Internasional

Imperialisme Amerika Serikat di Amerika Latin dan Karibia

Imperialisme bukan sekadar ekspansi politik atau dominasi militer, melainkan bentuk konkret dari perkembangan kapitalisme pada tahap monopolinya. Seperti yang dijelaskan Lenin dalam Imperialism: The Highest Stage of Capitalism (1916), imperialisme adalah hasil dari konsentrasi produksi dan modal yang melahirkan monopoli, penggabungan erat antara modal bank dan industri, serta perjuangan untuk merebut pasar dan sumber daya alam. Dengan demikian, imperialisme merupakan relasi produksi global di mana ekspansi politik berfungsi sebagai instrumen untuk mengamankan ekspansi ekonomi kapital monopoli.

Dalam konteks Amerika Latin dan Karibia, imperialisme Amerika Serikat harus dipahami sebagai manifestasi dari kebutuhan struktural kapitalisme AS. Sejak kemerdekaannya tahun 1776, logika akumulasi modal telah mendorong ekspansi terus-menerus. Penaklukan terhadap bangsa Indian, perampasan tanah, dan pembentukan pasar domestik merupakan bentuk akumulasi primitif (primitive accumulation) yang kemudian diperluas ke luar negeri. Sebagaimana dicatat Rosa Luxemburg dalam The Accumulation of Capital (1913), kapitalisme memerlukan wilayah non-kapitalis untuk menyerap surplus produksi dan mengekstraksi sumber daya baru, dan Amerika Latin menjadi laboratorium utama bagi ekspansi ini. José Carlos Mariátegui menambahkan bahwa imperialisme di Amerika Latin tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga kultural dan rasial. Kolonialisme lama berganti wujud menjadi “imperialismo yanqui,” suatu bentuk ketergantungan baru di mana borjuasi komprador lokal menjadi perantara kepentingan modal asing, sehingga mengintegrasikan struktur sosial Amerika Latin ke dalam orbit kapital global yang berpusat di utara.

Sejak abad ke-19, Amerika Serikat telah menjadikan kawasan ini sebagai “halaman belakang” (backyard), tempatnya menguji strategi hegemoninya melalui kudeta militer, pendudukan, diplomasi ekonomi, dan penetrasi budaya. Dari Doktrin Monroe (1823) hingga Plan Colombia (2000-an), logika dasarnya tetap sama: memastikan subordinasi ekonomi-politik Amerika Latin terhadap kapitalisme AS dan mencegah segala bentuk pembangunan otonom atau sosialisme yang mengancam proses akumulasi kapital.

Akar Historis Imperialisme AS (1776–1898)

Proses kelahiran dan ekspansi Amerika Serikat sejak abad ke-18 berakar pada karakter kapitalisme kolonial. Setelah 1776, kelas borjuasi pemukim kulit putih membangun negara melalui perampasan tanah penduduk asli, kerja paksa budak Afrika, dan perluasan wilayah ke barat. Ini adalah akumulasi primitif—perampasan paksa terhadap sarana produksi dari masyarakat pra-kapitalis untuk menciptakan tenaga kerja upahan dan lahan bagi ekspansi modal. Ekspansi ini diideologisasikan melalui doktrin Manifest Destiny, yang berfungsi sebagai pembenaran moral bagi dominasi ras kulit putih Anglo-Saxon sebagai “kehendak ilahi” untuk menyebarkan peradaban dan kapitalisme.

Momentum ideologis berikutnya adalah Doktrin Monroe (1823), yang menyatakan “Amerika untuk orang Amerika.” Secara formal anti-kolonial terhadap Eropa, doktrin ini dalam praktiknya menandai kemunculan imperialisme substitutif—menggantikan kekuasaan kolonial Eropa dengan dominasi kapital baru yang berpusat di Washington. Pada paruh kedua abad ke-19, Revolusi Industri Kedua dan pertumbuhan kapital monopoli menciptakan kebutuhan mendesak akan bahan mentah dan pasar baru. Sejalan dengan tesis Lenin bahwa “ekspor modal menjadi lebih penting daripada ekspor barang,” AS mulai memproyeksikan modalnya ke Amerika Tengah, Karibia, dan Amerika Selatan, memanfaatkan struktur sosial yang masih feodal.

Kebijakan intervensi mulai menguat, seperti dalam Krisis Venezuela 1895, di mana AS memaksa Inggris menyerahkan sengketa ke arbitrase yang dikendalikan AS, menandai pergeserannya menjadi hegemon hemisferik. Presiden Theodore Roosevelt kemudian mempertegas hal ini dengan kebijakan “Big Stick.” Perang Spanyol–Amerika 1898 menjadi titik balik krusial. Kemenangan AS tidak hanya mengusir Spanyol, tetapi juga melahirkan bentuk imperialisme kapitalis baru. Kuba, meski merdeka secara formal, dipaksa menerima Amandemen Platt (1901) yang memberi hak intervensi kepada AS dan mendirikan pangkalan militer di Teluk Guantánamo, sementara Puerto Riko dianeksasi langsung sebagai koloni. Pada pergantian abad ke-20, AS telah mengkonsolidasikan dirinya sebagai kekuatan imperial baru yang berlandaskan ekspansi modal, kontrol militer, dan ideologi “misi peradaban.”

Imperialisme Klasik dan Ekonomi Pisang (1898–1933)

Fase ini menandai konsolidasi imperialisme AS dalam bentuknya yang paling klasik: integrasi antara dominasi militer, penetrasi ekonomi, dan kooptasi politik. Pasca-1898, Amerika Tengah dan Karibia menjadi laboratorium bagi kapitalisme monopoli AS. Washington menerapkan Dollar Diplomacy, sebuah kebijakan yang menggantikan intervensi militer langsung dengan dominasi ekonomi melalui utang dan investasi. Bank-bank AS seperti National City Bank (Citibank) memperluas cengkeramannya, menciptakan struktur ketergantungan di mana ekonomi nasional berfungsi untuk akumulasi modal eksternal.

Simbol paling nyata dari imperialisme ekonomi ini adalah United Fruit Company (UFCo). Perusahaan ini tidak hanya mengendalikan produksi pisang, tetapi juga infrastruktur transportasi dan, melalui aliansi dengan diktator lokal, pemerintahan di negara-negara seperti Guatemala dan Honduras, menciptakan sistem “Republik Pisang” (Banana Republic). Fenomena ini menunjukkan fusi antara kapital monopoli dan negara imperialis, sebagaimana diteorikan Lenin. UFCo menjadi perpanjangan tangan negara AS, sementara pemerintah AS menjadi pelindung kepentingan korporasi, seperti yang terbukti dalam kudeta terhadap pemerintah demokratis Jacobo Árbenz di Guatemala pada 1954, yang berani menasionalisasi tanah terlantar milik UFCo.

Jika Dollar Diplomacy adalah senjata ekonominya, maka Roosevelt Corollary (1904) menjadi legitimasi politiknya. Doktrin ini memperluas Doktrin Monroe dengan mengklaim hak AS untuk “menstabilkan” negara-negara Amerika Latin yang dianggap gagal membayar utang atau menjaga ketertiban. Dalam praktiknya, ini berarti pendudukan militer langsung, seperti yang terjadi di Haiti (1915-1934) di mana AS mengambil alih keuangan nasional dan mengubah konstitusi untuk kepentingan modal asing. Intervensi serupa terjadi di Nikaragua, Republik Dominika, dan Panama, selalu dengan tujuan akhir menciptakan iklim investasi yang aman bagi kapital monopoli AS.

Kebijakan “Good Neighbor” dan Hegemoni Budaya (1933–1945)

Krisis Malaise 1929 memaksa AS merumuskan strategi hegemonik yang lebih halus. Kebijakan “Good Neighbor” di bawah Presiden Franklin D. Roosevelt menandai transisi dari imperialisme koersif (intervensi militer langsung) ke imperialisme hegemonik, yang lebih mengandalkan diplomasi, kerja sama ekonomi, dan penetrasi budaya. Meski pasukan ditarik dari Haiti dan Nikaragua, dominasi ekonomi korporasi AS seperti United Fruit dan Standard Oil justru menguat. Melalui Reciprocal Trade Agreements Act (1934), AS memperkuat struktur ketergantungan pusat-pinggiran, di mana Amerika Latin tetap menjadi eksportir bahan mentah dan importir barang industri.

Aspek paling subtil dari fase ini adalah hegemoni budaya. Melalui lembaga seperti Office of the Coordinator of Inter-American Affairs (OCIAA) yang dipimpin Nelson Rockefeller, AS mengekspor nilai-nilai dan gaya hidupnya melalui film Hollywood (seperti Saludos Amigos), musik, dan radio. Dalam kerangka Gramsci, ini adalah upaya menciptakan common sense, di mana kepemimpinan AS diterima secara sukarela dan memori akan intervensi masa lalu dihapus. Perang Dunia II semakin mempercepat integrasi ini di bawah payung pertahanan hemisferik, yang dalam praktiknya memastikan kendali AS atas sumber daya strategis kawasan.

Perang Dingin dan Represi Anti-Komunis (1945–1990)

Pasca-Perang Dunia II, imperialisme AS memasuki fase yang didorong oleh logika Perang Dingin. Doktrin Truman (1947) memberikan legitimasi baru untuk intervensi, dengan menyatakan perang global terhadap komunisme. Ancaman sesungguhnya bagi Washington bukanlah Uni Soviet secara langsung, tetapi setiap gerakan nasionalis atau sosialis yang berupaya merebut kendali atas alat produksi dan mengganggu dominasi kapital monopoli.

Kudeta Guatemala 1954 yang digerakkan oleh CIA terhadap Presiden Jacobo Árbenz menjadi blueprint intervensi AS. Kudeta ini dilakukan untuk melindungi kepentingan United Fruit Company dan mengirim pesan tegas terhadap seluruh kawasan. Revolusi Kuba 1959 menjadi guncangan hegemonik terbesar, membuktikan bahwa jalan sosialis dimungkinkan di “halaman belakang” AS. Respons AS berupa blokade ekonomi, isolasi diplomatik, dan upaya pembunuhan terhadap Fidel Castro menunjukkan betapa kerasnya imperialisme mempertahankan tatanannya.

Pada 1960-1980-an, AS mengembangkan Doktrin Keamanan Nasional (National Security Doctrine). Melalui School of the Americas, ribuan perwira militer Amerika Latin dilatih untuk memerangi “musuh internal”—yakni, kaum kiri, serikat buruh, dan intelektual progresif. Ini melahirkan kediktatoran militer fasis di Brasil (1964), Chili (1973), Argentina (1976), dan lainnya, yang didukung penuh oleh AS. Koordinasi represi ini mencapai puncaknya dalam Operasi Condor, sebuah aliansi teror negara lintas bangsa yang didukung CIA untuk membasmi oposisi kiri. Dukungan AS terhadap rezim-rezim ini adalah bentuk subimperialisme, di mana kelas penguasa lokal menjadi agen untuk menciptakan “stabilitas” yang kondusif bagi akumulasi kapital global.

Krisis utang pada 1980-an membuka jalan bagi fase neoliberal. Melalui IMF dan Bank Dunia, AS memaksakan program penyesuaian struktural (Structural Adjustment Programs) yang memprivatisasi BUMN, memotong anggaran sosial, dan meliberalisasi perdagangan—sebuah bentuk mutakhir “akumulasi melalui perampasan” (accumulation by dispossession) seperti yang dianalisis David Harvey.

Era Neoliberal dan “Perang terhadap Narkoba” (1990–Sekarang)

Pasca-Perang Dingin, imperialisme bertransformasi. Retorika antikomunisme digantikan oleh “perang terhadap narkoba” dan promosi neoliberalisme melalui Konsensus Washington. Lembaga keuangan internasional tetap menjadi ujung tombak hegemoni ekonomi, sementara “perang terhadap narkoba” (seperti Plan Colombia dan Inisiatif Mérida) berfungsi sebagai kedok baru untuk remiliterisasi dan mendukung kepentingan korporasi ekstraktif.

Awal abad ke-21 menyaksikan gelombang “Pink Tide” (Gelombang Merah Muda) dengan pemerintahan kiri seperti Hugo Chávez (Venezuela), Evo Morales (Bolivia), dan Lula da Silva (Brasil) yang berupaya membangun alternatif melalui ALBA dan UNASUR. Namun, ketergantungan mereka pada ekspor komoditas membuat proyek ini rentan. Ketika harga komoditas jatuh, AS mendukung perang hibrida dan kudeta parlementer (seperti di Brasil 2016 dan Bolivia 2019) melalui dukungan kepada LSM dan media yang didanai lembaga seperti National Endowment for Democracy (NED). Hegemoni juga dipertahankan melalui penetrasi ideologis di masyarakat sipil, menciptakan common sense neoliberal yang menerima dominasi pasar sebagai sesuatu yang alamiah.

Dari Doktrin Monroe hingga neoliberalisme, sejarah imperialisme AS di Amerika Latin adalah sejarah transformasi bentuk untuk mempertahankan esensi yang sama: subordinasi kawasan terhadap kebutuhan akumulasi kapital global. Dengan kerangka Marxis-Leninis, kita melihat bahwa imperialisme bukan kebijakan sembarangan, melainkan logika struktural dari kapitalisme pada tahap monopoli. Hegemoni AS bertahan karena kemampuannya memadukan paksaan (coercion) dan persetujuan (consent) jika dilihat melalui konsep Gramsci juga kekuatan militer dan dominasi ideologis.

Oleh karena itu, perjuangan anti-imperialis tidak cukup hanya menolak intervensi militer atau utang. Seperti dikatakan Che Guevara, imperialisme adalah monster global yang hanya bisa dihancurkan secara global. Tugas sejarah gerakan pembebasan di Amerika Latin adalah membangun tatanan sosial alternatif yang berlandaskan solidaritas, produksi untuk kebutuhan rakyat, dan kedaulatan kolektif atas alat-alat produksi—sebuah tantangan terhadap logika kapitalisme global itu sendiri.

ditulis oleh Libby Qahtany, Pemerhati Gerakan Rakyat

Loading

Comment here