Pada tanggal 14 September, Perserikatan Sosialis dan Organisasi Kaum Muda Sosialis (OKMS) menyelenggarakan pertemuan konsolidasi di University of Melbourne yang berhasil membentuk Komite Solidaritas untuk Rakyat Indonesia dan Papua (Solidarity Committee for Rakyat Indonesia&Papua: SCRIP). Acara ini dihadiri belasan orang baik individu yang memiliki kepedulian terhadap Indonesia dan Papua maupun berbagai organisasi seperti mahasiswa dari Students Against War, Revolutionary Communist Organisation (RCO), Socialist Alternative, Solidarity dan Red Ant, serta perwakilan dari Trans Action Network dan organisasi anarkis seperti ARC UP dan Anarchist Communist Federation. Dalam perkembangannya kawan-kawan Socialist Alliance juga bergabung serta mendukung pembangunan komite solidaritas internasional.
Ide pembangunan komite solidaritas internasional diinisiasi oleh Perserikatan Sosialis dan OKMS ketika gelombang gerakan anti UU TNI terjadi di sekitar bulan Maret – April 2025. Di situasi faksi militer menguasai tampuk kekuasaan negara, ruang demokrasi dapat dikatakan akan semakin menyempit. Suara kaum buruh dan rakyat tertindas di dalam negeri kecil kemungkinan untuk dapat terdengar karena represi yang menguat. Dalam situasi seperti itu, solidaritas internasional memiliki peran yang cukup penting untuk terbangun. Demikian pula kapitalisme tidak ada batas negara. Para elit politik Indonesia memiliki seribu hubungan dengan kepentingan kekuatan imperialis di internasional.
Upaya tersebut mendapatkan kesempatan ketika Perserikatan Sosialis dan Organisasi Kaum Muda Sosialis diundang untuk menjadi pembicara dalam agenda tahunan Green Left, Eco-Socialism 2025. Perserikatan Sosialis kemudian menginisiasi Safari Politik ke berbagai organisasi di Australia. Perserikatan Sosialis menghubungi organisasi seperti Solidarity, Red Ant, Socialist Alternative, Socialist Alliance, Revolutionary Communist Organization termasuk Red Spark. Sebagian besar organisasi tersebut menyambut baik ajakan bertemu dan berdiskusi dari Perserikatan Sosialis. Termasuk juga turut membantu berbagai upaya Perserikatan Sosialis untuk membangun komite solidaritas internasional untuk Indonesia. Red-Ant, Solidarity, Socialist Alternative, RCO menyambut ajakan kita dan menyatakan mendukung inisiasi pembangunan Solidarity Committee for Rakyat Indonesia & Papua.
Dalam rangkaian agenda tur, kami telah menyelenggarakan diskusi terbuka dengan beberapa organisasi. Pertama, dengan Red-Ant Collective dengan tema Under the Dark Cloud of Authoritarianism: A discussion on the rise of militarism pada 10 September 2025. Kedua, dengan Solidarity Australia dengan tema Uprising in Indonesia: the rising struggle against Prabowo and the militarisation of Indonesia pada 11 September 2025. Ketiga, dengan Melbourne Bergerak dengan tema Moving Beyond Spontaneity: overcoming ‘moderation’, facing repression & building resistance against Prabowo’s Militarism in Indonesia. Kami juga melakukan wawancara dengan Solidarity untuk radio podcast mereka membicarakan situasi gerakan di Indonesia dalam Perlawanan Agustus, Red-Ant Collective untuk menyampaikan materi mengenai sejarah elit dan gerakan di Indonesia serta perkembangan terkini, serta Socialist Alliance untuk membicarakan gerakan Perlawanan Agustus.
Hingga hari terakhir Tur Australia yang diselenggarakan Perserikatan Sosialis, masih terdapat berbagai organisasi gerakan yang mengajak bertemu dan berdiskusi bersama mengenai situasi di Indonesia dan Papua. Kami berharap dapat mengkonsolidasikan semuanya ke dalam pembangunan komite solidaritas internasional.
Pertemuan untuk membangun komite solidaritas internasional menghimpun berbagai aktivis yang sebelumnya telah terlibat dalam forum-forum progresif, termasuk peserta Konferensi Eco-Socialism 2025 dimana mereka membahas isu-isu krusial seperti “Indonesia di Bawah Prabowo dan Perjuangan Penentuan Nasib Sendiri Papua”, “Pembebasan Perempuan Masa Kini”, “Laporan Langsung: Indonesia dalam Gejolak Perlawanan”, “Membangun Kembali Politik Sosialis di Asia Tenggara” dan “Perjuangan Demokrasi di Asia”. Partisipan juga termasuk mereka yang aktif dalam diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh Melbourne Bergerak, Solidarity, dan Red Ant.
Pertemuan dibuka dengan analisis mendalam mengenai kondisi gerakan sosial di Indonesia, yang dinilai sedang berkembang namun menghadapi represi yang berat dan semakin keras. Diskusi menyoroti peningkatan signifikan kehadiran militer dalam rezim Prabowo, dengan menarik garis paralel ke masa Orde Baru dan perkembangan pasca-Reformasi. Presentasi awal juga menekankan pentingnya peran masyarakat sipil Australia, termasuk kalangan buruh, mahasiswa, organisasi kiri, dan aktivis, untuk memahami dan menantang keterlibatan pemerintah Australia yang mendukung aparatus keamanan Indonesia. Tujuan utamanya adalah mendesak pemerintah Australia untuk menghentikan semua bentuk kerja sama militer dan kepolisian dengan Indonesia.
Para peserta kemudian aktif memberikan perspektif dan argumen untuk merumuskan strategi solidaritas yang kuat dan efektif. Beberapa proposal kunci yang mengemuka adalah kolaborasi dengan kolektif diaspora Indonesia, Melbourne Bergerak, serta menyelaraskan upaya dengan aliansi solidaritas Palestina dan serikat buruh. Seorang kawan dari RCO mengusulkan intervensi politik dalam lingkup Partai Buruh Australia lalu memicu debat tentang keterlibatan partai tersebut dalam tindakan represif di Indonesia. Selain itu, muncul juga tawaran untuk bekerja sama dengan serikat guru guna mengadvokasi dimasukkannya pelajaran sejarah Indonesia yang kritis ke dalam kurikulum sekolah di Victoria.
Terlepas dari perdebatannya, para penggagas pembangunan komite solidaritas ini sepakat untuk membuka luas keanggotaan bagi diaspora Indonesia maupun non-WNI di Australia dengan prinsip mendukung perjuangan rakyat Indonesia dan Papua melawan rezim militeris gaya oligarki hari ini. Sebagai hasil dari konsolidasi ini, para peserta sepakat untuk secara resmi membentuk komite dan menggelar serangkaian kegiatan. Rencana aksi tersebut meliputi pengadaan seminar pendidikan publik tentang sejarah Indonesia serta Papua dan situasi terkini, serta melakukan aksi dan kampanye yang menyuarakan sikap anti-militerisme, anti-imperialisme, dan perjuangan demokrasi untuk rakyat Indonesia dan Papua. Untuk memastikan kelancaran, komite akan membentuk kelompok kerja yang fokus pada riset dan kampanye, aksi dan mobilisasi, serta membangun koneksi dan aliansi dengan organisasi lain.
Pembentukan komite ini memiliki arti penting yang strategis. Keberadaannya menjawab kebutuhan mendesak untuk membangun suara solidaritas internasional yang terkoordinasi dari Australia, khususnya dalam mengangkat isu represi di Indonesia dan Papua yang sering kali diabaikan oleh media arus utama. Komite ini berperan sebagai jembatan penting yang menghubungkan perjuangan rakyat Indonesia dengan kekuatan gerakan rakyat Australia, menciptakan tekanan politik dari luar yang dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah Australia dan mendorong perhatian global. Dengan menyatukan berbagai kelompok—dari sosialis, anarkis, hingga serikat buruh dan diaspora—komite ini menunjukkan bahwa perjuangan untuk demokrasi dan keadilan di Indonesia adalah tanggung jawab bersama komunitas internasional.
Pembangunan komite solidaritas di Australia diharapkan dapat menginspirasi potensi pembangunan komite-komite di negara lainnya. Semangat internasionalisme sebagai kekuatan kiri dalam bentuk solidaritas dengan negara dunia ketiga, solidaritas sesama kelas buruh dan rakyat, anti militerisme, anti imperialisme ataupun mendukung hak menentukan nasib sendiri menjadi pendorong utama serta terwujudkan dalam terbangunnya komite solidaritas ini.
Demikian juga diaspora Indonesia di berbagai negara dapat didorong untuk membangun solidaritas internasional dengan berbagai kekuatan rakyat non WNI yang ada di negara masing-masing. Ini diharapkan juga dibarengi dengan prinsip gerakan yang tidak hanya “mengawal” rezim, namun melahirkan sikap-sikap tegas—anti militerisme dan anti-imperialisme—sehingga dapat menghasilkan sikap yang tegas berhadap-hadapan dengan rezim dan sekutunya. Di saat bersamaan dapat juga bersolidaritas dengan perjuangan kelas buruh dan rakyat di negara-negara lain seperti gelombang solidaritas untuk Palestina yang sedang meningkat.
On September 14, the Socialist Union (Perserikatan Sosialis) and the Socialist Youth Organization (Organisasi Kaum Muda Sosialis / OKMS) held a consolidation meeting at the University of Melbourne which successfully formed the Komite Solidaritas untuk Rakyat Indonesia dan Papua (Solidarity Committee for Rakyat Indonesia&Papua: SCRIP). The event was attended by dozens of individuals concerned about Indonesia and Papua, as well as various organizations such as students from Students Against War, the Revolutionary Communist Organisation (RCO), Socialist Alternative, Solidarity, and Red Ant, plus representatives from Trans Action Network and anarchist organizations like ARC UP and the Anarchist Communist Federation. As things developed, comrades from Socialist Alliance also joined and supported the establishment of the international solidarity committee.
The idea for an international solidarity committee was initiated by the Socialist Union and OKMS during the wave of anti-TNI Law movements around March-April 2025. In a situation where the military faction controls the state’s helm, the space for democracy can be said to be increasingly narrowing. The voices of the workers and oppressed people within the country have little chance of being heard due to intensifying repression. In such a situation, international solidarity plays a quite important role to build. Likewise, capitalism knows no national borders. The Indonesian political elites have a thousand ties with the interests of imperialist forces internationally.
This effort got an opportunity when the Socialist Union and the Socialist Youth Organization were invited to be speakers at the annual Green Left agenda, Eco-Socialism 2025. The Socialist Union then initiated a Political Safari to various organizations in Australia. The Socialist Union contacted organizations such as Solidarity, Red Ant, Socialist Alternative, Socialist Alliance, Revolutionary Communist Organization, including Red Spark. Most of these organizations welcomed the invitation to meet and discuss from the Socialist Union. They also helped various efforts by the Socialist Union to build an international solidarity committee for Indonesia. Red-Ant, Solidarity, Socialist Alternative, and RCO welcomed our invitation and declared support for initiating the Solidarity Committee for Rakyat Indonesia & Papua.
During the tour’s series of events, we held open discussions with several organizations. First, with the Red-Ant Collective with the theme “Under the Dark Cloud of Authoritarianism: A discussion on the rise of militarism” on September 10, 2025. Second, with Solidarity Australia with the theme “Uprising in Indonesia: the rising struggle against Prabowo and the militarisation of Indonesia” on September 11, 2025. Third, with Melbourne Bergerak with the theme “Moving Beyond Spontaneity: overcoming ‘moderation’, facing repression & building resistance against Prabowo’s Militarism in Indonesia.” We also conducted an interview with Solidarity for their radio podcast discussing the situation of the movement in Indonesia during the August Resistance, with Red-Ant Collective to present material on the history of elites and movements in Indonesia and recent developments, and with Socialist Alliance to discuss the August Resistance movement.
Until the last day of the Australian Tour organized by the Socialist Union, there were still various movement organizations asking to meet and discuss the situation in Indonesia and Papua. We hope to consolidate all of them into the building of the international solidarity committee.
The meeting to build the international solidarity committee gathered various activists who had previously been involved in progressive forums, including participants of the Eco-Socialism 2025 Conference where they discussed crucial issues such as “Indonesia Under Prabowo and the Struggle for Papuan Self-Determination,” “Women’s Liberation Today,” “Eyewitness Account: Indonesia in Revolt,” “Rebuilding Socialist Politics in Southeast Asia,” and “The Struggle for Democracy in Asia.” Participants also included those active in discussions organized by Melbourne Bergerak, Solidarity, and Red Ant.
The meeting opened with an in-depth analysis of the condition of the social movement in Indonesia, which was assessed as developing but facing heavy and increasingly harsh repression. The discussion highlighted the significant increase in military presence in Prabowo’s regime, drawing parallels to the New Order era and post-Reformation developments. The initial presentation also emphasized the important role of Australian civil society, including labor circles, students, leftist organizations, and activists, to understand and challenge the Australian government’s involvement which supports the Indonesian security apparatus. The main goal is to urge the Australian government to stop all forms of military and police cooperation with Indonesia.
The participants then actively provided perspectives and arguments to formulate a strong and effective solidarity strategy. Several key proposals that emerged were collaboration with Indonesian diaspora collectives, Melbourne Bergerak, as well as aligning efforts with Palestine solidarity alliances and labor unions. A comrade from RCO proposed political intervention within the scope of the Australian Labor Party, which then sparked a debate about that party’s involvement in repressive actions in Indonesia. Furthermore, an offer emerged to collaborate with teachers’ unions to advocate for the inclusion of critical Indonesian history lessons into the school curriculum in Victoria.
Despite the debates, the initiators of this solidarity committee building agreed to open membership widely for both the Indonesian diaspora and non-Indonesian citizens in Australia, based on the principle of supporting the struggle of the Indonesian and Papuan people against the current oligarchic-style militaristic regime. As a result of this consolidation, the participants agreed to officially form the committee and hold a series of activities. These action plans include holding public education seminars on the history of Indonesia and Papua and the current situation, as well as carrying out actions and campaigns voicing anti-militarism, anti-imperialism, and the struggle for democracy for the people of Indonesia and Papua. To ensure smooth operation, the committee will form working groups focused on research and campaigns, action and mobilization, and building connections and alliances with other organizations.
The formation of this committee has strategic significance. Its existence addresses the urgent need to build a coordinated international solidarity voice from Australia, especially in raising the issue of repression in Indonesia and Papua, which is often ignored by mainstream media. This committee serves as a crucial bridge connecting the struggle of the Indonesian people with the strength of the Australian people’s movement, creating external political pressure that can influence the Australian government’s policies and encourage global attention. By uniting various groups—from socialists, anarchists, to labor unions and the diaspora—this committee demonstrates that the struggle for democracy and justice in Indonesia is a shared responsibility of the international community.
The establishment of the solidarity committee in Australia is hoped to inspire the potential formation of committees in other countries. The spirit of internationalism as a leftist force in the form of solidarity with third world countries, solidarity among the working class and the people, anti-militarism, anti-imperialism, and support for the right to self-determination became the main driving force behind the establishment of this solidarity committee.
Likewise, the Indonesian diaspora in various countries can be encouraged to build international solidarity with various non-Indonesian people’s forces in their respective countries. This is hoped to be accompanied by a movement principle that does not merely “oversee” the regime, but fosters clear stances—anti-militarism and anti-imperialism—so that it can result in a firm position confronting the regime and its allies. Simultaneously, it can also solidarity with the class struggle of workers and people in other countries, like the rising wave of solidarity for Palestine.
ditulis oleh Delegasi Perserikatan Sosialis untuk Tur Australia
Comment here