Perspektif

Extrajudicial Killing Terhadap Kelompok Reaksioner

Senin, 7 Desember 2020 pukul 00.30 WIB Polisi bentrok dengan para pengawal Rizieq Shihab di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek yang berujung pada tewasnya enam anggota FPI. Dalam kasus ini, terdapat dua versi kronologi yang muncul, yaitu kronologi versi Polisi dan kronologi versi FPI.

Menurut kronologi versi polisi, sebagaimana diungkapkan oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran, peristiwa itu bermula ketika Rizieq hendak diperiksa sebagai saksi terkait kasus pelanggaran protokol kesehatan dalam acara pernikahan putrinya di Petamburan. Ketika Polisi mengikuti mobil rombongan Rizieq, mobil Polisi lantas dipepet, kemudian diserang dengan menggunakan senjata api dan senjata tajam. Merasa terancam, Polisi akhirnya menembak enam dari sepuluh pengikut Rizieq itu hingga tewas. Empat lainnya melarikan diri. Mereka yang tewas adalah Faiz, Ambon, Andi, Reza, Lutfi dan Khadafi.

Akan tetapi FPI melalui Munarman, Sekretaris FPI, membantah kronologi versi Polisi yang mengindikasikan bahwa FPI menyerang terlebih dahulu. Munarman mengatakan penyerangan anggota FPI terhadap Polisi tidak benar sebab anggota FPI tidak memiliki senjata api.

Menurut kronologi versi FPI, Rizieq dan keluarga saat itu tengah menuju acara pengajian subuh keluarga. Rizieq berangkat dari Sentul, Bogor, pada Minggu pukul 22.30 WIB. Dalam iring-iringan kendaraan ada juga empat mobil lainnya yang ditumpangi para laskar FPI pengawal Rizieq. Rombongan sudah menyadari dibuntuti oleh kendaraan lain sejak dari Sentul, sehingga dua mobil pengawal Rizieq, Chevrolet Spin dan Toyota Avanza, berbelok ke arah Klari memisahkan diri dari rombongan sejak keluar dari pintu tol Karawang Timur.

Para pengawal Rizieq dalam dua mobil itu terus saling berhubungan melalui telepon. Dari suara-suara dalam telepon inilah diketahui bahwa mobil Chevrolet Spin dengan plat nomor B 2152 TBN yang ditumpangi para pengawal Rizieq sempat berkejar-kejaran dengan mobil penguntit dan saling potong jalur. Lalu terdengar suara tabrakan dan orang kesakitan sebelum akhirnya telepon terputus. Hingga Senin siang, laskar FPI yang berada dalam mobil Chevrolet Spin tersebut tidak dapat dihubungi maupun diketahui keberadaannya.

Sementara itu, laskar FPI pengawal Rizieq lainnya yang berada dalam mobil Toyota Avanza sempat beristirahat di Rest Area Kilometer 57. Menurut pengakuan mereka, saat itu juga masih ada yang mengintai dan drone yang diterbangkan. Setelah satu jam lebih beristirahat, mereka melanjutkan perjalanan menuju markas FPI Karawang melalui akses pintu tol Karawang Barat.

Ketika memasuki pintu tol Karawang Barat, mereka tidak menemukan apapun di lokasi yang diperkirakan sebagai tempat kejadian perkara (TKP) penyerangan terhadap para pengawal yang berada dalam mobil Chevrolet Spin. Namun, dalam perjalanannya menuju markas FPI Karawang, Toyota Avanza yang mereka tumpangi kembali diikuti. Sampai akhirnya mobil lain yang berusaha membuntuti mereka kehilangan jejak usai mereka memasuki jalan-jalan perkampungan untuk menuju markas FPI Karawang.

Sementara itu, Kabareskrim Polri Komjen Polisi Listyo Sigit Prabowo memberikan hasil penyelidikan yang dilakukan tim penyidik Bareskrim Polri terkait kasus penembakan di ruas Jalan Tol Jakarta-Cikampek Kilometer 50 itu. Listyo mengatakan berdasarkan hasil penyelidikan ditemukan fakta penggunaan senjata tajam dan senjata api oleh keenam laskar FPI di TKP.

Selain itu, tim penyidik juga menemukan adanya sejumlah lubang peluru di mobil yang dipakai oleh anggota Intel Polda Metro Jaya saat terjadi pertikaian dengan enam orang laskar FPI di ruas Jalan Tol Jakarta-Cikampek Kilometer 50. Bareskrim juga menemukan terdapat 18 luka tembak di enam jenazah anggota laskar FPI. Namun tidak ada tanda kekerasan lain yang ditemukan pada keenam jenazah.

Media Tempo dalam investagisnya juga mengungkapkan hasil-hasil temuannya terkait kasus penembakan FPI. Beberapa saat selepas rentetan tembakan dan kejar-kejaran, sejumlah saksi yang ditemui Tempo sempat menyaksikan mobil Chevrolet Spin pengawal Rizieq berhenti di Rest Area Kilometer 50 jalan tol Cikampek sekitar pukul 00.30 WIB dengan ban kempis.

Polisi yang sebelumnya telah berjaga di area peristirahatan itu segera mengepung mobil tersebut. Beberapa saksi melihat tiga orang dalam mobil masih hidup, polisi kemudian menyuruh ketiganya turun dari mobil dan berjalan jongkok. Namun, sekitar jam 03.00 WIB terdapat enam jenazah anggota FPI yang tiba di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur.

Ada keganjilan-keganjilan dalam kasus ini. Polisi mengatakan ada enam laskar FPI yang kabur, tetapi Sekretaris DPP FPI, Munarman, mengatakan tidak ada. Sementara terkait temuan jenazah, pihak keluarga laskar FPI yang tewas menyebut terdapat luka lebam di mata jenazah (menyiratkan adanya pemukulan), sementara Polisi menyebut bahwa luka lebam akibat fenomena jenazah membiru.

Baik keterangan Polisi maupun FPI memang tidak bisa sepenuhnya dipercaya. Keduanya punya rekam jejak sering menyebarkan kebohongan. Dalam kasus pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, misalnya, Polisi jelas menyebarkan kebohongan bahwa penghuni asrama mahasiswa Papua melakukan pengerusakan bendera merah putih untuk membenarkan pengepungan, kekerasan dan penangkapan terhadap puluhan penghuni asrama.

Demikian pula kebohongan-kebohongan Polisi untuk menutupi maupun melancarkan tindak kekerasan terhadap banyak demonstran anti-Omnibus Law. Dalam kasus ini, telah banyak saksi yang mengungkapkan bahwa Polisi melakukan penganiayaan dan intimidasi terhadap petugas medis, jurnalis, hingga massa aksi luas lainnya yang sering dianggap ‘anarkis’. Selain itu, Polisi juga terlibat dalam pengerusakan fasilitas dan barang-barang dagangan milik warga di sekitar kejadian. Berbagai video yang menunjukkan fakta ini telah tersebar di berbagai media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram.

Sedang FPI sendiri, dari sejarahnya merupakan bentukan jenderal-jenderal militeris rezim kediktatoran Orde Baru. Diorganisir oleh Wiranto dalam Pam Swakarsa untuk menghantam gerakan mahasiswa yang menolak Sidang Istimewa (SI) MPR. SI Istimewa MPR sendiri merupakan sebuah upaya untuk melanjutkan kekuasaan Orde Baru. Selanjutnya kelompok ini terlibat dalam seruan-seruan penyerangan serta mengirim milisi-milisinya untuk menciptakan konflik sektarian pasca-Orde Baru dalam rekayasa yang digunakan militer Orde Baru untuk mengembalikan kekuasaannya. Arianto Sangaji yang terlibat pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) saat diwawancara Surahman Cinu dari Universitas Tadulaku, menjelaskan dugaan kuat operasi intelejen yang bukan hanya memasok provokasi tapi juga persenjataan terhadap kedua kubu yang bertikai di Konflik Poso.

Namun FPI juga telah dikenal sebagai anjing penyerang milik aparat negara untuk menyasar kaum kiri dan rakyat tertindas. Hal ini dilakukan agar citra aparat tetap bersih dari tuduhan pelanggaran HAM. Aparat tinggal memberitahu dan FPI bergerak menyerang-membubarkan acara publik seperti diskusi-diskusi seputar 65 dan atau LGBT, mengepung asrama mahasiswa Papua, maupun melempari kantor LBH.

Laskar Pembela Islam sendiri yang merupakan sayap pertahanan resmi FPI, dibentuk dan dilatih langsung di bawah binaan militer. Hal ini terungkap misalnya pada 6 Januari 2017, di mana DPP FPI mengunggah prosesi pelatihan semi-militer laskar FPI yang ditangani langsung oleh militer di Lebak Banten. Dalam masalah keamanan dan ketertiban, sedikitnya hal ini mengungkapkan fakta bahwa selama ini FPI lebih berani dan lebih sering bentrok melawan Satpol PP dan Polisi ketimbang dengan militer. Pun demikian, belum pernah terjadi bentrok antara FPI dan Militer, kendati pendanaan FPI merupakan tradisi Polri dan Badan Intelejen Negara (BIN) sebagaimana diungkapkan Wikileaks.

Adapun FPI sendiri telah lama memiliki relasi yang erat dengan para pejabat dan jenderal-jenderal. Nama-nama yang berhubungan itu diantaranya adalah Jenderal Wiranto yang pernah menjabat sebagai Menkopolhukam dari 2016 sampai 2019, kemudian ia beralih menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, sejak awal telah terlibat dalam pembentukan FPI. Kemudian ada Jenderal Sutanto, kepala BIN dari 2009 sampai 2011. Komisaris Jenderal Nugroho Djayusman, mantan Kapolda Jakarta, juga turut berada di belakang FPI.

Menjelang transisi kekuasaan Orde Baru, B.J. Habibie turut memberikan pendanaan kepada FPI dan berbagai ormas Islam lain. Keluarga Cendana, khususnya Tommy Soeharto, juga erat kaitannya dengan FPI. Mereka kerap bersama, misalnya, ketika mengadakan peringatan Supersemar dan Haul Soeharto pada 2017 lalu di Masjid At Tin, Jakarta Timur. Kemudian belakangan Tommy Soeharto juga menyatakan siap bertindak jika ada yang berani mengganggu FPI.

Hamzah Haz, mantan wakil Presiden RI, juga erat hubungannya dengan FPI. Pada 2014 ketika akan menggelar konferensi pers, Fahrurrozi, Gubernur Jakarta tandingan versi FPI mengungkapkan memiliki hubungan erat dengan Hamzah Haz dalam politik melawan Akbar Tandjung. Kemudian anggota FPI itu diangkat sebagai penasehat Hamzah Haz dan diberi ruang khusus di Istana Negara selama berkuasa bersama Megawati.

Tidak ketinggalan juga ada nama Jenderal Prabowo, yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Kedekatannya bersama FPI kembali jelas terlihat terutama dalam pertarungan politiknya melawan Jokowi selama dua periode lalu. Secara umum konflik antara FPI-Rezim Jokowi hingga hari ini dimulai dari pertarungan politik tersebut. Di mana FPI mendukung kubu Prabowo dalam Pilpres melawan kubu Jokowi.

Mobilisasi besar FPI dengan tuduhan melawan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta kala itu, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), adalah upaya untuk menjatuhkan posisi Gubernur DKI Jakarta sekaligus untuk merongrong kekuasaan Jokowi dalam jangka yang lebih panjang. Gerakan 212 nyata digunakan oleh oposisi borjuasi sebagai proxy melawan rezim Jokowi.

Akan tetapi, setelah Prabowo diberi posisi oleh rezim Jokowi, FPI kini berada dalam posisi yang rentan dan minim patron pelindung. Hal ini berkaitan juga dengan banyaknya kubu oposisi yang beralih merapat ke kubu Jokowi. Hingga akhirnya FPI yang sebelumnya memiliki banyak pelindung kini dapat disingkirkan setelah para patronnya ditarik merapat ke dalam kubu Jokowi sendiri. Pemerintah akhirnya dapat membubarkan FPI dan melarang aktivitasnya.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam memandang kasus penembakan penembakan enam anggota FPI menilai bahwa tindakan Polisi merupakan extrajudicial killing atau pembunuhan di luar proses hukum. Pembunuhan di luar proses hukum ini sejatinya juga sudah lama dialami oleh rakyat luas pada khususnya, atau juga pelanggaran HAM pada umumnya. Kita dapat menyebutkan pembunuhan-pembunuhan di luar proses hukum yang dilakukan baik secara langsung oleh aparat maupun melalui preman-premannya, seperti pembantaian 65, pembantaian West Papua, pembunuhan aktivis lingkungan, pembunuhan aktivis buruh seperti Marsinah, pembunuhan aktivis agraria sepeti Salim Kancil, pembunuhan aktivis perempuan seperti Ita Martadinata, dan seterusnya. Namun tangan FPI sendiri juga berlumuran darah, mereka kerap menjadi pelaku pelanggaran HAM bersama aparat seperti pembubaran acara diskusi, penutupan tempat-tempat sembahyang, hingga menciptakan konflik sektarian di beberapa daerah.

Itulah sebabnya kaum sosialis meski menentang pembunuhan di luar proses hukum, akan tetapi menolak untuk membela dan atau bekerjasama dengan kaum bigot dan fundamentalis seperti FPI. Kaum sosialis tidak akan pernah sedikitpun bersimpati kepada FPI, setiap simpati apalagi memobilisasi massa untuk bersolidaritas terhadap FPI berarti menyia-nyiakan tenaga perjuangan yang seharusnya digunakan untuk bersolidaritas terhadap rakyat tertindas seperti bangsa West Papua, perempuan dan LGBT tertindas, kaum buruh, hingga kaum tani.

Kendati demikian, peran negara dalam membubarkan FPI belakangan ini juga tidak bisa dianggap sebagai hal yang bagus. Faktanya, negara sendiri sejak lama tidak memiliki kepentingan untuk menegakkan HAM terlebih memberantas kebigotan dan fundamentalisme. Bahkan sebaliknya sering menggunakan kebigotan dan fundamentalisme untuk menyerang gerakan rakyat maupun mengadudomba satu sama lain. Tumbuh suburnya kebigotan dan fundamentalisme ini sendiri, selain diakibatkan pemanfaatannya oleh berbagai kubu penindas untuk saling berebut kekuasaan, untuk pencitraan kesalehan rezimnya, juga dipicu oleh kondisi hidup serba amburadul di bawah sistem kapitalisme yang terus-menerus meluaskan kemiskinan, pengangguran, dan kesengsaraan.

Umumnya adalah mereka-mereka dari kalangan kelas menengah yang dalam kondisi hidup hari ini sedang berhadapan langsung dengan jurang kehidupan. Mereka tengah dihadapkan pada situasi di mana pusaran persaingan semakin kencang, sementara kebutuhan hidup terus meningkat, hingga ancaman terperosok ke dalam jurang dan bergabung dengan kelas di bawahnya. Ini adalah gambaran yang sangat mengerikan bagi mereka. Layaknya orang panik karena akan tenggelam, kemudian mereka meraih apapun yang berada di dekat mereka, termasuk ideologi-ideologi reaksioner. Demikianlah mengapa banyak kaum miskin kota dan kelas menengah akhirnya bergabung atau dekat FPI. Bagi mereka solusi reaksioner lebih baik daripada tidak ada solusi sama sekali.

Ini semua hanya dapat diatasi dengan membangun kepeloporan revolusioner. Lapisan paling maju dan sadar kelas dari massa buruh mengorganisir dirinya ke dalam organisasi politik sosialis demi menjadi angkatan politik proletar melawan musuh-musuh kelasnya sekaligus menarik lapisan lebih luas dari kelas buruh dan memenangkannya ke politik revolusioner. Kaum sosialis tidak boleh bercita-cita menjadi hanya sebatas sekretaris serikat buruh atau juru advokasi permasalahan masyarakat. Singkat kata tidak boleh menenggelamkan diri pada urusan membela hajat hidup rakyat pekerja alias perjuangan defensif semata. Dari waktu ke waktu, harga LPG dan tarif listrik akan kembali dinaikkan. Tahun depan dan tahun depannya lagi, harga barang dan jasa kebutuhan hidup pokok akan terus dinaikkan kapitalis agar bisa meraup untung jauh lebih tinggi dari upah yang diberikan ke buruh. Kita tidak bisa hanya berkutat pada perjuangan menuntut kenaikan upah minimum. Kita tidak bisa berkutat pada perjuangan defensif. Kaum sosialis, sebagaimana terang Lenin, harus menjadi corong rakyat yang bisa merespon terhadap setiap perwujudan tirani dan penindasan, tidak peduli dimana terjadinya, tidak peduli kelas atau lapisan masyarakat mana yang mengalaminya. Dan mampu menyimpulkan semua perwujudan tersebut sebagai suatu kekerasan aparat dan penghisapan kapitalis; dan mampu memanfaatkan semua peristiwa, tidak peduli seberapapun kecilnya, demi mendorong maju semua keyakinan sosialisnya serta tuntutan-tuntutan demokratisnya, demi menjelaskan kepada semuanya mengenai pentingnya perjuangan pembebasan proletariat. Ini menuntut kaum sosialis bukan hanya aktif menjalankan pemblejetan ekonomi politik seperti apa kepentingan kapitalisme di balik Omnibus Law. Namun juga pemblejetan terhadap penindasan terhadap perempuan serta bagaimana borjuasi diuntungkan dari itu, pemblejetan tentang bagaimana lingkungan secara hakiki dirusak oleh perusahaan-perusahaan tambang dan kebijakan-kebijakan reaksioner negara borjuis, dan sebagainya. Termasuk juga dalam hal ini pemblejetan terhadap berbagai keterasingan serta penyakit-penyakit sosial maupun masalah yang turut menimpa kelas menengah (dari pelecehan di gedung-gedung, kerja melebihi delapan jam sehari, politik kantor yang sarat gosip dan dimanfaatkannya bawahan oleh atasan, kurang atau ketiadaan serikat pekerja kanoran, dan lainnya) serta perjuangan melawannya. Sembari di sisi lain juga mempropagandakan kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh rakyat pekerja. Hanya (dengan membangun) gerakan sosialis yang konsisten demikianlah maka perjuangan untuk melawan serta menghapuskan penindasan bisa semakin melapangkan jalan untuk (kemenangan) revolusi dan karenanya juga memperbesar kemungkinan penghapusan kebigotan dan fundamentalisme secara menyeluruh dan untuk selama-lamanya.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: