Sejarah

Menolak Lupa: Pembunuhan Munir

Enam tahun pasca Reformasi 1998 Munir dibunuh, lima belas tahun setelahnya impunitas bagi penjahat kemanusiaan tetap ada.

Munir mulai terlibat dalam perjuangan HAM saat kekuasaan Rezim Militer Soeharto. Ia memilih jalan penegakan hukum, konstitusi, dan HAM sebagai sebuah gerakan politik. Munir dalam banyak kesempatan menghadapi kekuatan militer, termasuk aktor kunci pembunuhan terhadapnya, AM Hendropriyono. Pelanggar HAM kasus Talangsari, Lampung, dan beberapa kasus besar lainnya. Terakhir, Munir berhadapan dengan Hendropriyono ketika mengadvokasi masalah hukum tidak diperpanjangnya izin tinggal Sidney Jones, Direktur International Crisis Group (IGC). IGC adalah lembaga berbasis di Belgia beberapa kali mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan Badan Intelejen Negara (BIN). Sementara itu Muchdi Purwopranjono juga berhadapan dengan Munir dalam keterlibatannya di kasus penculikan aktivis 1998. Muchdi PR sendiri karena kasus tersebut hanya dipindahtugaskan. Ia kemudian menjadi Kepala Deputi V BIN di bawah kepemimpinan AM Hendropriyono. Munir juga aktif mengkritisi BIN ketika berupaya meluaskan wewenangnya, yang bertentangan dengan demokrasi.

Guna menunjang perjuangannya, ia berencana untuk melanjutkan sekolah hukum di Belanda. Pada 7 September 2004 itulah, saat perjalanan menuju Amsterdam, ia menghembuskan nafas terakhir. Tepatnya berada di bawah langit Romania, dua jam sebelum pesawat mendarat di Kota Amsterdam, Belanda. Ia tewas di dalam pesawat bernomor penerbangan GA 974 maskapai Garuda Indonesia tujuan Jakarta-Amsterdam. Pasca mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, otoritas Belanda memeriksa tubuhnya dan ditemukan lebih dari 3 gram kandungan racun Arsenik.

Para pegiat HAM mendesak Presiden kala itu Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Tim Pencari Fakta (TPF). Laporan dari kerja TPF tersebut menunjukkan bukti keterlibatan negara dalam pembunuhan berencana terhadap Munir. Salah satunya adalah keterlibatan Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot senior maskapai Garuda Indonesia juga seorang anggota BIN yang direkrut oleh Muchdi PR pada bulan Februari 2002 sebagai agen intelijen utama negara. Bukti-bukti yang ditemukan atas keterlibatannya menuntun ke penemuan baru dan menyeret beberapa pejabat BIN dan sejumlah jenderal TNI. Mereka antara lain: Muchdi PR mantan Deputi V BIN bidang Penggalangan (2001-2005), AM Hendropriyono mantan kepala BIN, dan Indra Setiawan, Dirut PT. Garuda Indonesia pada waktu itu.

Menurut telegram rahasia Kedubes AS di Jakarta, yang dibocorkan oleh wikileaks, TPF mendapatkan dokumen dari agen BIN yang mengungkap beberapa kali pertemuan khusus untuk membahas pembunuhan Munir. Pertemuan bulan Maret 2004 dilakukan secara tertutup, dipimpin oleh Hendropriyono dan dihadiri oleh Deputi BIN: Muchdi PR, M As’ad, Wahyu Saronto dan Manunggal Maladi. Pertemuan kedua dilakukan lebih luas dengan berbagai pejabat BIN yang membahas plot pembunuhan Munir. Beberapa skema pembunuhan dibahas, mulai dari menggunakan penembak jitu, perusakan mobil agar terjadi kecelakaan, hingga menggunakan ilmu hitam. Juga terdapat pertemuan tertutup yang membicarakan pembunuhan menggunakan racun. Pertemuan tersebut terjadi antara Hendropriyono dengan Muchdi PR yang membawa salah satu dokter ahli dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Dokumen tersebut menerangkan bahwa dalam pertemuan itu, dokter ahli dari Kopassus menjelaskan metode membunuh dengan menggunakan racun cair.

Mereka menggunakan jejaring non-organik BIN untuk membunuh Munir. Disitulah Polly bertugas. Ia yang sebelumnya bertugas untuk penerbangan Tiongkok dipindahtugaskan agar bisa mengikuti penerbangan kemana saja. Termasuk membuka kesempatan untuk mengikuti penerbangan yang sama dengan Munir.

Setelah Polly mendapatkan surat tugas, ia memberikan surat tersebut kepada Indra Setiawan dengan harapan bisa mendapatkan akses penerbangan yang sama dengan Munir. Indra pun membuat surat tugas yang diinginkan Muchdi dan Polly. Surat yang dibuat menunjuk Pollycarpus sebagai staf corporate security. Selanjutnya, Polly menghubungi telepon genggam Munir yang diterima Suciwati dengan maksud menanyakan jadwal keberangkatan Munir. Suci menjawab lengkap pertanyaan tersebut. Pollycarpus paska mendapatkan informasi tersebut, menumpang pesawat tersebut sebagai extra crew.

Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri Komjen Pol Suyitno Landung menjelaskan racun arsen masuk ketubuh Munir diduga pada penerbangan Jakarta-Singapura sesuai dengan toksiologi dari pakar Belanda dan Indonesia. Otopsi menunjukkan ia meninggal karena meminum racun arsenik yang ia konsumsi 8-9 jam sebelumnya.

Ada beberapa versi terkait bagaimana dan di mana Munir menenggak arsenik. Pertama, Polly terbang di pesawat yang sama dengan Munir yaitu GA 974 pada 6 September 2004. Ketika boarding memasuki koridor, Pollycarpus mendekati munir dan menawarkan duduk di kursi Bisnis. Berpindahlah Munir ke kursi Bisnis. Di situ, welcome drink disajikan. Sesuai dengan pesanan Munir, pramugari menyajikan orange juice. Selama perjalanan, minuman tersebut dihabiskan oleh Munir. Di situlah dugaan pertama, racun arsenik masuk ke tubuh Munir. Kedua, ketika transit di Bandara Changi. Menurut versi ini, Munir, Polly, beserta satu lagi orang yang belakangan diketahui bernama Ongen Latuihamallo mampir di Coffee Bean bandara tersebut. Diketahui, Polly memberikan minuman kepada Munir. Paska itu, Munir berpisah dengan Polly. Ongen lanjut ke Belanda berbarengan dengan Munir. Di ruang tunggu, Munir berkirim pesan singkat kepada Suciwati, “Kok, perut saya enggak enak ya?”. Di situlah awal mula gejala muncul.

Selasa 7 September 2004, Pollycarpus berkomunikasi dengan Budi Santoso. Dalam komunikasi tersebut Pollycarpus mengatakan dirinya mendapatkan ikan besar di Singapura. Budi Santoso sendiri adalah mantan direktur BIN yang memeriksa surat permohonan tugas Polly dari BIN menjadi Coorporate Security kepada PT Garuda Indonesia. Pada persidangan kasus yang sama, Budi sendiri memberikan kesaksian dalam pemeriksaan polisi bahwa Pollycarpus sering mengunjungi kantor Muchdi PR.

Juga, dalam berbagai pemeriksaan TPF menemukan adanya sambungan telepon dari nomor Pollycarpus dengan Kantor BIN di masa kepemimpinan Hendropriyono. Tepatnya telepon antara Polly dengan kantor Deputi V BIN, Muchdi PR. Sambungan telepon itu terjadi sebelum dan sesudah Munir dibunuh sebanyak 35 kali. Adanya sambungan telepon ini telah membuktikan kebohongan atas pengakuan Polly dan BIN yang sebelumnya mengatakan kedua belah pihak tidak memiliki keterkaitan.

Persidangan kasus pembunuhan Munir menghasilkan divonisnya Pollycarpus selama 14 tahun penjara. Putusan pengadilan mengatakan bahwa Polly “TURUT MELAKUKAN PEMBUNUHAN BERENCANA”. Artinya ada aktor lain di luar dirinya yang mengarah pada keterlibatan negara sebagai otak pembunuhan Munir. Namun sampai sekarang kasusnya masih sama sekali belum mendapatkan titik terang.

Ini menunjukkan bahwa demokrasi, kebenaran maupun keadilan belum juga dicapai. Ini juga menunjukkan siapapun yang berkuasa; seorang Jenderal seperti SBY ataupun sipil seperti Jokowi; tidak memiliki komitmen terhadap demokrasi, kebenaran maupun keadilan. Mereka semua seperti Muchdi PR ataupun Hendropriyono adalah bagian dari kelas yang sama, kelas borjuis. Mereka akan saling melindungi demi mempertahankan kekuasaan dari rongrongan kelas tertindas.

Selama tidak ada kebenaran maupun keadilan maka pembunuhan, impunintas dan kejahatan kemanusiaan akan terus berulang. Demikian juga semua kemiskinan, penderitaan serta kebiadaban kekuasaan kelas borjuis. Pengungkapan kebenaran serta pengadilan HAM harus dimenangkan. Ini hanya bisa dicapai oleh perjuangan politik kelas buruh dan rakyat tertindas.

Ditulis oleh Riang Karunianidi | Kader PS dan Anggota Lingkar Studi Sosialis

Tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 72, I-II September 2019, dengan judul yang sama.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: