Strategi Taktik

Terorganisir untuk Pembebasan Perempuan

Hal paling mendasar dalam perjuangan mewujudkan pembebasan perempuan adalah dengan membongkar akar penindasannya. Kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan seperti  pemerkosaan meskipun tampak secara spontan dan individual, namun hal tersebut bukanlah sekedar kekerasan yang dilakukan atas kepentingan perorangan ke perorangan lainnya. Selain itu pelecehan dan kekerasan seksual meskipun mayoritas dialami perempuan, tapi laki-laki serta LGBT juga mengalaminya. Karena itu, pandangan yang memfokuskan perjuangan pembebasan perempuan pada pengalaman individual dan menekankan akar penindasan perempuan seolah pada jenis kelamin laki-laki, tidak tepat dan hanya akan melemahkan perjuangan itu sendiri.

Penindasan terhadap perempuan bersumber dari tatanan masyarakat kelas (sebagaimana kami tuliskan dalam koran Arah Juang edisi 60 “Kemunculan Kelas dan Penyingkiran Perempuan”), yang bukan hanya mendomestifikasi perempuan tetapi juga membentuk seksisme. Dalam tatanan masyarakat kelas terkini yakni kapitalisme, kelas penindas yang berkuasa berkepentingan mengontrol tubuh perempuan untuk mereproduksi tenaga kerja dengan domestifikasi dan kerja perempuan yang tak berbayar, upah lebih rendah bagi buruh perempuan, serta komodifikasi tubuh perempuan dan eksploitasi seksual. Demikianlah penindasan perempuan tidak terjadi secara alamiah, tetapi memiliki akar dan basis material, serta meskipun ada perubahan-perubahan dalam perjalanan sejarahnya, landasan objektif untuk mengubahnya harus ditemukan dengan mendorong dan mengarahkan perjuangan pembebasan perempuan mengakhiri kapitalisme serta tatanan masyarakat kelas itu sendiri.

Tatanan masyarakat kapitalisme berkepentingan memperkaya diri sendiri serta melanggengkan hegemoni kekuasaannya ini. Sehingga bangunan seksisme itu terus dipertahankan, dijalankan secara terorganisir dan masif lewat keluarga, agama, pendidikan menurut norma borjuis sekaligus oleh negara maupun media kapitalis. Penindasan terhadap perempuan yang terorganisir dan masif itu karenanya harus dilawan secara teroganisir dan masif juga.

Penindasan terhadap perempuan tidak bisa diselesaikan hanya dengan lifestilysm atau gaya hidupisme. Politik gaya hidup berkaitan dengan penyimpangan slogan “personal adalah politik”, dari gagasan besar yang awalnya ingin menekankan bahwa apa yang kita anggap sebagai pribadi maupun pengalaman sebenarnya dibentuk oleh relasi sosial ekonomi dan politik yang berlaku. Namun kemudian muncul anggapan melenceng bahwa penyikapan atas penindasan sosial dibawa ke ranah personal dan dijadikan sebagai pilihan gaya hidup tertentu. Cara ini dianggap untuk membebaskan diri dari penindasan dan keterasingan dengan merubah dan membentuk diri sendiri menjadi contoh untuk ditiru orang lain. Alih-alih mengambil peran membangun gerakan perempuan sebagai perjuangan massa, politik gaya hidup sering kali memilih tidak terlibat dan tidak menyerang kelas penguasa.

Pembebasan perempuan juga tidak bisa dicapai dengan sekedar promosi gaya kosmetik dan berpakaian dengan dalih body positivity, sex positivity, slogan semua perempuan cantik, dan semacamnya. Seolah berupaya melawan standarisasi kecantikan yang mainstream seperti putih dan langsing. Padahal tidak bisa dipungkiri dalam kapitalisme konsep cantik direkontruksikan sedemikian rupa sesuai dengan produk-produk yang dipasarkan lewat media terutama iklan. Sehingga meskipun citra kecantikan mengalami pergeseran, kapitalisme akan tetap berupaya mengeksploitasi tubuh perempuan untuk keuntungan pribadinya. Jangan pula mendorong ajang komodifikasi, seperti support women’s business yang dipromosikan Women’s March Amerika Serikat, hal ini hanya akan membuat tubuh perempuan tetap dieksploitasi dan ditarget konsumerisme.

Perjuangan pembebasan perempuan juga tidak bisa disandarkan kepada para intelektual aktivis-aktivis feminis dari kelas menengah yang seringkali ditandai dengan maraknya seminar-seminar, forum-forum perempuan, ruang-ruang akademis, dan berbagai bentuk lainnya yang dikuasai oleh kelompok intelektual serta tidak mendorong pembangunan basis massa. Menjauhkan politik kelas dan memperkuat individualitas. Mereka akan membicarakan persoalan dan kondisi perempuan hari ini tanpa menyampaikan akar pindasan dan bagaimana jalan keluarnya. Kebebasan perempuan seolah dapat dicapai dengan hanya menyampaikan hak untuk terbebas dari segala pandangan yang dikonsepkan oleh masyarakat yang “maskulin”, kebebasan atas tubuh dan persaudarian antar perempuan (termasuk mempersaudari perempuan borjuis dan perempuan ningrat yang sebenarnya menyengsarakan perempuan buruh, tani, dan masyarakat adat)..

Selain beberapa hal diatas, ada pula perjuangan perempuan yang melakukan kolaborasi kelas dengan para anggota parlemen perempuan dari partai borjuis. Menitipkan nasibnya pada pemerintah dan melakukan lobi-lobi dengan kelas berkuasa untuk mewujudkan pembebasan perempuan. Banyak para aktivis perempuan yang memberikan pembenaran akan sikap tersebut dengan alasan perubahan dapat dilakukan lewat parlemen hingga mencalonkan diri sebagai ajang pembuktian diri dan peningkatan karir. Kenyataannya mereka memang tidak berkepentingan membangun gerakan perempuan yang terorganisir dan mempercayai kekuatannya bersama buruh, dan gerakan rakyat tertindas lainnya.

Media sosial memang memungkinkan kita untuk lebih mudah berkomunikasi karena tidak terbatas dalam ruang dan waktu, kita juga berkepentingan menggunakannya sebagai ruang kampanye. Namun, ketergantungan partisipasi dalam echo chamber atau ruang gaung semata dengan meneriakkan pandangannya jarang berujung pada gerakan apalagi kemenangan. Seringkali perdebatan hanya berputar-putar di kolom komentar media sosial atau perang kicauan alias tweet war. Entah itu melawan kaum seksis, bigot, kanan, reaksioner, serta para pengacau/perusuh alias troller. Maupun melawan mereka yang berbeda perspektif dan teori dalam gerakan. Banyak pengguna sosial yang menyaksikan pada akhirnya tidak mendapatkan pemahaman yang utuh dan menimbulkan prasangka, apalagi media massa menggunakan algoritma yang dirancang untuk seringkali memunculkan ketertarikan para pengguna yang lebih dominan merawat ide kelas berkuasa.

Karena itu, kekuatan kaum perempuan harus kembali diletakkan ke dalam kolektivisme-an-nya. Bukan dalam posisi sebagai korban. Bukan sebagai individu yang merayakan identitasnya karena dengan mudah dikooptasi kapitalisme sebagai sasaran komodifikasi maupun konsumerisme. Melainkan sebagai kolektif, terutama sebagai working women alias perempuan buruh atau rakyat-pekerja. Karena kelas adalah dasar penindasan dalam masyarakat, maka ketika kelas pekerja baik laki-laki maupun perempuan bersama-sama melawan segala aspek kapitalisme, mereka akan mampu merobohkan seksisme yang selama ini memecah-belah mereka.

Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, maka makna teorganisir harus diletakkan dalam pergerakan pembebasan perempuan.

  1. Perjuangan harus didasari dengan pembangunan, penyebaran dan pengkajian teori yang membongkar bukan hanya batang serta cabang-cabang bentuk penindasan terhadap perempuan, tapi juga yang berkaitan dengan penindasan rakyat pada umumnya dan akar penindasan perempuan itu sendiri. Masyarakat kelas yang menyingkirkan perempuan dari lapangan produksi ke ranah domestik, memaksa perempuan melakukan kerja reproduksi seperti mengandung, melahirkan serta merawat calon tenaga kerja yang akan diupah rendah, mengakibatkan kekerasan secara seksual maupun gender serta memperlakukan perempuan seperti barang dagangan dan sasaran pemasaran yang bersumber dari kapitalisme. Maka perjuangan untuk mengakhiri kekuasaan kapital adalah perjuangan atas sosialisme dan perjuangan pembebasan perempuan, begitupun sebaliknya.
  2. Upaya pembangunan, penyebaran dan pengkajian teori tersebut, bukan hanya harus berpijak di tataran konkret atau realita yang dihadapi kaum perempuan namun juga melibatkan seluas-luasnya partisipasi kaum perempuan itu sendiri. Terutama perempuan rakyat-pekerja yang bukan hanya mengalami penindasan diranah domestik. Tapi juga yang dihisap di tempat kerja agar mengarahkan diri secara langsung bersama-sama menyerang kelas penindas dengan aksi, pendudukan, pemogokan, dan sebagainya.
  3. Dengan demikian perjuangan pergerakan perempuan, secara hakiki harus mengorganisir di akar rumput, atau dengan kata lain: membangun basis massa. Dengan begitu perjuangan yang kolektiv serta penyatuan terhadap gerakan rakyat tertindas lainnya untuk memobilisasi massa menjadi metode perjuangannya.
  4. Pengorganisiran massa perempuan oleh karenanya mensyaratkan mencakup agitasi-propaganda bukan hanya yang bersifat makro-final namun juga mikro-konkret/jangka pendek, dalam bentuk lisan-tulisan, baik berupa penerbitan dan penyaluran bacaan, maupun diskusi-diskusi, perekrutan-perekrutan, pendidikan-pendidikan/edukasi-edukasi terkait pembebasan perempuan,  yang dihubungkan dengan praktik konkret. Baik berupa intervensi dalam gerakan rakyat, mendesak isu/tuntutan spesifik kaum perempuan, atau kombinasi keduanya.

Artinya perjuangan pembebasan perempuan tidak boleh stagnan, diam, kaku, melainkan harus terus aktif dan dinamis. Mempunyai aktivitas rutin, rencana kegiatan yang berjangka, target-target mendesak sekaligus solusi-solusi puncak secara menyeluruh yang ingin dicapai. Mengorganisasikan basis massa perempuan, sekaligus memajukannya lewat berbagai ekspresi perlawanan, khususnya mobilisasi massa. Karena itu, supaya gerakan perempuan menjadi semakin kuat dan meluas, diperlukan penyatuan perjuangan antar basis rakyat lainnya yang tidak terkooptasi dengan elit-elit pemerintahan, beraliansi atau bergabung dalam front persatuan yang demokratis. Semua itu digerakkan dengan menyuntikkan kesadaran sambil menyampaikan program-program pembebasannya.

Gerakan pembebasan perempuan yang militan, revolusioner dan terorganisir dapat kita pelajari dari Zhenotdel, Departemen Perempuan Sekretariat Komite Sentral Partai Komunis di Rusia. Gerakan yang terorganisir, terdidik dan terpimpin sekaligus ideologis dan militan ini menghubungkan penindasan perempuan dengan perjuangan revolusi, serta tidak memandang perjuangan yang terpisah antara pembebasan perempuan dengan program-program sosialis. Zhenotdel juga mendorong peningkatan hajat hidup kaum perempuan di seluruh wilayah Uni Soviet, dengan pemberantasan buta huruf, mendidik perempuan mengenai hukum pernikahan baru, pendidikan, dan perburuhan. Bahkan di Soviet Asia Tengah Zhenotdel juga jadi ujung tombak upaya peningkatan hajat hidup Muslimah melalui kampanye literasi, pendidikan, dan hak-hak busana perempuan, seperti hak untuk melepas cadar. Zhenotdel juga memperjuangkan hak-hak reproduksi kaum perempuan, termasuk hak aborsi.

Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) di Indonesia dengan militansi yang tinggi mendayagunakan semua potensi anggotanya untuk pengembangan organisasi dan gerakan perempuan melawan kolonialisme. Orientasi massa yang hendak dibangun dengan akar rumput yang kuat, seperti mengorganisir para buruh perempuan yang diupah rendah dan tidak layak, begitu juga buruh tani perempuan yang ada di desa-desa. Melancarkan propaganda dan edukasi yang lengkap dan menyeluruh secara kritis namun tetap dalam bahasa yang mudah dipahami. Begitu besarnya pengaruh Gerwani saat itu mendorong pengaruh kesadaran kesetaraan menggunakan kekuatan rakyat lewat mobilisasi massa.Terhubung dengan gerakan rakyat pada umumnya di Indonesia maupun internasionalis dengan gerakan perempuan di dunia melawan imperialisme.

Black Panther Party (BPP) adalah organisasi yang melawan rasisme kulit hitam di Amerika Serikat, kemunculannya terjadi ketika radikalisasi massa  akan berbagai permasalahan yang terjadi juga lahir, dari perang imperialisme hingga penindasan perempuan dan LGBT.  Perempuan yang bergabung dalam BPP menyadari bahwa perjuangannya tidak sektoral dan berkepentingan untuk melawan segala bentuk penindasan seperti rasisme maupun seksisme. Perjuangan kesetaraan dan pembebasan secara simultan dilakukan diinternal dan eksternal organisasi. Karena, penindasan rasisme terhadap kaum kulit hitam serta penindasan seksisme terhadap kaum perempuan adalah persoalan yang terjadi dalam masyarakat kelas, kerena itu mereka selalu melancarkan kritiknya pada kapitalisme dan imperialisme.

Setiap anggota perempuan BPP juga terlibat aktif dalam berbagai aktifitas politis dan intelektual, turut memegang jabatan-jabatan seperti editor koran BPP, kepala kaderisasi maupun operator praktik konkret lapangan seperti program pelayanan komunitas kulit hitam, mengajar disekolah, memberikan klinik gratis maupun mengorganisir penitipan anak hingga mengangkat senjata untuk melawan kekerasan dan kebrutalan polisi. Secara vocal meyampaikan pandangannya seperti Malcolm X, Robert Williams dan pemimpin lainnya. Ketika terjadi seksisme dalam organisasi yang dilakukan oleh oknum-oknum internal BPP, seperti salah satu yang paling mencolok dalam kasus pemerkosaan yang dilakukan Eldridge Clevear, maupun berbagai gagasan-gagasan yang seksis dalam organisasi dihadapi dan dilawan secara aktif, alih-alih menganut defeatism, memilih mengalah atau langsung menyerah dan keluar dari organisasi. Kader-kader bukan hanya perempuan tapi laki-laki juga disarankan aktif untuk melawannya. Demikianlah, pergerakan pembebasan perempuan harus terdidik, terpimpin, terorganisir. Mempersenjatai diri dengan teori-praktik revolusioner. Kaum perempuan tidak pernah kalah jumlah dibandingkan pelaku atau penindas. Kita hanya kalah terorganisir. Saatnya mengubah kenyataan itu.

Ditulis oleh Mulan | Anggota Lingkar Studi Kerakyatan  

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 105, I-II Maret 2021, dengan judul yang sama.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: