Perspektif

Menentang Agresi Rusia, Mengkritisi Ukraina, dan Menolak NATO-AS-Uni Eropa

Kamis (24/2/2022) Rusia melancarkan operasi militer menginvasi Ukraina dengan pasukan-pasukan bersenjata yang sebelumnya disiagakan di perbatasan. Invasi ini diikuti serangan-serangan udara dari pesawat-pesawat tempur Rusia terhadap bangunan-bangunan militer Ukraina. Tank-tank Rusia juga merangsek maju melalui perbatasan Belarusia. Tiga hari sebelumnya, pemerintah Rusia mengklaim bahwa pembombardiran Ukraina telah menghancurkan fasilitas perbatasan Dinas Keamanan Federal Federasi Rusia dan menewaskan lima prajurit Ukraina yang berusaha menyeberang ke wilayah Rusia, klaim yang ditampik pemerintah Ukraina dan dicap sebagai berita palsu. Senin yang sama (21/2/2022) pemerintah Rusia akhirnya mengakui kedaulatan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk. Dua negara baru yang memisahkan diri dari Ukraina setelah gelombang protes besar-besaran Euromaidan, aksi massa pro-Uni Eropa dan anti-Rusia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Sabtu (27/2/2022) mengonfirmasi setidaknya 64 rakyat sipil tewas dan 240 cidera, dan menurut Badan Pengungsi PBB pada Minggu (28/02/2022) 368 ribu warga Ukraina mengungsi ke Polandia dan negara-negara tetangga lainnya. Sementara itu ada 138 warga Indonesia yang saat konflik berlangsung sedang di Ukraina, menurut Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Indonesia, dan diarahkan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kyiev.

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, menerapkan darurat militer, memutuskan hubungan diplomatis dengan Rusia, dan memerintahkan mobilisasi umum. Negara-negara Uni Eropa (UE) dan AS, termasuk sekutu-sekutu keduanya, ditambah berbagai badan internasioal, banyak menjatuhkan sanksi-sanksi terhadap Rusia, untuk memprotes agresi militernya. Sebagian sanksi itu sudah dimulai sejak tahun 2014 pada pencaplokan Krimea. Tahun 2022, Korea Selatan dan Taiwan, untuk pertama kalinya kemudian ikut menjatuhkan sanksi ke Rusia. Pemerintah Rusia lalu menerapkan sanksi-sanksi balasan.

Muasal Konflik

Konflik Ukraina vs Rusia tidak bermula hanya sekadar pada Perang di Donbass, Euromaidan vs Antimaidan, dan merangseknya NATO dan UE ke Eropa Timur, namun berkaitan langsung pada dua babakan besar. Pertama, bangkitnya kediktatoran birokrat Stalin. Kedua, akhir Perang Dingin serta sekitar pembubaran Uni Republik-Republik Dewan Pekerja Sosialis atau Uni Soviet. Ukraina, sebagai negara modern, muncul setelah penumbangan imperialisme Tsar Rusia, dan setelah berbagai gelombang revolusi, perang sipil, dan perang melawan kontra-revolusi, berdiri sebagai Republik Dewan Pekerja Sosialis Ukraina pada 10 Maret 1919. Uni Soviet, dalam rangka menghancurkan rusiaisasi yang dulu diterapkan imperialisme Tsar Rusia, mengampanyekan kebijakan Korenizatsiya atau pengakaran. Sedini tahun 1923, bahasa dan budaya, termasuk kebangsaan, yang dulunya ditindas Tsar kemudian dianjurkan, bahkan diajarkan secara formal di institut-institut pendidikan setempat, serta didorong maju. Pribumi atau warga lokal dipromosikan untuk berpartisipasi sebanyak mungkin di pemerintahan Soviet di satu sisi sementara di sisi lain petugas-petugas Rusia yang diutus bekerja di sana diwajibkan menggunakan atau mempelajari bahasa setempat. Bahkan beberapa bangsa kecil yang tidak memiliki bahasa tulis dibantu Komite Utara menciptakan huruf-hurufnya sendiri agar bahasa setempat bisa diajarkan di sekolah-sekolah dan literasi dibangun tinggi di masyarakat setempat. Kebijakan ini diberlakukan bukan hanya bagi negara-bangsa non-Rusia yang menjadi anggota Uni Soviet, namun juga terhadap semua etnis yang hidup di dalamnya. Termasuk Dewan Komisar-Komisar Rakyat Ukraina yang menjalankan proses Ukrainisasi. Migrasi etnis Ukraina ke kota-kota meningkat seiring peningkatan persentasi melek huruf dari demografi itu. Penggunaan bahasa Ukraina meningkat, 97% pelajar sekolah atas dididik dalam bahasa Ukraina, dan angka melek huruf dari 53% di tahun 1926 meningkat jadi 92% di tahun 1934. Seiring bangkitnya kediktatoran birokrat di Uni Soviet dan pemusatan kekuasaan di kubu Stalin, program Korenizatsiya ini distop antara 1933 dan 1938, kemudian sepenuhnya diputarbalikkan setelahnya. Supremasi Rusia oleh kediktatoran birokrat ironisnya secara langsung menanam benih-benih nasionalisme Ukraina sebagai bangsa tertindas yang ingin memerdekakan dirinya sendiri.

22 Juni 1941 pasukan-pasukan NAZI-Jerman menginvasi Uni Soviet. Mayoritas rakyat-pekerja Ukraina tergabung dalam Tentara Merah dan berjuang mati-matian melawan kaum fasis dari negara-negara Poros. Kyiev disebut sebagai kota pahlawan karena perlawanan gigihnya dimana lebih dari 600 ribu pejuang Soviet tewas atau tertangkap. Meskipun demikian, di luar kelompok itu, gerakan Ukrayins’ka Povstans’ka Armiya (UPA) atau Tentara Pemberontak Ukraina terbentuk. Sayap militer Orhanizatsiya Ukrayins’kykh Natsionalistiv (OUN) atau Organisasi Nasionalis Ukraina yang awalnya diorganisir di Polandia, merupakan organisasi reaksioner dan fasistis yang menginginkan pendirian Ukraina sebagai negara etnis. UPA membantai lebih dari 100 ribu orang anggota etnis Polandia di Volhynia dan Galicia Timur. Meski tujuan mendirikan negara etnis Ukraina bertentangan dengan rencana NAZI Jerman namun demi sama-sama melawan Tentara Merah, UPA, setidaknya faksi Andriy Melnyk, bekerjasama dengan pasukan NAZI. Meskipun demikian, dibandingkan Tentara Merah, nasionalis reaksioner ini minoritas. Jumlah tentara UPA paling sedikit 15 ribu dan paling banyak 100 ribu orang. Sedangkan gerilyawan partisan pro-Soviet Ukraina yang berjumlah antara 47 ribu hingga 500 ribu jiwa dimana lebih dari setengahnya adalah etnis Ukraina. Belum termasuk etnis Ukraina yang berjuang di Tentara Merah: antara 4,5 juta hingga 7 juta jiwa. Setelah meninggalnya Stalin, Nikita Khrushchev menjadi pemimpin baru Uni Soviet. Ex-Ketua Pertama Partai Komunis Republik Dewan Pekerja Sosialis Ukraina ini, membangun kembali hubungan persahabatan antara Ukraina dan Rusia. Tahun 1954, semenanjung Krimea ditransfer dari teritori Republik Dewan Pekerja Sosialis Rusia menjadi teritori Republik Dewan Pekerja Sosialis Ukraina. Dasawarsa itu pula Ukraina tingkat industri dan produksinya tumbuh melampaui masa pra-perang, hampir seperlima anggaran Soviet ditanamkan di Soviet Ukraina, dan menghasilkan peningkatan angkatan kerja 33,2% dari tahun 1940 ke 1955. Soviet Ukraina menjadi pemimpin produksi industri Eropa dan pusat penting riset teknologi canggih maupun industri persenjataan Uni Soviet. Banyak tokoh Ukraina kemudian menjadi pemimpin Uni Soviet, seperti Leonid Brezhnev.

Meskipun demikian, fakta dasar tetap berlaku: sosialisme membutuhkan demokrasi proletar agar bisa hidup sehat. Kemakmuran ekonomi dan kemajuan teknologi Ukraina tidak bisa menggantikan ini. Benih-benih pemisahan diri Ukraina masih hidup. Kaum reaksioner dan imperialisme paham betul hal ini, serta mengusahakan segala cara untuk memupuknya dalam konteks Perang Dingin saat itu. Office of Strategic Service (OSS) yang kemudian menjadi Central Intelligence Service (CIA) alias agen mata-mata Imperialis AS sudah semenjak menjelang berakhirnya PD II membangun jaringan anti-Soviet Ukraina. Mereka bekerjasama dengan Dewan Pembebasan Agung Ukraina (zpUHVR) yang didirikan OUN untuk menggulingkan pemerintah. Operasi itu berjalan terus seiring dengan tindakan Imperialis pimpinan AS mensponsori berbagai subversi, kontra-revolusi, invasi, kudeta, termasuk berbagai pembelahan negara ke dalam ranah pengaruhnya. Misalnya Korea dan Jerman. Republik Korea atau Korea Selatan dideklarasikan pada 15 Agustus 1948 secara sepihak, padahal sebelumnya pada Desember 1945 dibuat komisi gabungan AS-Uni Soviet untuk mendiskusikan masa depan Korea dan AS yang menganggap pendiskusian buntu menyerahkannya ke PBB. PBB menyarankan pemilu di Korea yang diawasi PBB. Tidak ada upaya renegosiasi, pihak Selatan menyelenggarakan pemilunya dan mendirikan pemerintahannya sendiri. Republik Demokratik Rakyat Korea atau Korea Utara kemudian memproklamasikan diri pada 9 September 1948.  Hal serupa terjadi dengan Jerman. Republik Federal Jerman atau Jerman Barat didirikan pada 23 Mei 1949 sementara Jerman Timur baru diproklamasikan pada Oktober 1949. 10 Maret 1952 Stalin menawarkan proposal reunifikasi Jerman dengan syarat sebagai negara harus netral secara politis, proposal ini ditolak, dan mereka lebih menghendaki mempertahankan Jerman Barat yang direncanakan diikutkan NATO.

Suatu negara buruh terdeformasi yang dikuasai kediktatoran birokrat, seperti Uni Soviet, memang tidak mengalami krisis overproduksi dan siklus boom and bust sebagaimana negara-negara kapitalis. Namun ekonomi perang terus-menerus mengakibatkan pembiayaan dihabiskan untuk militer sementara barang-jasa konsumen dan ranah-ranah ekonomi lainnya kekurangan, diperparah dengan dimasukkannya banyak kebijakan pasar, bangkitnya mafia yang memanfaatkan kesempatan liberalisasi di rezim Nikita Khrushchev, mengakibatkan stagnansi ekonomi Uni Soviet. Mikhail Gorbachev mengklaim hendak menerapkan Glasnost dan Perestroika untuk memperkenalkan kontrol dari bawah namun penerapannya tetap birokratis sehingga tidak memunculkan (kembali) partisipasi rakyat-pekerja dan kontrol buruh.

Stagnansi ekonomi politik Uni Soviet membuat intervensinya di panggung dunia mengecil, termasuk di Blok Timur. Kubu Imperialis Barat memandang era stagnansi ekonomi Uni Soviet sekaligus kepemimpinan Gorbachev sebagai kesempatan untuk menyingkirkan Uni Soviet serta memenangkan Perang Dingin sekali dan untuk selamanya. Ronald Reagan, saat itu Presiden AS, di tahun 1987 berpidato di gerbang Brandenburg, menantang Gorbachev untuk meruntuhkan Tembok Berlin. Gorbachev mengumumkan di tahun 1988 bahwa Uni Soviet akan meninggalkan Doktrin Brezhnev dan memperbolehkan negara-negara Blok Timur menentukan secara bebas urusan dalam negerinya. 9 Februari 1990, James Baker, Menteri Luar Negeri AS kabinet Presiden George H.W. Bush, dalam diskusinya dengan Gorbachev menjanjikan bahwa NATO tidak akan ekspansi ke timur seincipun bilamana Rusia menerima reunifikasi Jerman. Maret 1991, Marsekal Dmitry Yazov, Menteri Pertahanan Uni Soviet, menanyai John Major, saat itu Perdana Menteri Britania, menanyakan kemungkinan negara-negara di Eropa Timur bergabung ke NATO, dan dijawab, “hal semacam itu tak akan terjadi.”

Uni Soviet kemudian dibubarkan 26 Desember 1991, mengabaikan mayoritas rakyatnya yang memvoting agar dipertahankan. Begitu juga Soviet Ukraina. Meskipun referendum 17 Maret 1991 menunjukkan 78% memilih Uni Soviet dipertahankan. Ex-kepala Partai Komunis Ukraina, Leonid Kravhcuk secara sepihak menandatangani perjanjian pembubaran Uni Soviet dan menggelar referendum tentang kedaulatan. Warga Ukraina dijanjikan Republik Soviet Ukraina tetap dipertahankan hanya diubah masuk Persemakmuran Negara-negara Independen. Mayoritas memilih “ya” tapi kemudian ditipu. Kravchuk menjadi presiden Ukraina pertama namun kemudian mempromosikan sauvinisme Ukraina, menerapkan reforma-reforma neoliberal, dan memprivatisasi aset-aset publik. Intinya di Ukraina dan di Rusia sama, restorasi kapitalisme berjalan, negara-negara kapitalis didirikan di atas reruntuhannya, pemerintahannya kemudian dikuasai oligarki, termasuk bekas-bekas pejabat Uni Soviet, dan…berlawanan dengan janji-janji para politisi negara-negara Imperialis, NATO ekspansi ke Eropa Timur maupun ke negara-negara yang dulunya ‘sosialis.’ 12 Maret 1999 Polandia, Ceko, dan Hungaria gabung NATO. 19 Maret 1993, Albania masuk NATO. 29 Maret 2004 Estonia, Slovakia, Bulgaria, Lithuania, Latvia, Romania, dan Slovenia ikut NATO. 1 April 2009, Kroasia masuk NATO. 28 April 2017, Montenegro masuk NATO. 27 Maret 2020, Makedonia Utara gabung NATO.  Total 6 dari 10 negara di Eropa Timur masuk NATO. Sedangkan 15 dari 30 anggota NATO sekarang adalah bekas negara-negara komunis. Bosnia dan Herzegovina, Georgia, dan Ukraina, diakui secara resmi pada 2021 sebagai negara-negara calon anggota NATO.

Mengapa begitu banyak negara-negara Eropa Timur, termasuk bekas negara-negara ‘komunis’ malah masuk NATO, setelah restorasi kapitalisme? Bukankah musuh utama alasan NATO didirikan sudah tidak ada? Uni Soviet sudah bubar dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sudah menempuh jalan kapitalis? Sebab pembubaran Uni Soviet bukan hanya bermakna restorasi kapitalisme namun juga restorasi ambisi teritorial dan geopolitik Rusia. Federasi Rusia menghancurkan Republik Chechnya Ichkeria yang ingin memerdekakan diri di tahun 2000, lalu membantu mendirikan Transnistria di Moldova setelah Perang Transnistria, juga membantu mendirikan Ossetia Selatan dan Abkhazia setelah perang 2008 di Georgia. Negara-negara kapitalis yang menolak bersekutu dengan Rusia, pada akhirnya mencari sekutu ke rivalnya, yaitu negara-negara NATO yang dipimpin Imperialis AS.

Sisi lainnya, ini membuat peta kekuasaan dunia pasca-Perang Dingin tidak lagi unipolar. Hegemoni Imperialis pimpinan AS tidak lagi tak tertantang. Didirikanlah Organizatsiya Dogovora O Kollektivnoy Bezonopasnosti (ODKB) atau Organisasi Traktak Keamanan Kolektif. Rusia, Armenia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, dan Ubekistan pada 15 Mei 1992 menandatangani perjanjian Traktak Keamanan Bersama Persemakmuran Negara-negara Independen, suatu formasi negara-negara bekas soviet. Azerbaijan, Belarusia, dan Georgia lalu ikut tanda tangan pada 1993. Perjanjian ini berlaku lima tahun. 2 April 1999 enam anggotanya menandatangani perpanjangan perjanjian kecuali Azerbaijan, Georgia, dan Uzbekistan. Sebaliknya, Uzbekistan bergabung dengan kelompok GUAM atau Organisasi Pembangunan Ekonomi dan Demokrasi Georgia, Ukraina, Azerbaijan, dan Moldova—yang didirikan pada 1997 dan dipandang untuk menghadapi pengaruh Rusia di Eropa Timur. 7 Oktober 2002 perjanjian pertahanan bersama kemudian diubah menjadi suatu organisasi persekutuan pertahanan dan keamanan bersama yang lebih permanen. ODKB juga membuka ruang keanggotaan bagi negara-negara non-Eropa Timur maupun non-ex-soviet. Tahun 2013 Serbia dan Afghanistan (sebelum berkuasanya kembali Taliban) merupakan anggota pengamat di ODKB. Sedangkan tahun 2007 sebelumnya, Sekjen ODKB, Nikolai Bordyuzha, menyarankan Iran bisa bergabung ODKB dan bila sesuai akan dipertimbangkan penerimaannya sebagai anggota. Dengan demikian NATO tidak bisa sepenuhnya leluasa lagi bergerak bukan hanya di Eropa Timur tapi juga Timur Tengah. Rusia sendiri misalnya sudah melibatkan diri di Timur Tengah dengan mendukung rezim Bashar Al-Assad di Suriah secara politik, ekonomi, dan militer sejak 2011 dan 2015 dengan pengerahan pasukan langsung. Bahkan di Amerika Latin, pemerintahan Nicolas Maduro Venezuela juga menggalang kerjasama militer dengan Rusia. “Kami sudah membahas kerjasama militer yang kuat dan kami telah mengesahkan jalan menuju kerjasama militer secara kuat antara Rusia dan Venezuela…kami akan meningkatkan semua rencana persiapan, latihan, dan kerjasama dengan kekuatan militer di dunia seperti Rusia,” terang Maduro di konferensi pers. Sebelumnya di Desember 2018, Rusia sempat mengerahkan sepasang pesawat bomber Tupolev Tu-160 yang mampu membawa persenjataan nuklir ke Venezuela untuk menunjukkan dukungannya. 13 Januari 2022 kemudian, Sergei Ryabkov, wakil Menteri Luar Negeri Rusia, menyatakan ia “tidak mengiyakan maupun membantah” kemungkinan Rusia mengerahkan aset-aset militernya ke Amerika Serikat bilamana AS dan para sekutunya tidak mengurangi aktivitas-aktivitas militernya di beranda belakang Rusia. “Semua tergantung sikap AS,” tekannya.

Euromaidan vs Anti-Maidan

Pembubaran Uni Soviet bukan hanya diiringi kembalinya nasionalisme borjuis namun juga kampanye anti-komunis atau kebijakan dekomunisasi. Proses ini umumnya berlangsung lambat dan tidak resmi. Upaya legal via perundang-undangan berkali-kali dicoba pada tahun 2002, 2005, 2009, 2011, dan 2013, tapi gagal. Namun semuanya berubah sejak gelombang aksi massa Euromaidan.

Gelombang protes itu dilatarbelakangi ketidakpuasan terhadap rezim Presiden Ukraina saat itu, Victor Yanukovych. Rezim Yanukovych penuh dengan korupsi meluas, penyalahgunaan wewenang kekuasaan, dan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM). Namun pemicu utamanya adalah pembatalan penandatangan bergabungnya Ukraina ke Uni Eropa oleh Yanukovych, masih terkait persyaratan untuk meningkatkan demokrasi dan supremasi hukum. Rezim Yanukovych kemudian lebih memilih bergabung ke Uni Ekonomi Eurasia (EAEU). Rusia, salah satu anggota EAEU, bersedia memberikan pinjaman hutang setara $AS 15 miliar ditambah harga gas lebih murah sementara UE hanya setara $AS 838 juta. Selain itu UE menuntut perubahan-perubahan besar terhadap hukum dan perundang-undangan di Ukraina, sementara Rusia tidak.

Penolakan Yanukovych terhadap rancangan undang-undang (RUU) yang memungkinkan dilepaskannya para oposisi yang dijadikan tahanan politik maupun pembatalannya untuk gabung Uni Eropa dan lebih memilih mendekat ke Uni Ekonomi Eurasia kemudian didemo besar-besaran oleh gerakan Euromaidan. Malam hari 21 November 2013 demonstrasi-demonstrasi Euromaidan berkobar di Kyiv. Gerakan Euromaidan mengambil namanya dari “Euro” singkatan “Europe” dan “Maidan” ke Maidan Nezalezhnosti, alun-alun kemerdekaan di Kyiv. Dalam puncak mobilisasinya, massa Euromaidan di seluruh Ukraina bisa mencapai 800.000 orang. Berbagai kelompok anti-Yanukovych bergabung ke dalam gerakan Euro Maidan dengan kepentingannya masing-masing. Kaum liberal membawa sentimen integrasi Ukraina ke UE dengan jargon-jargon kebebasan, HAM, dan nilai-nilai Eropa lainnya. Nasionalis Ukraina mengusung sentimen anti-Rusia. Warga Belarusia dan Rusia yang tinggal di Ukraina mendukung Euro Maidan karena memandang Yanukovcyh adalah sekutu rezim Alexander Lukashenko di Belarusia dan Vladimir Putin di Rusia. Borjuasi Ukraina bergabung dan turut mendanai Euro Maidan untuk melawan gurita bisnis Yanukovych. Borjuasi kecil ikut Euro Maidan karena tingginya pungutan terhadap bisnis mereka. Elemen rakyat-pekerja bergabung, meskipun bukan mayoritas, utamanya terdorong karena mereka menginginkan akses mobilisasi lebih luas untuk mencari kerja dan penafkahan di Uni Eropa. Meskipun aksi massa yang terdiri dari berbagai macam kelompok dan organisasi dengan sayap serta aliran yang berlainan, namun kaum Kanan-Reaksioner yang kemudian mendominasi dan memenangkan perubahan situasi setelahnya. Represi berat dari aparat mendorong massa membela diri dan membalas dengan persenjataan sehingga berkembang menjadi pertempuran jalanan. Privyi Sektor atau Sektor Kanan, dan berbagai kelompok Kanan lainnya membesar karena kemampuan mereka menjadi detasemen-detasemen tempur melawan aparat rezim Yanukovych sekaligus mempersekusi kelompok-kelompok kiri Maidan. 

Meskipun turut menentang rezim borjuis Yanukovych, kelompok-kelompok kiri sejak awal jadi target serangan kaum kanan dan fasis di Euromaidan. Ob’yednannia Boroťba (Borotba) atau Asosiasi Perjuangan, organisasi Marxis yang berupaya merekrut demonstran Euromaidan ke Konfederasi Serikat Buruh Independen untuk menentang dinaikkannya ongkos transportasi publik, diserang oleh kelompok-kelompok ekstrem Kanan. Aktivis-aktivis serikat buruh juga diserang Privyi Sektor saat berkampanye memprotes tidak dibayarkannya upah para pekerja Kyivpastrans. Gerombolan Kanan dan fasistis juga mengeroyok serta mengusir kelompok-kelompok anarkis di Euromaidan. Sebagian anarkis meninggalkan gerakan Euromaidan, sebagian tetap tinggal bergabung dalam aksi-aksi Euromaidan namun dengan menanggalkan bendera hitam dan logo anarkis serta tidak lagi mengupayakan pengorganisiran luas, melainkan bergabung secara perorangan.

Gerakan Anti-Maidan kemudian muncul pada 25 November 2013. Massanya campuran antara pendukung rezim Yanukovych, pendukung federalisasi Ukraina, demonstran yang berfokus di isu-isu sosial yang diakibatkan Euromaidan, hingga pendukung pemisahan diri dari Ukraina. Wilayah-wilayah dengan mayoritas penutur bahasa Rusia yaitu di timur dan selatan Ukraina banyak diwarnai aksi-aksi Anti-Maidan. Partai Komunis Ukraina adalah salah satu motor gerakan Antimaidan. Sisi lain terdapat juga barisan-barisan pro-pemerintah Yanukovych yang merupakan massa bayaran. Meskipun demikian, berbeda dengan propaganda media massa borjuis, konflik Euromaidan vs Anti-Maidan tidak bisa disederhanakan sebatas gerakan pro-Ukraina vs pro-Rusia. Massa Anti-Maidan umumnya didorong atas ketakutan terhadap ancaman ke bahasa Rusia, penentangan terhadap pengagungan Stepan Bandera dan berbagai kolaborator fasistis di pemerintahan pasca-Yanukovich, serangan-serangan dari kelompok Ekstrem Kanan perlawanan terhadap kekuasaan oligarki Ukraina, dan ketakutan atas anjloknya kehidupan ekonomi bagi para buruh di Ukraina Timur begitu Ukraina masuk UE.

23 Januari 2014 gelombang massa Euromaidan membesar dan semakin banyak yang berhasil menduduki gedung-gedung negara dan mengambil alih pemerintahan. Antara 18-20 Februari, pertarungan sengit berlangsung antara massa Euromaidan dan polisi. Sekitar 100 demonstran dan 13 polisi tewas. 21 Februari 2014 dibuatlah perjanjian penyelesaian krisis politik di Ukraina antara Yanukovych dan para pemimpin oposisi yang telah menguasai parlemen dengan mediasi UE dan Rusia. Proses ini sudah dimulai sejak November 2013. Isinya kembali ke Konstitusi 2014 (kembali ke bentuk pemerintahan parlementer), penyelenggaraan pemilihan presiden sebelum akhir 2014, dan pendirian pemerintah kepercayaan nasional, termasuk penarikan aparat dari pusat kota Kyiv. 21 Februari 22 Februari pagi massa Euromaidan menyerbu mansion Yanukovych dan malamnya merebut perempatan pemerintah. Keesokan harinya Yanukovych melarikan diri ke Rusia.

Bentrokan massa Euro Maidan dengan aparat dan preman maupun bentrokan dengan massa anti-Euro Maidan memakan banyak korban jiwa. Lebih dari seratus jiwa meninggal dan hampir dua ribu orang cidera. Sebagian tewas karena baku hantam, sebagian akibat luka tembak. Pembunuhan dengan senjata api sebagian dilakukan oleh kelompok premanisme sebagian oleh polisi, sebagian oleh sniper-sniper tak dikenal. Penembakan sniper terhadap demonstran menambah kebencian terhadap rezim sebab diasumsikan dikerahkan atas perintah rezim. Investigasi Reuters terhadap penembakan mengungkap kejanggalan terhadap kasus Berkut, pasukan khusus polisi Ukraina. Polisi Berkut senior yang ditangkap kehilangan tangan kanannya akibat kecelakaan enam tahun lalu sementara bukti yang diberikan jaksa untuk memenjarakannya adalah foto seseorang memegang senapan dengan dua tangan utuh. Reuters juga menemukan bahwa tak ada satupun demonstran yang didakwa atas pembunuhan terhadap polisi. Bahkan jaksa maupun menteri-menteri yang kemudian hari bertugas melakukan investigasi semua terlibat bentrokan Euromaidan. Sedangkan IBTimes mengungkap bahwa pelaku penembakan baik terhadap massa Euromaidan maupun Antimaidan adalah sniper yang sama. BBC di tahun 2015 mewawancarai secara anonim sniper yang menyatakan melakukan penembakan atas perintah ex-tentara yang bekerja bagi para pemimpin Euromaidan. Tahun yang sama, investigasi Ivan Katchanovski dari Universitas Ottawa, menunjukkan para sniper yang menembaki demonstran Euromaidan ternyata operasi false flag yang diotaki Pravyi Sektor, Svoboda, dan Batkivshchyna (partainya oligarki Ukraina).

Kemenangan massa Euromaidan kemudian direspon dengan pemisahan wilayah-wilayah anti-Maidan. Krimea masuk Rusia sementara Donetsk dan Luhansk memproklamasikan negaranya sendiri. Ketakutan akan persekusi terhadap para warga penutur bahasa Rusia dan keturunan Rusia, yang dominan di wilayah-wilayah itu, menjadi salah satu alasannya. Sebab 23 Februari 2014, parlemen Ukraina mengesahkan pencabutan Undang-Undang 2012 yang mengakibatkan bahasa Rusia tidak lagi diakui sebagai salah satu bahasa resmi. Selain juga akibat propaganda Rusia yang menekankan bahwa etnis Rusia di Ukraina menghadapi bahaya besar.

6 Maret 2014, referendum digelar di Krimea, memutuskan pemisahan diri dari Ukraina dan kembali bergabung ke Rusia, menyusul pendudukan Dewan Agung Krimea oleh pasukan-pasukan khusus Rusia. 7 April 2014, massa demonstran di Donetsk memproklamasikan pendirian Republik Rakyat Donetks. Disusul 27 April 2014, massa aktivis mendeklarasikan pendirian Republik Rakyat Luhanks. Keduanya kemudian mendeklarasikan Soyuz Narodnykh Respublik atau Uni Republik-Republik Rakyat Rusia Baru yang juga dikenal sebagai Novorossiya atau Rusia Baru. Perang di Donbass kemudian dimulai.

Dekomunisasi, Fasis di Ukraina, dan Perang di Donbass

Donbass, adalah sebutan bagi daerah oblast—semacam provinsi—yang mana Donetsk dan Luhansk tergabung di dalamnya. Namun sebelum membahas detail mengenai Perang di Donbass perlu dibahas detail mengenai kaum fasis di Ukraina, peran yang mereka mainkan, pengaruh yang mereka miliki, dan bagaimana program dekomunisasi berujung pada munculnya berbagai kereaksioneran, termasuk fasisme. Sebab kaum Kanan seperti Svoboda dan Pravyi Sektor dominan memimpin gerakan Euromaidan. Sentimen anti-komunis, yang digerakkan dengan aksi-aksi penumbangan patung-patung Lenin, digunakan kaum Kanan sebagai sentimen anti-Rusia, tidak peduli betapapun ganjilnya hal itu sebab Rusia sekarang bersistemkan kapitalisme. Tiap pemerintah daerah yang diambil alih massa Euromaidan juga kemudian melarang Partai Komunis Ukraina maupun organisasi-organisasi sosialis lainnya.

Banyak perusahaan dan lembaga kapitalis mengecil-kecilkan bahkan menutupi keberadaan apalagi pengaruh dominan kaum fasis di Ukraina. Netflix memproduksi film “Winter on Fire: Ukraine’s Fight for Freedom” dengan kerjasama Ukraina, AS, dan Britania dengan keberpihakan penuh ke Euromaidan. Namun banyak simbol dan bendera kaum Ekstrem Kanan bahkan Neo-Nazi di dalamnya, diabaikan. Itu pula yang dilakukan media massa-media massa borjuis AS yang selama ini mengabaikan bahkan menutup-tutupi peran organisasi-organisasi fasis bersenjata di Ukraina. Dari New York Post sampai Foreign Affairs melakukannya. Terutama dengan menutupi peran kaum fasis sebagai ujung tombak perang Ukraina melawan populasi penutur bahasa Rusia di awal 2015 sampai sekarang.  Tahun 2022, akun twitter NATO menunggangi momentum Hari Perempuan Internasional dengan merayakan dan mengunggah foto-foto perempuan Ukraina, salah satunya tentara perempuan memakai simbol matahari hitam, simbol Neo-NAZI. Begitu foto ini ramai dikritik NATO langsung menghapusnya. Dalam momentum konflik Ukraina-Rusia, Facebook juga membuat pengecualian baru dengan memperbolehkan, meskipun berdalih sementara, untuk membolehkan miliaran penggunanya memuja-muji Batalyon Azov padahal sebelumnya telah dilarang di tahun 2019 menurut kebijakan Facebook tentang Perorangan dan Organisasi-Organisasi Berbahaya.

Kebangkitan fasisme di Ukraina terkait erat dengan program dekomunisasi. Program dekomunisasi berjalan sejak pembubaran Uni Soviet dan restorasi kapitalisme. Ini suatu hal yang berjalan hampir di semua bekas negara sosialis.  Semakin kuat cengkeraman sauvinis terhadap negara itu di masa lalu, maka semakin keras program dekomunisasinya. Presiden pertama negara borjuis Ukraina, Leonid Kravchuk, memerintahkan desovietisasi di awal 1990an. Desovietisasi adalah penghancuran (sisa-sisa) sistem sosial-politik yang berpusat di dewan-dewan pekerja. Monumen-monumen bersejarah, termasuk patung-patung para pimpinan Soviet, dihancurkan di Ukraina. Buku-buku sejarah ditulis ulang. Namun proses ini berjalan lambat pada awalnya, kebanyakan di Barat Ukraina, sedangkan di Timur Ukraina dimana banyak penutur bahasa Rusia, kurang cepat. Sebab para veteran Tentara Merah maupun rakyat dan keluarganya yang pernah hidup melawan NAZI-Jerman di Perang Dunia II di masa lalu banyak yang masih hidup. Ini semua berubah dengan naiknya dan menangnya gerakan Euromaidan.

Selama dan sesudah gerakan, massa Euromaidan berhasil menduduki dan mengambil alih berbagai pemerintah daerah serta kemudian menerapkan program dekomunisasi secara langsung. Mereka menggulingkan monumen-monumen dan patung-patung Lenin sekaligus melarang simbol-simbol serta nama-nama tempat yang berdasarkan atau terkait komunisme. Baru kemudian peraturan resmi mengikuti. 9 April 2015 parlemen Ukraina mengesahkan peraturan dekomunisasi yang di atas kertas melarang promosi simbol-simbol rezim totaliter komunis dan NAZI sekaligus. Namun kenyataannya ini hanya diarahkan menyasar simbol, bangunan, dan organisasi-organisasi kiri. Padahal banyak generasi tumbuh besar di rumah-rumah yang memakai lambang kiri, dengan keluarga mewariskan medali Tentara Merah dari generasi ke generasi, dan tinggal di jalanan bernama-nama kiri. Dengan peraturan baru anti-komunis ini maka menunjukkan lambang Soviet saja bisa dipenjara sampai lima tahun. 4 Mei 2017, pengadilan di Lvov memvonis penjara 2,5 tahun seorang mahasiswa yang menerbitkan kutipan-kutipan tulisan Lenin. Pengadilan itu juga menghancurkan buku Kapital Karl Marx, kartu partai, dokumen-dokumen Komsomol, dan sebagainya.

Dari segi peraturan juga sarat kontradiksi. UU No. 2558 melarang lagu kebangsaan Uni Soviet dan Soviet Ukraina maupun lagu-lagu kebangsaan republik-republik Soviet lainnya, termasuk potongan-potongannya, tapi tidak ada larangan terhadap hymne NAZI Jerman dan Partai NAZI yaitu lagu Horst Wessel. Selain itu larangan terhadap lambang palu arit, palu dan bintang segi lima, bajak, juga turut diberlakukan sehingga juga melarang lambang Organisasi Veteran-Veteran Ukraina. Sedangkan tidak disebut larangan terhadap daftar simbol NAZI dan Swastika termasuk berbagai varian (Neo) NAZI seperti Matahari Hitam, Kolovrat, Wolfsangel, 1488, dan sebagainya. Standar ganda ini kian parah. UU 2588 tentang organisasi tidak menyebut pelarangan terhadap yang ditetapkan sebagai kriminal oleh pengadilan Nuremberg seperti SS, SD, Gestapo, dan lambang-lambangnya. Sisi lain ada larangan terhadap simbol-simbol yang disebut sebagai negara-negara satelit Uni Soviet tapi tidak ada larangan terhadap lambang-lambang negara satelit NAZI Jerman seperti Hungaria, Rumania, Slovakia, Bulgaria, Kroasia, maupun lambang-lambang rezim-rezim pro NAZI di Eropa lainnya. Justru pasal KUHP Ukraina yang melarang penyangkalan atau pembenaran kejahatan-kejahatan fasisme, Waffen-SS, dan semua yang berkolaborasi dengan penjajah NAZI-Jerman, malah dicabut. Sebaliknya dibuatlah peraturan yang mengagungkan, memasukkan dalam sejarah dengan citra positif, dan memberikan dana pensiun bagi orang-orang, keluarga, atau keturunan mereka yang disebut sebagai ‘pejuang kemerdekaan’ Ukraina, termasuk di dalamnya kolaborator NAZI, fasis, ekstrem kanan, rasis, dan anti-Soviet.

Mereka yang menutupi kereaksioneran anti-Kiri ini seringkali berdalih bahwa pelarangan itu menyasar bukan kaum Kiri melainkan menarget loyalis Rusia dalam Ukraina. Namun kenyataannya, pelarangan terhadap organisasi-organisasi kiri dibuktikan bukan hanya diterapkan pada Partai Komunis Ukraina, Partai Komunis Ukraina (Pembaruan), dan Partai Komunis Buruh dan Tani, yang dilarang. Melainkan juga, dengan memanfaatkan serbuan Rusia, diterapkan kepada berbagai macam aliran oposisi. Rezim Zelensky pada tahun ini melarang Soyuz Livykh Syl (SLS) atau Uni Barisan Kiri, Sotsialistychna Partiya Ukrainy (SPU) atau  Partai Sosialis Ukraina, Derzhava yang beraliran progresif, Nashi yang beraliran sentris, Opozytsiynyy Blok atau Blok Oposisi, Opozytsiyna Platforma — Za Zhyttya atau Platform Oposisi – untuk Kehidupan yang konservatif, Partai Shariy yang libertarian, Partai Sosialis Progresif Ukraina, dan sebagainya. Ini bukan hanya menarget partai politik saja melainkan juga semua organisasi massa kiri.

Kekerasan dan serangan ultra-kanan di Ukraina merupakan fenomena sosial parah namun seringkali diabaikan atau ditutupi secara sengaja. Tim peneliti Rosa Luxemburg Stiftung mengamati bahwa antara 14 Oktober 2018 ke 14 Oktober 2019, terdapat 137 kasus konflik Ekstrem Kanan dimana 89 kasus di antaranya melibatkan serangan-serangan kekerasan. Itu meliputi serangan-serangan terhadap para lawan politik, aktivis-aktivis kiri, pameran-pameran seni, jurnalis, feminis, para perwakilan komunikas LGBT dan minoritas etnis. Media massa Ukraina yang banyak dikuasai oligarki atau borjuasi seringkali membingkai pelaku konflik secara kabur sebagai provokator Kremlin atau konflik aktivis vs patriot. Sebagai ideologi, aliran, sekaligus kekuatan yang berperan penting mengalahkan kubu fasis terutama NAZI-Jerman, maka sudah merupakan konsekuensi langsung bahwa penghapusan/penghancuran komunisme akan memberi jalan bagi kembalinya ideologi, aliran, dan kekuatan musuh-musuhnya. Dari nasionalisme-sauvinisme borjuis, rasisme anti-Imigran, seksisme, hingga fasisme itu sendiri.

Tidak dapat disangkal, bahwa rezim kediktatoran birokrat yang menguasai negara buruh terdegenerasi turut menjadi biang dampak-dampak reaksioner, seperti represi dan sentralisasi otoriter. Namun ketiadaan revolusi politik yang merebut kembali kekuasaan ke tangan buruh dan rakyat-pekerja dan sebaliknya dilakukannya restorasi kapitalisme dan dekomunisasi, telah memperparah situasi kondisi rakyat. Tahun 2004 Dewan Eropa merilis laporan bahwa buyarnya Soviet Ukraina diikuti langsung muncul dan naiknya perdagangan manusia Ukraina. Penerapan shock therapy atau terapi kejut kebijakan-kebijakan ekonomi pasar telah secara langsung mengakibatkan kemiskinan dan menjerumuskan banyak perempuan dan anak-anak bukan hanya ke prostitusi tapi juga perdagangan manusia yang terkait erat dengan mafia-mafia yang menggunakannya untuk perdagangan narkoba dan senjata serta pencucian uang. Tahun 2013 sendiri Ukraina merupakan negara sumber sekaligus tempat transit bagi perdagangan manusia dan anak-anak utamanya untuk eksploitasi seksual dan kerja paksa. Pun kekerasan terhadap perempuan itu sendiri juga sangat luas di Ukraina dan laporan OSCE mengungkap kekerasan terhadap perempuan di Ukraina mengakibatkan angka kematian perempuan tiga kali lebih banyak daripada perang di timur Ukraina. Sedangkan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di Ukraina juga secara konstan menghadapi intimidasi dan represi di satu sisi sedangkan di sisi lain menghadapi konglomerasi media massa. Peringkat kebebasan pers di Ukraina, menurut Reporters without Borders, anjlok di posisi 131 (bandingkan dengan Indonesia di posisi 117, walaupun relatif lebih baik dibandingkan Rusia yang di posisi 140). Meskipun demonstrasi dan berserikat dimungkinkan tapi serangan-serangan preman juga bermunculan. Sementara para kapitalis/pemilik pabrik masih leluasa menekan para buruhnya agar memilih di pemilu menuruti kepentingan/kehendak majikan. Majikan-majikan ini tidak sedikit yang bekerjasama dengan preman-preman fasis bahkan mendanai organisasi-organisasi ekstrem Kanan.

Para pembela rezim borjuis Ukraina seringkali mengabaikan, mengecilkan, atau bahkan menyangkal bahaya maupun pengaruh kaum fasis di sana dengan berargumen bahwasanya Zelenskyy, Presiden Ukraina, adalah Yahudi. Pandangan mekanistis atau kaku demikian tentu tidak bisa memahami pula mengapa rezim zionis Israel bekerjasama dengan rezim John Vorster, seorang pro-NAZI, di Afrika Selatan Apartheid. Kenyataannya seorang anggota kelas borjuis, selama posisinya sendiri relatif aman, cenderung lebih beroperasi sesuai kepentingan kelasnya, bukan mutlak sesuai identitas etnisnya sendiri secara sepenuhnya. Zelenskyy memenangi pemilu di tahun 2019 dalam situasi kondisi Ukraina porak poranda ekonominya dengan gurita oligarki dan korupsi dimana-mana serta masyararakat terbelah konflik, posisinya sebagai orang luar dipandang para pemilih membedakannya dari Petro Poroshenko yang berkuasa sebagai wakil dari persekutuan oligarki berorientasi UE dan dibekingi Imperialisme Barat. Rezim Poroshenko meskipun memainkan sentimen sauvinis namun secara ekonomi adalah pelaksana neoliberalisme. Anggaran-anggaran publik dipotong, biaya-biaya naik, sementara upah riil turun, bahkan banyak buruh disasar penunggakan upah. Satu-satunya cara bagi Poroshenko untuk mempertahankan rezimnya adalah dengan bersandar ke kaum fasis untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kotornya. Ia bukan hanya membiarkan namun juga memfasilitasi berbagai kelompok reaksioner tumbuh subur. Tokoh-tokoh kolaborator NAZI macam Stepan Bandera diangkat menjadi pahlawan nasional. Sebagai gantinya, dengan sentimen-tuduhan anti-Rusia, gerombolan-gerombolan fasis Ukraina dengan senang hati, menyerang oposisi, aktivis, dan berbagai organisasi kiri. Namun semua sauvinismenya itu tidak cukup menutupi fakta bahwa rezim Poroshenko bukan hanya gagal meredakan krisis sosial-politik namun pemerintahannya juga diduga kuat terlibat korupsi dan intervensi atau penghalangan penyidikan anti-korupsi sekaligus gagal mewujudkan janji kesejahteraan.

Zelenskyy yang datang dari latar belakang komedian, terkenal karena acara komedinya “Kvartal 95” dan serial televisi komedi situasi Sluha narodu atau “Pelayan Rakyat”—suatu acara satir politik—dipandang banyak pemilih sebagai alternatif segar, meskipun politik maupun programnya kurang jelas. Namun di belakang Zelenskyy ada bekingan dari Ihor Kolomoiski, pemilik saluran 1+1 dimana acara-acara Zelenskyy disiarkan. Selain konglomerat media massa, Kolomoiski juga merupakan borjuasi pendiri PrivatBank dan menguasai sangat banyak industri metal, industri energi, dan mayoritas maskapai Ukraina. Kolomoiski bukan hanya punya koneksi erat dengan Gennady Bogolyubov, borjuasi Ukraina lainnya, dan menikmati jejaring politik dengan pemilihannya sebagai gubernur oblast Dnipropetrovsk namun juga terkenal reputasinya merebut aset-aset negara. Baik lewat jalur hukum maupun lewat kekerasan. Kolomoiski turut mempengaruhi pendirian organisasi-organisasi ekstrem kanan, seperti Pravyi Sektor dan batalyon Azov.  Kolomoiski bukan hanya merupakan salah satu penyandang dana terbesar Batalyon Azov, sejak pendiriannya tahun 2014, namun juga mendanai milisi-milisi swasta seperti Batalyon Aidar dan Dnipro serta mengerahkannya demi kepentingan pribadinya. Preman-preman fasisnya pernah dikerahkannya untuk merebut markas perusahaan minyak kepemilikan gabungan negeri-swasta UkrTransNafta, yang kemudian berujung konflik dengan Poroshenko dan pemecatannya sebagai gubernur serta nasionalisasi PrivatBank. Jadi jelas dari sini saja Zelenskyy adalah kepanjangan tangan borjuasi-borjuasi Ukraina pro-UE yang berkonflik dengan rezim Poroshenko sebelumnya. Apalagi Zelenskyy setelah terpilih sebagai Presiden menegaskan memilih mengambil hutang-hutang ke Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) dengan mandat austerity atau pengetatan anggaran. Termasuk menolak perdamaian dengan Republik Rakyat Luhanks dan Republik Rakyat Donetsk.

Saat Zelenskyy memenangi pilpres 2019, Perang di Donbass sudah berlangsung setidaknya lima tahun, dan pada awalnya Zelenskyy berniat untuk mengakhirinya dengan diplomasi Grup Kontak Tripartit lewat penunjukan ex-Presiden Ukraina, Leonid Kuchma, dan pembicaraan via telepon dengan Putin, untuk mendorong Rusia masuk pembicaraan yang dimediasi negara-negara Eropa. Oktober 2019 Zelenskyy membuat kesepakatan bahwa pemerintahannya akan menghormati pemilu di wilayah Donbass asalkan Rusia menarik mundur pasukan-pasukan rahasianya. Zelenskyy lantas ditentang habis-habisan oleh para politisi borjuasi Ukraina dan dicap kaum fasis sebagai pengkhianat. Laskar-laskar sauvinis Ukraina, termasuk para kombatan Azov, menolak keras menerima perjanjian ini, meskipun Zelenskyy menemui banyak diantara mereka untuk menyerahkan persenjataannya ke pemerintah dan menerima upaya perdamaian. Dari sini jelas, Zelenskyy, sebagai presiden pun tidak punya otoritas riil dan kekuasaan penuh terhadap kaum fasis Ukraina. Andriy Biletsky, pentolan Natsionalnyi Korpus atau Korps Nasional, partainya kombatan dan veteran Azov, yang rasis dan suprematis kulit putih, menuding Zelenskyy menghina para veteran dan bertindak menguntungkan Kremlin dengan membiarkan Ukraina rapuh terhadap agresi Rusia. Upaya perdamaian demikian gagal bukan hanya bagi para pemberontak pemutusan bantuan militer dari Rusia, satu-satunya sumber sokongan eksternal mereka selama ini, secara pragmatis-konkret sama saja bermakna bunuh diri, namun juga karena Presiden Ukraina bukanlah pihak yang secara de facto berkuasa terhadap kaum fasis ini—dan kaum fasis Ukraina tidak bisa menerima upaya perdamaian yang memandatkan otonomi terhadap Donetsk dan Luhansk karena mereka harus menancapkan hegemoninya ke seluruh penjuru Ukraina tanpa kecuali. Formasi-formasi fasis di Ukraina adalah unit-unit tempur (di luar militer reguler) yang paling terlatih, paling terpesenjatai, dan juga memiliki pengaruh politik, walaupun secara formal suara yang mereka peroleh dari pemilu tidaklah utama. Fasis di Ukraina lebih bisa melarang Zelenskyy daripada Zelenskyy melarang mereka.

Hal ini diperkuat pernyataan Yuri Hudymenko, pimpinan Democratychna Sokyra atau Kapak Demokratis, partai sekaligus organisasi massa sayap kanan pendukung legalisasi perjudian, prostitusi, total privatisasi, sekaligus anti-sosialis. Ia menyatakan menentang kompromi apapun dengan Rusia. Sebagaimana dilansir The New York Times 10 Februari 2022 lalu, Hudymenko mengancam, “Kami akan tangani Rusia bagaimanapun caranya…dan kalau siapapun dari pemerintahan Ukraina berusaha menandatangani dokumen demikian, sejuta orang akan turun ke jalan dan pemerintah itu akan berhenti jadi pemerintah.” Sentimen senada disuarakan Alexander Ivanov, direktur aliansi fasis bernama Gerakan Perlawanan terhadap Kapitulasi, yang menggalang Pravyi Sektor, Democratychna Sokyra, Azov, dan sebagainya, dalam demo-demo reguler. Sebelum serangan Rusia, Ivanov mengatakan, “invasi Rusia hanyalah kemungkinan tapi penggulingan pemerintah Ukraina sudah pasti jadi kepastian bila memberikan kompromi.”

Fasisme di Ukraina bukanlah segelintir orang, ataupun bisa disepelekan dengan argumen hanya punya beberapa ribu massa dan suaranya di pemilu kecil, melainkan suatu gerakan massa riil. Mereka punya jejaring sendiri, termasuk klik di para perwira tentara yang dilatih Imperialis. Sebagai perbandingan, Bennito Mussolini dengan Partai Fasis Nasionalnya awalnya juga hanya punya ribuan anggota. Namun kelompok kecil yang solid, militan, dan agresif ini bisa memainkan peran dominan bila berhadapan dengan massa yang cair, kurang teorganisir, apalagi pasif. Khusus di Ukraina, kemenangan Euromaidan yang mereka dominasi semakin menguatkan kaum fasis. Kaum fasis menyebar ke semua lini sosial-politik. Formasi-formasi paramiliter mereka dilegalkan bahkan digabungkan ke dalam Garda Nasional, polisi, dan tentara reguler. Fasis di Ukraina bahkan punya akses langsung mendidik anak-anak dan kaum muda di kamp pelatihan khusus selama delapan tahun.

Sebagaimana diungkap Radio Hromadske, media independen Ukraina, pada 8 Juni 2018, Kementerian Pemuda dan Olahraga di Ukraina mengumumkan menghibahkan hampir setara 504 ribu hryvnia (di atas Rp 244 juta) ke S14, organisasi fasis yang punya reputasi panjang serangan-serangan rasis terhadap kamp-kamp pengungsi Rom di Ukraina, untuk kamp pendidikan anak-anak. Hibah dana juga diberikan pemerintah Ukraina lebih dari 850 ribu hryvnia atau di atas Rp 400 juta ke Majelis Pendidikan dan Perkemahan Holosiyiv, badan yang didirikan oleh para anggota Svoboda, partai ultra-nasionalis Ukraina, yang punya rekam jejak anti-semit.

Sejak tahun 2014, AS, Britania, UE, dan NATO itu sendiri telah memberikan bantuan militer terhadap Ukraina. Tahun 2018 AS mulai menjual persenjataan termasuk misil-misil Javelin anti-tank. Turki, yang merupakan bagian NATO, juga menjual drone-drone tempur TB2 pada tahun 2019. Kelompok-kelompok fasis bersenjata demikian juga menikmati ases bantuan pelatihan dan militer dari Imperialis. Washington telah mengambil langkah dengan memasok persenjataan ke kelompok-kelompok Privyi Sektor dengan dalih bahwa mereka akan menjadi perlawanan sipil terhadap invasi Rusia. Tahun 2018 secara resmi AS dan Kanada mengaku di hadapan publik telah menghentikan bantuan militer ke kelompok-kelompok ekstrem Kanan Ukraina. Semua bantuan resmi diarahkan lewat satu kanal ke pemerintah Zelenskyy. Tapi itu tidak menghalangi kaum fasis bersenjata mengaksesnya. Yevhen Karas, pentolan S14, memamerkan dalam konferensi pers 23 Februari 2022, “Banyak negara telah memberikan sejumlah besar dukungan militer, bukan karena mereka ingin kami memanfaatkannya, namun karena negara Ukraina menjalankan tugas-tugas Barat…kamilah satu-satunya yang bersedia menjalankan tugas-tugas ini karena kami bersenang-senang. Kami senang membunuh dan kami senang bertempur.”

Selain merasuk di unit-unit tentara reguler, kaum fasis Ukraina juga mendominasi pembentukan komando-komando pertahanan teritorial di akhir Februari 2022, yang mendapatkan julukan “Volkssturm” di Ukraina. Para perwakilan kelompok-kelompok ekstrem kanan yang berpengalaman di Perang di Donbass atau yang sudah menerima pelatihan militer yang memimpin komando-komando ini. Mereka mendirikan pos-pos pemeriksaan di tiap penyeberangan dan tidak membolehkan laki-laki berusia antara 18 hingga 60 tahun untuk meninggalkan wilayah. Pun bagi para pengungsi, mereka sering menerapkan tes wawasan bahasa Ukraina, yang dianggap gagal dilarang, atau dipaksa diperiksa dengan cara ditelanjangi. Perlakuan ini lebih keras kepada kaum non-kulit putih, yaitu kaum Asia dan kulit hitam.

24 Juli 2014, Human Rights Watch melaporkan bahwa pemerintah Ukraina dan milisi-milisi pendukungnya secara tanpa pandang bulu menembakkan roket-roket Unguided Gradsnya di wilayah-wilayah padat penduduk di Donetsk dan pinggirannya menewaskan banyak rakyat sipil, dengan demikian melanggar hukum perang dan konvensi HAM internasional. Temuan dari laporan Amnesty Internasional kemudian menunjukkan bahwa kejahatan-kejahatan demikian dilakukan oleh pasukan tempur-pasukan tempur fasis, seperti Batalyon Sukarelawan Aidar. Mereka melakukan, “penganiayaan meluas, termasuk penculikan, penahanan tidak sah, perlakuan buruk, pencurian, pemerasan, dan diduga kuat juga eksekusi-eksekusi.”

Kejahatan fasis demikian tidak terbatas hanya pada pertempuran. Dalam pertandingan Chelsea FC vs Dynamo Kyiv, Selasa (20/10/2015), orang-orang Korps Sipil Azov, para Ultras, staf anggota parlemen, sersan polisi, memukuli para suporter berkulit hitam. Meskipun sudah ada sanksi dan perintah investigasi untuk menemukan serta menghukum para pelaku, tapi otoritas Ukraina tetap bersikap menyangkal dan tidak menjalankannya. Batallion Azov itu sendiri kini telah membesar jadi resimen penuh, sudah terintegrasi, masuk, ke berbagai aparat maupun institusi Ukraina. Azov secara resmi menjadi bagian polisi pasukan khusus di bawah Menteri Dalam Negeri.

Aktivitas dan pengaruh kaum fasis Ukraina itu sendiri juga berlangsung dalam skala internasional. 16 Januari 2016 mereka menggelar pertemuan Resimen Azov Ukraina yang digelar bersama dengan kaum fasis Prancis di kota Nantes, Prancis, untuk merekrut para anggota baru. Fasis Prancis ini disinyalir adalah kubu yang tidak puas dengan Marine Le Pen dan menganggap Partai Front Nasional sudah melembek. Sementara itu di belahan dunia lainnya kaum fasis Ukraina juga mengembangkan jaringannya. Der Dritte Weg atau Jalan Ketiga, organisasi Neo-NAZI Jerman, merupakan sekutu sekaligus tamu undangan tahunan pawai reguler tiap 14 Oktober di Ukraina. Turut hadir Junge Nationalisten atau Pemuda Nasionalis—sayap pemuda Nationaldemokratische Partei Deutschlands atau Partai Demokratis Nasional Jerman yang fasis. Ditengarai mereka berkoneksi dengan Natsionalnyi Korpus di Ukraina. Neo-NAZI di Ukraina khususnya Batalyon Azov, juga tidak ketinggalan memiliki koneksi dengan kelompok Neo-NAZI di Rusia pula, yaitu ke Wotanjugend, yang pendirinya menyebutnya sebagai “kampus kecil bagi para pendukung ideologi sayap kanan,” aktif menggelar konser-konser fasis, kelas-kelas teori rasial, pelatihan senjata api, dan pendukung serangan-serangan teroris ekstrem Kanan terhadap muslim di Christchurch, Selandia Baru. Wotanjugend ini juga secara internasional bekerjasama dengan geng Neo-NAZI di AS, yaitu Rise Above Movement (RAM) atau Gerakan Bangkit ke Atas, termasuk menggelar kuliah-kuliah pemurnian ras, senjata api, dan pertarungan pisau. Dari jaringan internasional inilah, fasis-fasis Ukraina mampu merekrut konco-konco ekstrem kanannya ke brigade-brigade sukarelawan internasional untuk ikut maju berperang.

Perang di Donbass yang dimulai secara formal 6 April 2014 itu sendiri pada dasarnya adalah reaksi pembalasan pemerintah/kubu Euromaidan terhadap massa Anti-Maidan yang meluas di Ukraina timur, yang berkembang menjadi pengambilalihan pemerintah-pemerintah setempat, diiringi pergolakan bersenjata. Rusia sejak awal berusaha memanfaatkan ini dengan mengerahkan personel-personel militernya. Salah satunya Igor Girkin, veteran tentara Rusia sekaligus seorang anti-liberal penganut irrendentisme Rusia, pengorganisir pasukan-pasukan ke Krimea, Sloviansk, dan Donetsk. Pada 15 April 2014, Oleksandr Turchynov, yang saat itu menjadi presiden sementara Ukraina, memberlakukan Operasi Anti-Teroris menarget para pemberontak. Selain angkatan bersenjata reguler dan Garda Nasional Ukraina, dikerahkan juga pasukan pimpinan fasis seperti Batalyon Donbas, tidak lain dari Batalyon Azov yang diformalisasikan dan diintegrasikan ke dalam Garda Nasional,  dan juga pasukan Pravyi Sektor.

Semunya Klaim Denazifikasi yang Melandasi Invasi Rusia

Benar bahwa kaum fasis berperan penting dan punya pengaruh besar di antara militer maupun kelompok bersenjata Ukraina sekaligus koneksi politis di pemerintahan pasca-Yanukovich.  Meskipun demikian kepentingan invasi Rusia bukanlah murni denazifikasi atau melawan kaum fasis. Terlepas dari klaim Putin, kepentingan sebenarnya adalah mencegah atau memutus berkuasanya rezim pemerintahan pro-Washington dan pro-NATO sekaligus mencegah Rusia kehilangan pangkalan militer Sevastopol. Upaya melindungi etnis Rusia, penutur bahasa Rusia, kaum Yahudi, dan warga Donetsk maupun Luhansk, hanyalah dalih bagi kepentingan geopolitiknya. Sebab rezim Putin sendiri juga menolerir, mendukung, bahkan membekingi banyak kelompok ekstrem kanan maupun fasis. Tentu saja dengan catatan selama menguntungkan kekuasaannya.

Misalnya dalam melawan momentum gerakan massa oposisi pimpinan Alexei Navalny, yang juga sayap kanan, Kremlin bekerjasama dengan Russkii Obraz, kelompok Neo-NAZI yang punya hubungan erat dengan fasis Serbia, dan membuat mereka menyerang massa pro-Navalny. Rusia kini itu sendiri merupakan negara dengan tingkat tinggi pembunuhan oposisi dan kritikus terhadap pemerintah. Tahun 1998, pengacara HAM, Galina Starovoitova ditembak mati di di ambang pintu rumah susunnya di St.Petersburg. Tahun 2003, Yuri Schekochikhin, jurnalis investigasi, tewas misterius diduga karena diracun. Tahun 2004, Nikolai Girenko, etnolog dan aktivis HAM, ditembak mati di pintu masuk ke rumah susunnya. Tahun 2006, Anna Politkovskaya, jurnalis investigasi ditembak mati. Tahun 2009, Stanislav Markelov—pengacara HAM, dan Anastasia Baburova—jurnalis sekaligus aktivis anarko-komunis, ditembak mati di Moskwa. Tahun 2017, Nikolay Andrushchenko, jurnalis, dipukuli sampai mati. Sebagian dari pembunuhan ini yang berhasil diusut mengungkap pelakunya adalah kaum fasis. Girenko dibunuh oleh pemuda Neo-NAZI setelah ia memberikan kesaksian di pengadilan terhadap RNE yang fasistis. Vladimir Popov, pentolan grup Neo-NAZI Russkaya Respublika atau Republik Rusia, mengklaim yang mengotaki pembunuhan Girenko. Pengadilan St. Petersburg itu sendiri menghukum 12 anggota Boyevaya Terroristicheskaya Organizatsiya atau Organisasi Pemberantas Teroris, gangster yang sering menggunakan penyerangan bersenjata menarget kelompok-kelompok non-kulit putih seperti kulit hitam, Armenia, dan Asia. Sementara itu pelaku pembunuhan terhadap Anastasia Baburova dan Stanislav Markelov adalah pasangan Nikita Tikhonov dan Eugenia Khasis, anggota kelompok Neo-NAZI—dimana diduga kuat ada keterlibatan bantuan aparat Rusia.

Dalam beberapa hal, rezim Putin melakukan banyak hal yang disukai kelompok-kelompok ekstrem Kanan dan fasis. Bukan hanya karena rezim Putin secara sosial dan kultural melestarikan ideologi konservatisme namun juga mencerminkan penentangan terhadap liberalisme kontemporer di satu sisi dan di sisi lain terhadap hak-hak perempuan dan LGBT. Tahun 2017 misalnya, legislatif Rusia mencabut kriminalisasi terhadap kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga kategori tingkat pertama. Masuk dalam kategori ini adalah tindak kekerasan yang dianggap tidak mengakibatkan cidera serius. Secara detail juga mengakibatkan pemukulan terhadap pasangan ataupun anak-anak yang mengakibatkan memar dan berdarah namun tidak mengakibatkan tulang patah, dan kalau terjadi tidak lebih dari setahun sekali, hanya dihukum 15 hari penjara atau denda. Sebelumnya pelanggaran ini bisa dihukum maksimal sampai dua tahun penjara. Padahal tahun yang sama, sebagaimana dilansir The Guardian, menurut perkiraan setidaknya satu perempuan Rusia tewas setiap 40 menitnya akibat penganiayaan domestik. Menteri Urusan Dalam Negeri tahun 2008 memperkirakan bahwa kekerasan domestik dilakukan di 25% keluarga dan sebanyak 14.000 perempuan tewas per tahunnya akibat itu. Sementara itu RUU yang memuat soal perintah penjauhan maupun upaya-upaya perlindungan dari kekerasan dalam rumah tangga justru dibuat tersendat di parlemen.

Heteroseksisme Rusia juga alasan lainnya mengapa ekstrem Kanan menyukai dan mendukung rezim Putin. Misalnya Duma Russia mengesahkan undang-undang yang melarang apa yang disebutnya sebagai penyebaran propaganda homoseksual, kini aktivitas membela hak-hak LGBT maupun aksi pride, bisa didenda setara tiga juta rubel lebih.

Antara tahun 2009 hingga 2018, lebih dari 19 juta rubel digelontorkan borjuasi Rusia untuk mendanai kausus-kausus anti-gender di Eropa. LSM-LSM seperti anti-equal marriage Mum, CitizenGo, Dan&Kids initiative, Dignitatis Humanae yang berkoneksi dengan Steve Bannon, dan World Congress of Families (WCF) yang mempersatukan tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok anti-aborsi, anti-LGBT, dan semacamnya, di dunia. Perwakilan WCF di Rusia adalah Alexey Komov, bekingan Konstantin Malofeev—borjuasi Rusia sekaligus tangan kanan Putin untuk operasi politik di Eropa, yang menyatakan bahwa kesetaraan hak bagi para minoritas gender dan orientasi seksual adalah plot Bolshevik, sembari mengungkit bahwa Revolusi 1917 melegalkan aborsi dan mencabut peraturan-peraturan anti-homoseksual. Lewat Komov, dukungan bahkan donasi terhadap kaum bigot, ekstrem kanan, dan fasis disalurkan di negara-negara yang dianggap rival Rusia. Malofeev misalnya pernah mendatangkan Alex Jones, seorang juru teori konspirasi sekaligus homofobis. Borjuasi Rusia lainnya yang mendanai kampanye anti-gender adalah pasangan suami-istri Vladimir Yakunin dan Natalia Yakunina, yang jejaring sokongannya merentang dari Hungaria, Yunani, Britania, hingga AS.

Rasisme menjadi alasan lainnya, mengapa banyak ekstrem kanan dan fasis, mendukung Kremlin. David Duke, suprematis kulit putih dan ex-Klu Klux Klan (KKK), menyatakan Rusia “kunci keselamatan kulit putih” sementara Richard Spencer, tokoh Alt-Right, mengatakan Rusia “satu-satunya kekuatan kulit putih di dunia.” Ini sebenarnya tidak bisa dialamatkan ke Putin, karena Putin sendiri kritis terhadap pandangan nasionalisme etnik dan mempertahankan konsep Federasi Rusia sebagai federasi multi-etnis, melainkan sekali lagi berhubungan dengan runtuhnya komunisme dan restorasi kapitalisme. Uni Soviet dulunya memposisikan diri sebagai pelopor kesetaraan bukan hanya di antara bangsa-bangsa, namun juga antar ras, suku, dan warna kulit di dunia. Banyak pekerja dari belahan dunia lain, termasuk kaum kulit hitam di AS, direkrut, bekerja, dan sejahtera di Uni Soviet. Bahkan pada 22 Februari 1961, Universitas Persahabatan Rakyat di Rusia dinamai Universitas Patrice Lumumba, dari nama pejuang kemerdekaan Kongo yang dibunuh kudeta bekingan imperialis. Kandidat Ph.D. sejarah Universitas Pensyllvania mengemukakan temuan-temuan penelitiannya bahwa meskipun saat ini Ukraina dan Rusia sarat rasisme, termasuk terhadap kaum kulit hitam, dulunya di Uni Soviet terutama tahun 20an, 30an, dan 40an, menjadi suar bagi kaum Afrika-Amerika maupun Afrika. Pembubaran Uni Soviet paralel dalam banyak hal pemretelan terhadap gagasan kesetaraan ras dan persaudaraan rakyat sedunia.

Kontras dengan itu, kini banyak penyebaran sentimen rasis, bigot, dan berbagai prasangka ekstrem Kanan. Termasuk lewat Agentstvo Internet-Issledovaniy atau Agensi Penelitian Internet yang pada dasarnya merupakan peternakan provokator internet, mirip pabrik pendengung/buzzer, bukan hanya dikenal campur tangan mempengaruhi Pilpres 2016 AS namun juga berusaha mengompor-kompori sentimen Islamofobis di Australia.

Selain itu, Putin baik melalui pemerintahan Rusia secara langsung maupun melalui partainya atau jalur-jalur lainnya sering bekerjasama bahkan mendanai berbagai organisasi Kanan, ekstrem Kanan, termasuk fasis, yang dinilainya potensial bisa merongrong lawan-lawan politiknya terutama di tatanan UE dan AS maupun di pasifik seperti Australia. Moskwa sebelumnya pernah memberikan pinjaman hutang sebanyak sembilan juta euro ke FN pimpinan Marine Le Pen di Prancis. Shaltai Boltai, kelompok hacker Rusia, membongkar rangkaian SMS atau pesan pendek antara pejabat Kremlin dan anggota parlemen Rusia bahwasanya bagian dari kerjasama itu adalah dukungan Le Pen terhadap klaim Rusia atas Krimea.  Partai Yedinaya Rossiya atau Rusia Bersatu menjalin perjanjian kerjasama lima tahun dengan Freiheitliche Partei Österreichs atau Partai Kemerdekaan Austria yang euro-skeptis sekaligus anti-imigran dan Islamofobis. Bahkan Heinz-Christian Strache dipaksa mundur dari jabatannya karena terbongkar skandalnya menawarkan kontrak-kontrak publik sebagai imbalan atas dukungan kampanye dari Rusia. Sedangkan di Jerman sendiri, Rusia, baik melalui konglomerasi media massa yang juga beroperasi di Jerman, lewat komunitas Jerman-Rusia, dan berbagai koneksi lainnya, bekerjasama dengan Alternative für Deutschland (AfD) yang radikal kanan, anti-imigran, islamofobis, dan anti-feminis. Meskipun AfD secara resmi belum terbukti menerima pendanaan dari Rusia, namun banyak pimpinannya menjalin kerjasama bisnis internasional, dan keduanya pernah terlibat menyebarkan hoax tentang pemerkosaan terhadap gadis Rusia-Jerman (yang ternyata palsu) untuk dipakai kampanye anti-Arab dan anti-Imigran. Sedangkan di Italia, Kremlin erat bekerjasama dengan Matteo Salvini, pimpinan Lega Nord sekaligus pengagum Putin, yang Islamofobis dan anti-imigran. Lega adalah kelompok yang getol mendukung klaim Rusia atas Krimea sekaligus menentang sanksi-sanksi internasional terhadap Rusia. Skandal pertemuan rahasia Lega dengan orang-orang Putin di Hotel Metropol, Moskwa, menguak upaya mendapatkan pendanaan dari Rusia yang melibatkan skema bisnis perusahaan-perusahaan Italia dan Rusia.

Dalam agresi ke Ukraina itu sendiri, klaim denazifikasi juga kian tampak kesemuannya karena organ-organ ekstrem kanan dan fasis dari Rusia pun melibatkan diri sebagai sukarelawan. Yevraziyskiy Soyuz Molodozhi (YeSM) atau Uni Pemuda Eurasia—aliran ekstrem kanan dan Russkoe Imperskoe Dvizhenie (RID)—yang suprematis kulit putih, maupun organisasi yang sudah dilarang seperti Dvizheniye Protiv Nelegalnoy Immigratsii (DPNI) atau Gerakan Melawan Imigrasi Ilegal—yang anti-Islam, dan Russkoe Natsionalnoe Edinstvo (RNE) atau Persatuan Nasional Rusia—yang Neo-NAZI, juga bertempur dalam milisi-milisi sukarelawan.

Kemunafikan Para Pemimpin Negara-Negara Imperialis dan Borjuis

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi resolusi yang mengutuk invasi terhadap Ukraina dan menuntut ditarik mundur sepenuhnya pasukan-pasukan Rusia sekaligus dicabutnya pengakuan terhadap Republik Rakyat Donetsk serta Republik Rakyat Luhansk. Para pemimpin negara borjuis, terutama dari negara-negara rival Rusia, dengan cepat melayangkan kecamannya. Joe Biden, Presiden AS, menyatakan “…Presiden Putin telah memilih perang yang direncanakan yang akan membawa bencana hilangnya nyawa dan penderitaan manusia… Besok, saya akan bertemu dengan rekan-rekan G7 saya di pagi hari dan kemudian berbicara dengan rakyat Amerika untuk mengumumkan konsekuensi lebih lanjut yang akan dikenakan Amerika Serikat dan Sekutu dan mitra kami pada Rusia atas tindakan agresi yang tidak perlu ini terhadap Ukraina dan perdamaian dan keamanan global.” Penasihat Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan, mengemukakan pihaknya juga mengancam Tiongkok bilamana merencanakan membantu Rusia, bahwasanya AS “berkomunikasi secara langsung, secara pribadi ke Beijing bahwa pasti akan ada konsekuensi untuk upaya penghindaran sanksi skala besar atau dukungan kepada Rusia untuk menutupinya.”

Betapa ironisnya AS bicara tentang bencana hilangnya nyawa dan penderitaan manusia serta agresi dan pelanggaran terhadap perdamaian maupun keamanan dunia. Di Abad 21 saja, Imperialis AS sudah menginvasi Afghanistan di tahun 2001, 2002-2006 campur tangan dalam Perang Saudara Nepal, berperang di Maghreb sejak 2002, sejak tahun yang sama juga berperang di semenanjung Somalia, menginvasi Irak di tahun 2003, menginvasi Libya bersama Sekutu-NATO di tahun 2011, tahun yang sama berperang di Uganda, kembali menginvasi Irak tahun 2014, campur tangan di Perang Sipil Suriah tahun sejak 2014, dan tidak ketinggalan, membeking koalisi pimpinan Arab Saudi membombardir Yaman sejak 2014. Ini belum termasuk berbagai percobaan kudeta terhadap Venezuela.

Senada dengan AS, Perdana Menteri Britania, Boris Johnson, menyatakan, “Britania dan sekutu-sekutu kita akan merespon dengan tegas”terhadap apa yang disebutnya sebagai serangan-serangan mengerikan.”Sementara itu Kanselir Jerman, Olaf Scholz, mengatakan, Rusia telah meluncurkan,“perang agresi berdarah dingin… yang“…tidak manusiawi dan bertentangan dengan hukum internasional.”Ia juga lanjut menyatakan,“Dalam menyerang Ukraina, Putin tidak hanya ingin menghapus suatu negeri dari peta dunia, ia juga mengahncurkan struktur keamanan Eropa yang sudah kita miliki sejak Helsinki.”Sedangkan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengecam,“Rusia sendiri yang mengkhianati komitmen-komitmen internasionalnya satu demi satu saat Presiden Putin memilih perang…”sambil menyanjung Zelenskyy sebagai wajah“kehormatan, kemerdekaan, dan keberanian.”Macron juga mengatakan,“Perang ini bukanlah konflik antara Barat dan Rusia…tidak ada pangkalan NATO di Ukraina…Perang ini bukanlah perang melawan NAZIsme…itu bohong.”Demikianlah munafiknya para pemimpin negara Imperialis itu. Bukan hanya demi membela sekutu dan kepentingannya mereka rela menutupi jejak imperialistisnya sendiri namun juga menutupi keberadaan maupun pengaruh fasis di Ukraina.

Kecaman-kecaman diikuti dengan dijatuhkannya sanksi-sanksi internasional terhadap Rusia, khususnya oleh AS dan negara-negara sekutunya. Banyak sanksi itu sebenarnya sudah dijatuhkan sejak pencaplokan Krimea di tahun 2014, umumnya oleh AS dan UE, tapi diikuti pula oleh Jepang dan Australia. Tahun 2022, sejak invasi, selain AS, UE, dan sekutu-sekutunya yang memperluas dan memperberat sanksi-sanksi ke Rusia, negara-negara yang punya sejarah dipatahkan/dipartisi Imperialis yaitu Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, yang sebelumnya netral dalam konflik Rusia-Ukraina, akhirnya ikut menerapkan sanksi terhadap Rusia. Banyak dari sanksi demikian tidak hanya memberikan beban berat ke pemerintahan Kremlin namun juga menyasar dan menyengsarakan warga-warga Rusia yang sebenarnya tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penginvasian Ukraina. Faisal Islam dari BBC News menyatakan bahwa langkah-langkah sedemikian jauh bukan lagi merupakan sanksi-sanksi dalam batasan wajar dan “lebih terlihat sebagai suatu bentuk perang ekonomi.” Bank Sentral dari negara anggota lain G20 tidak ada yang diperlakukan sampai kondisi bisa memicu hiperinflasi dan kepanikan penarikan dana nasabah besar-besaran.

Logika ini sebagai perang ekonomi negara-negara kapitalis menunjukkan bahwasanya memang kepentingan sejati mereka bukanlah untuk membantu rakyat Ukraina. Oleh karena itu sanksi-sanksi AS, UE, dan negara-negara sekutunya, terhadap Rusia, tidak diimbangi dengan bantuan penghapusan utang Ukraina sebagai negara yang bukan hanya kesulitan ekonomi tapi juga menderita perang. Memang Komisi Eropa, Bank Dunia, dan IMF memberikan‘bantuan’ finansial menjelang invasi tapi itu dalam skema utang dan dengan syarat-syarat berat. Komisi Eropa misalnya telah menambahkan € 1,2 miliar (di atas Rp 18 trilyun 900 miliar) dari € 13 miliar utang ke Ukraina namun disertai kewajiban penerapan langkah-langkah kebijakan yang didikte UE. Sebelumnya, Bank Dunia sudah meminjamkan AS$ 8,4 miliar dan IMF AS$ 17 miliar yang semuanya mewajibkan restrukturalisasi neoliberal. Padahal Ukraina sudah sarat masalah kemiskinan, privatisasi, korupsi, naiknya harga barang dan jasa kebutuhan pokok, serta lain sebagainya.

Sanksi yang dipromosikan AS untuk diterapkan ke Rusia juga kontras dengan pembelaan sengitnya selama ini terhadap Imperialis Zionis Israel. Puluhan tahun Zionis Israel tidak hanya menjajah Palestina namun juga menerapkan apartheid dan berbagai kejahatan perang maupun pelanggaran HAM, termasuk terhadap rakyat sipil. Bahkan Januari 2019 Senat AS mengesahkan undang-undang yang mengkriminalisasi boikot dan pemerintah menggunakannya untuk menarget perorangan, kelompok, maupun badan usaha yang memotong atau mempromosikan memotong hubungan dengan pemukiman Zionis Israel. Meskipun demikian, negara Israel lah yang dimintai tolong Zelenskyy untuk memediasi konflik Ukraina-Rusia.

Tidak kalah munafiknya dengan para pemimpin negara imperialis tadi adalah pernyataan kepala negara borjuis, termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi). Lewat Twitter (Kamis, 24/2/2022) Jokowi berkicau, “Setop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia dan membahayakan dunia.” Tapi rezimnya sendiri terus mengerahkan operasi-operasi militer ke West Papua dan mengedepankan pendekatan agresif. Sementara di sisi lain, pengerahan aparat gabungan besar-besaran bukan hanya dilakukan ke Desa Wadas namun juga ke banyak wilayah sarat konflik akibat megaproyek-megaproyek kapitalistis. Ini belum termasuk kian tingginya intimidasi, represi, kriminalisasi, dan persekusi, terutama terhadap aktivis rakyat di Indonesia.

Perundingan-Perundingan Telah Gagal? Apa yang Melandasi Anggapan Dorongan Perundingan Berikutnya Akan Berhasil?

Berbagai aliansi dalam dan luar negeri, dari berbagai spektrum politik, banyak yang menuntut dihentikannya perang dengan dorongan agar Rusia dan Ukraina kembali ke meja perundingan serta menyelesaikan masalah secara diplomatis. Upaya-upaya ini sayangnya sudah dicoba dan sudah gagal. Perjanjian Minsk Pertama ditandatangani 5 September 2014 yang ditandatangani rezim Ukraina, para pemberontak dari Luhanks dan Donetsk, Rusia, dengan mediasi Prancis dan Jerman. Pertempuran Kedua Bandara Donetsk meletus kembali 28 September 2014. Pihak Ukraina dan pemberontak saling menuduh satu sama lain yang melanggar perjanjian. Perjanjian Minsk II ditandatangani pada 12 Februari 2015. Ini hasil desakan Prancis-Jerman, merespon proposal-proposal AS untuk mengirimkan persenjataan ke pemerintahan Ukraina, yang menurut Kanselir Jerman, Angela Merkel, hanya akan memperparah krisis. Menteri Luar Negeri Jerman menyatakan perundingan berjalan sangat alot. Presiden Prancis saat itu, Francois Hollande, menyatakan bahwa rencana ini adalah kesempatan terakhir penyelesaian konflik. Kedua perjanjian ini sama-sama menekankan soal gencatan senjata dan pembebasan semua tahanan (politik) terkait konflik. Tidak ada sama sekali soal pengakuan kedaulatan terhadap Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk, paling banter berupa pengaturan tata tertib swa-pemerintahan di Donetsk dan Luhansk serta kewajiban penyelenggaraan pemilu di sana berdasarkan hukum-perundang-undangan Ukraina. Ini pun sama rapuhnya dengan Perjanjian Minsk I, bahkan lebih rumit. Pertempuran masih berlangsung di koya Debaltseve antara tentara Ukraina dengan tentara Republik Rakyat Donetsk, pertempuran para anggota Batalyon Azov dengan tentara Republik Rakyat Donetsk di desa-desa dekat kota Mariupol. Mandat pemilu di Donetsk dan Luhansk sendiri yang dimandatkan Perjanjian Minsk II dijalankan pada 11 November 2018. UE dan AS kemudian tidak mengakui pemilu ini dan hasil-hasilnya. Konflik bersenjata kemudian terus berlangsung hingga tahun ini. Alexander Zakharchenko sendiri, Perdana Menteri Republik Rakyat Donetsk, tewas 31 Agustus 2018 akibat ledakan bom di kafe yang dia kunjungi.

Khusus di tahun 2022 sendiri, pertempuran di Donbass meningkat setelah 17 Februari, pihak pemerintah Ukraina maupun pemberontak saling menuduh satu-sama lain sebagai pihak yang memulai penembakan ke wilayah satu sama lain. Hari berikutnya Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk memerintahkan semua warga sipil sipil untuk dievakuasi atau meninggalkan ibu kota. Mereka kemudian secara formal meminta bantuan militer dari Rusia.

Pengakuan Rusia terhadap kedaulatan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk sendiri baru diberikan pada 21 Februari 2022, dua hari menjelang serbuannya ke Ukraina. Bersamaan dengan klaim bahwa pembombardiran dari Ukraina menghancurkan fasilitas perbatasan aparat Dinas Keamanan Federal Rusia, sesuatu yang dibantah rezim Zelenskyy. Di hari yang sama, Putin berpidato “Ukraina tidak pernah memiliki tradisi kebangsaan sejati” dan diciptakan oleh Soviet Rusia.  Sebelumnya baik dalam perjanjian Minsk I dan II maupun diplomasi Format Normandie, Donetsk dan Luhansk diajukan direintegrasikan ke Ukraina dengan otonomi daerah dalam konsep federalisme. Tapi semua pendekatan diplomatis itu gagal. 24 Februari 2022, Putin memutuskan invasi ke Ukraina dengan mengerahkan angkatan-angkatan bersenjata yang sebelumnya sudah dimobilisasi di perbatasan Rusia, Belarusia, dan Ukraina, diikuti serangan-serangan udara menarget bangunan-bangunan militer Ukraina. Dalam pidatonya bertajuk Tentang Menjalankan Operasi Militer Khusus, Putin menyatakan bahwa sudah mustahil mencapai kesepakatan dengan NATO yang dipandangnya mengepung Rusia dan mempersenjatai Ukraina oleh karenanya operasi militer dilancarkan untuk mendemiliterisasi dan mendenazifikasi Ukraina.

Sisi lain, meskipun tidak menyiratkan akan turun langsung ke Ukraina, namun AS dan negara-negara NATO memberikan bantuan militer ke Ukraina. Januari 2022 AS sudah memberi restu bagi sebagian negara-negara anggota NATO untuk mentransfer persenjataan mereka yang diproduksi AS untuk dikirimkan ke Ukraina. 26 Februari 2022, Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, mengumumkan bahwa AS telah mengesahkan bantuan $ 350 juta untuk perlengkapan dan persenjataan militer. Hari berikutnya UE menyatakan akan memesan € 500 juta perlengkapan dan persenjataan militer ungtuk dipasok ke Ukraina melalui Polandia. Kurang dari seminggu sejak invasi, negara-negara anggota NATO telah memasok lebih dari 17 ribu persenjataan anti-tank ke Ukraina. Josep Borrell juga menyatakan bahwa UE akan menyuplai pesawat-pesawat tempur ke Ukraina seperti MiG-29 dari Bulgaria dan Polandia serta Su-25 dari Slovakia. Imperialis AS memang belum tentu akan ikut berperang di Ukraina pada khususnya dan Eropa Timur pada umumnya. Namun Gedung Putih sudah diuntungkan karena lewat cara ini mereka bisa mendestabilisasi Rusia, membuat Rusia mencurahkan energi militernya di Eropa Timur, mendorong Rusia ke dalam kesulitan ekonomi, sehingga di panggung dunia lainnya memberi kesempatan-peluang lebih bagi Washington di Pasifik, Afrika, dan Amerika Latin.

Sejak 24 Februari 2022 itu sendiri setidaknya sudah ada lima gelaran perundingan Rusia-Ukraina yang dimediasi berbagai pihak. Perundingan 28 Februari, 3 Maret, 7 Maret, 10 Maret, 14-17 Maret, dan 21 Maret. Semuanya paling banter hanya mencapai soal bantuan kemanusiaan dan evakuasi rakyat sipil. Selain itu kepentingan dan kondisi semua pihak sangatlah berbeda. Rusia jelas mempertahankan klaim atas Krimea sekaligus pengakuan terhadap Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk namun meskipun memiliki keunggulan militer, Rusia dan pasukan-pasukan pendukungnya tidak punya cukup logistik untuk mengelola kota-kota yang mereka taklukkan, belum juga dampak berat sanksi-sanksi ekonomi yang kian parah. Sementara itu Ukraina meskipun bisa menahan jatuhnya Kyiv dan beberapa kota penting lainnya, kekuatan militer mereka banyak luluh lantak di berbagai lini, dan mimpi Zelenskyy untuk merebut Donbass sekarang murni mustahil dengan ketiadaan kemungkinan bukan hanya atas keanggotaan NATO tapi juga perjanjian pertahanan bersama penggantinya. Kaum ekstrem Kanan dan fasis di Ukraina tidak akan bisa menerima ini. Kemungkinan perundingan perdamaian memang masih bisa terjadi dengan rencana partisi Rusia terhadap Ukraina secara lebih luas sehingga bisa mendorong buffer states atau negara-negara penyangga/perantara untuk mendorong mundur jangkauan NATO dari Rusia dan negara-negara sekutunya. Tapi perundingan dan perdamaian apapun dalam rangka kapitalisme bukan hanya suatu hal yang bersifat sementara namun juga sangat rapuh. Bukan hanya sewaktu-waktu bisa dicabik-cabik, dikoyak-moyak kembali pertempuran bersenjata, namun juga tidak memadamkan bara api rasisme, seksisme, dan berbagai kereaksioneran dalam sekam penghisapan itu sendiri. Solusi sejati bagi kengerian perang masih terletak pada perjuangan rakyat melawan fasisme sekaligus perjuangan kelas menghancurkan kapitalisme dan menggulingkan imperialisme-kapitalisme. Internasionalisme proletar dan solidaritas kaum tertindas lewat berbagai perlawanan kerakyatan perlu dikobarkan. Lapisan paling maju dan sadar kelas dari buruh dan rakyat-pekerja Indonesia punya tugas penting untuk turut memblejeti kemunafikan kepala negara borjuis Indonesia, mengecam agresi militer Rusia, sekaligus menentang NATO dan Ekstremisme Kanan di Ukraina.

ditulis oleh Leon Kastayudha, anggota Sosialis Muda dan kader Perserikatan Sosialis

Sumber:

Aljazeera. (2022, Februari 22). Diakses 27 Februari 2022  di https://www.aljazeera.com/news/2022/2/24/russia-ukraine-invasion-casualties-death-toll

Amnesty Internasional. (2014, September 8). Ukraine: Abuses and War Crimes by The Aidar Volunteer Battalion in The North Luhansk Region. Diakses 25 Maret 2022 di https://www.amnesty.org/en/documents/EUR50/040/2014/en/

Bassist, Rina. (2016, Januari 8). Wiesentahl Center calls on French Mayor to Prevent ‘Neo-NAZI’ Gathering. The Jerusalem Post. Diakses di https://www.jpost.com/Diaspora/Wiesenthal-Center-calls-on-French-mayor-to-prevent-neo-Nazi-gathering-440834

BBC News. (3 November 2004, 17.41 GMT). A Modern Slave’s Brutal Odyssey. Diakses di http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/3979725.stm

Biddle, Sam. (2022, Februari 25, 12.44). Facebook Allows Praise of Neo-NAZI Ukrainian Battalion if It Fights Russian Invasion. The Intercept. Diakses 25 Maret 2022 di https://theintercept.com/2022/02/24/ukraine-facebook-azov-battalion-russia/?fbclid=IwAR2ZJykoHevfFx1-PkNfq2lxETC85SgsfJkZdsbX3LJ0uPrRDWri_OjoqOA

Bradley, Matt. (2017, Februari 12, 21.09).  Europe’s Far-Right Enjoys Backing from Russia’s Putin. NBC News. Diakses 27 Maret 2022 di https://www.nbcnews.com/news/world/europe-s-far-right-enjoys-backing-russia-s-putin-n718926

Cano, Regina Garcia. (2022, Februari 17). Venezuela’s Leader Pledges Military Cooperation with Russia. Yahoo! News. Diakses 25 Maret 2022 di https://news.yahoo.com/venezuela-russia-hold-discussions-west-185152195.html

Colborne, Michael&Kuzmenko, Oleksiy. (2019, September 14). The “Hardcore” Russian Neo-NAZI Group That Calls Ukraine Home. Bell?cat. Diakses 28 Maret 2022 di https://www.bellingcat.com/news/uk-and-europe/2019/09/04/the-hardcore-russian-neo-nazi-group-that-calls-ukraine-home/

Council of Europe. (2004, Maret 7). Slaves at The Heart of Europe. Diakses di https://web.archive.org/web/20040307062424/http://www.coe.int/T/E/Com/Files/Themes/trafficking/

Crime Thinc. (2022, Februari 15). War and Anarchists: Anti-Authoritarian Perspectives in Ukraine. Diakses 27 Februari 2022 di https://crimethinc.com/2022/02/15/war-and-anarchists-anti-authoritarian-perspectives-in-ukraine.

De Groot, Kristen. (2021, Agustus 9). African American in The ‘Raceless’ Soviet Union. Penn Today. Diakses 28 Maret 2022 di https://penntoday.upenn.edu/news/african-american-raceless-soviet-union

Eristavi, Maxim. (2015, April 27). Ukrainian PM Leads Charge to Erase Soviets History. Politico. Diakses 10 Maret 2022 di https://www.politico.eu/article/ukraine-russia-anti-communist-laws/

Felgenhauer, Pavel. (2009, Januari 22). The Russian Security Services—The Prime Murder Suspects. The James Town Foundation. Sumber: http://www.jamestown.org/single/?no_cache=1&tx_ttnews[tt_news]=34391&tx_ttnews[backPid]=7&cHash=fb814ff846 Terarsipkan. Diakses di https://archive.ph/20121220214736/http://www.jamestown.org/single/?no_cache=1&tx_ttnews%5Btt_news%5D=34391&tx_ttnews%5BbackPid%5D=7&cHash=fb814ff846

Furmanov, Vadim. (2015, November 27). Dynamo Kyiv – Officials Remain in Denial Over Racism Problems. Futbolgrad. Diakses 25 Maret 2022 di http://www.futbolgrad.com/dynamo-kyiv-officals-remain-in-denial-over-racism-problems/

Gentlemen, Amelia. (2015, Juni 10, 07.00 BST). Breaking The Taboo: The Moscow Women Taking A Stand Against Domestic Violence. The Guardian. Diakses 28 Maret 2022 di https://www.theguardian.com/cities/2015/jun/10/moscow-domestic-violence-problem-russia

Gorchinskaya, Katya. (2022, Juni 11). A Brief History of Corruption in Ukraine: the Poroshenko Era. Eurasianet. Diakses 25 Maret 2022 di https://eurasianet.org/a-brief-history-of-corruption-in-ukraine-the-poroshenko-era

Horvath, Robert. (2022, Maret 22). Putin’s Fascists: The Russian State’s Long History of Cultivating Homegrown Neo-NAZIs. The Conversation. Diakses 27 Maret 2022 di https://theconversation.com/putins-fascists-the-russian-states-long-history-of-cultivating-homegrown-neo-nazis-178535

Hrodmanske. (2018, Juni 14). Far-Right Group C14 Wins Funding From Ukrainian Government. Hromadske Internasional. Diakses 28 Maret 2022 di https://en.hromadske.ua/posts/far-right-group-c14-wins-funding-from-ukrainian-government

Human Rights Watch. (2014, Juli 24, 2.19). Ukraine: Unguided Rockets Killing Civilians. Stop Use of Grads in Populated Areas. Diakses 25 Maret 2022 di https://www.hrw.org/news/2014/07/24/ukraine-unguided-rockets-killing-civilians

Human Rights Watch. (2019, April 23, 12.00 EDT). US: States Use Anti-Boycott Laws to Punish Responsible Businesses. Laws Penalize Companies that Cut Ties with Israeli Settlements. Diakses 29 Maret 2022 di https://www.hrw.org/news/2019/04/23/us-states-use-anti-boycott-laws-punish-responsible-businesses

Isachenkov, Vladimir&Lee, Mathew. (14 Januari 2022, 11.07) Russia’s Talk of Troops in Latin America Called ‘Bluster’. ABC News. Diakses 25 Maret 2022 di https://abcnews.go.com/International/wireStory/kremlin-deplores-lack-progress-talks-west-82240819

Khazan, Olga. (2013, Juni 2013). Whis Is Russia So Homophobic? The Atlantic. Diakses 27 Maret 2022 di https://www.theatlantic.com/international/archive/2013/06/why-is-russia-so-homophobic/276817/

Kinkartz, Sabine. (2022, Februari 27). German Chancellor Olaf Scholz Annouces Paradigm Change in Response to Ukraine Invasion. DW. Diakses 29 Maret 2022 di https://www.dw.com/en/german-chancellor-olaf-scholz-announces-paradigm-change-in-response-to-ukraine-invasion/a-60932652

Kovalevich, Dmitri. (2021, Maret 11, 05.21). The Ukrainian edition “Zerkalo Nedeli” (The Mirror of the Week) just published 6 conditions put forward by Russia for the termination [Pos]. Facebook. Diakses 11 Maret 2022 dari https://www.facebook.com/dmitri.kovalevich.94/posts/465485621945376

Kovalevich, Dmitri. (2022, Maret 3). Rückgrat der Armee. Faschisten gewinnen in der Ukraine immer mehr an Boden. Westen liefert bereitwillig Waffen. Junge Welt. Diakses 26 Maret 2022 dari https://www.jungewelt.de/artikel/422525.lage-in-der-ukraine-r%C3%BCckgrat-der-armee.html

Kramer, Andrew. (2022, Februari 10). Armed Nationalists in Ukraine Pose A Threat Not Just to Russia. The New York Times. Diakses 26 Maret 2022 dari https://www.nytimes.com/2022/02/10/world/europe/ukraine-nationalism-russia-invasion.html

Likhachev, Vyacheslav. (2016). The Far Right in the Conflict Between Russia and Ukraine. Russie.Nei.Visions, No. 95, Ifri.

McGreal, Chris. (2006, 7 Februari). Brothers in Arms – Israel’s Secret pact with Pretoria. The Guardian. Diakses Rabu 16 Maret 2022 di https://www.theguardian.com/world/2006/feb/07/southafrica.israel

Mikhailenko, Peter. (2019, Mei 2). Ukraine: Zelenskiy Elected President as Power Shifts within The Oligarchy. In Defence of Marxism. Diakses 1 Maret 2022 di https://www.marxist.com/ukraine-zelenskiy-to-be-president-as-power-shifts-among-the-oligarchy.htm

Movchan, Sergiy. (2020, April 27). “We Demand Human Rights and Death to The Enemies!” Far Right Movements and Civil Society in Ukraine. Rose Luxemburg Stiftung. Diakses 28 Maret 2022 di https://www.rosalux.de/en/news/id/42076/we-demand-human-rights-and-death-to-the-enemies

National Security Archive. (2017, Desember 12). NATO Expansion: What Gorbachev Heard. Diakses 28 Februari 2022 di https://nsarchive.gwu.edu/briefing-book/russia-programs/2017-12-12/nato-expansion-what-gorbachev-heard-western-leaders-early

Nardelli, Alberto. (2019, Juli 10). An Explosive Leaked Recording Reveals How Russia Secretly Tried To Funnel Millions To The “European Trump” Buzzfeed. Diakses 28 Maret 2022 di https://www.buzzfeednews.com/article/albertonardelli/salvini-russia-oil-deal-secret-recording

Norris, Sian. (2022, Maret 2). Millions of Russian Roubles Funded Far-Right Discord in Europe. Byline Times. Diakses 27 Maret 2022 di https://bylinetimes.com/2022/03/02/millions-of-russian-roubles-funded-far-right-discord-in-europe/

Protokol Minsk (dalam bahasa Rusia). Organization for Security and Co-operation in Europe. Diakses 25 Maret dari http://www.osce.org/ru/home/123258?download=true

Rethmann, Petra. (2018, November 2). How Russians Have Helped Fuel The Rise of Germany’s Far Right. The Conversations. Diakses 27 Maret 2022 di https://theconversation.com/how-russians-have-helped-fuel-the-rise-of-germanys-far-right-105551

Reuters. (2022, Maret 3, 11.02 GMT). France’s Macron: Russia’s Putin Alone Chose War in Ukraine. Diakses 29 Maret 2022 di https://www.reuters.com/world/europe/frances-macron-russias-putin-alone-chose-war-ukraine-2022-03-02/

RSF. (2010). World Press Freedom Indeks. Diakses di https://rsf.org/en/world-press-freedom-index-2010

Schabner, Dean. (2011, Maret 5, 3.14). Skinheads Boast of Scholar’s Murder. ABC News. Diakses di https://abcnews.go.com/International/story?id=84600

Sear, Tom&Jensen, Michael. (2019). Hashtag War, Russian Trolls and The Project to Undermine Australian Democracy. Griffith Review. Diakses di 27 Maret 2022 di https://www.griffithreview.com/articles/hashtag-war-russian-trolls-undermine-australian-democracy/

Shandra, Alya. (2018, November 15, 21.32). German Neo-NAZIs March with Ukrainian Nationalists in UPA March. Euromaidan Press. Diakses 28 Maret 2022 di https://euromaidanpress.com/2018/10/15/german-neo-nazis-march-with-ukrainian-nationalists-in-upa-march/

Sheppard, Barry. (2022, Februari 18). Role of The Ukrainian Fascists. Red Ant. Diakses 27 Februari 2022 di https://red-ant.org/2022/02/18/role-of-the-ukrainian-fascists/

St.Julian-Varnon, Kimberly. (2020, Februari 28). Black Skin in The Red Land: African Americans and The Soviet Experiment. Wilson Center. Diakses 28 Maret 2022 di https://www.wilsoncenter.org/blog-post/black-skin-red-land-african-americans-and-soviet-experiment

Syafira, Devi Rahma. (25 Februari 2022, 08.49) Kementerian Luar Negeri Indonesia Sebut Kondisi 138 WNI di Ukraina Aman. Tribun News. Diakses 28 Februari dari https://www.tribunnews.com/nasional/2022/02/25/kementerian-luar-negeri-indonesia-sebut-kondisi-138-wni-di-ukraina-aman

Tsiberganova, Svetlana. (29 Januari 2014). Not My War. Liva. Diakses 28 Februari dari https://liva.com.ua/not-my-war.html

Walker, Shaun. (2015, Oktober 27, 19.26 GMT). UEFA Calls Investigation Into Attack on Black Fans at Dynamo Kyiv. The Guardian. Diakses di 25 Maret 2022 di https://www.theguardian.com/football/2015/oct/27/uefa-calls-investigation-in-attack-on-black-fans-at-dynamo-kyiv

Walker, Shaun. (2017, Februari 7, 16.18 GMT). Putin Approves Legal Change That Decriminalises Some Domestic Violence. The Guardian. Diakses di 28 Maret 2022 di https://www.theguardian.com/world/2017/feb/07/putin-approves-change-to-law-decriminalising-domestic-violence

Walker, Shaun. (2017, Januari 19, 14.56 GMT). Fury at Russian Move to Soften Domestic Violence Law. The Guardian. Diakses 28 Maret 2022 di https://www.theguardian.com/world/2017/jan/19/russian-soften-domestic-violence-law-decriminalise-womens-rights

Westin Kicki. (2018, Maret 7). The OSCE Draws Attention to Violence Against Women in Ukraine. Folke Bernadotte Academy. Diakses di https://fba.se/en/newspress/nyhetsarkiv/2018/the-osce-draws-attention-to-violence-against-women-in-ukraine/

Williams, Dan. (2022, Februari 26, 5.59 GMT). Zelenskiy Askas Irael to mediate with Russia, Ukraine Envoy Says. Reuters. Diakses di https://www.reuters.com/world/europe/israeli-pm-spoke-with-ukraine-president-offers-humanitarian-aid-2022-02-25/

Wojcik, John. (2022, Februari 11, 10.13 GMT). Ukrainian Fascists Say The Will Sabotage Any Peace Deal with Russia. People’s World. Diakses 26 Maret 2022 di https://www.peoplesworld.org/article/ukrainian-fascists-say-they-will-sabotage-any-peace-deal-with-russia/

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: