Perspektif

Peristiwa Stonewall Riot 1969: Arah Juang Baru Bagi Gerakan LGBT Modern

Empat puluh sembilan tahun sejak Stonewall Riot terlihat berbagai capaian dan kemajuan dalam gerakan LGBTIQ secara internasional. Hal ini juga menjadi refleksi bahwa kebebasan yang saat ini dimiliki LGBTIQ khususnya di Amerika Serikat (AS), tidak terbayangkan akan dicapai pada satu atau dua generasi yang lalu. Meskipun demikian, individu maupun kelompok LGBTIQ di AS masih menghadapi penindasan. Hal ini terjadi di banyak belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Bentuk-bentuk penindasan tersebut berupa kurangnya perlindungan dalam pekerjaan dan perumahan, tunawisma muda, intimidasi dan tingkat bunuh diri yang tinggi, kekerasan terhadap perempuan transgender/ waria, penahanan, kebrutalan polisi, dan kemiskinan.

Dalam konteks ini, mempelajari peristiwa di balik Stonewall Riot menjadi sangat penting. Pembelajaran ini penting bagi aktivis yang berjuang untuk hak-hak dan pembebasan kaum tertindas dalam menghadapi tantangan politik yang dihadapi hari ini. Selain itu menjadi penting untuk membangun kembali gerakan yang memiliki semangat juang memenangkan pembebasan seksual bagi semua orang. Kerusuhan Stonewall yang dimulai pada larut malam tanggal 28 Juni 1969, berlangsung enam malam dan melontarkan isu kebebasan seksual, keluar dari ‘abad kegelapan’ dan memasuki era baru perjuangan.

Konteks Ekonomi Politik AS Menjelang Stonewall Riot

Tahun ’60-an sering dianggap sebagai tahun pergolakan sosial di AS. Kemunculan gerakan-gerakan rakyat mulai dari Hak Sipil Politik, termasuk aktivisme di kalangan pelajar, mahasiswa, dan perempuan. Namun demikian, bagi kalangan lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT) di AS, kemunculan ekspresi seksual belum dimulai sampai dengan peristiwa Stonewall Riot di akhir dekade ’60-an.

Pasca Perang Dunia (PD) II, AS muncul sebagai kekuatan dunia. Industri AS menguasai 60 persen barang-barang manufaktur dunia. Ini memunculkan kebutuhan angka kelahiran yang lebih tinggi untuk memenuhi industri dan militer. Dengan begitu maka konsep keluarga inti kembali diidealisasi. Perempuan kulit putih ditarik dari industri kembali ke dalam rumah untuk membuat bayi. Perempuan kulit hitam dikembalikan menjadi pekerja rumah tangga seperti sebelum PD II. Pakaian praktis, androginus perempuan ditahun 1940an diganti dengan gaun berenda dengan pola model “gitar spanyol” ditahun 50an. Gambaran laki-laki kelas buruh di tahun 30an yang berserikat, terlibat dalam politik serta ikut dalam pemogokan digantian dengan “organization man” yaitu laki-laki yang bekerja dengan patuh di dalam tim, mengikuti aturan perusahaan, tunduk pada otoritas dan mengejar kepastian rumah tangga dengan menghindari konfrontasi dan perjuangan.

Idealisasi keluarga inti tersebut juga berarti represi terhadap LGBTIQ yang dilihat keluar dari konsep keluarga inti. Presiden Eisenhower menandatangani perintah eksekutif 1953 yang menetapkan “penyimpangan seksual” sebagai alasan pemecatan dari pekerjaan di bidang pemerintahan. Dan karena catatan kerja dibagi dengan industri swasta, kecurigaan mengenai homoseksualitas dapat membuat seseorang tidak dapat dipekerjakan dimanapun dan kemudian jatuh miskin. Sebagian besar negara bagian memiliki undang-undang yang melarang homoseksual untuk mendapatkan lisensi profesional, yang juga bisa dicabut setelah ditemukan belakangan bahwa seseorang tersebut adalah homoseksual. Hubungan seks antara orang dewasa dengan jenis kelamin yang sama, bahkan di rumah pribadi, dapat dihukum seumur hidup di penjara, kurungan di lembaga mental, atau bahkan pengebirian.

Di tengah masyarakat AS tahun 1960-an yang penuh dengan kebencian, ketakutan dan ketidaktahuan tentang homoseksualitas, bar menjadi satu tempat umum untuk dikunjungi dan tempat untuk bersosialisasi. Tetapi seperti halnya semua kehidupan publik untuk LGBT, bar juga menjadi sasaran bagi polisi dan pihak berwenang untuk melecehkan dan mempermalukan para pengunjungnya yang dianggap berperilaku “tidak teratur” dan melanggar ketertiban.

Di sisi lain, penindasan ini juga muncul bersamaan dengan pengakuan yang semakin meningkat tentang keberadaan lesbian dan gay dalam sastra, teater, film, dan surat kabar. Gerai-gerai budaya mengungkap sebuah dunia gay yang berkembang kepada orang-orang yang mungkin tidak pernah tahu keberadaannya, termasuk mereka yang akhirnya akan menemukan penegasan dan nama untuk hasrat mereka.  

Situasi Internal Gerakan Gay dan Lesbian tahun 1950-1970an

Sebenarnya, pada tahun 1950-an telah terbentuk kelompok-kelompok gay dan lesbian tetapi skalanya sangat kecil dan terisolir satu sama lain, ataupun justru berkonflik dalam agenda politik mereka hingga tahun 1960-an. Salah satu kelompok yang muncul pada era tersebut adalah Mattachine Society yang terbentuk tahun 1956.  Tujuh tahun setelah peluncurannya di New York City, Mattachine Society memiliki sekitar seratus anggota pada tahun 1963. Pada tahun 1955, didirikan Doughters of Bilitis (DOB) yang merupakan organisasi lesbian pertama di AS. DOB New York memiliki dua puluh dua anggota pada tahun 1965.

Dalam periode ini, organisasi-organisasi LGBT sangat berhati-hati. Desakan terus-menerus muncul dari dalam untuk menyebut gerakan mereka sebagai “homophile.” Penyebutan tersebut untuk menghindari konotasi seksual yang eksplisit. Homofobia juga diinternalisasi oleh mereka yang mendominasi kepemimpinan gerakan. Mereka mengikuti pandangan para profesional medis yang menganggap seksualitas mereka “menyimpang” dan membutuhkan “penyembuhan.” Publikasi DOB, Ladder, masih mendesak anggotanya “menghentikan pembangkangan-pembangkangan” terhadap masyarakat “dan untuk menunjukkan penyesuaian dengan dunia luar.”

Bayangkan gerakan Reformasi 1998 yang pada masa itu harus melawan militerisme dan Orde Baru serta hegemoni ide-ide Rejim Militer Soeharto. Dengan begitu kita bisa mulai memahami rintangan ideologis besar yang merasuki pemikiran banyak orang LGBT. Keterlibatan individu-individu aktivis gay dan lesbian dalam gerakan hak-hak sipil, perempuan, dan gerakan anti-Perang Vietnam membentuk generasi baru kaum radikal yang bergejolak melawan penindasan yang dialami kelompok mereka sendiri. Dipengaruhi oleh militan Black Power yang telah membuat slogan-slogan seperti “Black is beautiful” dan “Black power“, pada tahun 1968 gerakan homophile mengadopsi “gay is good” dan “gay power” sebagai teriakan dalam aksi long-march mereka. Selain itu, masa depan kemajuan gerakan mulai terlihat pada pembentukan Organisasi Homofil Pantai Timur (ECHO) pada tahun 1963, di mana aktivis-aktivis yang militan mengadopsi rencana untuk secara terbuka menentang undang-undang yang melarang kaum gay dari pekerjaan federal. Memakai jas dan dasi, gaun dan sepatu hak tinggi, sekelompok pendemo memulai tradisi tahunan memprotes di luar Independence Hall Philadelphia pada 4 Juli 1965, untuk mengingatkan bahwa masih ada sekelompok orang di AS yang belum menerima perlakuan yang adil dan belum terpenuhi hak asasi mereka sebagai manusia.

Pasca Kerusuhan: Pengorganisiran Terus Menerus

Operasi Justicia Stonewall Inn awalnya direncanakan berjalan singkat dan efisien untuk menutup bar yang dianggap ilegal oleh pemerintah tersebut. Operasi ini melibatkan segerombolan polisi dan dipimpin oleh Deputi Inspektur Seymour Pine. Stereotip seksis dan homophobik terhadap kaum gay dan lesbian, mendorong polisi untuk meremehkan bahwa para pelanggan di bar itu tidak mungkin melakukan perlawanan ketika dirazia. Awalnya, ketika polisi memaksa laki-laki dan perempuan di dalam untuk berbaris lalu menunjukkan surat-surat identitas dan bersiap untuk ditangkap, semua orang melakukan apa yang diperintahkan, meskipun ada beberapa makian. Tetapi ketika lebih banyak orang yang berkumpul di luar dan pelecehan verbal maupun fisik oleh polisi meningkat, suasana berubah menjadi kemarahan.

Dengan perlawanan di Stonewall Inn terhadap polisi yang kasar, gerakan lesbian, gay, biseksual, dan transgender melompat menjadi modern. Apa yang membedakan Stonewall Riot dari semua aktivisme gay sebelumnya bukan hanya perlawanan berhari-hari di jalan-jalan, tetapi juga mobilisasi aktif dari aktivis baru dan berpengalaman di tengah kerusuhan yang memberi ekspresi pada suasana semangat yang lebih militan. Seperti bendungan yang meledak, Stonewall Riot adalah letusan setelah dua puluh tahun kemajuan pelan oleh sekelompok kecil laki-laki dan perempuan yang pengorganisasian kesadarannya memberi jalan kepada gelombang kemarahan spontan. Jika yang terjadi hanya kerusuhan saja maka itu tidak akan diingat hari ini. Apa yang terjadi selain itu, yang merubah politik dan kehidupan LGBT adalah ketika kerusuhan tersebut diikuti oleh pembentukan organisasi yang mengirimkan “kemarahan spontan” ke dalam “kekuatan sosial yang berkelanjutan”.

Bentrokan antara aktivis lama yang konservatif dan aktivis militan yang baru bangkit, tampak jelas. Aktivis Mattachine yang bertemu dengan pewakilan walikota dan polisi memasang tanda ini di depan Stonewall Inn: “Kami homoseksual memohon kepada orang-orang kami tolong bantu pertahankan sikap damai dan tenang di jalan-jalan — Mattachine.” Permintaan mereka diabaikan. Setiap malam sesudahnya, semakin banyak kaum gay dan kelompok kiri, dari sosialis dan Black Panthers hingga Yippies dan Puerto Rican Young Lords, datang untuk konfrontasi dengan polisi.

Pada saat kerusuhan mereda, aktivis mulai membagikan selebaran yang berbunyi: “Apakah Anda Berpikir Bahwa Homoseksual Memberontak? Tentu Saja,” dan mengumumkan pertemuan di sebuah tempat, Alternatif. Apa yang dimulai sebagai komite ad-hoc Mattachine-New York untuk mengorganisir pawai dalam rangka memperingati kerusuhan berkembang menjadi organisasi, Gay Liberation Front-Front Pembebasan Gay (GLF). Dalam penghormatan sadar kepada Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan yang saat itu memerangi intervensi AS di Vietnam. Para aktivis bukan hanya melawan homofobia masyarakat AS, tetapi seluruh bangunan Imperialis yang menindas dan eksploitatif. Dari pertemuan awal, perselisihan tentang perspektif politik gerakan dibingkai dalam hal apakah akan memfokuskan secara eksklusif pada isu-isu LGBT dan peningkatan kesadaran atau untuk merangkul agenda revolusioner yang lebih luas dan solidaritas dengan minoritas tertindas lainnya.

Arah Juang Gerakan LGBT Modern

Poin pertama adalah sederhana, tetapi yang paling penting: setiap inci kemajuan yang dicapai oleh kelompok LGBTIQ, dicapai melalui perjuangan rakyat. Politisi tidak pernah menjadi kekuatan motor perubahan sosial – selalu perjuangan kolektif oleh orang-orang biasa dari bawah yang telah mengambil sejarah maju.

Kedua, ketika orang terorganisir dan berjuang untuk kepentingan mereka, bukan menerima kondisi penindasan begitu saja, mereka bisa menang. Ketiga, kekuatan kita ada dalam jumlah kita. Apa yang membedakan gerakan pembebasan gay dari gerakan homofil, dan apa yang memungkinkannya untuk memenangkan reformasi signifikan yang tidak terbayangkan hanya beberapa tahun sebelumnya, adalah karakter massanya.

Keempat, perjuangan itu menular. Stonewall adalah hasil langsung dari radikalisasi dan militansi tahun 1960-an. Ketika satu segmen masyarakat mulai membebaskan diri dari rantai dan menantang status quo, yang lainnya menjadi terinspirasi dan mulai bergerak. 

Kelima, solidaritas adalah kuncinya. Apa yang membuat Stonewall Riot kuat adalah fakta bahwa ia menyatukan sebagian besar kelas buruh dan orang miskin di antar-kelompok ras, jender, dan seksual. Meskipun jelas ada perbedaan antara orang-orang LGBTQ, apa yang memberi mereka dasar untuk bersatu dan berjuang bersama adalah pengalaman berbagi penindasan di tangan musuh bersama.

Terakhir, spontanitas dan organisasi tidak saling eksklusif – mereka adalah dua aspek dari proses yang sama, yang ada dalam hubungan dialektis. Pemberontakan spontan seperti Stonewall Riot tidak dapat dihindari di bawah sistem di mana orang-orang dipukuli dan ditindas. Pada akhirnya dekade kepasifan dan konservatisme retak dan orang-orang berubah ketika mereka dilemparkan ke dalam aktivitas perlawanan. Mereka mulai membuang ide-ide lama, mengubah diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka dengan cara-cara yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan.  

Kerusuhan yang terjadi, paling baik dipahami bukan sebagai tujuan di dalam dan dari diri mereka sendiri, tetapi sebagai titik awal dalam suatu proses di mana sejumlah besar orang menjadi sadar politik dan mulai mengenali kekuatan kolektif mereka. Lintasan perjuangan ini tidak linier. Tidak ada dalam sejarah yang otomatis. Pergerakan menghadapi pertanyaan-pertanyaan politis tentang bagaimana bergerak maju ataupun perdebatan tentang ide. Disini kekuatan politik yang terorganisir memainkan peran penting dalam menentukan arah apa yang akan mereka masuki.

Sejarah gerakan LGBTIQ bisa terlihat seperti ledakan-ledakan perlawanan. Namun analisa lebih dekat mengungkapkan bahwa di antara ledakan perlawanan terdapat aktivitas konstan dari para aktivis – seperti yang ada dalam gerakan homofil. Mereka mengalami kemenangan ataupun kekalahan dalam perjuangan-perjuangan kecil, membangun jaringan, secara bertahap mengumpulkan kader dengan pengalaman politik dan pelatihan bertahun-tahun. Ini yang kemudian menjadi dasar bagi pergolakan masa depan. Mereka memainkan peran penting dalam menyalurkan gejolak spontan ke dalam saluran-saluran terorganisir yang dapat membawa perjuangan ke depan, seperti yang dilakukan oleh militan terbaik dari Mattachine dan New Left. Yang lain, seperti penjaga tua Mattachine, tidak bisa beralih ke medan baru dan tersingkir oleh sejarah.

Terakhir, penting untuk memahami mengapa GLF tidak mencapai aspirasi revolusionernya. Kaum revolusioner di tahun enam puluhan, termasuk militan di GLF, tidak melihat kelas buruh memiliki potensi revolusioner. Mereka melihat kelas buruh dapat disogok atau sudah merasa puas dengan kondisinya. Seruan revolusi terdengar militan, tetapi menjadi slogan kosong tanpa kekuatan sosial yang memiliki potensi revolusioner untuk mengubah masyarakat.

Stonewall dan gerakan pembebasan LGBTIQ belum mampu memenangkan dunia yang bebas dari represi seksual dan masalah sosial. Namun para aktivis telah mengubah jalannya sejarah, mengubah kondisi sosial bagi orang-orang LGBTQ, dan melahirkan gerakan LGBTQ modern. Dan dengan demikian, mereka memberikan generasi masa depan kaum radikal dan revolusioner dengan pelajaran penting untuk menghadapi tantangan yang kita hadapi saat ini. Yaitu menghapuskan kapitalisme dan memenangkan sosialisme yang menghapuskan represi terhadap seksualitas manusia.

Ditulis oleh Surtikanti | Kader Perserikatan Sosialis

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 46, I-II Juli 2018, dengan judul yang sama.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: