DiskusiInternasionalReportase

Bara Perlawanan Asia: Dari Indonesia, Nepal, hingga Filipina

Mengapa ketimpangan, korupsi, dan elit politik memantik gelombang perlawanan, serta apa yang harus kita lakukan sekarang

Gelombang protes di berbagai negeri Asia bukanlah kebetulan. Ia adalah gejala dari penyakit lama: konsentrasi kekayaan pada segelintir elite, korupsi yang menahun, serta para elit politik yang mewariskan kuasa layaknya harta keluarga. Webinar internasional Indonesia Uprising diselenggarakan oleh Partido Lakas ng Masa (PLM) Filipina dengan pembicara dari Perserikatan Sosialis, Communist Party of Nepal (Maoist Centre) serta PLM. Dalam diskusi tersebut dilihat satu pola yang berulang: ketika ketidakadilan mencapai titik didih, maka rakyat akan bergerak. Pertanyaannya: bagaimana memastikan gerak itu tidak padam sebagai letupan sesaat, melainkan tumbuh menjadi kekuatan politik rakyat yang terorganisir termasuk untuk membangun kekuasaan buruh dan rakyat.

Indonesia: Menegaskan Garis Rakyat, Melampaui Seruan Elit

Pengalaman Indonesia menunjukkan, kemarahan sosial bukan datang dari ruang hampa. Ketimpangan ekstrem di mana setengah kekayaan terkonsentrasi pada 1% mencabut rasa keadilan dari akarnya. Skandal korupsi, kenaikan tunjangan pejabat, dan kenaikan biaya hidup menambah minyak pada api. Tak heran protes membesar, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di berbagai provinsi.

Pelajaran paling penting adalah garis tuntutan harus independen. jelas anti-sistem, anti-elit agar gerak massa tidak dikooptasi oleh kekuatan liberal yang sekadar merapikan wajah ketidakadilan tanpa menyentuh akarnya. Di sinilah komite perlawanan di tingkat lokal memainkan peran kunci: mengikat kemarahan menjadi organisasi; mengubah protes menjadi alat politik rakyat; mengawal isu harian (harga, pekerjaan, layanan publik) menjadi agenda perubahan struktural.

Pengorganisiran merupakan kunci penting dalam memimpin gerakan. Pengorganisiran basis-basis massa dan rekruitmen atau pendeknya pembesaran organisasi akan berhubungan dengan pembangunan Komite-komite Perlawanan di basis-basis massa pada saat seperti ini.

Nepal: Meninggalkan Kiri yang Tercoreng, Memulai Ulang dari Massa

Berbagai kelompok kiri di Nepal sepenuhnya tercoreng karena korupsi dan nepotisme. Bahkan CPN Maoist, partai oposisi terbesar juga tercorong, meskipun tidak separah Perdana Menteri yang mengundurkan diri cari CPN-UML. Yang saat ini banyak disamakan dengan sosial demokrat.

Nepal menawarkan cermin tentang bahaya penyelewengan: bagian-bagian dari gerakan kiri terseret arus korupsi dan nepotisme; parlemen dibubarkan. Pelajaran pahitnya jelas, tanpa organisasi yang bersih dan berakar di rakyat, kemenangan politik dapat direbut kembali oleh elite.

Di Nepal, parlemen dibubarkan dan Pejabat Sementara Perdana Menteri ditunjuk sebagai proses awal untuk menyelenggarakan pemilihan umum baru dalam beberapa bulan kedepan.

Kekuatan Monarki yang kekuasaannya telah dihapuskan pada 2007 juga terlibat dalam demonstrasi, namun bukan merupakan kekuatan utama. Saat ini tidak ada kepemimpinan yang terorganisir. Beberapa komite-komite kecil telah terbentuk untuk negosiasi.

“Apa yang terjadi adalah hal yang positif. Tidak ada alasan untuk khawatir atau merasa kecewa oleh teori konspirasi, karena untuk saat ini, republik [yang menggantikan monarki] dan jabatan Presiden telah terjaga — sementara ada ancaman serius untuk kehilangan republik.

Untuk membersihkan kekacauan yang dibuat oleh gerakan politik kita sendiri, kita harus turun ke massa, reorganisasi dengan semangat baru, dan bekerja untuk memastikan perjalanan republik terus berlanjut. Parlemen mungkin telah dibubarkan, tetapi gerakan politik belum.

Dalam periode singkat mendatang, kita akan mengadakan konvensi umum partai-partai, membersihkan sampah yang ditinggalkan oleh pemimpin partai teratas selama 20 tahun terakhir, dan maju di bawah kepemimpinan baru.”

Filipina: Kondisi Objektif Sudah Ada, Saatnya Memperluas Persatuan

Di Filipina, situasinya mirip dengan Indonesia ketimpangan mencolok dan dinasti politik walaupun pada saat ini belum ada ledakan perlawanan spontan. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari kawan-kawan Indonesia dan Nepal bagi rakyat Filipina. Selain terdapat kondisi objektif yang serupa terdapat juga kebutuhan untuk membangun koalisi luas.

Mengorganisir di basis-basis massa itu sangatlah penting. Komite-komite Perlawanan sangat berguna bagi Filipina, serupa dengan soviet-soviet di Revolusi Rusia. Poin penting dari kawan-kawan Indonesia adalah mengajukan tuntutan yang membedakan kita dari seruan para elit politik, liberal dan sosial demokrat. Di Filipina kami melakukan ini dengan seruan “Convict All” dan “Akhiri Dinasti Politik.” Slogan bukan sekadar kata-kata, ia adalah jembatan yang menyambungkan sentimen rakyat dan mendorong mobilisasi mereka. Para elit politik dan reformis mendorong tuntutan-tuntutan yang tidak akan melucuti dinasti.

Tentu saja kita akan menghadapi Imperialis AS ataupun CIA untuk mendestabilisasi situasi saat ini. Namun akan salah menjelaskan pemberontakan massa hanya lewat lensa konspirasi. Pemerintah Prabowo bergabung dengan BRICS ataupun mendekat ke Tiongkok ini kemudian dikaitkan dengan intervensi Imperialis AS dalam aksi-aksi massa. Namun kebijakan pemerintah Prabowo yang seperti itu sebenarnya tidak secara otomatis membuatnya sebagai Rezim yang anti Imperialis AS. Rakyat Filipina bisa belajar dari gaya Duterte yang “anti-AS” namun dia sebenarnya tidak pernah menghapuskan berbagai perjanjian dan kesepakatan dengan Imperialis AS, dia hanya bergaya. Demikian pula Indonesia, meskipun tidak memiliki perjanjian-perjanjian resmi dengan Imperialis AS namun masih juga menyelenggarakan latihan militer bersama Indonesia dan AS.  

Benang Merah Asia: Ketimpangan, Korupsi, Kekuasan Para Elit Politik dan Tugas Kita

Dari diskusi tersebut kita melihat bahwa kondisi objektif bagi perlawanan besar muncul akibat tatanan kapitalisme. Kondisi tersebut terutama adalah kesenjangan sosial. Ketika segelintir menguasai kekayaan, mayoritas dipaksa hidup dalam menderita. Kesenjangan tersebut juga hasil dari kekuasaan para elit politik korup dan dinasti politik.

Maka, tugas pokok kita bukan sekadar “mengoreksi kebijakan,” melainkan menggeser kekuasaan sosial dari tangan elite ke tangan kelas buruh serta rakyat tertindas termasuk juga kaum muda. Itu hanya mungkin jika kemarahan dapat diorganisir dan memiliki kepemimpinan revolusioner.

Sebagai langkah-langkah perjuangan maka penting untuk melihat bahwa pembangunan organisasi revolusioner serta pengorganisiran di basis-basis massa menjadi sangat penting. Demikian pula tuntutan-tuntutan yang diajukan harus mencerminkan kepentingan rakyat dan membedakan diri dari kaum liberal ataupun sosial demokrat. Namun pada saat yang bersamaan butuh membangun front persatuan seluas-luasnya di kalangan gerakan.

Protes dapat memantik api, tetapi organisasi revolusioner menjaga agar api itu tidak padam diterpa “angin”. Organisasi itu pula yang akan memastikan bahwa api tersebut dapat mencapai tujuan besarnya yaitu Sosialisme.

dibuat resumenya oleh Ardi Rakta, anggota Resistance

Loading

Comment here