Sejarah

Hari Ibu Antara Domestikasi Perempuan dan Penghormatan Tak Setara

22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu yang diperingati setiap tahun di Indonesia. Berbagai perayaan mulai dari pengucapan terima kasih dan cinta kepada Ibu, pemberian bunga dan atau hadiah-hadiah lainnya, serta kontes kefemininan macam lomba berbusana kebaya, lomba memasak, lomba merangkai bunga, sebenarnya mengandung gagasan seksis. Seksisme adalah diskriminasi, stereotip, dan atau prasangka berdasarkan pembedaan jenis kelamin. Perayaan Hari Ibu demikian mengandung seksisme karena menanamkan gagasan bahwasanya kerja-kerja domestik atau rumah tangga seolah-olah merupakan kodrat perempuan. Perempuan dibebani peran hasil konstruksi sosial untuk menanggung sepenuhnya kerja-kerja rumah tangga (memasak, mencuci, menyeterika, membersihkan rumah, dan semacamnya) serta merawat anak dan suami. Kerja domestik ini pada dasarnya adalah kerja untuk memproduksi dan mereproduksi tenaga kerja. Ibu—khususnya Ibu rumah tangga—diwajibkan memegang peran dominan mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak seiring dengan diajari keterampilan dan pengetahuan lewat sekolah sampai sang anak siap pakai untuk pasar tenaga kerja. Selain itu, dalam corak produksi kapitalisme, kewajiban Ibu merawat, memberi makan suami, pada dasarnya adalah kerja untuk menyegarkan kembali tenaga kerja yang baru saja dihisap kapitalis dalam satu hari agar siap untuk digunakan dan dihisap lagi hari berikutnya.

Kerja domestik begini kemudian diagung-agungkan sebagai kepahlawanan dan pengorbanan kaum Ibu, termasuk lewat perayaan Hari Ibu. Namun pada saat yang bersamaan dengan penekanan demikian maka kapitalisme tidak perlu memberikan fasilitas dan tunjangan kepada kaum Ibu. Kecuali bila dipaksa oleh perjuangan kaum perempuan dan ibu. Sedangkan di sisi lain, perempuan pada umumnya dan kaum Ibu pada khususnya juga dijadikan sasaran pemasaran berbagai komoditas atau produk kapitalisme. Mulai dari produk kosmetik, busana, indutri perbelanjaan, dan sebagainya.

Sebenarnya Hari Ibu di Indonesia ditetapkan dengan membawa semangat emansipasi. Dasar penetapan Hari Ibu di Indonesia adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316 tahun 1959 yang dikeluarkan Soekarno. Tanggal ini diambil berdasarkan penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia pertama yaitu 22 Desember 1928. Selama empat hari, kongres diadakan di Gedung Dalem Jayadipuran, Yogyakarta. Dihadiri 30an organisasi perempuan dari 12 daerah di Jawa dan Sumatera dengan total peserta kongres sekitar 600 perempuan. Kongres ini bercita-cita untuk membangun persatuan antar organisasi pergerakan perempuan demi memperjuangkan kesetaraan dan pemenuhan hak-hak perempuan, khususnya pendidikan dan pernikahan. Salah satu hasil kongres adalah pembentukan badan federasi bernama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) serta penerbitan koran resminya.

Bagaimanapun juga kongres dan hasil-hasilnya juga tidak lepas dari kontradiksi. Pertama, kongres hanya dibatasi kepada perempuan pribumi. Dengan demikian melarang perempuan Eropa, Tionghoa, Arab, dan etnis lainnya untuk bisa berpartisipasi. Kedua, isu tentang poligami tidak pernah dituntaskan apalagi disepakati untuk dilawan. Bahkan pada Kongres Perempuan Kedua malah Ratna Sari dari Permi Sumatra Barat berpidato membela poligami. Ini kemudian diprotes keras Soewarni Pringgodigdo dari perkumpulan Istri Sedar. Ketiga, ketiadaan kesamaan teoretis dan perspektif membuat organisasi-organisasi di dalamnya terombang-ambing dalam tiga perbedaan soal emansipasi perempuan. Mereka yang memprioritaskan perbaikan dalam rumah tangga, mereka yang memperjuangkan pembebasan perempuan dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, dan mereka yang ingin mengombinasikannya dengan isu politik dan perjuangan melawan kolonialisme.

Latar belakang penetapan waktu Kongres Perempuan Indonesia pertama sebagai Hari Ibu sebenarnya juga bermasalah. Soekarno sendiri memandang bahwa Hari Kartini yang sudah ada kerap diprotes karena memilih kelahiran sosok Kartini sebagai momentum simbolis emansipasi perempuan Indonesia. Sebab Kartini kompromis kepada Belanda dan daerah perjuangannya cuma  di Jepara dan Rembang. Namun di sisi lain Soekarno menetapkan Hari Ibu setelah mempraktikkan poligami dan mendapatkan kritik karenanya. Soekarno menikahi Hartini tahun 1954 saat masih menikahi Fatmawati. Meskipun tidak bercerai Fatmawati kemudian memilih pisah ranjang dan pisah atap. Tahun 1959 itu pula Soekarno diperkenalkan dengan hostess Jepang; Nemoto Naoko yang kemudian dinikahinya tahun 1962 dan dinamai Ratna Dewi Sukarno. Tahun 1959 yang sama, Soekarno juga menikahi Kartini Manoppo. Tahun 1963 Soekarno menikahi Haryati. Lalu tahun 1964 menikahi Yurike Sanger. Kemudian tahun 1966 Soekarno menikahi Heldy Djafar.

Terkait ini, Gerakan Wanita Sedar (Gerwis)  yang kemudian menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sejak pendiriannya pada tahun 1950 sebenarnya menentang poligami. Sayangnya pengaruh dan dominasi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Gerwani juga berakibat turunnya daya kritis terhadap Soekarno karena PKI menganut kebijakan bersekutu dengan Soekarno pada khususnya dan teori Blok Empat Kelas (aliansi Kelas Buruh, Kaum Tani, Borjuis Nasional, dan Borjuis Kecil). Gerwani yang kencang menentang poligami justru diam terhadap poligami Soekarno. Padahal Gerwa Para aktivis pendukung emansipasi perempuan yang mengkritik poligami saat itu mayoritas di luar Gerwani. Maria Ulfah Santoso dari Persatuan Wanita RI (PERWARI) sedangkan SK Trimurti tahun 1957 sudah mengundurkan diri dari kepengurusan Gerwani.

Kini, banyak feminis di Indonesia menentang penggunaan perayaan Hari Ibu sebagai domestikasi perempuan. Media-media seperti Jurnal Perempuan dan Magdalene menentangnya dengan mengingatkan bahwasanya Hari Ibu diambil dari momentum Kongres Perempuan Indonesia oleh karenanya mengandung semangat pembebasan perempuan dan kesetaraan gender. Mereka juga menekankan bahwa makna Ibu dalam Hari Ibu bukan dalam pengertian Ibu Rumah Tangga atau Ibu Kandung melainkan Ibu sebagai panggilan hormat di Indonesia terhadap perempuan.

Sepintas upaya  reclaiming, mengklaim kembali, atau merebut lagi Hari Ibu dengan cara begini terkesan progresif. Namun dengan demikian sebenarnya kaum feminis malah menekankan ketidaksetaraan atau kesenjangan berdasarkan pembedaan usia. Sapaan “Ibu” sebagai panggilan hormat selalu mensyaratkan bahwa yang dipanggil itu adalah perempuan berusia lebih tua, tua, atau cukup tua. Seorang remaja, meskipun dia berprestasi pada umumnya dan pada khususnya adalah aktivis emansipasi dan pembebasan perempuan tidak pernah dipanggil “Ibu.” Prioritas penghormatan yang harus diberikan kepada mereka yang lebih tua ini sebenarnya tidak ada progresif-progresifnya sama sekali. Bahkan sebaliknya pengharusan mutlak penghormatan terhadap yang lebih tua ini sesungguhnya peninggalan masyarakat feodal dimana berlaku kerajaan, kebangsawanan atau keningratan, yang mana kekuasaan politik dan ekonomi diwariskan secara turun-temurun berdasarkan urutan keturunan, usia, dan jenis kelamin laki-laki di atas perempuan pada umumnya.

Faktanya, penyematan Ibu sebagai sebutan hormat pada berbagai hal dan penamaan, mulai dari Ibu Negara, Ibu Kota, Ibu Pertiwi, Ibu Bumi, Mother Nature, dan sebagainya, pada umumnya merupakan dialektika dan pada khususnya adalah unity of the opposites atau dua kutub berlawanan yang bersatu dan saling merasuki dalam Seksisme itu sendiri. Seksisme—khususnya dalam masyarakat kapitalisme—di satu sisi mendiskriminasi dan menindas perempuan, terutama perempuan pekerja, demi kepentingan reproduksi tenaga kerja , namun agar penindasan itu tidak terlalu kentara sampai bisa memunculkan perlawanan balik, maka kapitalisme butuh hegemoni berupa berbagai konstruksi sosial dan kultural agar perempuan dan masyarakat bukan hanya menerimanya namun juga membelanya. Salah satunya dengan cara pengagungan berlebihan terhadap Ibu, pengodratan terhadap kerja-kerja domestik, bahkan sampai menyerupai kultus terhadap keibuan./ibuisme—dimana gelar Ibu dianggap sebagai panggilan kehormatan padahal tidak lebih dari cerminan kesenjangan atau ketidaksetaraan. Perlukah kita ingatkan kembali bahwasanya panggilan Bu  RT, Bu RW, Bu Walikota, Bu Gubernur, yang bisa dipertukarkan dengan nama suaminya, sebenarnya tidak lebih dari penempatan perempuan sebagai properti/barang milik suaminya atau kepanjangan dari jabatan suaminya? Kita harus membuka mata. Tidak terjebak pada romantisasi apalagi ilusi. Pengagungan terhadap keibuan melanggengkan domestikasi perempuan dan karenanya justru memperkuat seksisme dan penindasan terhadap perempuan.

Kaum Sosialis memandang bahwasanya kerja-kerja domestik bukanlah kodrat perempuan. Apa yang bersifat kodrati sesungguhnya hanyalah yang bersifat biologis terkait jenis kelamin. Kerja-kerja domestik harus disepakati dan dibagi secara adil antara mereka yang ingin menikah. Bahkan kerja-kerja domestik perlu diindustrialisasi dan diubah ke sektor publik sehingga membebaskan perempuan dari pekerjaan domestik. Pekerjaan memasak dan menyiapkan makanan bisa ditanggung lewat industri katering, dapur umum dan atau layanan antar makanan. Pekerjaan mencuci dan menyeterika bisa ditanggung lewat industri laundry. Pekerjaan membersihkan rumah bisa ditanggung lewat industri cleaning service atau jasa kebersihan. Pekerjaan menjaga dan mengasuh anak bisa ditanggung lewat industri jasa pengasuh anak atau penitipan anak. Sayangnya selama masih berada dalam kapitalisme, industri-industri demikian walaupun ada tapi belum tentu bisa dijangkau apalagi dinikmati oleh perempuan pekerja. Mahalnya biaya demikian dalam kapitalisme membuatnya hanya bisa dinikmati sebagian perempuan dari kelas menengah dan mayoritas perempuan dari kelas atas. Hanya dengan pendirian negara buruh dan tatanan sosialisme, maka akan bisa didirikan pula industri demikian yang dikontrol oleh buruh dan rakyat pekerja secara demokratis sekaligus secara hakiki dilengkapi dengan pelayanan sosial terhadap masyarakat yang sepenuhnya didanai dan difasilitasi.

Kaum Sosialis mendukung perjuangan pembebasan dan kesetaraan perempuan. Namun ini tidak bisa dicapai tanpa memperjuangkan kesetaraan manusia secara keseluruhan. Ini tidak bisa hanya dicantumkan dalam cita-cita, program, tuntutan, maupun retorika belaka, melainkan harus juga dipraktikkan dalam laku perjuangan. Kaum Sosialis menolak gelar Ibu sebagai panggilan hormat. Sebagaimana juga kaum Sosialis menolak gelar Bapak, Abah, Mas, Mbak, Ndoro, dan berbagai panggilan lainnya yang seolah-olah hormat tapi justru melanggengkan diskriminasi baik berdasarkan usia, senioritas, jenis kelamin, dan lainnya. Manusia harus mampu memanggil satu sama lainnya dengan nama depannya, dengan setara. Oleh karena itu, kaum Kiri di Indonesia hanya memanggil “Bung” untuk kawan prianya dan “Zus” untuk kawan perempuannya yang keduanya bermakna saudara seperjuangan. Kaum Sosialis pada khususnya juga hanya memanggil satu sama lainnya dengan panggilan “Kamerad” atau “Kawan” sebagai perlambang kesetaraan bagi mereka yang senasib dan seperjuangan dalam melawan tirani.

Kita tidak perlu lagi merayakan Hari Ibu kalau perayaan itu justru malah memperkuat domestikasi perempuan dan ketidaksetaraan. Apa yang kita butuhkan adalah momentum untuk membangun gerakan pembebasan perempuan melawan seksisme dan kapitalisme. Itu bisa kita dapatkan dari peringatan Hari (Pekerja) Perempuan Internasional yang jatuh pada tiap 8 Maret. Sifat internasionalnya bisa mendorong solidaritas antar kaum (perempuan) tertindas sedunia dan sifat proletariannya menegaskan bahwa pembebasan perempuan tidak bisa dicapai tanpa penghancuran kapitalisme pada khususnya dan masyarakat kelas pada umumnya.

ditulis oleh Leon Kastayudha, kader KPO PRP dan Anggota Sosialis Muda

tulisan ini juga diterbitkan dalam Arah Juang edisi 34, I-II Desember 2017, dengan judul yang sama.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: