Pasca protes besar yang membara di berbagai wilayah Indonesia belakangan ini, TNI secara terbuka meminta Generasi Muda (GM) FKPPI—anak-anak kandung para jenderal dan polisi—untuk mengambil peran sebagai pam swakarsa. DPR, lembaga busuk yang sudah diteriaki rakyat untuk dibubarkan, dengan girang langsung menyebut gagasan ini “relevan dengan kondisi saat ini.” Bahkan tanpa tahu diri, mereka masih mencoba menipu rakyat bahwa ini “sukarela, gotong royong, menjaga lingkungan.”
Tapi kita telah sama-sama mengetahui bagaimana watak busuk dan segala omong kosong mereka. Kita tahu ini bukan tentang menjaga lingkungan. Ini tentang menjaga kekuasaan rezim. Ini tentang menakut-nakuti rakyat yang mulai bangkit. Ini tentang adu-domba rakyat. Mereka ingin rakyat saling gebuk, sementara penguasa duduk aman di kursi kekuasaan.
Sejarah sudah berteriak keras. Tahun 1998, saat Orde Baru goyah dan jutaan rakyat turun ke jalan, militer yang panik mencari cara baru untuk mempertahankan kekuasaannya. Panglima ABRI Wiranto, melalui Keputusan Pangab Nomor Kep/07/P/IX/1998, secara resmi merancang pembentukan Pam Swakarsa dengan merekrut ribuan ormas reaksioner, kelompok preman, hingga organisasi berbaju agama.
Siapa yang digalang bukan sembarangan: FKPPI (anak-anak pejabat dan perwira), Pemuda Pancasila, Forum Komunikasi Senopati 45, Pemuda Panca Marga, Angkatan Muda Ka’bah (PPP), Barisan Pemuda Islam (BPI), bahkan Front Pembela Islam (FPI) yang baru saja dideklarasikan Agustus 1998. Data resmi memperkirakan jumlahnya mencapai 120.000 orang—lebih banyak daripada pasukan reguler yang ditempatkan saat itu di Jakarta.
Pam Swakarsa ini dipersenjatai dengan bambu runcing, pentungan, rantai, hingga senjata tajam, lalu digiring ke depan Gedung DPR/MPR saat Sidang Istimewa MPR 10–13 November 1998. Sementara rakyat menuntut turunkan Habibie, cabut Dwifungsi ABRI, bubarkan Golkar, dan adili Soeharto beserta kroninya, Pam Swakarsa dipakai untuk melindungi kursi kekuasaan. Tugasnya jelas: menghadang, mengintimidasi, dan memukul mundur gelombang demonstrasi yang ingin menembus Senayan. Dengan cara ini, ABRI tidak perlu memukul sendiri—cukup menyewa lumpen, ormas reaksioner, dan preman untuk melawan rakyat, sambil pura-pura “netral” di belakang barikade.
Sejumlah laporan investigasi, termasuk dari Komnas HAM, menunjukkan bahwa keberadaan Pam Swakarsa bukan spontanitas, melainkan skema terencana dengan dukungan dana gelap dari pengusaha kroni Orde Baru. Bahkan menurut kesaksian mantan pejabat ABRI, sebagian dana untuk Pam Swakarsa mengalir langsung dari Yayasan Supersemar dan konglomerat hitam Cendana.
Maka gamblanglah kini bahwa Pam Swakarsa bukan sekadar kumpulan massa sukarela. Ia lahir dari keputusan politik rezim Orde Baru, dipelihara oleh institusi militer, dibiayai dengan dana gelap, dan diarahkan untuk satu tujuan: menjaga kekuasaan dari ancaman rakyat.
Pasca jatuhnya Soeharto, Pam Swakarsa memang dibubarkan secara formal. Namun jejaknya tidak hilang. Banyak anggotanya kemudian bertransformasi menjadi ormas-ormas baru. Sebagian menjadi basis kelompok paramiliter reaksioner seperti FPI, Laskar Jihad, Laskar Jundullah, atau sayap-sayap kekerasan ormas agama lain yang tumbuh di awal Reformasi. Sebagian lainnya tetap dipelihara sebagai “mitra” aparat seperti Satpol PP, yang sering berperan sebagai pemukul rakyat kecil dalam penggusuran.
Modelnya pun diwariskan: Pemuda Pancasila tetap dipelihara sebagai “penjaga” partai-partai borjuasi; Banser NU beberapa kali dipakai untuk kepentingan politik elit; “satgas” partai politik seperti Satgas PDIP, Tentara Langit, Baladika (di Bali) arau Banser NU, berfungsi sebagai preman berseragam; sementara kelompok vigilante seperti Forum Betawi Rempug (FBR) atau Forkabi menjadi kekuatan paramiliter berbasis identitas yang bisa dimobilisasi. Semua ini menunjukkan kesinambungan model Pam Swakarsa: kelompok sipil yang dipersenjatai, diberi legitimasi politik, lalu dipakai untuk mengintimidasi buruh, mahasiswa, kaum miskin kota, maupun kelompok minoritas.
Tak mengherankan jika pola ini kemudian dilegalkan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, yang menyelipkan klausul tentang “pengamanan swakarsa” dalam Pasal 3 ayat (1). Para elite politik sengaja memberi ruang hukum agar setiap saat aparat bisa membangkitkan kembali model paramiliter sipil seperti Pam Swakarsa.
Hari ini, ketika rezim militer dan DPR kembali mewacanakan pembentukan Pam Swakarsa, kita melihat pola lama yang didaur ulang. Mereka bicara tentang “gotong royong” dan “menjaga lingkungan,” padahal intinya sama: membentuk pasukan sipil yang bisa dikerahkan untuk melawan rakyat.
Faktanya, skema ini sudah mulai dipraktikkan. Banser GP Ansor secara terang-terangan dikerahkan bersama aparat untuk meredam aksi rakyat Agustus–September 2025 belakangan. Mereka boleh saja membantah “bukan Pam Swakarsa,” tapi wataknya jelas: ormas berseragam dipakai untuk menakut-nakuti rakyat, menjaga kursi kekuasaan, dan menjadi tameng politik TNI–Polri.
Sementara GM FKPPI sendiri telah secara resmi menginstruksikan pembentukan Pam Swakarsa baru. Melalui Surat Nomor: INS-21/PP-FMFKPPI/A4/IX/2025 tertanggal 1 September 2025, GM FKPPI memerintahkan seluruh jaringannya di Indonesia untuk segera membentuk satuan pengamanan swakarsa dan berkoordinasi langsung dengan komando teritorial TNI. Dengan kata lain, negara sendiri yang memberi restu agar lumpen berseragam kembali dipakai untuk melawan rakyat.
Jelaslah bahwa sejak 1998 hingga kini, fungsi inti Pam Swakarsa hanya satu: teror untuk gerakan rakyat. Maka jawaban kita jelas: jangan biarkan rakyat diadu-domba! Jangan biarkan kaki-tangan rezim menginjak kita dengan nama “swakarsa”!
Rakyat pekerja, mahasiswa, pemuda, kaum tani, harus membangun Komite-Komte Perlawanan di kampus, di pabrik, di kampung-kampung. Kita harus mengorganisir solidaritas rakyat dan membentuk unit-unit pertahanan diri, agar tidak satu pun Pam Swakarsa bisa memukul kita tanpa perlawanan. Hanya dengan kekuatan kolektif, rakyat bisa menghentikan upaya rezim menjadikan rakyat sebagai pemukul rakyat.
ditulis oleh Miswanto, anggota Lingkar Studi Sosialis
Comment here