Indonesia Negara yang penuh kompleksitas, parahnya, kondisi riil ekonomi rakyat tetap begitu-begitu saja. Pemilu lima tahunan, belum tentu mengubah kehidupan rakyatnya dalam tempo satu periode pemilu. Sebetulnya sejak dahulu, bahwa konstelasi politik tanah air, tak bisa terhindar dari sosok, ataupun figur penting dari sebuah kelompok dan kekuatan politik yang berlangsung.
Sebab, pergulatan dan dinamikanya tak bisa lepas dari unsur ketokohan yang hadir dari setiap pergolakan. Di masa pra kemerdekaan, Indonesia mendapatkan sosok A blessing ini disguise. Banyak diartikan, “something that seems bad or unlucky at first, but results on something good happening later”. Bung Karno contohnya. Meski Ia hidup dalam kejaran dan pengasingan, pembuangan di jalan Belanda, Bung Karno dianggap tokoh besar yang akhirnya memproklamasikan NKRI 1945, dengan dorongan kaum muda. Contoh seru lainnya, adalah para tokoh di jaman pergerakan. Yang akhirnya, tampil dalam pemberontakan pertama kalinya di Hindia Belanda, di tahun 1926, melawan Belanda. Banyak tokoh pentingnya dibuang di Boven Digul. Dan sesudahnya, kalau tidak mati, mereka yang hidup, biasanya menjadi orang-orang yang disegani, lantaran alumni Digulis.
Apa hubungannya sejarah demikian dengan latar politik kekinian? Dan apalagi, paska reformasi 1998, lingkaran politik kekuasaan, tak jauh dari kekuatan politik, “itu-itu saja”, kata sebagian besar anak muda kritis. Jika ada sedikitnya anak muda kritis di jaman 1998, yang mulai berbenah pemikiran dari sekedar menjadi aktivis, mereka sudah berada dalam daftar caleg, paling kentara mulai 2014 silam. Artinya Indonesia khas dengan unsur ketokohan, apakah pemeran Buto Cakil, Sengkuni, bahkan mimpi “Satrio Piningit” yang belum kunjung tiba!
Maka relevansinya dengan situasi politik kekinian, unsur ketokohan wajar dan biasa saja, menjadi penghias panggung kampanye pilpres sebentar lagi. Namun, bagi kebenaran politik elit, ketokohan tak dapat dipungkiri, dapat menjadi unsur matematika politik, dalam meraup suara. Salah memadukan unsur ketokohan, cilakanya, macam sakit hatinya SBY, yang gagal mempromosikan putra mahkotanya, beberapa hari lalu, dengan menggadang AHY, sebagai bakal cawapres 2018 ini. Ini fakta!
Sekian banyak kondisi yang melatari unsur ketokohan memang melegenda dalam pergolakan politik tanah air. Misal, di kubu anti Jokowi, dapat dipastikan opininya, adalah Jokowi petugas partai, dan tak punya pengalaman berorganisasi dan politik apapun. Apalagi kemampuan dalam mewujudkan pembangunan yang berkeadilan mutlak di Indonesia. Tampang ceking, lebih sering belum tamat berkuasa, sejak menjabat sebagai walikota Solo tempo hari. Namun faktanya, sebagian besar klas menengah pengakses digital informasi tercepat di Indonesia, catat, terkesima, dengan wajah ndeso, pakaian dan dandanan tak kurang dari lima ratus ribu perak, yang menempel di sekujur tubuh seorang Presiden Republik Indonesia. Dan bukan karena ingatan programnya, apakah itu Nawacita, dsb.
Maka pertarungan politik dalam kontestasi pemilu 2019 ini, tak perlu dicemaskan lagi, tak perlu disebut-sebut mengkhawatirkan lagi, sebab problemnya, rakyat masih terhegemoni dengan tampilan dan kemasan sosok dan ketokohan. Lain lagi para pendukung sosok Prabowo Subianto, sudah tak melihat bercak darah yang masih menetes dari tangannya, sejak peristiwa penculikan aktivis 1998. Asalkan duit berbicara, “hepeng do mangatur negara on”. Pasangannya, Sandi, akui, mengguyuri dua parpol sekaligus, dengan nilai masing-masing Rp. 500 miliar. Alhasil, kita akan menyaksikan sebuah perlombaan balap karung semata, meriah untuk ditonton, tapi tak ada prestasi apapun yang dapat dijaminkan, berbasis program untuk diperdebatkan.
Implikasinya bagi rakyat jelas, kondisi semacam ini, akan memfortofolio kebanyakan pemilihan yang sudah-sudah. Dan animo rakyat, ekspektasinya sama, antara harap-harap cemas, menyaksikan pertandingan timnas sepakbola, kalau kalau, mungkin masih bisa ngambek, dan ngamuk. Atau pemilu kepala desa dan lurah di daerah-daerah. Tak banyak yang diharapkan. Maka pemilu ini, semacam hiburan semata buat tontonan rakyat.
Jujur saja, rakyat seluruh Indonesia sudah tahu, kalau hasil pemilu itu hanya semata mempertontonkan siapa yang menang, dan harus kalah. Persoalannya, jalan perlawanan rakyat masih berada di erupsi, di tengah kawah yang masih mampet, di sana-sini.
Jalan Perlawanan Rakyat
Kalau diskusi kita di sini, akan memiliki keberlanjutan dalam pembangunan jalan perlawanan rakyat, maka kita senada. Maka Konfederasi KASBI senada dengan sikap kawan-kawan, saudara-saudara sekalian di ruangan ini.
Mungkin situasi perlawanan rakyat sedang surut. Kita harus jujur akui itu. Namun, kita tak boleh menyerah. Kehadiran organisasi-organisasi rakyat, berbasis perlawanan rakyat di seluruh daerah, pasti akan sampai pada masa persemaiannya. Syaratnya, jika Ia benar-benar konsisten, sampai musim panen!
Platform kedaulatan rakyat, dan keadilan, adalah mata rantai menuju kesejahteraan yang kita inginkan, sebab kita pun adalah bagian dari rakyat. Maka kita harus berada senantiasa dalam perjuangan rakyat, di tengah-tengah masa, membangun kesadaran, dan organisasi yang terorganisir, terdidik, dan terpimpin. Maka kita pun harus bekerja keras dalam kerja-kerja organisasi dan setia pada jalan perlawanan rakyat itu sendiri.
Organisasi-organisasi rakyat haruslah berani membangun kekuatan politiknya secara mandiri dan masif, yaitu sebagai kekuatan alternatif dalam pandangan masyarakat umum. Istilah membangun kekuatan politik alternatif sebenarnya bisa di katakan hanya penyebutan lain dalam identifikasi pilihan politik pada situasi politik transaksional dewasa ini, dimana kekuatan politik yang ada hanyalah perpanjangan tangan dari kepentingan kaum kapitalis, sebuah kekuasaan politik yang di pimpin dan di atur oleh kekuatan modal. Sehingga tidak heran jika sekalipun mereka satu kubu, namun sesungguhnya mereka saling cakar dan saling gigit satu sama lainya.
Sedangkan membangun kekuatan politik alternatif yang kami maksud adalah keinginan dan cita-cita kami untuk membangun dan membesarkan sebuah kekuatan politik yang benar-benar lahir dari rahim gerakan rakyat itu sendiri, entah nanti bentuk dan namanya apa, tentu perlu di diskusikan lebih lanjut. Tapi secara garis besar isi dari kekuatan politik yang di bangun adalah terdiri dari organisasi-organisasi rakyat/kelompok masyarakat yang saat ini masih aktif memperjuangkan nasibnya dan memiliki komitmen untuk memperjuangkan “Kemerdekaan, Kesetaraan, Kesejahteraan” untuk seluruh rakyat Indonesia. “Kemerdekaan” diartikan bahwa rakyat harus mendapatkan kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat; rakyat terbebas dari penindasan, penghisapan, pembodohan. “Kesetaraan” diartikan rakyat harus hidup dalam tataran masyarakat yang adil, tanpa diskriminasi, ras, gender, golongan, minoritas, ekonomi, sosial dan budaya. “Kesejahteraan” diartikan rakyat yang hidup dalam sebuah negara harus terpenuhi semua kebutuhan dasarnya seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, pangan dan lainnya– yaitu masyarakat yang adil dan makmur.
Kekuatan politik alternatif ini dibuat bukan hanya untuk sekedar merespon pemilu saja, atau mencari suara saja, tapi sebuah kekuatan politik yang menyediakan ruang pendidikan politik dan membuka ruang partisipasi rakyat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Membangun kekuatan politik sebagai corong dari tuntutan gerakan rakyat dan memunculkan figur-figur gerakan rakyat. Membangun kekuatan politik yang mempersatukan berbagai unsur gerakan haruslah mempunyai struktur “arus bawah” dengan membuat “posko-posko rakyat”. Posko rakyat ini bisa menjadi wadah di arus bawah untuk diskusi, propaganda, pendidikan politik dan mobilisasi dan dan menjadi embrio untuk membangun struktur politik kolektif bagi gerakan rakyat.
Kekuatan politik alternatif ini berisikan organisasi-organisasi pergerakan seperti kaum tani, pemuda-pelajar-mahasiswa, nelayan, kaum miskin kota, dan juga kaum buruh sebagai motor penggerak utamanya. Mengenai kaum buruh sebagai kekuatan utama tentu tidak hanya berbicara mengenai mereka yang bekerja di suatu pabrik atau yang kerap disebut pekerja kerah biru. Buruh adalah orang yang menjual tenaga mereka untuk mendapatkan upah sebagai penghasilan utama mereka. Di antaranya ada buruh pabrik, buruh tani, buruh perkebunan, buruh bongkar muat di pelabuhan, buruh ABK, buruh di bandara, buruh bangunan, pegawai negeri, Sipir, pegawai kantor, sopir, pilot, tukang becak, tukang ojek, insinyur, teknisi, buruh kereta api, buruh pertambangan, ilmuwan, tenaga pengajar, pekerja media, pekerja Bank, pelayan toko dan restoran, PRT, dan pekerja hotel, dsb. Dari kesemuanya itu menurut data Kemnaker tahun 2017, Jumlah masyarakat produktif yang di kategorikan sebagai kaum buruh telah mencapai sekitar 124 juta orang, terdiri dari buruh sektor formal 49 juta, dan buruh sektor informal sekitar 75 juta orang.
Untuk menyatukan kekuatan mereka menjadi sebuah kekuatan politik alternatif yang masif tentu tidaklah mudah, semua organisasi-organisasi rakyat/kelompok masyarakat tersebut harus saling bekerjasama dan saling mendukung dalam perjuanganya. Membiasakan saling bersolidaritas, dan mau membuka ruang belajar bersama. Mereka harus siap terpimpin dan terorganisir, semua mau bersatu-padu dan mau bergotong royong dalam membangun kekuatan politik alternatif tersebut, dengan begitu maka cita-cita untuk mewujudkan kekuasaan negara di tangan rakyat niscaya akan berada ditangan mereka.
Maka, sudahkah kita memahami, dan mulai berpikiran jernih, untuk memilih dan bersetia di jalan perlawanan rakyat?
Tentu jawabannya, ada pada kita semuanya. (0).
Ditulis oleh Sunarno, Sekjen Konfederasi KASBI dan Ketua Panitia Konferensi Gerakan Rakyat.
Tulisan ini digunakan sebagai bahan diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM pada 14 Agustus 2018 dengan tema “Pilpres 2019: Politik Ketokohan vs Agenda Programatik”. Pernah dimuat di https://mapcorner.wg.ugm.ac.id/2018/08/pemilu-dan-jalan-perlawanan-pembangunan-gerakan-rakyat-dari-bawah-sebagai-alternatif/