Pernyataan Sikap

Hapus Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan!

Pernyataan Sikap Aliansi Malang Melawan Memperingati Hari Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan 25 November 2020

International Day for The Elimination of Violence Against Women atau Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Sedunia adalah peringatan sekaligus momentum tiap 25 November. Bertujuan untuk  meningkatkan kesadaran mengenai fakta akan kondisi perempuan di seluruh dunia yang rentan menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga, serta berbagai bentuk kekerasan lainnya. Di lain sisi, memiliki tujuan menyoroti  isu-isu perempuan yang perlu diungkap dan disikapi secara tuntas.

25 November terlahir dari sebuah sejarah panjang, bertepatan terjadinya peristiwa pembunuhan Las Hermanas Mirabal atau Mirabal bersaudara, yaitu Patria Mirabal, Minerva Mirabal, dan María Teresa Mirabal di tahun 1960. Yang gencar menentang rezim diktator Rafael Leonidas Trujillo di Republik Dominika. Pemimpin diktator ini menguasai Republik Dominika dari tahun 1930 hingga 1961. Ia memimpin Republik Dominika dengan penuh akan penindasan, pembunuhan, pembantaian, rasisme terhadap kulit hitam dan memprioritaskan imigran kulit putih, serta pelanggaran besar-besaran akan Hak Asasi Manusia (HAM) terlebih lagi terhadap perempuan, seperti yang dialami oleh Mirabal bersaudara. Pasca kematian Mirabal bersaudara, tepatnya 1981 para aktivis se-Amerika Latin dan Karibia mengadopsi tanggal pembunuhan mereka sebagai hari untuk membangun kesadaran dan melawan kekerasan terhadap perempuan secara luas. Pada 17 Desember 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa pun mengadopsi peringatan ini lewat Resolusi 54/134. Yang kemudian dilengkapi dengan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang dimulai setiap 25 November hingga 10 Desember yang bertepatan dengan peringatan Hari HAM Internasional sebagai puncaknya. Jelas, 25 November merupakan salah satu hari paling bersejarah yang tak hanya menjadi milik gerakan pembebasan perempuan namun juga pergerakan rakyat melawan penindasan secara keseluruhan. Sebab penindasan dan kekerasan terhadap perempuan berkaitan erat dengan kesenjangan sosial dan kesewenang-wenangan penguasa. Tak mungkin ada kemenangan dalam perjuangan tanpa pembebasan terhadap perempuan.

Bagaimana Seharusnya?

Seiring berjalannya waktu dengan berkembangnya peradaban manusia, telah dicapai banyak kemajuan dalam segala bidang ilmu, baik alam maupun sosial. Bentuk-bentuk usang masyarakat lama beserta kebudayaannya telah banyak ditinggalkan, yang tentunya perempuan berhak merebut kembali hak-haknya sekaligus membebaskan diri dari segala bentuk penindasan. Hak atas akses pendidikan yang setara, akses kesehatan penuh, hak untuk bebas memilih pekerjaan, perlindungan terhadap dirinya di ruang publik dan di tempat kerja serta yang paling penting Hak untuk bebas dari segala bentuk kekerasan.

Selain terbebasnya perempuan dari bentuk kekerasan fisik dan verbal, ia pun berhak, dan memang sudah seharusnya membebaskan dirinya dari bentuk kekerasan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Perempuanlah yang bertindak sebagai hero dalam masyarakat kita saat ini dimana ia memainkan peran ganda sebagai tenaga kerja dan sekaligus unsur yang merawat dan melahirkan tenaga kerja baru, dengan statusnya yang demikian maka perempuan berhak diposisikan di posisi yang paling bebas. Secara politik, perempuan haruslah dibebaskan dari domestikasi ini dan itu serta sudah fitrahnya untuk sebebas-bebasnya menduduki posisi-posisi terpenting dalam negara. Selain itu di bidang kebudayaan secara luas, perempuan, punya peran yang teramat besar dalam pembentukan peradaban masyarakat manusia, mulai dari peradaban itu dalam kandungannya hingga kebudayaan dimana suatu peradaban tersebut eksis. Bebasnya perempuan dari seluruh kekerasan terkait erat dengan kebudayaan lama yang tetap tinggal dimana ia memposisikan perempuan sebagai subordinat salah satu jenis sex—laki-laki.

Kondisi Terkini dan Kasus-kasus

Faktanya, saat ini kaum perempuan mendapati amat banyak persoalan di berbagai bidang; ekonomi, politik, kebudayaan, gender, dan lain sebagainya yang bisa dikatakan masih sangat jauh dari apa yang diidealkan. Malahan, saat ini, kedudukan perempuan jauh dari kata baik dan layak, dimana hegemoni anti-perempuan marak. Saat ini, masih banyak perempuan yang mengalami kasus kekerasan di berbagai bidang seperti yang telah disebutkan. Lebih parahnya, perempuan yang melaporkan kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpanya justru ditangkap dengan laporan melakukan tindakan pencemaran nama baik terhadap pelaku. Baiq Nuril adalah fakta sejarah, dimana seorang perempuan yang melaporkan bahwa dirinya merupakan korban kekerasan seksual justru mendapatkan jawaban yang terbalik: penjara. Ini belum termasuk upaya kriminalisasi terhadap para penyintas kekerasan seksual maupun para pendukungnya dalam kasus-kasus lainnya seperti kasus Agni di UGM, kasus kriminalisasi Anindya Joediono, dan sebagainya yang bisa jadi menimpa penyintas lainnya.

Keterhubungan dengan Omnibus Law

Momentum Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2020 ini tetap perlu menuntut penghapusan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) bukan hanya karena gerakan pembebasan perempuan bagian dari perjuangan rakyat tapi juga karena UU Cipta Kerja mengancam hak-hak perempuan. Sebagaimana dikemukakan Arieska Kurniawaty, Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, UU Cipta Kerja menghapus analisis gender dalam pengurusan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Kemudian, keberpihakan ekstrem UU Cipta Kerja pada investor dan konglomerat sampai mempermudah perampasan serta monopoli tanah terutama melalui korporasi-korporasi akan turut menurunkan tingkat kepemilikan tanah oleh rakyat, dimana di dalamnya saja sudah timpang secara gender, dimana perempuan yang memiliki bukti kepemilikan tanah hanya sebanyak 24,2%. Lalu, karena Omnibus-Law Cipta Kerja juga berisiko memperluas konflik agraria, secara langsung juga akan menyengsarakan perempuan petani dan perempuan masyarakat adat yang mana mereka seringkali disasar penindasan berlapis lewat represi, intimidasi, dan kriminalisasi, bersama dengan laki-laki petani dan masyarakat adat pada umumnya. Sedangkan di sisi lain, cenderung ada fenomena perampasan tanah mengakibatkan kaum tani yang disingkirkan berurbanisasi menjadi buruh di perkotaan baik di sektor formal maupun sektor informal dan menjadi bagian kaum miskin kota terutama bagi laki-laki sedangkan perempuan menjadi pekerja rumah tangga baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang minim perlindungan apalagi pemenuhan atas hak-haknya. Selanjutnya, Undang-undang Cipta Kerja juga merampas hak-hak perempuan pekerja, karena menghapuskan kewajiban majikan untuk memberikan cuti haid, cuti hamil, dan cuti keguguran secara berbayar.

Sikap aliansi terkait HAKTP:

Peringatan HAKTP yang diikuti kampanye anti kekerasan terhadap perempuan (16 Days Public Campaign Anti Gender Based Violence Against Women) merupakan hari-hari yang menjadi sebuah momentum internasional secara kolektif untuk menyuarakan ke publik terkait penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang didalamnya juga termuat penghapusan kekerasan seksual. Di Indonesia sendiri, peringatan dan kampanye ini mulai rutin dilakukan sejak tahun 2003 yang diprakarsai oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan berbagai elemen sipil lainnya. Peringatan dan kampanye rutin ini kemudian lebih dikenal dengan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang juga akan diperingati kembali tahun ini yaitu 25 September hingga 10 Desember 2020.

Berdasarkan catatan Komnas Perempuan yang dipublikasikan dapat diketahui jika kekerasan terhadap perempuan kian hari kian meningkat sehingga sangat diperlukan payung hukum yang menangani kasus-kasus terkait. Berdasarkan data komnas perempuan dari tahun 2016-2019 terdapat 55.275 kasus kekerasan terhadap perempuan dan yang paling mendominasi ialah kekerasan yang berhubungan dengan kekerasan seksualitas yaitu sebanyak 40% atau 21.841 kasus. Dari jumlah kasus yang sekian besar tersebut, komnas perempuan menyatakan dalam siaran pers CATAHU 2019 bahwa kekerasan terhadap perempuan memiliki trend lokasi tersendiri yang didominasi pada ranah privat seperti ranah rumah tangga, pacaran dan incest.

Melihat kondisi berbagai kasus kekerasan yang menimpa perempuan tersebut maka akan sangat dibutuhkan ruang ideal yang aman bagi setiap individu baik perempuan maupun laki-laki. Ruang-ruang aman tersebut bisa tercipta dari kesepakatan dan komitmen-komitmen dari setiap solidaritas dalam kolektif kecil seperti Aliansi. Sedangkan kondisi ideal untuk menciptakan ruang aman terhadap setiap warga negara dari segala bentuk kekerasan sangat diperlukan payung hukum yang mewadahi dan menaungi setiap kasus untuk diselesaikan sebagaimana mestinya. Salah satu saran yang muncul untuk menjadi payung hukum untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan oleh komnas perempuan ialah RUU PKS yang sampai kini belum jelas nasib dan kondisinya. Sebagai salah satu kolektif kecil maupun individu, kita sudah seharusnya turut berkontribusi dalam menciptakan ruang aman bagi setiap individu dari kekerasan tak peduli ia perempuan atau laki-laki.

Oleh karena itu, Aliansi Malang Melawan, dalam momentum Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, menyerukan:

“ HAPUS DISKRIMINASI DAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN! “

Senada dengan seruan tersebut, kami dari Aliansi Malang Melawan menuntut:

  1. Cabut Omnibus Law dan Seluruh Peraturan Turunannya!
  2. Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual! (Wujudkan UU yang menjadi payung hukum untuk menangani setiap kasus kekerasan seksual)
  3. Sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga serta Tolak RUU Ketahanan Keluarga!
  4. Hentikan Kriminalisasi Penyintas Kekerasan Seksual!
  5. Wujudkan Jaminan Hak-Hak Perempuan Pekerja!
    1. Upah sama tingginya untuk pekerjaan sama banyaknya!
    2. Jamin pemberian hak cuti haid!
    3. Jamin pemberian hak cuti hamil!
    4. Jamin pemberian tunjangan melahirkan!
    5. Sediakan ruang menyusui di tempat kerja dan atau tempat penitipan anak berkualitas dengan dibiayai pemerintah!
    6. Berikan hak jaminan kesehatan dan perlindungan selama bekerja, terutama bebas dari diskriminasi maupun pelecehan serta kekerasan seksual!
  6. Tuntaskan Semua Kasus Pelanggaran HAM terhadap Perempuan!
    1. Tuntaskan Kasus Pembantaian 65 (yang di dalamnya juga banyak kekerasan seksual serta perbudakan seks terhadap aktivis perempuan)!
    2. Tuntaskan Kasus Marsinah!
    3. Tuntaskan Kasus Perkosaan Massal terhadap Perempuan Tionghoa 98
    4. Tuntaskan Kasus Pembunuhan Ita Martadinata!
  7. Wajibkan Seluruh Institusi untuk Memiliki Standar Operasional Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
  8. Hapuskan Seksisme, Perkosaan dan Penyalahan terhadap Korban, serta Lawan Budaya Patriarkhi
  9. Terapkan Pendidikan Seks secara Progresif yang Memuat Kesadaran Mengenai Kekerasan terhadap Perempuan (termasuk Kekerasan Seksual) serta Upaya Mencegah dan Melawannya.
  10. Berikan perlindungan sepenuhnya dan insentif selayak-layaknya di masa pandemi bagi seluruh kelas buruh dan rakyat pekerja termasuk dalam konteks ini kaum perempuan pekerja

Sumber:

Siaran pers CATAHU komnas perempuan 2019, Siaran pers hari anti kekerasan terhadap perempuan komnas perempuan tahun 2019 dan 2020.

Rahayu, Lisye Sri. Solidaritas Perempuan Ungkap 5 Ancaman Omnibus Law terhadap Perempuan. Detik News. Daring. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-5200317/solidaritas-perempuan-ungkap-5-ancaman-omnibus-law-terhadap-perempuan/1.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: