Teori

Materialisme Historis dan Keilmiahan – Tentang Hoax, Teori Konspirasi, Rasisme, Kebigotan di Tengah Pandemi Corona

Ketika teori Materialisme Historis atau konsepsi materialis tentang sejarah, dikemukakan di akhir abad 19 dulu, teori itu bukan hanya bernilai karena mengungkap perkembangan sejarah utamanya ditentukan oleh kondisi-kondisi material. Alih-alih gagasan-gagasan ideal muluk yang dikarang para pemikir.Melainkan juga menunjukkan bahwa corak produksi, yaitu kombinasi alat produksi (sasaran kerja dan alat kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup) dan tenaga produktif (tenaga kerja manusia yang mengolahnya untuk memproduksi pemenuhan kebutuhan) dengan hubungan produksi (siapa yang menguasai, siapa yang mengerjakan, dan siapa yang diuntungkan)–membentuk tatanan masyarakat, termasuk suprastrukturnya, yaitu: bangunan ideologis, kultural, sekaligus institusionalnya. Termasuk negara. Masyarakat dibagi ke dalam kelas-kelas yang menguasai dan dikuasai ketika corak produksinya bersifatmenghisap dan menindas. Negara itu sendiri merupakan institusi kelas penguasa untuk mengamankan kekuasaannya dan mempertahankan hubungan-hubungan produksi yang menguntungkan dirinya. Namun kemajuan sosial utamanya didorong oleh kemajuan tenaga produktif. Ketika kemajuan tenaga produktif itu tidak didukung oleh hubungan-hubungan produksi yang kolot dan reaksioner maka kemajuan itu terhambat, tercekik, krisis, dan hanya bisa dipecahkan oleh revolusi. Krisis inilah yang sekarang menimpa.

Alat produksi di abad 21 telah maju jauh. 3D Printing memungkinkan manusia mencetak bukan hanya onderdil mobil tapi juga rumah bahkan organ tubuh sintetis. Augmented Reality bukan hanya mendatangkan fenomena massal gabungan kesenangan bermain game dengan menjelajah dan mengenal lingkungan seperti lewat Pokemon Go. Tapi juga memandu perjalanan, memudahkan operasi bedah, menyimulasikan pembuatan busana dan kreasi ruang dengan jauh lebih efektif. Birth Control Patch memungkinkan kontrol reproduksi jauh lebih aman dan nyaman sekaligus efektif berupa stiker hormon yang mudah ditempel (dan dilepas) di kulit. Endoskopi kapsul memungkinkan dokter melihat ke dalam organ tubuh menyerupai kamera berukuran pil vitamin yang dilengkapi penyinar, sensor imaji, dan kemampuan optis (yang keluar bersamaan dengan aktivitas pencernaan) sehingga memungkinkan para dokter mengetahui sumber pendarahan dalam, radang, bahkan tumor. Gene Editing yang memungkinkan menghapus penyakit dan cacat genetik. Hingga banyak lainnya seperti revolusi media sosial, online streaming atau siaran dalam jaringan, roket luar angkasa multi-pakai, piranti robot bagi kaum difabel, radar berbasis laser yang memungkinkan kendaraan tanpa pengemudi, dan sebagainya. Tenaga produktif juga maju pesat. Muncul profesi-profesi baru inovatif, lintas disiplin ilmu, dan yang mendayagunakan media sosial dan internet secara maksimal. Dari nutrisionis, produsen organik, editor ensiklopedia daring, konsultan pengelola sampah, epidiomolog, analis data, pengembang aplikasi, forensik komputer, informan geospasial, dan sebagainya.

Namun pada saat yang bersamaan, permasalahan kemiskinan, kelaparan, ketunawismaan, dan berbagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serta penindasan tidak terselesaikan. Proletarisasi merembet hampir ke semua bidang. Kemajuan tenaga produktif dan perkembangan alat produksi (termasuk teknologi) terhambat oleh struktur kapitalisme. Hambatan-hambatan ini pula yang kemudian memperparah saat wabah virus Corona menyerang. Terutama politik osteritas atau kebijakan pemotongan anggaran pemerintah.

Pemotongan budget kesehatan, pengurangan bahkan pencabutan berbagai subsidi, politik upah murah, dan peningkatan kerawanan kerja, serta semua politik pemotongan anggaran publik untuk menyelamatkan kapitalisme dari krisis telah mengakibatkan kerentanan parah yang memungkinkan perebakan massal saat wabah virus Corona menyerang. Merebaknya wabah virus Corona membongkar bobroknya kapitalisme yang kemudian menyeret dunia dalam krisis baru lagi. Meroketnya pengangguran, jatuhnya pasar saham 2020, meningkatnya hutang pemerintah, anjloknya berbagai industri seperti pariwisata dan perhotelan, penurunan besar-besaran aktvitas konsumen, anjloknya harga minyak, semuanya potret krisis 2020.

Ketika kapitalisme mengalami krisis, bukan hanya bangunan ekonomi dan bisnis borjuasi yang mengalami guncangan serta gangguan hebat, melainkan seluruh bangunan tatanan masyarakat kelas tersebut. Politik, sosial, budaya, hukum, institusi, negara, dan semua bangunan atas alias suprastruktur yang mengendalikan hubungan-hubungan masyarakat kelas, turut mengalami krisis pula. Persis inilah yang terjadi di masa pandemi ini.

Terdapat kekacauan di ranah politik, faksi-faksi berbeda dari kelas penindas saling menyalahkan ketidakbecusan satu sama lain dalam menangani krisis. Berbagai partai borjuis saling jegal kekuasaan dalam mempertarungkan cara terbaik mana dalam menyelamatkan kapitalisme. Berbagai konglomerat berebut jatah talangan untuk diri mereka sendiri. Tidak peduli sebanyak apapun oposan borjuis yang digaet masuk rezim atau koalisi dan diberi bagian jatah, selalu ada elit reaksioner yang yang tersingkir dari pusat atau tidak kebagian jatah, dan kemudian merongrong pemerintah. Pun kalangan petahana dan koalisi pemerintah sendiri tidak solid serta terus-menerus mengalami pergolakan internal.

Dari segi sosial, norma-norma dan ‘akal sehat’ yang biasanya kokoh mencengkeram kesadaran warga, mulai rapuh, dipertanyakan, bahkan digugat. Hukum yang dalam masa damai tampak berdiri di atas masyarakat, menengahi, berubah menjadi buas dan sewenang-wenang di masa krisis. Kaum kaya raya dimungkinan menumpuk barang-barang kebutuhan secara besar-besaran bahkan didahulukan dan dikawal. Sedangkan rakyat miskin dibatasi atau bahkan dihajar dengan anggapan menyebarkan ancaman kerusuhan serta penjarahan. Institusi-institusi dipertanyakan kemampuannya dan kehilangan kewibawaannya bahkan dikecam luas.

Dalam konteks inilah terjadi juga krisis kepercayaan sekaligus krisis logika. Propaganda media massa borjuasi selama ini mendaku sebagai pers objektif penyampai fakta. Namun kenyataannya mereka hanya berkepentingan terhadap kebenaran bila menguntungkan pencarian laba dan pembelaan terhadap tatanan kapitalisme. Bukan kebenaran, tapi pembenaran. Ini bukan sikap yang hanya dimiliki konglomerat media massa melainkan keumuman di antara mayoritas kelas borjuis, termasuk pemerintahan borjuis.

Sikap pemerintahan-pemerintahan borjuis (terutama yang menjalankan kebijakan pemotongan anggaran publik) cenderung merentang dari meremehkan, menyangkal, menutup-nutupi, hingga mengacau, dan menelantarkan. Ini karena orientasi utama mereka adalah bisnis dan laba di atas nyawa manusia. Misalnya para pejabat Indonesia seperti Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan, mengatakan bahwa orang Indonesia kebal Corona karena makan nasi kucing. Lalu Mahfud MD dan  Airlangga Hartarto, selaku Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengatakan Corona susah masuk Indonesia karena perizinan berbelit. Kemudian Doni Munardo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, mengatakan orang Indonesia kebal virus Corona karena minum jamu. Berikutnya, Terawan, Menteri Kesehatan, mengemukakan “enjoy aja” dalam menyikapi virus Corona, menyalahkan orang yang beli masker mahal, dan mengemukakan Indonesia berhutang pada Tuhan karena Corona tak masuk Indonesia. Lebih parahnya lagi dalam memimpin rapat perdana penyikapan terhadap virus Corona, tak satupun langkah yang diambil Jokowi bersifat medis melainkan bagi-bagi diskon wisata. Tujuannya merebut turis yang batal berwisata ke daerah-daerah terkena karantina.

Bagi rezim yang lebih mementingkan laba daripada nyawa manusia demikian, kebenaran yang dianggap menghalangi operasi bisnis dan penumpukan laba cenderung diabaikan, kalau perlu dibungkam. Ini mengapa saat tim peneliti Harvard T.H. Chan School of Public Health di Amerika Serikat.memperkirakan virus Corona sudah menyebar di Indonesia secara tidak terdeteksi karena Indonesia belum mampu mendeteksi virus Covid-19, sikap Menkes justru menyangkal dan malah menantang.

Inilah mengapa tingkat kepercayaan terhadap rezim semakin menurun. Banyak orang kemudian sangsi dan mencari penjelasan dari sumber berlainan. Sebagian yang kritis dan meragukan keterangan para pejabat pemerintahan memang kemudian mencari penjelasan ke situs-situs berita non-pendukung pemerintah, menolak pembelaan para pendengung atau buzzer, serta membandingkan bagaimana negara-negara lain menangani virus Corona, terutama yang lebih sukses. Namun banyak pula yang kemudian mencari di ‘tempat sampah’ dan memakan mentah-mentah hoax serta teori konspirasi.

Sebagian penyebabnya karena rendahnya literasi digital di Indonesia. Orang-orang tua yang tidak tumbuh besar dengan internet dan media sosial cenderung lebih gagap dengan keduanya. Selain itu mereka juga menurun kemampuan kognitifnya. Ini dibuktikan penelitian New York University dan Princeton University yang mengungkap bahwa penyebar hoax paling banyak dari kategori usia tertua yaitu di atas 65 tahun. Kategori usia penyebar hoax itu lebih banyak dua kali daripada kalangan usia 45 hingga 65 tahun serta tujuh kali lebih banyak dibanding usia 18 hingga 29 tahun. Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) pun membenarkan bahwa menurut laporan yang mereka terima, hoax paling banyak ditebarkan imigran digital. Utamanya melalui grup WA dengan pola umum menyebarkan tanpa membaca seksama serta tidak bisa membedakan mana sumber kredibel dan mana yang tidak. Namun ketika ini dikritik, banyak penyebar hoax tersebut lepas tanggung jawab dan berdalih “hanya meneruskan” bahkan tidak sedikit yang marah ketika diluruskan pengguna media sosial dari generasi lebih muda. Akibat sensitivitas senior peninggalan sisa budaya feodal, yang mana yang lebih tua (dan berpangkat) dianggap lebih tahu, lebih benar, dan lebih pantas dihormati.

Namun penyebaran dan kepercayaan tidak masuk akal terhadap hoax dan teori konspirasi itu bukan sekadar fenomena kekhilafan perorangan atau kelompok maupun masalah rendahnya literasi digital. Sebagian karena memang ini dijadikan senjata borjuis kecil untuk menyelamatkan operasi bisnisnya. Berbeda dengan borjuis besar yang menguasai bisnis dalam skala nasional bahkan internasional, yang termasuk di antaranya menguasai sektor esensial maupun industri tambang dan energi yang masih tetap beroperasi di masa pandemi, borjuis kecil skala bisnisnya juga kecil hanya tingkat lokal dan jarang punya kuasa melobi pemerintah. Di AS para borjuis kecil yang menjadi otak gerakan anti-karantina, gerakan yang menganggap tidak ada virus Corona, dan menyebarkan hoax, teori konspirasi, dan ilmu gadungan, merentang jenisnya. Dari kalangan majikan kafe, restoran, diskotik, tari telanjang, prostitusi, tani kaya, juragan peternakan-pertanian, makelar minuman keras dan senjata, serta lain semacamnya. Mereka sering menyertakan juga kaum fasis, seperti kaum Konfederat, Neo-Nazi, KKK, Proud Boys, dan sejenisnya. Karakter kelas serupa juga bisa dilihat di Indonesia. Misalnya demo pekerja hiburan malam Surabaya (baik dari kafe, pub, karaoke, diskotek, dan lainnya) menuntut pembukaan kembali bisnis namun di balik para perempuan pekerja ini sebenarnya aktornya adalah kaum majikan bersama preman-premannya yang salah satunya berhimpun di ormas Pemuda Pancasila. Hal serupa juga terlihat di Bali. Terlepas dari embel-embel anarkinya, I Gede Ari Astina alias Jerinx Super Man is Dead bukan sekadar personel band tapi juragan distro, juragan tatto, juragan kafe, juragan restoran, dan juragan berbagai bisnis lainnya. Dia bukan anarkis, dia bukan proletar. Dia adalah borjuis kecil. Kepentingannya mengampanyekan tidak ada virus Corona dan menolak tes swab adalah agar bisnisnya bisa beroperasi maksimal seperti sebelum masa pandemi.

Hal lainnya dikarenakan ini masih merupakan dampak lanjutan dari pembusukan kapitalisme dimana salah satu gejalanya adalah nalar dan rasionalisme yang sebelumnya dijunjung tinggi, sudah ditinggalkan. Nalar menjadi anti-nalar dan logika menjadi anti-logika. Ini mengapa ketidakwarasan, hoax, dan fraud atau kepalsuan bukan hanya muncul di kalangan borjuis kecil di luar pemerintah. Seperti Anji dengan Hadi Pranoto si profesor gadungan. Lalu Ningsih Tinampi si dukun yang mengaku bisa mengusir virus Corona. Maupun Jrx yang memandang tidak ada pandemi Covid-19 dan ini semua hanyalah konspirasi bisnis. Melainkan juga dilakukan para pejabat (dan institusi) rezim. Mulai kalung anti-virus Corona yang diproduksi Kementerian Pertanian (yang sudah terbukti tidak manjur karena Bupati Padang Pariaman Ali Mukhni yang selalu memakainya ternyata juga tertular Covid-19). Kemudian Luhut Binsar Panjaitan yang berseloroh, “…cuaca Indonesia ekuator ini yang panas dan juga humidity tinggi itu untuk COVID-19 ini nggak kuat.” Hingga Tirto Karnavian, Menteri Dalam Negeri, yang menyatakan bahwa Pilkada bisa meningkatkan ekonomi dan menurunkan Corona. Tentu saja, hoax dan sains gadungan bila dari kalangan rezim atau pendukungnya, tidak diadili apalagi dihukum.

Ketidaktahuan dan penyesatan akibat hoax, teori konspirasi, dan ilmu gadungan demikian tentu saja diiringi berbagai sentimen reaksioner, termasuk kebigotan. Salah satunya anjuran Wakil Presiden Ma’ruf Amin soal baca doa Qunut bisa usir Corona. Ini bukan saja tidak ilmiah namun juga menyiratkan kaum non-Muslim wajar kena Corona (karena tidak baca doa Qunut). Lalu Abdul Somadz mengatakan virus Corona adalah tentara Allah untuk menghukum Tiongkok karena menindas Muslim Uyghur. Berikutnya ada sentimen aporofobi: rasa jijik, benci, dan memusuhi kaum miskin yang berdasarkan prasangka bahwa kaum miskin sumber kekotoran, penyakit, serta berbagai hal negatif lainnya yang menakutkan bagi kaum kaya. Ini ditebarkan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan yang mengatakan, “Yang kaya melindungi yang miskin agar bisa hidup dengan wajar dan yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menular penyakitnya.” Ini belum termasuk berbagai rasisme anti-Tionghoa yang menganggap kaum Tionghoa secara hakiki adalah penyebar virus serta sentimen-sentimen anti-proletar dengan wujud penolakan/pengusiran dari lingkungan tempat tinggal terhadap perawat, dokter, dan pekerja medis yang menangani pandemi maupun kebijakan-kebijakan pemotongan (bahkan penundaan) upah.

Semakin parah krisis kapitalisme di suatu negara, semakin ekstrem politik osteritas diterapkan untuk menyelamatkan kapitalisme, maka semakin parah berkembangnya hoax, teori konspirasi, ilmu gadungan, kebigotan, dan sentimen-sentimen reaksioner. Apalagi semakin kapitalisme terdesak di suatu negara maka kaum Kanan reaksioner seringkali semakin merangsek ke kekuasaan. Seperti Bolsonaro di Brazil, Boris Johnson di Britania, dan Donald Trump di AS. Sedangkan negara-negara yang bukan pusat gempa krisis dan tidak menjalankan politik osteritas bukan hanya relatif bebas dari hal-hal reaksioner itu. Namun juga memungkinkan mereka menangani pandemi dengan lebih efektif. Efektifitas itu berjalan di atas kesamaan pola: respon cepat, kooperatif atau melibatkan semua elemen penting untuk bekerjasama, penerapan rasio dan pasokan kebutuhan warga serta reorganisasi produksi untuk memenuhi itu, kampanye menyeluruh dan partisipatif dalam menyebarkan pengetahuan mengenai penyikapan wabah virus, serta penerapan karantina dan tes secara proporsional. Vietnam, Selandia Baru, Tiongkok, Korea Selatan, Islandia, dan Taiwan, meskipun masih berada dalam masyarakat kelas, namun relatif sukses karena hal itu.

Tentu saja dalam kapitalisme, tidak ada jaminan keselamatan hakiki. Begitu kondisi dirasa pulih, maka ekonomi bisnis borjuis sesegera mungkin dipulihkan termasuk oleh rezim-rezim di negara yang berhasil tadi. Dus, kembali membuka ancaman atas penularan kembali serta gelombang wabah berikutnya. Masalahnya masih sama. Kemajuan tenaga produktif sudah menuntut penataan ulang secara kolektif, setara, dan membebaskan, namun terhambat hubungan produksi kolot, reaksioner, menindas, menghisap, nan serakah milik kapitalisme. Hambatan ini harus dihancurkan agar kemajuan bisa digunakan untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang selamat, sehat, lestari, adil, makmur, bebas penindasan. Solusinya masih sama: revolusi.

Ditulis oleh Leon Kastayudha, Kader Perserikatan Sosialis dan Anggota Sosialis Muda.
Tulisan ini merupakan versi panjang dari tulisan yang diterbitkan dalam Arah Juang edisi 88, I-II Juni 2020, dengan judul yang sama.

REFERENSI:

Saad-Filho, Alfredo. (2020) Has austerity led us to the COVID-19 pandemic? (Online), diterbitkan King’s College London News Centre. Diakses dari https://www.kcl.ac.uk/news/has-austerity-led-us-to-the-covid-19-pandemic  

Jones, Owen. (2020). We’re About to Learn A Terrible Lesson from Coronavirus: Inequality Kills. (Online),diterbitkan The Guardian. Dialses dari https://www.theguardian.com/commentisfree/2020/mar/14/coronavirus-outbreak-inequality-austerity-pandemic   

CNN Indonesia. (2020)Alasan Harvard Prediksi Virus Corona Sudah Masuk Indonesia. (Online). Diterbitkan CNN Indonesia pada 13 Februari 2020. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200213081956-106-474145/alasan-harvard-prediksi-virus-corona-sudah-masuk-ke-indonesia pada 8 September 2020.

Hastanto, Ikhwan. (2020). Wabup Padang Pariaman Kaget Bupatinya Positif Padahal Rajin Pakai Kalung Anticorona. (Online), diterbitkan Vice Indonesia. Diakses dari https://www.vice.com/id_id/article/z3eka4/wabup-padang-pariaman-kaget-bupatinya-positif-padahal-rajin-pakai-kalung-anticorona 

Hasan, Akhmad Muawal. (2019). Masalah Orangtua: Gemar Membagi Hoaks di Medsos dan WhatsApp. (Online), diertbitkan Tirto.id. Diakses dari https://tirto.id/masalah-orangtua-gemar-membagi-hoaks-di-medsos-dan-whatsapp-decZ 

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: