Perspektif

Kepulangan Rizieq Shihab: Politik FPI, Jenderal dan Konglomerat

Kepulangan Rizieq Shihab pada 10 November 2020 setelah menjadi buron kasus pornografi pada 2017 lalu, menunjukkan adanya kompromi-kompromi yang dilakukan oleh para elit-elit borjuis. Pertama, sejak 2018 rezim melalui kepolisian telah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus pornografi pemimpin Front Pembela Islam (FPI) itu. Kedua, Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) menjamin Rizieq saat pulang dan dijemput massa pendukungnya tidak akan ditangkap aparat. Senin (9/11/2020) Mahfud MD menyatakan “Silakan menjemput, tapi tertib, rukun dan damai, seperti yang selama ini dianjurkan oleh Habib Rizieq…Hanya karena ada peningkatan ekskalasi orang menjemput, iya, penjagaannya juga supaya ditingkatkan. Tetapi tidak usah berlebihan. Tidak boleh ada tindakan-tindakan yang sifatnya represif, semuanya harus dikawal dengan baik.” Kerumunan penjemput Rizieq di bandara pun diduga mencapai 13.621 orang. Tidak ada pencegahan gerak massa apalagi pembubaran paksa karena melanggar protokol kesehatan. Tidak seperti yang dialami banyak massa aksi anti-Omnibus Law di berbagai daerah. 

Kompromi bahkan gelagat rujuk antara rezim borjuis pemerintah nasional dengan oposisi bigot ini diperkuat dengan menawarkan islah atau rekonsiliasi dengan rezim Jokowi. Bahkan Rizieq menyatakan FPI siap mendukung rezim dengan syarat pemerintah stop kriminalisasi ulama dan melaksanakan revolusi akhlak. Ini tentu saja kode untuk pembebasan semua sekutu (bigot) Rizieq sekaligus perluasan syariat Islam.

Rezim Jokowi menerapkan pendekatan carrot and stick kepada pengkritik bahkan penentangnya. Mereka yang bisa digalang untuk mendukung kepentingannya, diberikan imbalan. Sedangkan mereka yang keras merongrong kekuasaannya, dihantam represi, intimidasi, kriminalisasi, dan pemberangusan demokrasi. Bahkan juga sabotase. Termasuk oposisi kanan borjuis. Satu sisi, sezim Jokowi tidak segan berbagi kekuasaan, entah itu dengan memberikan kursi menteri, komisaris BUMN, jatah proyek, dan sebagainya kepada yang (berbalik) mendukungnya. Sisi lain, rezim bisa keras terhadap oposisi yang menghalangi kepentingannya dalam menjalankan megaproyek kapitalis, politik austerity (politik pengetatan), serta liberalisasi hukum demi kepentingan kapitalis global. Banyak partai yang dulunya oposisi kanan borjuis sudah silih masuk ganti mendukung rezim. Setelah KAMI diberi shock therapy atau terapi kejut dengan memidanakan serta menangkap beberapa pimpinannya, kemudian Gatot Nurmantyo coba disogok dengan bintang penghargaan. Maka sekarang kubu oposisi kanan borjuis yang memiliki pengaruh besar terhadap publik tinggal sedikit, beberapa yang tersisa di antaranya adalah FPI, PA212 dan sejenisnya.

Sikap kompromi rezim tersebut menunjukkan bahwa kaum bigot pimpinan FPI tengah melemah. Kita melihat bahwa gerbong 212 yang dulu dibangun untuk menyerang rezim Ahok pada jangka pendek dan menyerang rezim Jokowi pada jangka panjang sudah tidak utuh. Ma’ruf Amin, salah satu pemimpin MUI dan tim pemenangan cagub Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), telah masuk menjadi Wakil Presiden. Demikian pula Prabowo juga telah masuk menjadi Menteri Pertahanan.

Aksi-aksi FPI & PA212 belakangan ini dalam menolak Omnibus Law serta Boikot Produk Perancis juga harus dilihat bukan lagi sebagai aksi yang serius dalam menentang rezim. Kedua kampanye tersebut hanyalah alat agar rezim mau berkompromi kepada kaum bigot, termasuk memastikan agar Rizieq dapat pulang tanpa gangguan dari rezim. Terbukti setelah Rizieq pulang, dua kampanye itu redup. Secara umum, kepentingan politik Rizieq kini bukan lagi menyerang dan menggulingkan rezim Jokowi tetapi untuk mendapatkan jatah kekuasaan melalui Pilkada dan Pilpres mendatang.

Kelompok oposisi kanan borjuis kini sudah tidak bisa lagi secara terbuka menyerang rezim Jokowi-Amin, maka berlindunglah mereka di balik Rizieq beserta kaum bigotnya. Terlihat ketika Rizieq pulang, ia tidak hanya disambut oleh massa pendukungnya namun juga disambut oleh kubu oposisi kanan borjuis. Mereka yang menemui Rizieq di Petamburan di antaranya adalah Anies Baswedan, Fadli Zon (Gerindra), Salim Segaf Al-Jufri (PKS), Marwan Batubara (KAMI), Amien Rais (Partai Umat), dan Masyumi. Semua membawa kepentingan politik sendiri.

Selain itu, beredar kabar bahwa kepulangan Rizieq erat kaitannya dengan tur Jusuf Kalla ke Timur Tengah. JK dikabarkan melakukan manuver di sana untuk memastikan Rizieq dapat kembali ke Indonesia. Kabar lainnya adalah upaya untuk membentuk poros koalisi JK-Anies-Rizieq. Kedekatan ketiganya memang telah terjalin sejak lama. Ketika Anies mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta, JK telah menyokong Anies agar dapat memenangkan pemilihan dan melaksanakan kepentingan politik yang ia titipkan kepada Anies. Sementara kedekatan Rizieq dengan Anies telah terlihat jelas sejak kampanye Pilgub DKI Jakarta serta sikap akomodatif Anies kepada Rizieq-FPI.

Kendati telah terjadi kompromi-kompromi antara rezim dan Rizieq, tarik-ulur di antara keduanya belumlah selesai. Kompromi rezim yang tidak menangkap Rizieq tidaklah cukup bagi FPI agar berbalik mendukung rezim Jokowi. Tuntutan FPI agar pemerintahan Jokowi menghentikan kriminalisasi para ulama dan kubu oposisi kanan borjuis yang telah ditangkap masih bergulir sekaligus menandakan bahwa FPI berupaya mengumpulkan kembali kekuatan barisan bigotnya. Selain itu seruan revolusi akhlak dari Rizieq adalah sinyal bukan hanya agar syariat Islam diperluas melainkan juga agar FPI diberikan jatah. Bagi rezim borjuis yang merasa telah memberikan ampunan, tuntutan FPI adalah tindakan kurang ajar tak tahu diuntung.

TNI bergerak menurunkan baliho-baliho FPI/Rizieq di berbagai tempat. Jumat (20/11/2020) Panglima Komando Daerah Militer Jayakarta Raya (Pangdam Jaya) TNI, Mayor Jenderal (Mayjen) Dudung Abdurachman mengatakan, “Ada berbaju loreng menurunkan baliho Habib Rizieq, itu perintah saya. Itu perintah saya. Karena berapa kali Pol PP nurunkan, dinaikkan lagi. Perintah saya itu.” Ia berdalih bahwa Satpol PP yang dinaungi Kepala Daerah—di Jakarta Anies Baswedan bersekutu dengan FPI—tidak berani menghadapi FPI. Dudung lantas memperingatkan FPI, “Jangan seenaknya sendiri seakan-akan dia yang paling benar. Tidak ada itu. Tidak ada. Jangan coba-coba pokoknya. Kalau perlu FPI bubarkan saja itu. Bubarkan saja itu. Kalau coba-coba dengan TNI, mari.”

Ini adalah unjuk kekuatan sekaligus unjuk nyali TNI untuk mencitrakan lebih tegas dibandingkan para aparat polisi dan Mahfud MD, Menkopolhukam pertama dari kalangan sipil yang dianggap lembek di hadapan FPI. Ini menyiratkan kepentingan politik kubu militeris. Mereka ingin menunjukkan apabila kepemimpinan Menkopolhukam dipegang dari kalangan sipil maka aparat menjadi tidak berwibawa, tidak tegas dan tidak becus. Sehingga inisiatif TNI dapat menjadi pembenaran bagi agenda remiliterisasi di Indonesia. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya peristiwa penggerudukan rumah ibu Mahfud MD di Pamekasan, Madura, yang dilakukan oleh kubu FPI melalui Aliansi Umat Madura, Habaib dan Ulama, yang mana semakin memperkuat citra bahwa kelompok reaksioner tersebut menjadi beringas ketika posisi Menkopolhukam tidak dipegang oleh kalangan militeris.

Kesimpulannya meski rezim Jokowi telah mempereteli kubu oposisi sekaligus menggaet sebanyak mungkin bekas musuhnya ke dalam kubu Jokowi sendiri, perebutan kekuasaan di kalangan borjuasi masih terus terjadi. Hal ini disebabkan karena di masa krisis, terlebih diperparah oleh pandemi, tidak akan pernah ada cukup jatah yang dibagi ke semua kubu borjuasi dengan memuaskan. Memuaskan bagi satu kubu borjuasi akan berisiko menyinggung kubu lainnya. Memberi jatah satu kubu borjuasi berisiko mengurangi jatah kubu borjasi lainnya.

Lantas, siapakah jenderal yang ada di balik FPI sekarang? Ada kemungkinan Wiranto terlibat. Wiranto adalah salah satu jenderal yang turut menggalang FPI dalam Pam Swakarsa, di mana FPI digunakan sebagai anjing penyerang bagi Polri dan BIN agar bersih dari kritik pelanggar HAM. Namun, sebelumnya Wiranto telah dilantik oleh Jokowi sebagai menteri dan sekarang menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden. Di sisi lain, ada Prabowo yang kini menjabat Menhan. Prabowo tampak diam saja terkait dengan kasus ini dan walaupun belum pasti namun ada kemungkinan Prabowo berada di balik kasus FPI, bekerjasama dengan Pangdam Jaya untuk menjadi proxy Prabowo guna meningkatkan jatah remiliterisasi sekaligus dengan memainkan FPI yang merupakan sekutunya kala Pilpres tahun lalu melalui Fadli Zon yang datang ke Petamburan setelah kepulangan Rizieq. Penangkapan kasus korupsi benih lobster yang menyangkut Gerindra, harus dimaknai bukan murni pemberantasan korupsi, melainkan sebagai respon politis rezim Jokowi untuk ‘menegur, Gerindra dan Prabowo.

Melihat keributan mengenai kepulangan Rizieq ini, beberapa respon bermunculan. Kita melihat kaum-kaum menengah liberal ada yang bersorak mendukung aksi pencopotan baliho yang dilakukan TNI atas perintah Pangdam Jaya. Bahkan nama Pangdam Jaya itu sendiri sempat menjadi tren tersendiri di media sosial. Beberapa pihak lainnya juga mengirimkan karangan bunga untuk mengapresiasi dan menyatakan kesediaannya membantu pencopotan baliho. Ini khas dukungan terhadap Ahok dulu. Padahal, setelah melihat lebih dekat apa kepentingan di balik aksi tersebut kita mengetahui dengan jelas bahwa ada bahaya remiliterisasi di Indonesia, yang mengancam kita kembali seperti di zaman kediktatoran Orde Baru.

Sebagian lainnya ada yang mengkritik dan mengecam aksi TNI, akan tetapi kritik dan kecaman tersebut hanya berkutat di persoalan prosedur, bahwa TNI telah melanggar prosedur yang seharusnya menjadi tugas Polisi. Padahal, ini bukanlah murni tentang prosedur melainkan tentang perjuangan kelas. Ada borjuasi yang sedang sama-sama bertarung dan keduanya adalah ancaman yang nyata bagi rakyat. Atau mengenai TNI telah melanggar kebebasan berpendapat—termasuk kebebasan berpendapat bagi kaum bigot macam FPI—yang menjurus pada dukungan terhadap kelompok-kelompok reaksioner. Beberapa bahkan dengan jelas menyatakan bahwa FPI harus dibela karena mereka telah dizalimi.

Semua kritik yang muncul tersebut mengindikasikan bahwa kaum-kaum menengah liberal ini tidak mengerti politik, karenanya tidak memiliki inisiatif untuk membangun gerakan rakyat dan mobilisasi massa guna melawan kelompok-kelompok reaksioner sekaligus kubu militeris. Di sisi yang lain, kaum menengah liberal juga menunjukkan ilusinya mengenai masyarakat sipil yang sepenuhnya demokratis dengan kehadiran negara yang baik, netral, dan mengayomi semuanya. Padahal dalam negara paling demokratis sekalipun, negara bukanlah penengah melainkan instrumen kekuasaan kediktatoran kelas borjuis, demokrasinya dan segenap kebebasan berpendapat/berserikat hanya diberikan utamanya pada berbagai faksi borjuasi dan kubu penindas, bukan kepada rakyat jelata. Bahkan bilamana rakyat jelata mengancam kepentingan penghisapannya maka hak-hak demokrasi rakyat akan dirampas. 

Melihat bahwa pertarungan yang terjadi pasca kepulangan Rizieq ke Indonesia adalah pertarungan kubu-kubu yang yang sama-sama borjuis, sama-sama penindasnya, maka kelas buruh dan rakyat pekerja tidak perlu mendukung salah satunya. Apa yang lebih baik untuk dilakukan selain memblejeti pertarungan antar kubu penindas di balik isu ini adalah berjuangan untuk semakin memperkuat pembangunan gerakan buruh, rakyat, dan kaum tertindas yang memiliki kemandirian kelas. Perlawanan terhadap kelompok reaksioner hanya akan menjadi tugas yang revolusioner apabila dilakukan oleh rakyat pekerja guna melancarkan programnya menuju masyarakat adil, makmur, bebas dari penghisapan/penindasan, alias masyarakat sosialis. Perlawanan terhadap kaum bigot yang bersekutu apalagi menitipkan nasib kepada salah satu kubu penindas lainnya, hanya akan memperkuat kubu penindas lain itu. Demikian juga perlawanan terhadap negara borjuasi hanya akan menjadi tugas yang revolusioner apabila kelas pekerja telah tersatukan dalam semangat juang yang sama guna menggulingkan kediktatoran negara borjuasi dan menggantikannya dengan kekuasaan rakyat-pekerja. Karena itu tidak akan menjatuhkan diri pada perangkap model kekuasaan, tatanan, atau negara alternatif yang digali lagi dari kuburan masa lalu, entah itu Khilafah, negara agama, kerajaan, dan lainnya, namun pada hakikatnya juga buruk, menghisap, dan menindas. Melainkan akan membuat rakyat pekerja bergerak maju ke pembebasan, kesetaraan, dan kesejahteraan seutuhnya.

ditulis oleh Miswanto, anggota Lingkar Studi Sosialis

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: