaimana Perempuan harus menutup aurat. Tak boleh berduaan. Tak boleh naik sepeda motor ngangkang dan semacamnya. Sehingga perempuan menjadi objek yang selalu didikte, dikekang, dan disalahkan.

Padahal konsepsi “tubuhku otoritasku” bagi kaum perempuan adalah sedasar-dasarnya hak perempuan dan hak perempuan adalah hak asasi manusia (HAM). Tubuh perempuan adalah otoritas pribadinya, kedaulatannya, miliknya sendiri. Bukan orang lain, bukan keluarga, bukan pasangan, bukan media, bukan negara, bahkan agama. Perempuan sendiri yang paling berhak atas dirinya. Sejak awal konsep ini diperjuangkan untuk melawan kekerasan termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan. Juga untuk melawan reviktimisasi atau tindakan hina yang menyalahkan korban atau penyintas atas kekerasan seksual yang dialaminya sendiri. Betapa banyak kekerasan seksual yang menyalahkan perempuan karena berbaju minim padahal banyak perempuan berhijab juga jadi korban. Betapa banyak kekerasan seksual yang berupa pemaksaan suami untuk berhubungan seks dengan istrinya atas dalih sudah kodrat istri melayani suaminya. Betapa banyak kekerasan seksual yang dilakukan anggota keluarga sendiri dan betapa banyaknya anggota keluarga lainnya yang mengetahuinya tidak melakukan apapun karena takut ‘mengumbar aib’ dan takut tidak dinafkahi. Bahkan sudah sangat banyak kekerasan dalam pacaran karena pandangan salah bahwa kekasih adalah barang untuk dimiliki pasangannya (sehingga bisa disakiti). Betapa banyak pemaksaan berbusana, baik secara keras ataupun halus (melepas jilbab/hijab/niqab maupun memaksakan jilbab) terhadap perempuan oleh institusi-institusi negara. Begitu seterusnya, banyak intitusi, kelompok, maupun oknum perorangan menindas perempuan berdasarkan penyangkalan terhadap hak perempuan atas tubuhnya sendiri.

Jadi jelas propaganda ITS yang menyatakan tubuh perempuan adalah milik Tuhan adalah penyalahgunaan agama untuk kepentingan para bigot-fundamentalis yang selama ini punya rekam jejak sarat kekerasan seksual, paedofilia, bahkan perbudakan seksual. Sejauh ini tidak ada satupun kecaman ITF terhadap para laki-laki yang seksis, mendiskriminasi perempuan,  apalagi yang melakukan kekerasan seksual. ITF sepenuhnya bungkam atas poligami yang dilakukan Anis Matta. ITF tutup mulut atas pemerkosaan terhadap putri kandung yang bertahun-tahun dilakukan Alhuda, Caleg PKS untuk DPRD Pasbar. ITF juga tidak bersuara saat Ketua PKS Sumbar mengancam korban kekerasan seks Alhuda untuk dihukum cambuk kalau tidak mampu menghadirkan empat saksi sesuai syariah Isalm. ITF bahkan diam seribu bahasa atas perbudakan seksual yang dilakukan rezim fundamentalis ISIS terhadap banyak perempuan, terutama dari kalangan Yazidi.

Lebih lanjut, argumen bahwa perempuan akan dijaga oleh saudara laki-laki atau suami adalah objektivikasi terselubung alias kedok untuk menjadikan perempuan sebagai barang untuk dimiliki. Bukan hanya ini merupakan pandangan seksis yang merendahkan martabat perempuan sebagai makhluk yang seolah-olah lemah, tak berdaya, dan harus dilindungi. Bahkan semua perempuan dianggap mutlak lebih lemah dan inferior dibandingkan semua laki-laki. Suatu pandangan yang tidak berdasarkan fakta (mudah saja, coba Alhuda sang pelaku kekerasan seksual bekas caleg PKS dihadapkan dengan Ronda Rousey, petarung UFC, hasilnya mudah ditebak). Melainkan argumen ITF itu juga mendorong perempuan tidak punya kemandirian serta sepenuhnya bergantung kepada laki-laki patronnya. Dengan menyerahkan nasib perempuan kepada laki-laki patronnya seperti itu, maka suatu rezim dan tatanan tidak perlu repot-repot menjamin dan memenuhi hak-hak perempuan. Padahal di sisi lain juga banyak kekerasan seksual dilakukan oleh para anggota keluarganya sendiri.

Berbeda dengan ITF dan bigot-fundamentalis pada umumnya, organisasi-aktivis pembebasan perempuan, termasuk kaum Sosialis dan Feminis, menentang itu. Kami memperjuangkan hak-hak perempuan. Baik itu hak untuk bebas menentukan nasibnya dalam mendapat hak seperti hak kesehatan reproduksi, hak cuti menstruasi dan hamil, hak akan rasa aman dengan tidak menerima diskriminasi, pelecehan dan kekerasan, serta lain sebagainya.

Feminisme maupun gerakan kesetaraan dan pembebasan perempuan pada umumnya sangat penting dalam mendorong pemenuhan hak-hak perempuan sekaligus kemajuan masyarakat. Tanpanya tidak ada kesetaraan dan keadilan bagi perempuan. Konsekuensinya, perempuan akan terus mutlak ditindas dan hanya ditempatkan dalam pekerjaan domestik saja “sumur, kasur, dapur”.

Selama ini kultur sosial yang menindas menempatkan perempuan agar terpinggirkan dan pasif, hal itu dianggap kodratnya, atau takdir dari langit. Seolah-olah penindasan yang terjadi selama ini adalah “alami.” Padahal Ketidaksetaraan muncul karena masyarakat kelas, khususnya saat ini akibat sistem Kapitalisme. Di bawah watak kapitalisme, segala bentuk produksi diarahkan untuk mendapatkan laba sebanyak mungkin. Segalanya menjadi komoditas. Tak terkecuali tubuh perempuan.

Hegemoni yang dialami oleh perempuan terus dilembagakan. Misalnya dengan menciptakan istilah “cantik”dalam media, sehingga perempuan yang dianggap cantik lebih laku, dengan konstruksi kulit putih, rambut panjang, tubuh kurus dan sebagainya. Konstruksi yang dilakukan media tersebut bersifat halus sehingga kebanyakan dari perempuan tidak sadar. Berbeda dengan kekerasan secara fisik. Inilah yang juga diperjuangkan kaum Sosialis, Pembebasan Perempuan, dan Feminis.

Lebih jauh pemikian feminisme dianggap sebagai racun bagi anti-feminis. Feminisme dianggap sebagai representasi budaya barat yang asing dan sesat. Para perempuan pun akan dicap anti-agama, sama ketika memiliki pandangan yang berbeda. Tentu saja hal ini tidaklah rasional.Perjuangan gerakan feminisme adalah gerakan internasional untuk pembebasan perempuan yang  tidak memandang agama, suku, ras, dan lain-lain. Justru kampanye anti-feminislah bentuk lain dari rasisme, dimana hanya agama tertentu saja yang boleh memperjuangkan kesetaraan perempuan sementara yang lain tidak.

Perbedaan landasan berpikir akan mempengaruhi proses pencarian akarmasalah, begitu pun dengan solusinya. Akun ITF, bukan hanya tidak memahami namun juga menutupi kenyataan objektif penindasan, ekploitasi, dan ketidakadilan terhadap perempuan. Lebih parahnya lagi menyesatkan publik termasuk perempuan dengan olok-olok, fitnah, dan kebohongan. Bahkan menggiring masyarakat ke dalam kebigotan dan fundamentalisme. Demi membendung perjuangan perempuan untuk kesetaraan, pembebasan, dan keadilan. ITF dengan membabi buta menyalahkan pembebasan perempuan, Feminisme, dan Barat.

22 Maret 2019, ITF mengunggah video dengan keterangan Erdogan kecam aktivis Feminis yang tidak respek pada adzan. Video itu menampilkan suara adzan dengan tampilan awal Hagia Sophia kemudian diarahkan kebawah mensyuting aksi Women’s March yang tampak menyerukan yel-yel, sorak-sorai, melambaikan bendera pelangi, serta mengusung plakat-plakat dan spanduk-spanduk perjuangan. Seberapa otentik atau asli video ini, sejauh ini belum dipastikan. Apa yang pasti Hagia Sophia sudah lama tidak berfungsi sebagai Masjid, melainkan sebagai Museum. Hagia Sophia awalnya bahkan bukan masjid, melainkan dibangun di abad enam sebagai Gereja oleh Kerajaan Bizantium. Gereja ini kemudian diubah jadi masjid saat Kesultaan Utsmaniyah menguasai Istanbul tahun 1453. Saat kaum Nasionalis Turki berkuasa dan menerapkan sekularisme di tahun 1935 Hagia Sophia kemudian diubah menjadi Museum. Erdogan memang pernah mengajukan agar Hagia Sophia dijadikan Masjid kembali, tapi belum disetujui dan disahkan. Ini sebenarnya lebih merupakan retorika untuk meraup dukungan baginya dan bagi Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) demi kampanye Pemilu 31. Tapi ternyata Erdogan dan AKP malah kalah di Ankara dan Istanbul—lokasi Hagia Sophia itu sendiri.

Ini juga menunjukkan kontradiksi atau ketidakkonsistenan ITF. ITF bersikap Xenofobis, khususnya Westenofobis, menyebarkan ketakutan dan kebencian tidak masuk akal terhadap asing atau dalam hal ini lebih tepatnya anti-Barat. Namun di sisi lain Erdogan dan AKP yang dipuja-puja ITF juga berasal dari Barat. Turki adalah bagian dari Uni Eropa dan Erdogan sendiri bukan hanya berkebangsaan Turki melainkan juga memiliki keturunan Georgia.

Propaganda ITF yang menjelek-jelekkan Feminisme dan gerakan pembebasan perempuan pada umumnya serta Westenofobis demikian penuh pemikiran kolot dan picik bahkan menyesatkan sekaligus rasis. Seolah-olah semua yang Barat adalah hal buruk. Padahal kebigotan dan fundamentalisme ITF sendiri juga bukan produk masyarakat adat di Nusantara.

ITF juga kembali plin-plan dengan mengunggah foto perempuan yang menunjukkan poster anti-Feminis. Bunyinya “I dont need feminism because: it demonizes traditional family constructs, I do not blame men for an action I’m responsible for, Being whistled at or complimented on the street isn’t oppression.” Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan: “Aku tidak butuh feminisme: karena itu menjelek-jelekkan konstruksi keluarga tradisional, aku tidak menyalahkan para laki-laki atas tindakan yang menjadi tanggung jawabku. Disiuli atau dipuji di jalan bukanlah penindasan.” IF menambahkan keterangan/”caption” berupa “…so agree…what about you” yang dalam bahasa Indonesia berarti: “…sangat setuju…bagaimana denganmu?” Sebelumnya ITF anti-Barat namun begitu menemukan perempuan (diduga Kulit Putih) dengan poster anti-feminis serta-merta ITF tidak sungkan-sungkan menggunakannya demi agendanya. Bukan hanya itu dengan ini ITF mendukung reviktimisasi, menyalahkan perempuan atas kekerasan seksual yang dialaminya, bahkan menyetujui anggapan siulan bukanlah penindasan. Kurang bukti apa posisi ITF sebagai agen seksisme dan agen kekerasan seksual terhadap perempuan?

Dunia yang diinginkan ITF, tatanan yang dikehendaki mereka lewat tagar UninstallFeminism adalah dunia dan tatanan dimana kaum perempuan akan terus mengalami ketidakadilan, ekploitasi dan dipermalukan. Tanpa perjuangan pembebasan perempuan dan feminisme, perempuan Indonesia dijadikan objek pasif seperti barang yang bisa digunakan seenaknya. Tidak memilki akses untuk menyampaikan pendapat dan mendapatkan hak-haknya. Ini adalah distopia, masa depan suram, mengerikan, yang menindas perempuan. Rezim Taliban pernah mewujudkannya dengan dibantu imperialis AS menggulingkan pemerintahan Revolusi Saur. ISIS pun pernah mewujudkannya. Jangan biarkan ini terjadi. Gerakan pembebasan perempuan pada umumnya termasuk Feminis, apalagi kaum Sosialis akan melawannya.

Perjuangan membangun kesadaran bahwa perempuan masih menjadi objek seksual dan ekploitasi perlu dilakukan, karena tidak hanya kekerasan fisik saja tapi kekerasan yang terjadi secara verbal maupun non-verbal. Tentu saja dengan cara memperdalam pemahaman akar dari masalahnya itu Kapitalisme. Lebih lanjut, menumbuhkan kesadaran (consiousness) saja tidak cukup. Tidak bisa perjuangan dengan individu-individu yang terpisah. Melainkan berjuang bersama secara kolektif melawan penindasan melalui organisasi dan gerakan revolusioner. Juga dengan melawan musuh-musuh pembebasan perempuan, termasuk para perempuan pengkhianat seperti ITF yang mendukung kaum seksis, fundamentalis, dan bigot. Mari kita kalahkan mereka. Gulingkan penindasan terhadap perempuan, hapuskan seksisme, Demi mewujudkan dunia dimana perempuan dan laki-laki bebas dan setara. Demi Indonesia setara, merdeka, adil, sejahtera, bebas dari penindasan, dan bebas dari penghisapan. Indonesia tanpa “Indonesia Tanpa Feminis.”

ditulis oleh Lady Andres, Anggota Lingkar Studi Sosialis.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: