Perempuan dan LGBT

Reynhard – Pemerkosa Berantai dan Persilangan Kejahatan dengan Kekuasaan

Reynhard Tambos Maruli Tua Sinaga, atau yang dikenal sebagai Reynhard merupakan warga Indonesia sekaligus mahasiswa Inggris yang melakukan 159 kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap 48 pria. Salah satu korbannya melawan balik dan melaporkannya ke polisi. Reynhard kemudian ditangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan Manchester, Inggris pada Senin (6/1/2020). Meskipun demikian Kepolisian Manchester menduga jumlah korban pemerkosaan yang dilakukan Reynhard tidak hanya 48 pria yang diketahui lewat bukti dokumentasi rekaman paksa Reynhard tapi bahkan mencapai lebih dari 190 orang. Modus kejahatan Reynhard adalah memantau dari jendela apartemennya (yang dekat dengan dua klub malam) untuk mencari mangsanya. Reynhard menyasar laki-laki yang berada dalam kondisi rentan, mulai dari laki-laki yang sendirian atau terpisah dari teman-temannya, kehabisan  uang (sehingga tidak bisa memesan taksi pulang), kehabisan daya telepon selulernya, terlalu mabuk sehingga ditolak masuk atau diusir klub, maupun kombinasi berbagai kondisi itu. Kemudian Reynhard mendekati mereka, menawari sasarannya untuk menumpang menginap di apartemennya (agar bisa beristirahat dan atau numpang mengisi daya ponsel), lalu menawarkan minuman yang telah dimasukan obat Gamma Hidroksi Butirat (GHB). Narkoba yang dijuluki obat perkosaan ini dapat membuat peminumnya kehilangan kesadaran. Reynhard setelah berhasil membius korbannya kemudian memperkosa mereka sambil merekam dan menyimpan videonya ke dalam ponsel pintar dan harddisk miliknya. Patut diduga modus pelaku mengoleksi video perkosaan bukan hanya merupakan tindakan semacam mengoleksi piala tapi juga bisa sebagai alat memeras korban atau mengancam mereka agar tidak bersuara.

Kejahatan Reynhard sebagai kasus pemerkosaan terparah yang tercatat di dunia ini mematahkan anggapan bahwa seolah-olah korban pemerkosaan hanyalah perempuan di satu sisi serta di sisi lain mengungkap salahnya budaya perkosaan (rape culture) yang kerap menyalahkan korban (victim blaming). Selama ini ketika kekerasan seksual terjadi, para perempuan kerap kali disalahkan, baik atas pakaiannya maupun keberadaannya. Namun saat kasus Reynhard yang memakan banyak korban laki-laki tersorot, hampir tidak ada sentimen menyalahkan korban. Hampir tidak ada yang menyalahkan pakaian para korban maupun aktivitas para korban yang sampai larut malam. Tentu saja perbedaan sentimen ini memang menunjukkan bias seksisme terhadap perempuan. Namun di sisi lain Kasus Reynhard menjadi salah satu contoh implikasi lebih jauh adanya sistem ekonomi politik kapitalisme. Siapapun bisa menjadi pelaku maupun korban kejahatan kekerasan seksual terlepas jenis kelaminnya. Namun tentu saja yang berpeluang lebih besar untuk menjalankan kejahatannya adalah mereka yang lebih bisa mengamankan diri dari jeratan hukum. Dalam masyarakat kapitalis, mereka adalah yang berlatarbelakang dari kelas atas. Mereka yang punya uang banyak untuk membeli berbagai peralatan untuk memfasilitasi kejahatannya. Mereka yang punya harta berlimpah untuk memanfaatkan atau menciptakan ruang demi melancarkan kejahatannya. Mereka yang kurang takut jeratan hukum karena punya kekayaan untuk membayar denda atau menyewa pasukan pengacara mahal.

Kejahatan Seksual dan Relasi Kuasa Kelas Borjuis

Terdapat kemungkinan besar adanya kaitan antara betahnya Reynhard berlama-lama di Manchester (kota ramah gay) dan keengganannya pulang ke Indonesia dengan kejahatan seksualnya. Dugaan perkosaan oleh Reynhard bermotifkan pembalasan dendam diperkuat dengan terungkapnya pernyataan bahwa Reynhard berlaku sebagai Robin Hood seksual. Stealing from the straights to give to the gays. Ini bisa diartikan: mencuri dari lelaki heteroseksual dan memberikan kepada para gay. Bisa diduga Reynhard ingin membalas dendam perlakuan heteroseksis dan homofobis terhadap gay di Indonesia dengan memerkosa para lelaki heteroseksual.

Reynhard yang selama tinggal di Inggris hidup bermewahan-mewahan tanpa bekerja sama sekali tidak ingin kehilangan keistimewaan yang didapatnya dari latar belakang keluarga kelas borjuisnya. Oleh karena itu alih-alih berpartisipasi dalam perjuangan kesetaraan LGBT melawan heteroseksisme dan menghadapi ancaman dikeluarkan dari keanggotaan keluarga, tidak dianggap anak lagi, dan tidak digelontori uang lagi, ia lebih memilih pembalasan dendam dengan cara pemerkosaan. Tindak kejahatan yang awalnya diyakininya bebas dari jeratan hukum karena kekayaan keluarganya.

Keyakinan dan kesombongan Reynhard demikian masuk akal kalau kita melihat latar belakang kelas dan kondisi keluarganya. Ayahnya, Saibun Sinaga diketahui sebagai pengusaha properti, pemilik perusahaan perkebunan Sawit, sekaligus seorang bankir. Saibun Sinaga juga diketahui memiliki gedung pertemuan yang bernama Graha & Convention Ronatama di kawasan Pancoran Mas, Depok. Gedung ini berdiri di atas lahan seluas 3,2 hektare dengan luas bangunan 6.000 meter persegi. Keluarganya juga tinggal di perumahan elit Depok. Rasa kekebalan atau sense of invulnerability juga diduga diwarisi Reynhard dari ayahnya yang ternyata masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron karena kasus perambahan hutan produksi terbatas (HPT) tapi tidak kunjung ditangkap aparat.

Demikianlah tindakan Reyhard terhadap korbannya menunjukan secara tidak sadar bahwa terdapat anggapan kekebalan diri yang muncul di keluarga borjuis yang senantiasa lolos dari jerat hukum. Kekuasaan borjusi terlihat dengan semakin tingginya kesenjangan karena sistem kapitalisme. Namun, dalam konteks kasus Reyhard menunjukan  kelas borjuis di Indonesia tidak begitu kuat untuk menghadapi tekanan kelas borjuis “raksasa” di Inggris dalam mempertahankan dan mengintervensi kekuasaan secara ekonomi politik mapun hukum. Pada akhirnya Reyhand tetap harus menjalankan hukuman seumur hidup dari tindakan pelecehan yang dilakukannya. Kasus pelecehan serupa juga terjadi ketika Pemimpin IMF, Dominique Strauss-Kahn ditahan karena memaksa seorang pelayan hotel di New York memberikannya layanan seks. Namun kasus ini didampingi oleh pengacara kriminal kelas atas  Ben Brafman mengatakan kepada The Post ia akan membela dan mendampingi Strauss-Kahn. Tentu saja hal itu sangat kontras jika rakyat miskin tertindas yang tak berdaya jika menghadapi hukum negara penindas.  Misalkan kasus Archie Williams, lelaki kulit hitam berlatar belakang pekerja seni merintis karir, yang dipenjara 36 tahun sampai kemudian dibebaskan karena terbukti tidak bersalah. Kemudian kasus pemerkosaan pejogging di Central Park yang membui lima remaja kulit hitam, hispanik, muslim, dari kalangan miskin, dengan rentang antara lima hingga 15 tahun, sampai kemudian mereka terbukti tidak bersalah.

Kaum Reaksioner Menyalahgunakan Kasus Reynhard

Sayangnya kasus Reynhard tidak otomatis membuat dihentikannya sentimen penyalahan korban kekerasan seksual, terutama perempuan yang seringkali dicap berpakaian mengundang atau dicap keluyuran. Sebaliknya kasus Reynhard malah digunakan kaum reaksioner untuk mengobarkan heteroseksisme dan homofobia. Mereka berusaha menggiring opini publik bahwa gay berbahaya karena (akan) memperkosa laki-laki. Sikap ini tentu saja berbanding terbalik dengan tidak pernah dipermasalahkannya orientasi kelamin para pelaku kekerasan seksual dari kalangan heteroseksual. Kaum reaksioner tidak peduli fakta itu serta juga mengabaikan bagaimana WHO sudah mencoret homoseksualitas dari daftar penyimpangan. Sebab kepentingan mereka adalah mewujudkan agenda penindasannya yang salah satunya harus berdiri di atas kontrol atas reproduksi sehingga mengharuskan (hetero)seksisme.

Tentu saja kita jangan berharap kaum reaksioner, baik itu kalangan bigot maupun sauvinis,  untuk insyaf dan tidak menindas. Kita hanya bisa mengandalkan diri dengan cara membangun gerakan perlawanan dan pembebasan untuk melawan (hetero)seksisme dan menghancurkan tatanan masyarakat penindasan yang selama ini penuh ketimpangan kuasa, kesenjangan sosial, sarat kekerasan (terutama kepada kaum tertindas), termasuk kekerasan seksual.

ditulis oleh Lady Andres, anggota Lingkar Studi Sosialis

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: