Perjuangan

Tunjangan Hari Raya, Buah Jasa Perjuangan Buruh

Tunjangan Hari Raya yang selanjutnya disebut THR adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada buruhnya. Di antara negara Asia Tenggara, hanya di Indonesia dikenal adanya satu konsep kewajiban majikan untuk memberikan tunjangan kepada buruh dalam merayakan hari keagamaan. THR sendiri tidak muncul dengan sekonyong-konyong bak kelapa jatuh. Tapi ada proses perjuangan yang dilakukan oleh kaum buruh terdahulu.

Serikat buruh pada dekade 1950an memperjuangkan “perbaikan nasib” lewat berbagai mekanisme utamanya dengan pemogokan. “Perbaikan nasib” tersebut terutama adalah tuntutan terkait upah serta “hadiah Lebaran”. Penting untuk dicatat juga bahwa pada tahun 1950an upah kaum buruh masih sangat rendah bahkan untuk buruh yang sudah berkeluarga. Upah rendah ini juga terjadi di semua jenis lapangan kerja, bukan hanya di sektor perkebunan yang sejak zaman penjajahan Belanda sudah rendah upahnya. Namun juga mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri. Tuntutan terkait dengan upah tersebut bukan hanya soal rendahnya upah yang diterima namun juga rendahnya tingkat kenaikan upah dibandingkan dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan.

Tuntutan kenaikan upah merupakan persoalan yang sulit diselesaikan. Jika upah naik maka harga-harga barang juga naik. Dengan begitu maka tuntutan THR muncul sebagai tuntutan yang mengikuti atau berbarengan dengan tuntutan kenaikan upah. Tuntutan THR menjadi tuntutan strategis, dengan adanya THR maka diharapkan buruh mampu mencukupi kebutuhannya yang sebelumnya tidak dapat dipenuhi akibat upah (ataupun kenaikan upah) yang tidak mencukupi.

Sepanjang 1951-52 belum ada aturan ataupun keputusan resmi pemerintah menyangkut THR. THR masih dianggap sebagai pemberian yang bersifat sukarela dan tidak dapat dipaksakan. Pun begitu tuntutan THR terus disuarakan oleh gerakan buruh.

Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) ataupun serikat-serikat buruh anggota SOBSI memainkan peran utama dalam tuntutan atas THR. Tuntutan atas THR pada 1951-52 umumnya masih ditangani oleh serikat buruh di daerah. Namun mulai akhir 1952, tuntutan THR menjadi tuntutan nasional. Dalam Sidang Dewan Nasional ke-II pada Maret 1953 di Jakarta, SOBSI menyatakan bahwa “pemberian tundjangan hari raya bagi semua buruh sebesar satu bulan gadji kotor.” Tuntutan ini lebih maju dibandingkan dengan serikat-serikat buruh lainnya. Umumnya masih menganggap THR adalah sukarela dan hasil negosiasi dengan majikan.

SOBSI juga menyadari bahwa perjuangan tuntutan atas THR adalah hasil kerjasama dengan beberapa serikat buruh lainnya. Pada tahun 1954, tunjangan Hari Raya diberikan kepada pegawai negeri sebesar 25% gaji, ini adalah hasil kerjasama perjuangan SOBSI dan serikat-serikat buruh non-Vaksentral dari pegawai negeri.

Perjuangan untuk THR tersebut juga dituangkan di program tuntutan SOBSI pada 1955, yang isinya sebagai berikut:

  1. Mendesak kepada Pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang mewajibkan para pengusaha partikulir untuk membajar tundjangan Hari Raya tahun 1955 kepada kaum buruh
  2. Mendesak kepada Pemerintah untuk memberikan tundjangan Hari Raya kepada segenap kaum buruh negeri, baik kepada pegawai jang digaji menurut Peraturan Gadji Pegawai Negeri (PGP), buruh otonoom, pamong desa, pegawai non-aktif, kaum pensiunan, tentara dan polisi
  3. Menjerukan kepada semua kaum buruh, baik anggota maupun bukan anggota SOBSI, supaya lebih mempererat persatuan dan kerdja-sama serta memperhebat perdjuangan untuk berhasilnja tuntutan tundjangan Hari Raya tahun 1955 dan selandjutnja.

Pemerintah akhirnya mulai mengakui tuntutan atas THR. Pada tahun 1954 terbit Peraturan tentang “persekot hari raja”. Tuntutan buruh THR adalah sebagai hak, disini THR diberikan dalam bentuk “persekot”. Artinya THR menjadi seperti pinjaman yang harus diangsur oleh kaum buruh. Kemudian saat S.M Abidin menjadi menteri perburuhan keluar Surat Edaran (SE) no. 3676/ 54 tentang Hadiah Lebaran. Surat ini berisi anjuran kepada pengusaha swasta untuk secara sukarela memberikan “hadiah Lebaran”. Isi SE tersebut diulang sama persis di Surat Edaran no 28/ PK/ 55 tertanggal 9 Maret 1955 tentang Pembajaran istimewa Lebaran. Istilah “hadiah Lebaran” diganti menjadi “pembajaran istimewa Lebaran” menunjukan ada upaya untuk menegaskan bahwa THR bukan sekedar “hadiah”. Namun SE tersebut tidak membawa perubahan karena sifatnya anjuran.

Selain dengan demonstrasi, tuntutan THR juga diperjuangkan lewat Panitya Penjelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Terdapat dua keputusan P4P yang menjadi rujukan yaitu Putusan P4P nomor 4/ 58/ IX/ 03/ m tertanggal 26 Juni 1958 yang menetapkan bahwa telah menjadi kebiasaan buruh-buruh diberikan hadiah Lebaran sebesar dua bulan upah yang dibayarkan dua kali. Serta Putusan P4P nomor 15/ 58/ IX/ 03/ 2 tertanggal 28 Juni 1958 yang memutuskan pemberian THR sebesar 13 hari upah dan dilakukan untuk hari raya Idul Fitri dan Imlek. Sejak tahun 1959 Kementerian Perburuhan di bawah Ahem Erningpradja mengeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan no 1/ 1961 tentang Tundjangan Hari Raya Lebaran. Menurut Peraturan 1961 ini, THR menjadi hak buruh yang mempunyai hubungan kerja sekurang-kurangnya 3 bulan tidak terputus. Pada tahun 1964, melalui SE ditetapkan bahwa pegawai pemerintah juga berhak mendapatkan THR.

Rejim Militer Soeharto yang berdiri dengan menghancurkan gerakan buruh progresif, khususnya SOBSI awalnya masih mengakui THR sebagai hak buruh. Perubahan terjadi secara formal sejak 1969 dengan terbitnya Undang-undang no 14/ 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja. Semua ini seiring dengan kembalinya cengkraman Imperialisme. Lewat SE no 2877/ M/ 1972-1290/ DD.II/ M/ 72 tertanggal 27 November 1972, Menteri Tenaga Kerja Mohammad Sadli mempermasalahkan THR, THR bukan lagi hak buruh melainkan hambatan dalam menarik dan membebani investor. Periode 1970an tuntutan akan THR hilang dalam dunia perburuhan dan ketiadaan THR kemudian dianggap “normal”.

Industrialisasi pada era 1980an melahirkan kaum buruh yang kemudian mulai menyuarakan tuntutan-tuntutan haknya. Sepanjang 1989 hingga 1993 terjadi lonjakan pemogokan yang memuncak pada 1994. Pemogokan sepanjang 1993-1994 didominasi oleh tuntutan ekonomi dan persoalan tuntutan atas THR berada di posisi kedua setelah tuntutan atas upah. Terbesar adalah pemogokan di Medan pada April 1994.

Perjuangan untuk THR pada masa itu mampu membongkar cengkraman dan borok politik Rejim Militer Soeharto di dunia perburuhan. Rejim Militer Soeharto kemudian mencoba meredamnya dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) no PER-04/ MEN/ 1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan. Isi Permenaker tersebut hanya berbeda dengan peraturan sebelumnya dalam dua hal: buruh kontrak yang hubungan kerjanya berakhir sebelum jatuh tempo THR tidak berhak atas THR dan pengusaha dapat meminta pengecualian untuk melepas kewajiban membayar THR.

ditulis oleh Yansen | Anggota FSPEK-KASBI

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 46, I-II Juli 2018, dengan judul yang sama.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: