Perjuangan

Kemenangan Taliban, Imperialisme, serta Kemunafikan Rezim Borjuis AS dan Indonesia.

Taliban, kelompok fundamentalis islam merebut kekuasaan di Afganistan (15/08/2021). Setelah Donald Trump menandatangi kesepakatan damai Amerika Serikat (AS)-Taliban pada tahun 2020, Joe Biden sebagai penggantinya melanjutkan untuk menarik tentara AS dari Afganistan, mengakhiri perang yang sudah berlangsung selama 20 tahun setelah peristiwa World Trade Center. Di tengah situasi itulah, Taliban melancarkan serangan masuk ke kota-kota besar Afganistan. Puncaknya, saat Taliban tiba di Ibu Kota Kabul untuk mengambil kendali pemerintahan, Presiden Asraf Ghani melarikan diri ke Uni Emirat Arab. Lewat video yang diposting di halaman Facebooknya, ia membuat pernyataan “Kalau saya tetap disana, akan ada pertumpahan darah di jalan-jalan Kabul, dan akan berubah menjadi seperti Suriah”. Ghani kabur dan beralasan pergi untuk menghindari penderitaan yang dialami rakyat Afganistan.

Namun, kenyataannya rakyat di Afganistan kembali mendapatkan penindasan dibawah rezim Taliban, terutama kaum perempuan. Sejak Taliban tiba di Kabul, poster-poster yang bergambar perempuan mulai disingkirkan. Pada saat pemerintahan Taliban tahun 1996-2001, perempuan tidak diperbolehkan untuk bekerja dan sekolah. Cara berpakaian mereka diatur, dipaksa menutupi wajah dengan memakai burqa. Mereka juga tidak diperbolehkan keluar rumah kecuali ditemani oleh mahram atau kerabat laki-laki. Siapa saja yang melanggar aturan tersebut akan mendapatkan hukuman dan atau dibunuh. Kemiskinan merajalela, minimnya akses kesehatan yang mengakibatkan kematian anak dan ibu melahirkan, angka buta huruf yang tinggi, LGBT dan kesenian juga dilarang. Sehingga, hak-hak dasar, kebebasan dan keamanan mereka kembali terancam. Karena itu, ribuan orang berusaha mengungsi meninggalkan afganistan. Banyak warga mengantre di Kantor Imigrasi untuk membuat paspor. Kekacauan pun terjadi di Bandara Internasional Hamid Karzai, lima orang tewas pada saat proses evakuasi pesawat AS, dimana orang-orang masuk landasan untuk memaksa masuk ke dalam pesawat, bahkan ada yang nekat naik ke sisi pesawat dan terjatuh dari langit.

Kecepatan Taliban menguasai hampir seluruh wilayah di Afganistan yang berlangsung sejak akhir Juli 2021, menunjukkan lemahnya militer Afganistan. Bahkan di beberapa kota besar, pasukan setempat mundur tanpa perlawanan. Menurut Laporan Inspektur Jenderal Khusus untuk Rekonstruksi Afghanistan (SIGAR), Pasukan pertahanan dan Keamanan Nasional Afghanistan (ANDSF) berjumlah lebih dari 300 ribu yang diantaranya terdiri dari tentara, polisi, angkatan udara dan pasukan khusus yang dilatih CIA. Sedangkan Taliban, diperkirakan hanya memiliki 75 ribu pasukan. Meskipun ada sedikit kebebasan dibawah Pemerintahan Asraf Ghani dibanding masa pemerintahan Taliban, pemerintahan tersebut dikenal sangat korup, terutama Kementerian Pertahanan. Korupsi yang berlarut-larut disektor pertahanan ini, mulai dari peralatan militer hingga gaji para prajurit mengakibatkan manajemen yang buruk. Namun, penyebab utama lemahnya militer dan pemerintahan Afganistan adalah karena ketergantungannya pada Imperialis AS yang diperparah dengan kebijakan ekonomi imperialis yang menindas. Sejak tahun 1979, Amerika Serikat yang dibantu Arab Saudi, Mesir, Israel dan Pakistan mendukung Mujahidin melawan musuh lama mereka yaitu Uni Soviet yang berada di Afghanistan. Milliaran dolar digelontorkan untuk melatih dan mempersenjartai Mujahidin. Hal inilah yang mengakibatkan fundamentalisme Islam berkembang pesat di Afganistan maupun ditingkatan Internasional.

Indonesia di bawah rezim kediktatoran militer Orde Baru-Suharto juga turut berpartisipasi dalam mendukung kaum fundamentalis di Afghanistan, mendukung Imperialis AS dalam masa Perang Dingin. Dalam biografi Sintong Panjaitan, yang berjudul Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, karya Hendro Subroto, Luhut Panjaitan menyampaian bahwa Jendral TNI Benny Moerdani dan beberapa perwira tinggi ABRI saat itu memasukkan senjata lewat Pakistan untuk disalurkan kepada Mujahidin di Afghanistan. Kemudian pasca 98, Jusuf Kalla saat menjabat sebagai Wakil Presiden Jokowi juga sering mengundang Taliban ke RI dan berdalih untuk menengahi konflik yang terjadi di Afghanistan. Belum lama setelah JK bertemu Presiden Ghani di Kabul pada Desember 2020, ia kemudian bertemu pimpinan militer Taliban, Mullah Baradar Akhund, di Doha, Qatar pada Januari 2021. Bahkan setelah pertumpahan darah dan perang panjang yang terus terjadi, hingga Taliban kembali berkuasa. Pada tanggal 16 Agustus 2021, JK menyampaikan bahwa “Baik Taliban maupun Pemerintah Afghanistan adalah bersaudara, dan mereka tidak akan memerangi negara yang sudah ditinggalkan tentara Amerika serikat”.

Hal itu menunjukkan pemerintah borjuis negara kapitalis republik Indonesia tidak pernah konsisten melawan fundamentalisme. Dalam beberapa kesempatan, mereka akan mendukung fundamentalisme, juga tidak segan bekerja sama bilamana sejalan dengan kepentingan kapitalisme maupun pesanan imperialisme, begitupun sebaliknya. Alih-alih menyelesaikannya secara tuntas dan mengambil sikap menyelamatkan kelas buruh dan rakyat pekerja, fundamentalisme tetap dipertahankan dan dipelihara. Karena itu, hanya dengan kekuatan solidaritas kelas buruh dan rakyat pekerja lintas agama, apapun suku, ras, jenis kelamin serta orientasi seksualnya yang dapat melawan dan mengakhiri fundamentalisme agama serta perang yang diakibatkan Imperialisme.

Ditulis oleh Rai Sander, anggota Lingkar Studi Kerakyatan

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: