Opini PembacaPerempuan dan LGBT

Cantik Sebagai Cap Seksis

Cantik Sebagai Cap Seksis

Umumnya kata cantik berkonotasi positif. Karena cantik bermakna elok, molek, rupawan, bagus, indah, dan sebagian besar pujian bermakna kurang lebih positif terkait keperempuanan. Tapi penyematan kata cantik bisa menjadi merendahkan perempuan karena tidak menghargai perempuan dalam kapasitasnya yang sebenarnya melainkan hanya mengakui perempuan dari paras wajah dan atau penampilannya saja. Inilah yang sering (kalau tidak bisa dibilang selalu) kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebutan macam bunga desa walaupun sekilas terdengar menyanjung sebenarnya mengandung makna yang merendahkan karena, seperti bunga, perempuan yang cantik dianggap hanya sebagai penghias, pemanis, dan pajangan saja. Bukan dihargai karena prestasinya, pekerjaannya, dan pemikirannya. Dengan kata lain perempuan diperlakukan hanya sebagai barang. Bukan sebagai manusia.

Beda dengan laki-laki. Tidak pernah kita temukan laki-laki dicap kumbang desa atau lebah kampung. Laki-laki juga tidak pernah dituntut tampil tampan sebesar tuntutan terhadap perempuan agar tampil cantik. Perempuan yang tidak bermake up seringkali rentan dicap korep (maaf ini bahasa Jawa, saya tidak tahu padan katanya, tapi umumnya merupakan kondisi lusuh belum mandi) namun ironisnya bila seorang perempuan mampu terlihat jauh lebih cantik setelah memakai make up ia pun rentan dicap sebagai pendusta atau orang yang fake atau palsu, baik oleh laki-laki maupun sesama perempuan. Maaf ini bukan perang seks atau perang gender tapi demikianlah adanya.

Berita-berita remeh macam polwan cantik, kasir indo maret cantik, dosen cantik, penambal ban cantik, pedagang kaki lima cantik, dan semua pekerja-pekerja cantik lainnya sebenarnya hanya menunjukkan perempuan hanya dihargai dari paras wajahnya saja. Bukan dari prestasinya. Dari mayoritas liputan tersebut, sebagian besar isi pemberitaan difokuskan pada kecantikan dan bagaimana publik (khususnya laki-laki) bereaksi ke kecantikan sang pekerja tersebut.

Tidak banyak (kalau tidak bisa dibilang malah tidak ada) pengulasan mengenai prestasi sang polwan dalam menangani kriminalitas. (Maaf saya memang menganggap bahwa institusi polisi memang salah satu aparatus kekerasan legal negara milik kelas penindas yang berkuasa namun kenyataan seksisme dan penindasan terhadap perempuan yang mendalam juga terjadi di internal institusi tersebut juga merupakan kenyataan yang harus diakui setiap pejuang kelas). Bahkan istilah singkatan polwan itu sendiri merupakan istilah yang seksis. Polwan adalah akronim dari polisi wanita. Apa akronim dari polisi pria? Tidak ada. Polisi dianggap sebagai pekerjaan yang merupakan ranah maskulin.

Seksisme yang demikian dominan menanamkan kesadaran bahwasanya para pekerja perempuan yang cantik hanya wajar ditemukan dalam pekerjaan-pekerjaan yang mensyaratkan (baca: mengomodifikasikan) kecantikan seperti model, sekretaris, pramugari, dan Sales Promotion Girl (SPG). Di luar itu, keberadaan seorang pekerja cantik (dianggap) suatu anomali. Namun anomali atau bukan, premis dasarnya tetap sama, seksisme yang berlaku membuat mayoritas perempuan dalam mayoritas kasus dihargai hanya karena paras wajahnya. Bukan prestasinya, pekerjaannya, dan atau pemikirannya.

Inilah yang juga terjadi pada Dini Fronitasari, dosen kalkulus, statistika, dan sejumlah mata kuliah lainnya di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), yang diliput berbagai media cetak, elektronik, internet, bahkan sampai diundang ke The Tonight Show. Namun bukan dalam kapasitasnya sebagai seorang akademisi atau matematikawan melainkan sebagai orang cantik. Guyonan-guyonan seksis berulangkali dan tanpa henti dilontarkan mengenai bagaimana beruntungnya para mahasiswa yang diajarnya, ada tidak mahasiswa lain jurusan atau lain kampus yang menyusup ke dalam kampus, dan sebagainya. Tapi tidak sedikit pun ditanya pandangannya mengenai tren perkembangan ilmu matematika hari ini serta pemikirannya menganai pendidikan kalkulus di Indonesia hari ini. Apa yang (sering dan hampir selalu) ada adalah Dini disuruh mempraktikkan cara memberikan kuliah kalkulus di atas panggung namun disusul (para) pembawa acara melontarkan guyonan goblok-goblokan (tidak paham matematika, tidak sampai kecerdasannya), atau guyonan seksis (Dini tidak cocok jadi dosen tapi cocoknya jadi tambatan hati) lainnya. Apapun kecuali prestasi, pekerjaan, dan pemikirannya. Demikianlah bagaimana perempuan diperlakukan hanya sebagai penghias, pemanis, pelengkap, atau dengan kata lain hanya diperlakukan sebagai barang, benar-benar menjadi penindasan yang dinormalisir dalam kenyataan hidup sehari-hari yang berlaku menjadi suatu akal sehat (common sense) padahal kalau dibongkar sebenarnya merupakan suatu gagasan yang sangatlah memalukan, menjijikkan, dan menyakitkan.

Bandingkan dengan laki-laki yang menjadi seorang pekerja, pakar, atau intelektual. Seberapa sering mereka ditanya mengenai ketampanannya? Seberapa sering mereka ditanya respon para perempuan terhadap ketampanannya? Seberapa sering mereka ditanya apa perawatan yang mereka lakukan? Hampir tidak pernah. Mungkin ada sebagian kecil kasus seperti Al yang dianggap DJ tampan atau cerita sopir Gojek ganteng. Tapi dalam mayoritas kasus, laki-laki hampir selalu dihadirkan, ditanya, dan diperlakukan sepenuhnya karena prestasi, pekerjaan, dan atau pemikirannya. Bahkan dari segi kuantitas, dalam kasus Indonesia, mereka hampir selalu mendominasi di semua isu dan ranah pekerjaan.

Setiap pejuang kelas yang waras, perlu dan harus tidak hanya memahami dan membongkar hal ini namun juga melawannya dengan tanpa apologi dan tanpa ampun. Sayangnya seringkali karena terus-menerus hidup di bawah kepungan ideologi penindas, (dan juga bisa jadi karena teori/ideologinya tidak tuntas) secara tak sadar bahkan para aktivis tertentu (celakanya) bisa mengadopsi pula ideologi tersebut. Mayoritas kultur aktivitas kita sangatlah tidak ramah terhadap perempuan. Diskusi atau rapat aksi lebih sering diadakan molor sampai malam, padahal kaum perempuan yang pulang malam rentan dicap sebagai perempuan asusila. Diskusi atau rapat aksi lebih sering menjadi tempat para peserta laki-laki menghisap dan mengepulkan asap rokok secara berlebihan, padahal kaum perempuan mayoritas tidak merokok dan yang merokok juga rentan dicap sebagai perempuan asusila. Tambahkan dengan berbagai kasus lainnya yang akhirnya semakin meminimalisir keterlibatan perempuan dalam aktivitas perjuangan dan perlawanan. Keberadaan perempuan dalam organisasi perjuangan menjadi sedikit dan (celakanya) aktivis perempuan yang sudah berjumlah sedikit itu pun (dalam beberapa kasus) seringkali rentan dicap seksis sebagai bunga organisasi dan kalau dia cantik dia rentan diperlakukan sebagai sasaran gebetan atau rebutan dari beberapa aktivis laki-laki lainnya. Ini sangat tidak sehat. Belum kalau kita bahas kasus-kasus pelecehan terhadap perempuan. Memang tidak semua, tapi kalau ada yang menganggapnya sama sekali tidak ada, maka ia pasti berdusta.

Parahnya seringkali ucapan “jangan ganggu dia, dia sudah punya pacar” agar laki-laki menghentikan kegiatan PDKT, flirting, atau rayu-merayu yang membuat perempuan sangat tidak nyaman sebenarnya hanya menunjukkan seksisme bahwa laki-laki lebih menghargai laki-laki lain dan perempuan hanya bisa dibiarkan atau tidak diganggu (saya tidak tahu padan kata yang tepat dari left her alone) kalau perempuan itu sudah jadi milik laki-laki lain dan lagi-lagi menempatkan perempuan hanya sebatas barang. Bukan manusia.

Saya menyangka, jangan-jangan kekaguman banyak laki-laki aktivis di Indonesia terhadap Camilla Vallejo hanya karena dia seorang perempuan cantik yang jadi komunis. Bukan karena mengagumi pemikirannya atau praktik yang dia kerjakan. Saya jarang mendengar para aktivis laki-laki seperti Alexis Tsipras dikagumi karena tampan dan Yanis Varoufakis digandrungi karena keren, kecuali seperti yang dilakukan Indoprogress dulu.

Apapun itu saya pikir kita kembali pada kesimpulan yang sama-sama kita ketahui, urgensi untuk menanamkan teori serta membangun praktik anti seksisme dan anti penindasan semakin besar, terutama di masa krisis dan kemunduran gerakan seperti saat ini. Pemikiran yang berkuasa di suatu masyarakat memang pemikirannya kelas penguasa tapi justru di saat krisis kelas penindas yang berkuasa akan semakin menyebarluaskan pemikiran menindasnya, baik berupa rasisme terhadap etnis Tionghoa, kebencian SARA, homophobia, dan termasuk seksisme, untuk mempertahankan kekuasaannya. Sudah kewajiban kita untuk melawannya dengan tanpa apologi dan tanpa ampun. Sekali lagi seperti kata Rosa Luxemburg, pilihanya hanya dua: Sosialisme atau Barbarisme.

ditulis oleh Leon Kastayudha, kader KPO PRP

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: