Opini Pembaca

Elit Papua dan Perjuangan Rakyat Papua

Dalam empat tahun belakangan ini, kita saksikan aksi merebak di seantero tanah Papua: mulai dari aksi menentang rasisme tahun 2019 lalu, aksi penolakan Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II, hingga aksi massa besaran-besaran yang sekarang (2022) pecah di Manokwari, Jayapura, Paniai, Yahukimo, Wamena, hingga Sorong telah menunjukan kepada kita betapa maha dahsyatnya dan tak tertandingi kekuatan dari massa rakyat itu sendiri. Sayangnya dalam beberapa momentum yang kita saksikan terjadi beberapa kekeliruan yang terjadi, terutama dalam hal pandangan mengenai siapa musuh rakyat dan bagaimana melawannya.

Sebagai contoh, dalam aksi menentang rasisme tahun 2019 misalnya, di tingkatan mahasiswa Papua yang berkuliah di luar Papua, terutama di daerah Jawa dan Bali terjadi dualisme pandangan, di satu pihak mendukung agar mahasiswa Papua tetap bertahan di Jawa dan Bali sembari tetap melancarkan perlawanan. Sementara di pihak lain, mendesak agar mahasiswa secara serentak melakukan eksodus ke Papua dan melancarkan perlawanan dari Papua. Di kota Yogyakarta, malam itu saya juga hadir dan terjadi perdebatan cukup alot, salah seorang dari pihak yang mendukung eksodus berargumen bahwa “kita punya bapa Gubernur dan DPR sudah bilang kita harus pulang, mereka yang nanti tanggung jawab. Jadi kita mau dengar siapa lagi? ini kita punya bapa sudah bicara.”

Kemudian contoh yang lain, di tahun 2021 bulan Januari, ratusan mahasiswa dan rakyat turun ke jalan melancarkan demonstrasi menolak Otsus, waktu itu saya juga hadir di lapangan. Saya mendengar sendiri salah seorang pimpinan aksi beorasi di hadapan ketua DPR kota Sorong, Petronela Jitmau, bahwa “kami rakyat Papua punya harapan sama ibu, ibu adalah mama kami. Kami kesini bawa aspirasi tolak Otsus, tolong mama perjuangkan aspirasi kami. Mama kami punya harapan”. Dan contoh yang terakhir adalah sekarang, demonstrasi ribuan rakyat dan mahasiswa di Jayapura menentang Pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua, dan salah seorang mahasiswa beraurgumen bahwa “DPRP itu rumah rakyat, jadi kami mau kesana bawa aspirasi kami”. Kemudian ketika rombongan DPRP hadir, massa aksi malah memberi ruang bagi DPRP untuk leluasa menyampaikan pikiran-pikiran mereka dan ditutup dengan tepuk tangan meriah.

Tentunya masih banyak contoh-contoh lain yang bisa kita berikan, namun kita cukupkan di sini, karena beberapa contoh di atas sudah memberi gambaran yang jelas terkait kekeliruan yang kita maksudkan di atas, dan itu adalah kebingungan yang masih menyelimuti kita tentang “siapa sebenarnya musuh rakyat?” apakah elit lokal: Gubernur, Bupati dan DPRP, bahkan yang orang asli Papua adalah kawan seperjuangan rakyat?

Jawaban yang tegas adalah tidak!

Kekuasaan hanya bisa bertahan jika rakyat mematuhinya. Kekuasan kolonialisme Indonesia telah bercokol dan sekarang bertumbuh subur di Papua selama 60 tahun lebih di atas tanah Papua itu 100% karena ada rakyat Papua yang mau menyediakan tulang belakangnya sebagai “rell” penghubung kekuasaann kolonial. Carla Matuan dalam catatannya “Sistem Birokrasi Kolonial dan Kemerdekaan Bangsa Papua” menjelaskan tentang bentuk sistem birokrasi pemerintahan kolonial Indonesia yang hari ini dipraktekan di Papua itu merupakan bentuk pewarisan dari sistem birokrasi lama yang dipraktekan oleh kolonialisme Belanda saat menjajah Indonesia dulu.

“Jarak Belanda dan Indonesia yang cukup jauh” tulis C. Matuan “tidak memungkinkan terjadinya pemerintahan secara langsung, untuk itu pemerintah Belanda membentuk sistem birokrasi ini agar memiliki ‘kaki tangan’ untuk membantu menjalankan kepenguasaannya. Pemerintah sipil pribumi merupakan penghubung yang efektif antara rakyat pada umumnya dengan pemerintah Belanda. Maka dari itu, Belanda mulai membangun kerjasama dengan Pangreh Praja Indonesia. Belanda yang menganggap dirinya penakluk pada saat itu menganggap dirinya memiliki kekuasaan feodal atas daerah yang ditaklukkannya. Dengan membangun stigma-stigma tersebut, para Pangreh Praja [elit lokal] mulai dipengaruhi untuk bekerja sama dengan mereka melalui perjanjian-perjanjian yang nantinya akan menguntungkan Pangreh Praja. Dan inilah awal mula munculnya elit-elit birokrasi [lokal]. [1]

Dalam penjelasan selanjutnya C. Matuan menerangkan bahwa setelah kemerdekaan Indonesia, dan kemudian dalam upaya selanjutnya untuk menjajah Papua, maka pola yang dipakai adalah seperti perlakuan Belanda dulu, yakni memakai Pangreh Prajanya Papua sebagai “kaki tangan” untuk memuluskan ambisinya menduduki Papua. Argumen ini benar, sebab dalam banyak catatan menunjukan bahwa elit-elit atau raja-raja tradsional bentukan Belanda [2] kemudian dikonsolidasikan dengan todongan senjata, dikarantina, dan melakukan kesepakatan-kesepakan yang saling menguntungkan, lalu kemudian memanipulasi Penentuan Pendapat Rakyat 1969 agar sesuai dengan keinginan Indonesia.

Setelah PEPERA, pola yang sama kemudian dikembangkan dan terus diperbaharui. Khusus selama masa kekuasan Orde Baru yang dikendalikan oleh imperialisme telah, di satu sisi menghambat indsutrialisasi nasional Indonesia, namun di sisi lain tetap mendorong pertumbuhan borjuasi nasional yang sejak lahir memiliki sifat sebagai mahluk politik yang merupakan borjuasi komprador. Konsekuensi dari hal ini adalah borjuasi nasional Indonesia tumbuh dalam kondisi yang tidak semestinya dan sangat lemah, sehingga satu-satunya yang dilakukan dalam rangka menjaga Papua dalam bingkai Indonesia adalah dengan kekuatan bersenjata serta sembari tetap menjaga ‘hubungan baik’ dengan para elit-elit lokal Papua dengan melakukan kesepakatan-kesepakan yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

Setelah Suharto berhasil digulingkan oleh kekuatan massa rakyat pada tahun 1998, terjadi perubahan dinamika politik terutama dalam hal demokrasi yang terbuka lebar. Merespon ini tuntutan rakyat Papua mengenai kemerdekaan yang selama masa kekuasan Suharto dibungkam habis-habisan kembali mendepat ruang yang cukup bebas. Ribuan rakyat di seluruh tanah Papua memobilisasi diri, turun ke jalan, dan menyatakan dengan bulat Papua harus merdeka! Melihat dinamika yang berkembang, tidak mau ketinggalan, elit-elit lokal Papua yang selama masa kekuasaan sebelumnya hanya mendapat “jatah makan” setengah, kemudian mencari panggung di atas tuntutan rakyat yang diusung.

Hal ini bisa kita saksikan, sebagai contoh, elit lokal (Ondofolo) yang dulunya bekerja sebagai ‘kaki tangan’ Indonesia, Theys H Elluay. Theys semasa pencaplokan Papua ia adalah Ondolo yang memiliki kedekatan dengan TNI dan Polisi, ia membantu menunjukan orang-orang Papua yang pro merdeka. Sebagai akibatnya ada begitu banyak orang yang dibunuh atas perantaranya. Pada tahun 1969, Theys termasuk 1025 orang yang ditunjuk ikut Pepera versi Indonesia. Kemudian pada tahun 1971 Theys dihadiahi kursi DPR oleh Parkindo dan kemudian Golkar karena kerjanya membantu Indonesia menganekisasi Papua. [3]

Ketika gerakan rakyat berkembang, Tehys lalu mencari panggung dengan mengatakan bahwa “dulu saya adalah Saul sekarang saya adalah Paulus”. Gerakan rakyat lalu terkonsolidasi di bawah kepemimpinannya, namun watak dasar borjuasi yang plin-plan membuat Theys tidak konsisten, akibatnya kompromi-kompromi dilakukan, hingga hari terakhir hidupnya membuktikan bahwa Theys sedang bermain dua kaki dengan menghadiri pertemuan militer Indonesia.

Selain Theys, JP Solossa yang pada saat itu menjabat Gubernur Papua menyaksikan sendiri perjuangan berdarah-darah rakyat Papua menuntut kemerdekaan, namun bukannya memperjuangkan aspirasi rakyat, JP Solossa justru mematuhi kemauan Jakarta untuk menyingkirkan aspirasi merdeka dan menyetujui Otsus program kolonial Indonesia untuk meredam aspirasi merdeka.

Selepas JP Solossa, ada Abraham Atururi, Bernabas Suebu, Lukas Enembe, Yan Mandenas, dan segala macam elit lokal Papua yang tumbuh menjadi pelayan kolonial. Bernabas Suebu ketika menjabat Gubernur Papua memuja-muji Indonesia, semua aspirasi rakyat untuk merdeka diabaikan bahkan dilucuti, namun setelah masa jabatnya berakhir si plin-plan ini lalu berbusa-busa ngomong menyesal bergabung dengan Indonesia.

Lukas Enembe, di kampung Harapan, Sentani tanggal 24 September 2018, saat melakukan acara pelantikan bupati Puncak Jaya, Lukas berjanji di hadapan rakyat Papua bahwa apabila satu orang Papua lagi ditembak oleh militer Indonesia maka dirinya akan melapor langsung ke PBB. Dua bulan setelahnya, militer Indonesia melancarkan operasi besar di Nduga, 241 orang dinyatakan tewas akibat operasi ini [4]. Namun hingga detik ini, jangankan melapor PBB, mengurus nasib pengungsi dan menekan Jakarta untuk menarik militer saja tidak mampu ia lakukan.

Selain Lukas Enembe ada juga badut-badut Jakarta, DPR. Mereka ini, terlalu banyak kebiasan yang mereka lakukan. Menulis satu-satu dalam artikel ini bisa memakan 200 halaman pun tidak akan selesai-selesai. Namun untuk memperkuat argumen kita, maka satu contoh harus kita berikan. Contoh ini adalah di tahun 2021 ketika masa pemberlakuan Otsus berakhir. Rakyat Papua mulai dari Sorong hingga Merauke secara bulat, lewat Petisi Rakyat Papua (PRP) yang di dalamnya tergabung 113 Organisasi yang mewakili 718.179 penduduk asli Papua dengan tekad yang tulus dan jujur membubuhkan tanda tangan basah menolak keberlanjutan Otsus dan mendesak Jakarta untuk segera menggelar referendum. Bukan hanya tanda tangan, demontrasi jalanan juga dilancarkan di seluruh teritori Papua. Bahkan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang menurut kontitusi Indonesia adalah ‘suara rakyat’ juga telah mengakui bahwa rakyat Papua tidak lagi menerima Otsus.

Namun apa tanggapan DPR kita yang terhormat ini? Mereka sama sekali, jangankan menerima, memikirkan aspirasi rakyat saja tidak sama sekali terlintas di otak dangkal mereka. Yang mereka lakukan adalah memobilisasi pertemuan diam-diam di Keerom yang dipimpin oleh Agustinus Tenau dan menghasilkan resolusi-resolusi yang….. sampai hari ini rakyat tidak tahu. Di atas mereka di tingkatan DPR-RI ada Yan Mandenas yang menjadi Wakil Tim Pansus Otsus jilid II. Menurut pengakuan Yan Mandenas sendiri, yang mendukung keberlanjutan Otsus adalah tingkatan elit poltik Papua, sementara rakyat menolak. [5]

Dan sekarang, di saat terjadi pengungsian besar-besaran, penembakan siswa SD, operasi  militer, penggundulan hutan, HIV/AIDS, dan 1001 macam penderitaan yang dialami oleh rakyat Papua, bukannya mengurus ini-persoalan rakyat, mulai dari DPR hingga bupati, yang ada di kepala mereka, yang ada di aktivitas mereka adalah pemekaran harus segera dilakukan di Papua. Inilah mereka, inilah elit lokal kita, bahkan yang kulit hitam rambut keriting, bukan kepada rakyat mereka mengabdi, tetapi hanya kepada kepentingan mereka dan kepentingan tuannya penjajah darah juang mereka.

Pemekaran-pemekaran yang hari ini getol dipaksakan ke Papua 100% adalah murni aspirasi elit-elit lokal. Sebagaimana telah dicatat oleh I Ngurah Suryawan dalam bukunya “Jiwa Yang Patah” bahwa pemekaran adalah arena pertarungan kekuasan elit-elit lokal yang rakus kekuasaan untuk memperebutkan posisi (birokrasi) di pemerintahan. Hal ini benar karena sesuai dengan aspirasi Bupati//Walikota se-tanah Papua dalam polemik Otsus. Para rakus kekuasaan ini mendukung Otsus disahkan dengan catatan harus ada pemekaran di tanah Papua. Jadi, jelas, saya ulangi bahwa hadirnya pemekaran adalah kesepakatan yang saling menguntungkan antara elit lokal dan Jakarta.

Sehingga dalam perjuangan apapun, termasuk pemekaran atau Otsus, bahkan lebih tinggi kemerdekaan, jangan pernah sekali-kali menggantungkan nasib kepada elit-elit atau lebih tepatnya antek lokal ini. Mereka ini, sebagaimana dikatakan Pdt Beny Giay, adalah “anak didik” pemerintah kolonial Indonesia yang bermental korup dan serakah. Antek kolonial inilah yang kemudian menjadi “wajah Jakarta”, jejaring, agen-agen yang membuat kebijakan dan kemauan pemerintah Indonesia yang tak terduga bisa hadir dan berjalan di Papua. [6] Dan hasilnya kolonialisme Indonesia masih bercokol di Papua hingga saat ini.

Perlawanan Kita

Eksploitasi, penghancuran, dan peminggiran yang berlangsung sejak 1961 hingga saat ini di Papua jelas merupakan akibat langsung dari penjajahan. Dan penjajahan di Papua 100% akar yang melandasi itu ialah kepentingan ekonomi-politik yakni kapitalisme. Sehingga dalam perjuangan menggulingkan kapitalisme, seperti yang gemar dipidatokan oleh Fred Hampton “kapitalisme tidak bisa dilawan dengan kapitalisme hitam” kapitalisme hanya bisa digulingkan dengan perlawanan di luar itu, sosialisme.

Dalam konteks West Papua, kapitalisme menggunakan negara sebagai instrumen untuk melanggengkan ambisi mereka. Pendidikan, media massa, polisi, hukum, termasuk juga parlemen (DPR) adalah alat yang digunakan untuk mengaburkan, bahkan dalam banyak kasus untuk menghancurkan gerakan perlawanan dari rakyat. Sehingga dalam perlawanan menggulingkan tirani ini, kita tidak bisa menggunakan instrumen negara, karena negara Indonesia hari ini bukanlah institusi yang netral, tapi ia merupakan alat penindas rakyat kecil yang miskin dan teraniaya seperti di Papua.

Dan solusi bagi hal ini adalah pembanguan kekuatan politik alternatif milik rakyat. Kemenangan yang kita dambakan, yakni kemerdekaan 100% itu, tidak akan tercapai apabila perlawan yang kita lancarkan masih berharap “kekuatan dari luar”–bukan kekuatan rakyat sendiri, terkotak-kotakan atau tercerai-berai. Kita akan menang apabila perlawanan kita adalah perlawanan yang sadar, terdidik, dan terpimpin di bawah satu kepemimpinan alternatif tunggal yang tepat.

Dan langkah pertama untuk mencapai itu adalah rakyat harus secara politik aktif. Ini berarti rakyat West Papua harus (mulai dari sekarang) melibatkan diri dalam organisasi perlawanan. Mau tidak mau setuju tidak setuju, hanya ini satu-satunya jalan menuju kemenangan. Sebab kapitalisme menindas West Papua secara teroganisir, maka perlawanan terhadapnya juga harus pula teroganisir.

V. Lenin pada tahun 1904 menegaskan bahwa dalam melancarkan perlawanan satu-satunya senjata yang dimiliki oleh kelas buruh (rakyat tertindas) adalah organisasi. Sejarah perlawanan di berbagai belahan dunia, terutama Indonesia dalam mengusir kolonialisme sudah membuktikan tesis Lenin di atas. Max Lane dalam bukunya “Unfinished Nation” menunjukan, kita kutip lengkapnya:

“Identitas baru mendominasi segala hal—tak saja gagasan-gagasannya tapi juga metodenya. Pemberontakan bersenjata melawan Belanda, yang biasanya di bawah pimpinan bangsawan atau pemimpin agama merupakan peristiwa regular selama 300 tahun lalu. Sekarang, perubahan revolusioner sedang terjadi. Organisasi buruh dan kaum tani sedang berkembang, yang diorganisasi untuk membela kepentingan-kepentingan mendesak mereka. Serikat-serikat yang tumbuh di kalangan kelas buruh kecil perkotaan menjadi bahan bakar di balik banyaknya Gerakan anti kolonial sepanjang tahun 1920-40an. Kaum tani juga teroganisasi dan senjata mereka secara umum bukan pedang, tombak, dan senapan. Senjata mereka adalah koran dan majalah, selebaran, poster, arak-arakan, atau pawai jalan, rapat akbar, pertemuan massal, mogok, dan boikot. Gagasan-gagasan, yang diungkapkan dengan kata-kata dan organisasi merupakan senjata-senjata baru, serta setiap gagasan baru yang diambil dari semua revolusi, diuangkapkan dalam pidato pemimpin-pemimpin baru.” [7]

Tentunya dalam beberapa kondisi berbeda dengan West Papua saat ini, namun secara umum, yakni peran organisasi sebagai SENJATA kaum tertindas melawan tirani tidak bisa dibantah kemutakhirannya. Lewat organisasi, selain kekuatan rakyat akan terikat, tersatukan, dan tersusun rapih, tetapi juga lewat organisasi kesadaran borjuis yang mendominasi secara perlahan, lewat diskusi, bacaan revolusioner, aksi massa, menulis, dsb, akan terkikis dan kesadaran massa akan bergerak menjadi matang dan sadar. Karena seperti kata John Percy “Tidak ada diantara kita yang dapat memahami gambaran secara keseluruhan sendirian, apalagi merubahnya sendirian. Jadi kita membutuhkan usaha kolektif dari sebuah partai [organisasi] untuk memiliki kesempatan yang lebih baik”.

Front Persatuan dan Partai Revolusioner.

Persatuan antar elit Papua dan Indonesia serta tuannya kapitalis internasional harus dilawan dengan persatuan rakyat. Dengan front persatuan. Mengumpulkan sebanyak mungkin kekuatan; buruh, tani, mahasiswa, mama-mama pasar, dan seluruh rakyat terindas di Papua untuk memukul balik tirani.

Front Persatuan dimaksudkan, dan memang hanya diperuntukan untuk mengikat massa dari berbagai elemen organisasi yang berbeda untuk memperjuangkan tuntutan-tuntutan mendesaknya. Di West Papua tak terelakan lagi, belum terlaksanannya revolusi demokratik nasional atau hak orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri serta diperparah oleh kekejaman rezim membuat tuntuan kemerdekaan menjadi kian menggema dan menjadi tuntutan mendesak hari ini di Papua.

Sejak tahun 1961 berbagai metode persatuan–front berganti front sudah dilakukan demi menyatukan kekuatan rakyat. Sayangnya berbagai front ini kemudian kandas dan tidak mengantarkan rakyat untuk mencapai kemenangan, bahkan tuntutan ‘kecil-kecil’ pun jarang sekali dimenangkan. Berbagai evaluasi dari front-front tersebutkan sudah banyak dikemukan oleh kamerad-kamerad kita seperti Jhon Gobay, Jefry Wenda, dsb. [8] Dan kesimpulannya adalah, ke depan front yang mesti dibangun oleh rakyat ialah, harus bediri di atas persatuan yang demokratik, mandiri, dan kerakyatan. Ini berarti front persatuan yang bukan seperti ULMWP versi sekarang yang bertumpu hanya pada tiga faksi dan tidak melibatkan partisipasi luas dari rakyat dan tidak demokratis, tidak membuka ruang debat dan mengajukan pendapat. Tidak juga front yang dibangun untuk tujuan berharap kemerdekaan dari luar–bukan mendorong rakyat sebagai pelaku utama revolusi demokratik.

Front yang dibangun kemudian harus diwujudkan dalam aksi massa. Karena dengan aksi massa, rakyat yang terlibat dapat belajar dan sadar mengenai kekuatannya yang dibangun secara kolektif . Tetapi juga massa akan meninggalkan perasaan inferioritas—rendah diri, tidak berdaya, dan semakin percaya diri bahwa mereka bisa—kekuataan rakyat, kekuatan mayoritas itu adalah kekuatan maha dahsyat dan mampu menghancurkan tirani.

Tentunya, dan juga pengalaman kita selama 60 tahun berjuang sudah memberi pelajaran penting bahwa perlawanan pastilah mengalami pasang surut, tetapi juga menunjukan bahwa front persatuan bukan berarti semua yang terlibat harus seiya sekata. Dalam banyak kasus kelompok-kelompok reformis juga banyak yang telah mengkhianati perjuangan. Dan ini telah memberi gambaran yang jelas, bahwa bersatu saja tidak cukup, kita membutuhkan satu kepemimpinan revolusioner yang kuat, yang bukan hanya berfungsi untuk menajamkan persepektif massa yang telah disatukan, tetapi juga dengan program revolusionernya mampu memimpin rakyat Papua menuntaskan tugas historisnya, yakni kemerdekaan 100%. Dan kepemimpinan itu hanya terkandung di dalam diri sebuah partai Marxis-Leninis.

Kenapa Harus Partai Revolusioner?

Bruce Landau dalam Lenin dan Partai Bolshevik menerangkan bahwa “kelas buruh tidak dapat mencapai sebuah pemahaman yang jelas terhadap sistem kapitalis, posisinya sendiri dalam sistem tersebut, dan langkah-langkah mana yang harus diambil untuk menghancurkan sistem tersebut serta tidak dapat menghantarkan massa depan komunis jika kaum Marxis tidak membantu merealisasikannya. Pengalaman-pengalaman perjuangan ekonomi melawan majikan-majikan individu, yang mereka laksanakan sendiri, tidak dapat menggantikan kerja kaum Marxis disini. Tanpa intervensi yang sadar dari kaum Marxis, perjuangan klas itu sendiri akan menciptakan sebuah gerakan massa berkemampuan melancarkan “perjuangan serikat buruh”, perjuangan untuk (menuntut definisi Lenin) “mengamankan” (bagi buruh)…tindakan-tindakan untuk mengurangi keadaan sukar yang muncul dari kondisi mereka, namun tidak menghilangkan kondisi [akar], yaitu, tidak menyingkirkan penundukan buruh atas kapital.” Lenin bahkan menegaskan bahwa tidak ada pilihan ketiga, jika tidak ada isian revolusioner maka akan membawa massa pada dominasi ideologi borjuis.

Isian revolusioner berarti berhubungan dengan adanya partai revolusioner. Dalam konteks West Papua, dalam front persatuan, apabila tidak ada isian revolusioner maka front akan bergerak menuju ideologi borjuis. Dengan demikian, kemenangan yang didambakan akan semakin jauh.

Sehingga dengan demikian, tidak ada yang lebih mendesak bagi kita kecuali bangun persatuan nasional dan bangun alat politik alternatif milik rakyat, yakni partai revolusioner!

ditulis oleh Sharon Muller, anggota Lingkar Studi Sosialis dan kader Perserikatan Sosialis

Referensi:

  1. Carla Matuan “Sistem Birokrasi Kolonial dan Kemerdekaan Bangsa Papua” Koran Kejora 2020. Diakses dari https://korankejora.blogspot.com/2020/04/sistem-birokrasi-kolonial-dan.html, pada 11 Maret 2022.
  2. Baca; Rosmaida Sinaga “Massa Kuasa Belanda Di Papua 1898-1962”, Komunitas Bambu 2013.
  3. At Ipenburg “The Life and death of Theys Eluay” Inside Indonesia 2007. Diakses dari https://www.insideindonesia.org/the-life-and-death-of-theys-eluay, pada 12 Maret 2022.
  4. Tirto Id “Nestapa Nduga Selama 2019: 37.000 Orang Mengunsi, 241 Orang Tewas”.  Diakses dari: https://tirto.id/nestapa-nduga-selama-2019-37000-orang-mengungsi-241-orang-tewas-epPx , pada 12 Maret 2022.
  5. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia “Tim Pansus DPR RI Memahami Pro Kontra Otsus” 2021. Diakses dari “https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/32819/t/Tim+Pansus+DPR+RI+Memahami+Pro+Kontra+Revisi+UU+Otsus+Papua, pada 13 Maret 2022.
  6. I Ngurah Suryawan “Jiwa Yang Patah; Rakyat Papua, Sejarah Sunyi, dan Antropologi Reflektif’. Basa-Basi 2019, Hal: 197 .
  7. Max Lane “Unifinished Nation; Ingatan Revolusi, Aksi Massa, dan Sejarah Indonesia”. Penerbit Djaman Baroe 2021, hal 49.
  8. Baca “Persatuan Nasional Papua Barat” yang diterbitkan oleh Biro Agitasi dan Propaganda Aliansi Mahasiswa Papua 2022.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: