Perempuan dan LGBTTeori

Akar Kekerasan Seksual

ditulis oleh Sandra Bloodworth

“Akar Kekerasan Seksual” adalah fitur artikel dalam isu terbaru Marxist Left Review (No 10 Winter 2015-ed), jurnal teoritis dari Socialist Alternative. Di artikel ini Sandra Bloodworth menguraikan sebagian dari tema-tema utama. Untuk membeli MLR kunjungi marxistleftreview.org.

———

Ada sesuatu yang keji di (jantung) masyarakat saat ini. Laporan seputar pelecehan seksual terus mengalir tiada habisnya.

Bukan hanya kekerasan rumah tangga yang dilakukan oleh laki-laki, seperti yang selama ini menjadi fokus perhatian publik. Kekerasan terhadap anak-anak yang dilakukan oleh pemuka agama dan guru di setiap institusi keagamaan; orang tua, kaum difabel, orang dengan gangguan mental dan anak-anak, yang seharusnya dipelihara oleh institusi-institusi tersebut; kekerasan juga terjadi di penjara dan kamp penahanan pengungsi. Situs web Same Same melaporkan adanya angka yang serupa pada kekerasan pasangan heteroseksual maupun pasangan LGBTI.

Namun dari semua pertanyaan dan “perhatian” munafik yang diberikan politisi dan polisi, hanya sedikit yang dilakukan untuk menjelaskan fakta mengerikan ini kecuali beberapa frasa kosong tentang “budaya kekerasan laki-laki”. Laki-laki melakukan kekerasan merupakan hal yang umum dalam masyarakat kita, tapi hal tersebut tidak dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana insiden kekerasan seksual menjadi banyak dan meluas, termasuk juga pada perempuan – 41% perempuan lesbian pernah mengalami kekerasan dari pasangannya.

Seperti argumen Karl Marx, jika ingin memahami prilaku manusia, kita perlu melihat struktur ekonomi dan struktur sosial masyarakatnya terlebih dahulu. Hubungan antara pengaturan proses produksi dan kekerasan seksual bisa jadi sulit untuk dilihat, namun kita tetap perlu memahaminya.

Marx berargumen bahwa dalam kapitalisme kemampuan kita untuk bekerja, alih-alih menjadi kreatif, sumber kepuasan dan untuk menjalin relasi satu sama lain, justru mengasingkan/mengalienasi – diluar kendali kita.

Massa buruh hampir tidak punya hak terhadap kondisi kerjanya, apakah perkerjaannya berguna ataukah pekerjaan itu sesuatu yang mereka nikmati kerjakan. Jika anda menyajikan kopi atau menjual pakaian atau video games, anda tidak tahu bagaimana mereka diproduksi, entah diproduksi oleh buruh dengan kerja paksa atau buruh yang terorganisir dan dibayar dengan baik. Buruh itu bisa saja berada di belahan dunia lain atau di ujung jalan dekat anda, tapi mereka tidak mengetahui anda atau siapapun yang membeli barang yang mereka produksi.

Ini memiliki beberapa konsekuensi. Kita merasa hidup kita ada di bawah kekuatan yang asing dan tak terkendali, seperti kekuatan “ekonomi” dan “pasar”. Dunia kita alami sebagai sesuatu yang terfragmentasi dan asing, yang menghasilkan pengasingan/ terpisahnya antara satu manusia dengan yang lain.

Seperti yang dimaksudkan filsuf Marxist, Bertell Ollman sebagai “terpecahnya sifat manusia menjadi sejumlah bagian yang salah” (splintering of human nature into a number of misbegotten parts), dan bentuk dominasi kapital yang sebenarnya terhadap hidup kita adalah dengan menciptakan perasaan ketidakberdayaan di antara mereka yang dieksploitasi. Ini kemudian melontarkan selubung mistifikasi ke seluruh struktur sistem.

Jika anda tidak bisa melihat bagaimana masyarakat bekerja, maka sulit untuk menolak gagasan “akal sehat” yang tampaknya mencerminkan pengalaman namun dipromosikan sebagai kebenaran, seperti: kita memerlukan bos/ majikan untuk mengatur masyarakat; kita semua individu yang bertanggung jawab atas apa yang kita perbuat dalam hidup; perempuan tidak pantas menjalankan urusan negara; satu-satunya relasi seksual yang “alami” adalah heteroseksual, dan sebagainya.

Di bawah kapitalisme, pasar mendominasi dan produksi dilakukan demi profit/ keuntungan. Segalanya bisa dijual, termasuk seks. Maka tubuh kita ditempatkan sebagai objek, digunakan untuk menjual komoditi, dan direndahkan dalam pornografi. Seksualitas diasingkan, dalam pornografi dan budaya popular digambarkan tercerai dari interaksi manusia.

Sering ada jurang besar antara citra pasangan bahagia dan penuh cinta di kemasan kotak coklat dengan stress dan tekanan dalam kerja serta perjuangan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Keadaan yang sudah terasing ini, dikuasai dominasi heteroseksualitas dan monogami, kemudian bisa semakin hancur akibat ketegangan dan kepahitan yang dialami.

Maka sebagian laki-laki terbiasa dengan anggapan bahwa mereka berhak mendominasi yang lain, mengetahui bahwa perempuan memiliki lebih sedikit hak dan pilihan dibanding mereka, mereka menyalurkan frustasinya pada pasangan perempuannya. Namun, banyak faktor seperti rasa takut akan kesepian, ketakutan akan ketahuan oleh atasan, tidak adanya kemandirian ekonomi atau layanan pendukung, bisa menyebabkan pasangan mana saja – entah perempuan, laki-laki, straight atau queer – enggan meninggalkan sebuah hubungan dan menjadi rentan terhadap pemaksaan dan pelecehan.

Pelembagaan Kekerasan Seksual

Hirarki intitusi dalam sistem kapitalis mengandalkan rasionalisasi akan hubungan manusia yang menekan dan mematikan empati manusia, sehingga tidak memanusiakan manusia.

Sebagai contoh, bahkan komisi penyelidikan atas pelecehan seksual anak-anak melucuti identitas mereka yang menceritakan traumanya, menempatkan pelaku dan mereka yang menyembunyikan kejahatan tersebut setara dengan korban dan menyebut mereka semua sebagai “stakeholders/ pihak-pihak terkait”. Gereja Katolik yang selalu mengangkat dirinya sebagai pihak yang peduli terhadap kesejahteraan jasmani dan spiritual pengikutnya, tidak bisa memberi tanggapan yang manusiawi dan peduli terhadap mereka yang jelas-jelas trauma pada pendetanya yang pedofil.

Mereka yang tertindas berada di posisi yang sangat rentan di bawah kewenangan institusi. Anak-anak, dianggap sebagai properti orang tuanya, mereka tidak memiliki hak. Anak-anak dapat dipindahkan dengan atau tanpa persetujuan mereka jika negara menyatakan keluarganya “tidak aman”, kemudian mereka dibuang untuk menghadapi pelecehan reguler. Aboriginitas membuat pemindahan lebih mungkin terjadi.

Orang-orang tua, kaum difabel, mereka yang tidak sehat, didefinisikan bukan oleh hak-hak mereka, melainkan oleh kebutuhan fisiknya. Banyak diantara mereka berada di bawah kendali orang-orang yang diharapkan dapat mendisiplinkan dan mendominasi mereka dalam rejim “tata tertib” birokratik.

Mereka yang bertanggung jawab contohnya penjaga penjara, guru sekolah, perawat dan lain-lain, mereka sendiri terasing dan seringkali kurang terlatih, berpenghasilan rendah dengan beban kerja terlalu tinggi. Meskipun mereka mewujudkan gaya hidup disiplin yang ketat, mungkin saja mereka merasa menderita dan tidak puas dengan dirinya sendiri.

Namun karena peran yang mereka jalankan mengajarkan untuk memperlakukan manusia sebagai objek, mudah saja bagi mereka untuk memperlakukan orang yang berada dibawah tanggung jawabnya sebagai objek hasrat mereka – kekecewaan, kemarahan atau kebutuhan seksual. Ada perbedaan yang tidak jelas antara mengabaikan kebutuhan orang yang berada di bawah tanggung jawab, dengan pemaksaan psikologis atau fisik, dan pelecehan.

Ketika mereka memainkan peran yang sifatnya menindas dalam hirarki, apa yang mereka lakukan tidak dinilai sebagai hal yang tidak manusiawi, tapi sebagai hal yang perlu dilakukan. Peran mereka adalah menjaga “ketertiban”, bagaimanapun cara mencapainya. Masyarakat tidak secara terang-terangan mendukung prilaku kasar dan kejam ini, sehingga menciptakan aura kerahasiaan yang mencerminkan privasi seperti sebagian besar aktivitas seksual, sehingga terjadi erotisasi dalam pelaksanaan kekuasaan. Ini sebagian menjelaskan kenapa begitu banyak kekerasan adalah kekerasan seksual.

Di sisi lain, kekerasan seksual jelas lebih traumatis dibanding kekerasan fisik atau bentuk kontrol lainnya. Kesedihan sangat terasa dalam cerita-cerita tentang penderitaan dan bunuh diri yang mewabah dalam kehidupan mereka yang dilecehkan ketika anak-anak, atau perempuan yang dilecehkan pasangan laki-lakinya.

Ketakutan terbesar yang merangkum pengalaman laki-laki di penjara adalah ketakutan akan pemerkosaan – dianggap sebagai hal terburuk yang bisa terjadi pada seorang laki-laki dalam hidupnya. Ketakutan ini selain berasal dari homofobia, juga terkait penghinaan karena statusnya sebagai laki-laki diturunkan menjadi seperti perempuan.

Maka pelecehan seksual atau bahkan ancaman akan pelecehan seksual saja, dalam situasi institusional dapat digunakan untuk lebih utuh mematahkan perlawanan korban daripada menggunakan bentuk hukuman dan disiplin lainnya. Dinamika ini mirip dengan yang terjadi dalam relasi personal, dimana upaya untuk mendominasi pasangan atau mencegahnya pergi dapat mengarah ke perilaku yang semakin ganas.

Lebih jauh, negara melegitimasi dan mempromosikan penggunaan kekerasan seksual sebagai alat yang manjur untuk menegakkan disiplin dan kontrol. Pada setiap tingkat, hal itu dipahami seharusnya tidak terjadi, tapi untuk mengakui keberadaannya artinya merobek lapis ketertiban dan kehormatan yang ada. Maka tindakan tersebut akhirnya ditoleransi dan bahkan ditutup-tutupi; akibatnya whistleblower yang lebih menjadi korban dibanding pelaku kekerasan, sehingga pelaku tetap aman dari kemampuan diketahui.

Selama berabad-abad, pemerintah dan kepolisian di seluruh dunia melindungi institusi agama dan institusi lain ketika mereka memberikan perlindungan bahkan mendukung pelaku kejahatan seksual.

Memperkuat sinyal ini, negara di seluruh dunia menggunakan pemerkosaan baik terhadap laki-laki maupun perempuan sebagai senjata perang. Pemerkosaan digunakan secara luas dalam rezim penyiksaan. Di penjara Abu Ghraib yang terkenal di Irak, tentara Amerika Serikat, dimana setengah dari mereka perempuan dan dipimpin oleh jendral Janis Karpinski, terlibat dalam praktik pemerkosaan dan juga metode penghinaan seksual lainnya, yang bertujuan untuk merendahkan moral laki-laki dan perempuan.

Apa solusinya?

Tentu saja bukan menambah penjara, atau menambah dan memperpanjang vonis seperti yang pemerintah dan polisi senang lakukan. Itu semua tidak bisa mencegah; mereka justru memperkuat struktur yang menormalkan kekerasan seksual dan menghasilkan lebih banyak lagi individu yang kejam dan terasing.

Melihat adanya batas dalam pilihan individu dan dinamika birokrasi terhadap dehumanisasi, ada titik optimisme bahwa tidak semua yang bertanggung jawab menjaga ketertiban dan keteraturan berakhir menyalahgunakan wewenangnya. Mereka bukan sekedar robot ciptaan hirarki. Banyak diantara mereka berpegang pada tanggung jawabnya untuk melindungi orang-orang yang ditempatkan di insititusi tempat mereka bekerja.

Ini menunjukkan ada jalan keluar dari kekacauan ini. Organisasi serikat buruh dan perjuangan kolektif dapat mempromosikan gagasan solidaritas dan kesadaran kelas. Nantinya akan dapat memaksimalkan respon yang lebih manusiawi dan penuh hormat dari mereka yang memiliki kewenangan atas yang lain, atau dalam hubungan yang tidak setara. Namun untuk memberantas kekerasan seksual sepenuhnya, kita harus menghancurkan struktur tempat kekerasan tersebut mengakar.

Tulisan ini diterjemahkan dari artikel The Roots of Sexual Violence yang ditulis oleh Sandra Bloodworth di Red Flag pada 3 Agustus 2015.

diterjemahkan oleh Anita, Mahasiswi UGM.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: