Opini Pembaca

Terorisme dan Kapitalisme

sumber: http://news.liputan6.com/
sumber: http://news.liputan6.com/

Terorisme kembali menyerang Jakarta. Siang dua hari lalu, 14 Januari 2015, bom bunuh diri dan baku tembak meletus di Jalan Thamrin, Jakarta. Tujuh orang tewas, lima diantaranya diduga merupakan para pelaku teror, sementara puluhan orang lainnya luka-luka.

Media televisi seperti TV One dan Berita Satu mengarahkan dugaannya bahwasanya para pelaku punya hubungan dengan fundamentalisme Islam pada umumnya dan ISIS pada khususnya. Analisis yang diwawancarai TV One menyatakan pola serangan di Thamrin, Jakarta, sama dengan serangan di Paris, Prancis, dimana kelompok-kelompok teroris ISIS melakukan serangan terkoordinasi terhadap beberapa sasaran berbeda sekaligus dalam waktu bersamaan.Sementara itu Central News Network (CNN) dengan cepat memberitakan serangan teroris tersebut dalam bahasa Inggris lengkap dengan foto-foto dokumentasi korban dan Tempat Kejadian Perkara (TKP).

Sore harinya beberapa media memberitakan pernyataan ISIS melalui media propagandanya, Aamaq. ISIS menyatakan bahwa mereka bertanggung jawab atas serangan teror di kompleks Sarinah.

Lima Kejanggalan Tindak Terorisme Thamrin

Meskipun demikian terdapat atmosfer janggal yang meliputi serangan ini.Pertama, ini bertepatan dengan tenggat waktu tawaran divestasi PT Freeport. Sebagaimana  diberitakan Kompas, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bambang Gatot Ariyono mengatakan Freeport wajib menyampaikan penawaran saham kepada pemerintah terhitung mulai 14 Oktober 2015 dan “…paling lambat selama 90 hari atau berakhir pada Kamis 14 Januari 2016,” terangnya. Seruan-seruan nasionalisasi terhadap Freeport maupun tuntutan-tuntutan penutupan dan pengusiran terhadap tambang-tambang perusak lingkungan di Papua bermunculan secara paralel dengan terbongkarnya kasus permintaan saham yang dilakukan oleh Setya Novanto.

Kedua, peristiwa ini terjadi di tengah meningkatnya intimidasi dan represi terhadap rakyat Papua di bawah rezim Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK), mulai dari penembakan Paniai sampai pemukulan membabi-buta dan penembakan gas air mata terhadap demonstrasi damai Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), semakin menumbuhkan simpati terhadap perjuangan pembebasan nasional Papua Barat dan semakin menumbuhkan kecaman dan kebencian terhadap rezim borjuis yang memenangkan pemilu dengan menebar ilusi demokrasi, populisme, dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).

Ketiga, ini terjadi setelah partai-partai penguasa, khususnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), semakin terdiskreditkan dan kehilangan legitimasinya. Baik karena skandal bisnis Minuman Keras (Miras) Herman Herry, anggota Komisi III DPR maupun karena skandal korupsi anggotanya.

Keempat, kalau benar ini dilakukan oleh ISIS, lantas mengapa mereka menetapkan target kurang penting, yaitu pos polisi di daerah Thamrin? Bukan Markas Besar (Mabes) Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), Istana Negara, Gedung MPR-DPR, Bursa Efek Jakarta, atau pusat hiburan malam di Jakarta yang dipandang sebagai tempat maksiat (seperti target Bom Bali silam)?

Kelima, mungkinkah ini justru pengalihan isu, agar sorotan terhadap dominasi Imperialisme di Papua serta brutalitas aparat menjadi surut, dan aparat mendapatkan dukungan atas nama perang melawan terorisme sekaligus sarana bagi aparat kepolisian dan militer untuk meminta bantuan dana anti-terorisme serta momentum untuk semakin memberangus kebebasan berpendapat dan berserikat?

Semua kejanggalan ini kemudian bisa memicu pertanyaan-pertanyaan, kesangsian-kesangsian, bahkan asumsi-asumsi yang memandang bahwasanya ini bukan sekadar serangan teroris fundamentalis belaka. Semua ini masih merupakan asumsi yang masih perlu pembuktian. Namun yang pasti kapitalisme punya hubungan panjang dengan terorisme.

Putus-Sambung Hubungan Terorisme (Fundamentalisme) dan Kapitalisme

Kapitalisme yang telah mencapai tahapan tertingginya, yaitu Imperialisme punya hubungan panjang dengan terorisme. Sebagaimana kita ketahui, terorisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti: “penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik tindakan teror”. Dengan demikian suatu kekerasan bisa disebut sebagai terorisme bila digunakan sebagai alat sekaligus taktik inheren suatu kepentingan politik, dan politik yang paling sering menggunakan terorisme adalah Imperialisme AS.

Sejak berdiri Imperialis AS, dan negara-negara sekutunya justru merupakan negara-negara yang mensponsori berbagai kelompok dan tindak terorisme demi melayani kepentingan mereka. Tahun 1961 AS kemudian mengorganisir pasukan bayaran untuk menghancurkan Revolusi Kuba. Upaya yang kemudian dikenal sebagai Invasi Teluk Babi ini gagal. Tahun 1975 Imperialis AS bekerjasama dengan rezim apartheid di Afrika Selatan memasok pasukan bayaran melawan pemerintah Angola yang baru saja memprokalamasikan kemerdekaannya. Sedangkan di Mozambik, kaum elit politik dan bekas pejabat milter AS dan Afrika Selatan mensponsori pasukan bayaran brutal yang menjagal puluhan ribu orang petani. Antara tahun 1982-1983 Imperialis AS mengerahkan militernya memasuki Lebanon dan menyokong pasukan Falangis, kaum sayap kanan fundamentalis Kristen yang bersekutu dengan Israel dan membantai dua ribu warga sipil Palestina. Antara dekade 70an dan 80an, Central Intelligence Agency (CIA) atau Dinas Intelijen Pusat AS bersama Pentagon secara masif mempersenjatai dan melatih pasukan serta kelompok-kelompok bersenjata yang membantai ratusan ribu orang, diantaranya pasukan Contra, mayoritas merupakan kaum tani tak bersenjaa di Nikaragua, El Savador, dan Guatemala. Para petinggi militer di negara-negara Amerika Latin tersebut dulunya merupakan orang-orang yang dididik dan dilatih di “School of the Americas” dengan materi siksaan dan eksekusi kilat. Banyak di antaranya kemudian mendirikan kediktatoran militer dan meneror rakyatnya sendiri.

Jangan lupakan juga, Imperialis AS juga yang dulunya mensponsori dan mempersenjatai kaum mujahidin untuk menggulingkan pemerintahan Afghanistan yang saat itu didukung Uni Soviet. Sebelum akhirnya kaum fundamentalis Islam ini berbalik menggigit tuannya. Manuver ini pula yang diulangi AS untuk diterapkan di Suriah demi menyingkirkan rezim kediktatoran Bashar Al-Assad yang didukung Imperialis Rusia. Seiring dengan berubahnya Musim Semi Arab yang melanda Suriah menjadi perang sipil, AS bersama sekutunyasecara aktif mensponsori, memasok persenjataan, dan melatih banyak kelompok pemberontak di Suriah—yang banyak di antaranya justru kemudian menjadi kelompok-kelompok fundamentalis Islam reaksioner seperti ISIS dan Jabhat Al-Nusra. Kebangkitan terorisme fundamentalisme dengan demikian merupakan buah langsung campur tangan Imperialisme. Semua itupun kalau mereka tidak perlu, tidak mau, atau tidak bisa melancarkan terorismenya sendiri dengan kata lain invasi besar-besaran.

Tentu saja kaum borjuis dan negara-negara Imperialis punya standar ganda dalam pelabelan “terorisme”. Tindak terorisme yang mereka atau sekutu mereka lakukan, tidak pernah mereka sebut terorisme. Bahkan termasuk tindakan teror yang dilakukan mereka yang punya hubungan status quo dengan kelas penindas yang berkuasa tersebut.

Misalnya orang-orang kulit putih yang melakukan penembakan di tempat umum secara membabi buta tidak pernah disebut teroris. Begitupula kaum supremasi kulit putih kanan reaksioner yang melakukan pendudukan bersenjata di Oregon juga tidak pernah dicap teroris. Cap teroris hanya diberikan kepada kaum muslim, kulit hitam (Afro-Amerika), dan semua identitas sosial yang bersangkutan dengan sasaran penindasan, penjajahan, maupun yang membahayakan kepentingan mereka.

Kepentingan Imperialisme untuk mengamankan eksploitasi, akumulasi, dan ekspansi kapital inilah yang kemudian menyuburkan reaksi terorisme dan fundamentalisme. Baik sebagai terorisme yang disponsorinya maupun terorisme yang menyerangnya balik.

Terorisme dalam banyak hal justru memperkuat Imperialisme. Ketakutan serta kekhawatiran yang ditimbulkan oleh teror, kemudian dieksploitasi untuk melegitimasi penindasan yang dilakukan oleh Imperialisme. Serangan terorisme 11 September disatu sisi menjadi dalih bagi Imperialisme AS dan sekutunya untuk menginvasi Irak dan melancarkan Perang Melawan Terorisme.

Disisi yang lain membuat kelas buruh dan rakyat pekerja merasa senasib dengan para elit yang berkuasa. Sehingga membuat kelas buruh dan rakyat pekerja bersedia mengorbankan kepentingannya sendiri (demokrasi ataupun anggaran lebih besar untuk perang) demi Perang Melawan Terorisme.

Sementara Perang Melawan Terorisme sendiri bukanlah untuk mengembalikan rasa aman dan perdamaian. Namun sepenuhnya bertujuan untuk mengembalikan dominasi Imperialisme AS yang menurun sejak era 1990an.

Apa yang kita lihat di dunia internasional adalah serupa dengan apa yang terjadi di Indonesia. Negara Indonesia juga terbiasa melakukan terornya sendiri. Pada tahun 1965 teror yang dimotori oleh Angkatan Darat didukung oleh milisi-milisi sipil membunuh ratusan ribu hingga jutaan rakyat. Teror yang sama terus dipertahankan selama 32 tahun kekuasaan Rezim Militer Soeharto. Metode mensponsori kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan tindakan teror juga terus dilakukan. Teror-teror tersebut menghasilkan kejahatan kemanusiaan yang demikian besar.

Pasca reformasi hubungan antara kekuasaan Negara dengan teror juga masih berlanjut. Kita hanya perlu melihat keterlibatan aparat negara dalam berbagai kerusuhan bernuansa SARA paska reformasi. Berbagai milisi sipil reaksioner dan kelompok fundamentalis Islam yang dibentuk oleh para jenderal dan elit-elit politik untuk menghantam gerakan rakyat paska penggulingan Soeharto.

Hingga kini teror masih terus terjadi dan dibiarkan. Terkadang dilakukan oleh aparat negara secara langsung, kadang mereka mensponsori kelompok-kelompok milisi sipil reaksioner atau fundamentalis Islam.

Di Papua, teror sepertinya telah menjadi makanan sehari-hari. Berbagai kasus pembunuhan di Papua tidak mendapatkan keadilan dan kebenaran. Sementara itu aparat negara dan kelompok-kelompok yang disponsorinya bahu membahu  menyebarkan rasisme untuk melegitimasi penindasan di Papua. Bahu membahu meneror mereka yang ingin mengetahui apa yang terjadi di tahun 1965. Dilain kesempatan kelompok-kelompok tersebut berjalan sendirian melakukan terornya dan dibiarkan oleh aparat negara. Kelompok-kelompok minoritas sering menjadi korban dari teror tersebut.

Dalam pemerintahan Jokowi yang sebelum Pilpres menyatakan akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM ternyata tidak menghasilkan apapun. Rezim Jokowi-JK menolak meminta maaf terhadap teror yang terjadi di tahun 1965. Bahkan otak kejahatan kemanusiaan seperti kasus 27 Juli, pembunuhan Theys Hiyo Eluay, Munir Said Thalib, dan sebagainya nyaman menjadi pejabat di Rezim Jokowi-JK.

Terorisme atau Perjuangan Kelas?

Ada satu hal penting yang tidak dipahami penempuh jalan terorisme: Sistem penindasan tidak bisa dihancurkan dengan membunuh sang penindas. Karena sistem penindasan, apalagi masyarakat kelas, mulai dari perbudakan, feodalisme, hingga kapitalisme, bukanlah satu dua orang tokoh yang berhati keji dan bertangan besi. Sebaliknya sistem penindasan bersumber pada hubungan produksi dan corak produksi yang beroperasi dengan berbasiskan pada monopoli terhadap alat-alat produksi di tangan kelas penindas yang berkuasa. Kaum Sosialis sekaligus pejuang kelas revolusioner tidak punya kepentingan untuk membakar gedung, membom bank, menyerang tempat ibadah, atau menghancurkan bioskop, kafe, restoran, dan sebagainya, yang sering dilakukan teroris.

Kaum Sosialis tidak berkepentingan untuk menghancurkan alat-alat produksi yang diciptakan tatanan masyarakat kapitalisme. Sebaliknya Kaum Sosialis justru berkepentingan untuk merebutnya dari tangan kelas kapitalis melalui revolusi sosial. Kemudian meletakkannya di bawah kontrol demokratis kelas buruh dan rakyat pekerja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Disisi yang lain Kaum Sosialis percaya bahwa perjuangan membebaskan kelas buruh dan rakyat pekerja tersebut harus dilakukan oleh kekuatan mereka sendiri. Pembebasannya tidak mungkin dilakukan dengan aksi-aksi teror segelintir individu.

Kelas buruh dan rakyat pekerja harus mengecam tindakan teror di Sarinah kemarin. Kita mengecam setiap tindakan teror yang dilakukan oleh Imperialis dan kelompok fundamentalis Islam. Dan kita tidak takut untuk melawan tindakan teror tersebut.

Namun tidak cukup hanya menyatakan tidak takut. Keberanian tersebut harus dibuktikan dalam solidaritas terhadap mereka yang menjadi korban teror dari Imperialisme maupun kelompok fundamentalis Islam. Keberanian tersebut harus diwujudkan dalam bentuk perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Keberanian tersebut dijalankan dengan bahu membahu dalam perjuangan untuk pembebasan kelas buruh dan rakyat tertindas.

Tentu saja kelas penindas yang berkuasa tidak akan tinggal diam atau sukarela menghapuskan penindasannya serta menyerahkan kekuasaannya kepada kelas tertindas. Mereka dan negara borjuis beserta seluruh aparatus yang dikuasainya akan menggunakan segala cara untuk mempertahankan penindasannya, termasuk dengan meminta bantuan kepada negara-negara Imperialis. Kelas buruh dan rakyat pekerja serta kaum tertindas yang berusaha membela diri dari serangan-serangan kontra-revolusioner ini jelas tidak bisa disebut terorisme. Sebaliknya upaya mereka menghapuskan penindasan tersebut justru merupakan pembebasan. Pembebasan seluruh umat manusia dari rantai penindasan, dari belenggu penghisapan, dan dari teror-teror yang dilahirkan kapitalisme. Pilihan kita hanya dua: Sosialisme atau Barbarisme.

Oleh: Luki Hari, Editor Website dan Mingguan Bumi Rakyat dan Ignatius Mahendra Kusumawardhana, Kontributor Arah Juang dan Anggota KPO PRP 

 

SUMBER:

Hardianto, B Josie Susilo. 2015. 14 Januari 2016 “Deadline” Freeport Tawarkan Divestasi. Kompas Ekonomi. Kompas.com. (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/12/04/143951326/14Jnuari.2016.Deadline.Freeport.Tawarkan.Divestasidiakses pada Jumat 4 Desember 2015 jam 13.00 WIB).

Veri Sanovri. Kamis, 14 Januari 2016 “ISIS Akui Bertanggung Jawab atas Teror di Jakarta. Kompas Internasional. Kompas.com (http://internasional.kompas.com/read/2016/01/14/19314401/ISIS.Akui.Bertanggung.Jawab.atas.Teror.di.Jakarta diakses pada Jumat 15 Januari jam 13.28 WIB)

Setiawan, Ebta. (Ed.) 2010. Kamus Besar Bahasa Indonesia versi Luar Jaringan. Mengacu pada data KBBI Dalam Jaringan (Daring) Edisi III, (http://ebsoft.web.id)

McKirdy, Euan&Qulano, Kathy. January, 14 2016. Jakarta Attacks: 4 Dead in Blasts, Gunfight. CNN. (http://edition.cnn.com/2016/01/13/asia/jakarta-gunfire-explosions/, diakses pada Kamis 14 Januari 2016 jam 16.39 WIB)

Harris, Laurance. Kiernan, VG. Milliband, Ralph. 1983. “Violence”. Dalam A Dictionary of Marxist Thought. Tom Bottomore (eds.). Hal. 154 – 155.Oxford: Basic Blackwell Publisher Limited.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: