Pernyataan Sikap

Bersihkan Pergerakan dari Para Penjahat Seksual dan Kejahatan Seksual

Seksisme menjadi hal yang sangat umum dalam sistem masyarakat hari ini, di bawah masyarakat berkelas, khususnya yang saat ini berlaku yaitu sistem kapitalisme. Sebab kapitalisme berkepentingan terhadap penindasan perempuan. Baik dengan mempertahankan domestikasi pra-kapitalisme maupun dengan menjalankan objektivikasi, eksploitasi, dan komodifikasi (tubuh perempuan). Hal ini bisa dilihat mulai dari peran-peran media, lembaga pendidikan yang tidak ilmiah, kondisi sosial tatanan masyarakat yang seksis serta budaya-budaya feodal yang merendahkan ‘kodrat’ perempuan hanya sebatas persoalan kasur, dapur, dan sumur maupun memperdagangkan (tubuh) perempuan yang dipertahankan terus oleh sistem negara.

Sekarang kita mengetahui tubuh telah diperdagangkan sedemikian rupa dan dijadikan objek semata. Akibatnya kekerasan terhadap perempuan sering terjadi dan terkadang dianggap wajar. Bahkan paling parahnya kekerasan ini nyata namun seringkali pelaku dapat melenggang bebas. Sedangkan korban sering disalahkan oleh prasangka terbelakang maupun atas nama hukum. Akhirnya akan membuat korban depresi, sangat tertekan dan terkadang berakhir bunuh diri.

Artinya bukan hanya kondisi masyarakat yang seksis ternyata aturan-aturan hukum juga cenderung bias, meringankan, dan meloloskan para pelaku kekerasan seksual. Ini bisa dilihat kasus yang dialami Baiq Nuril mantan guru honorer SMAN 7 Mataram, dia mengalami pelecehan seksual secara verbal oleh kepala sekolah SMA Negeri 7 Kota Mataram justru korban divonis enam bulan penjara dan denda 500 juta rupiah karena melanggar UU ITE. Anindya Joediono, aktivis perempuan Front Mahasiswa Nasional (FMN) Surabaya yang dilecehkan oleh aparat kepolisian justru dikriminalisasi atas tuduhan pencemaran nama baik khususnya pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Ini bukan sekadar cacat hukum melainkan memang sistem kapitalisme akan selalu mempertahankan seksisme, sebab diuntungkan dari seksisme. Dus, penindasan itu bukan hanya ditolerir dan dipertahankan melainkan juga dilakukan secara struktural melalui lembaga-lembaga formal negara. Lebih lanjut lagi, karena seksisme itulah dan khususnya karena seringkali perempuan hanya diperlakukan sebagai objek (penindasan dan penghisapan), bukan subjek manusia yang utuh dengan hak-hak asasinya, maka hukum dalam kapitalisme justru bukan hanya mempersulit korban menuntut hak-haknya namun juga cenderung mengkriminalisasi para korban demi melindungi penindas.

Demikianlah bagi korban, akan sangat sulit untuk melaporkan persolan ini dan menuntut hak-haknya apalagi menghukum pelaku. Akan selalu ada pandangan-pandangan untuk mengandaikan bahkan membenarkan bagaimana korban merasa nyaman dan sebagainya. Ini bukan hanya menambah trauma korban namun semakin menjauhkannya dari penegakan keadilan. Bahkan itu mengulang kekerasan seksual (khususnya secara verbal dan kultural) serta memperkuat seksisme itu sendiri. Penguatan seksisme ini sejalan dan terikat dengan kondisi masyarakat berkelas hari ini yang melanggengengkan kepemilikan pribadi. Maka tidak heran dalam hubungan atau relasi intim sekalipun, kekerasan seksual itu terjadi karena tubuh dijadikan kepemilikan bagi pasangan relasi untuk dieksploitasi dan ini sangat mungkin di bawah masyarakat berkelas yang melanggengkan kepemilikan pribadi.

Dalam masyarakat kelas, kita juga diilusi, seolah kita memiliki kontrol atas kehidupan personal (misal, kenyamanan cinta segaris dengan hasrat seksual) yang seolah tidak ada hubungannya dengan persoalan publik. Padahal seksisme yang sudah beribu-ribu tahun lamanya dikristalisasi dan diinternalisasi atau ditancapkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Baik lewat keluarga, agama, pendidikan, negara, maupun media. Termasuk dalam hubungan yang dianggap paling privat sekalipun. Seperti, hasrat seksual saja sudah dikonstruksi sosial agar tidak setara. Laki-laki dicitrakan harus lebih dominan, sementara kalau perempuan aktif akan dianggap binal. Perempuan harus memuaskan laki-laki dengan minim atau tanpa mempertimbangkan kesetujuan, keamanan, kenyamanan, apalagi kepuasan dirinya. Bahkan parahnya apabila perempuan mengatakan tidak juga akan dibuat mengalami tekanan dalam dirinya.

Banyak contoh penerapan dan pelanggengan seksisme dan penindasan terhadap perempuan demikian oleh negara. Lewat pendidikan, negara sejak dini menanamkan pembedaan gender sejak dini. Misalnya dalam bahasa Indonesia banyak contoh kalimat menekankan sosok ayah mencari nafkah dan ibu memasak di dapur. Meskipun terlihat seperti keharmonisan keluarga ini menanamkan domestikasi perempuan. Selain itu beberapa institusi, entah itu bersifat kasuistis maupun fenomena daerah, menerapkan tes keperawanan untuk perekrutan. Begitu juga bagi para perempuan yang mengisi jabatan-jabatan kerja selalu ditegaskan untuk tidak melupakan kodrat. Sementara laki-laki tidak. Padahal kodrat perempuan ini tidak lebih dari beban domestikasi perempuan. Parahnya lagi institusi-institusi negara sarat dengan ruang-ruang yang rentan pelecehan sekaligus pembungkaman terhadap korban. Kesenjangan kuasa dalam tempat-tempat kerja pemerintahan negara sebenarnya merupakan kekuasaan penindas, khususnya para pejabat dan atau kapitalis birokrat. Mereka dengan mudah menyalahgunakan wewenangnya karena memang itu cakupan kekuasaan penindasannya. Sedangkan saat korban melawan atau menuntut balik pelanggaran atas hak-haknya malah dibungkam. Baik pembungkaman melalui bujukan agar menyelesaikan secara kekeluargaan maupun peringatan bahwa tindakannya justru akan mencemarkan martabat institusi.

Penyediaan peraturan-peraturan dan koridor hukum untuk penanganan kekerasan seksual oleh negara sebenarnya juga bias. Mulai bias keberpihakan aparat yang menangani kasus. Lalu tebang pilih hukum yang bisa disahkan untuk menangani kekerasan seksual. Ini ditunjukkan dengan tidak kunjung disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual. Hingga tidak dihukumnya para penjahat seksual yang beredar atau masuk di lingkar kekuasaan negara dan penindas. Contoh paling nyata: meskipun Joko Widodo (Jokowi) mengesahkan Perpu Kebiri, tidak ada satupun jagal 65 yang dikebiri karena melakukan kejahatan seksual pada para komunis, anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), ataupun yang dicap begitu.

Semua ini juga tidak terlepas bagaimana sistem kapitalisme lewat negara terus menumpuk modal lewat bidang pemasaran dengan komodifikasi perempuan. Praktik-praktik komodifikasi perempuan terlihat sekali pada profesi Sales Promotion Girl (SPG) bahkan lewat artis-artis yang menggunakan kemolekan tubuh sebagai cara memasarkan komoditas (barang ataupun karya seni).

Lewat berbagai media cetak maupun dalam jaringan (daring) atau online, rakyat dipaksa untuk mempercayai bentuk ideal perempuan yang harus cantik, putih, berambut panjang dan berwajah tirus. Perempuan dijadikan sasaran komodifikasi seks sekaligus dilimpahi beban kerja ganda. Pertama, beban kerja rumah tangga yang dicap sebagai kodrat perempuan. Kedua, beban kerja sebagai kelas pekerja yang turut mengalami penindasan di tempat kerjanya. Baik berupa pencurian nilai lebih, jam kerja berlebihan, minimnya atau bahkan ketiadaan hak-hak buruh perempuan (seperti cuti haid dan cuti hamil) hingga upah yang tidak layak. Keterasingan yang terjadi pada kelas pekerja, berkembangnya ide-ide seksis lewat pendidikan dan media bahkan keluarga, menjadikan perempuan (termasuk istri yang menjadi ibu rumah tangga) sebagai korban pelampiasan lewat kekerasan seksual maupun perselingkuhan.

Kondisi Organisasi

Organisasi kami dibangun untuk memperjuangkan tatanan masyarakat baru, sosialisme. Dimana kapitalisme akan dihancurkan demikian juga dengan seksisme, dimana terdapat kesetaraan gender dan kekerasan seksual akan dihapuskan. Aktivitas organisasi dalam bidang Ideologi, Politik dan Organisasional merupakan turunan dari perspektif ideologis tersebut.

Dalam bidang ideologi, organisasi aktif untuk menyebarluaskan gagasan sosialisme termasuk pembebasan perempuan dan anti seksisme. Kerja-kerja ini dilakukan secara sistematis serta reguler, bukan secara amatiran. Setiap menjelang Hari Perempuan Sedunia, KPO-PRP menyelenggarakan rangkaian diskusi “Sosialisme dan Pembebasan Perempuan”. Tema-tema di dalamnya antara lain: asal usul penindasan perempuan dan LGBT, sejarah gerakan perempuan, kritik terhadap teori Patriarki hingga anti-seksisme dalam bidang-bidang organisasional. Misalnya tahun 2017 LSK bersama KPO-PRP mengadakan diskusi memblejeti seksisme, menyelenggarakan bedah buku Manifesto Anti-Seksisme, dan mendiskusikan artikel ilmiah Melawan Seksisme dalam Organisasi—yang mana memang tindak lanjutnya bisa dan harus dioptimalkan lagi.

Selain itu puluhan artikel telah diterbitkan di Arah Juang cetak maupun situs internet yang membahas mengenai pembebasan perempuan dan anti seksisme, dimana beberapa anggota LSK dan KPO-PRP Samarinda juga berpartisipasi. Belum termasuk publikasi buku dan pamflet yang sudah atau akan dilakukan oleh KPO-PRP.

LSK juga berperan konkret dalam turut serta membangun gerakan pembebasan perempuan. LSK mengikuti dan membantu publikasi rangkaian diskusi menuju Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD) tahun 2018 yang diadakan KPO-PRP Samarinda. Selain itu LSK juga mengintervensi dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang diprakarsai maupun diselenggarakan bersama organisasi-organisasi lain dengan mengangkat isu-isu perempuan. Baik itu berupa aksi massa, seperti Aksi Kamisan Kaltim dan Selasa Ilmiah. Baik sebagai pemantik maupun peserta, LSK secara aktif mendorong wacana-wacana revolusioner anti-seksisme dan menyerukan pentingnya berjuang bersama membangun pembebasan perempuan sebagai bagian besar dari perjuangan menghapuskan penindasan.

LSK bersama dengan jaringan nasionalnya juga melakukan kampanye maupun membangun solidaritas dalam perjuangan pembebasan perempuan dan LGBT serta khususnya anti-seksisme. Kami mengampanyekan solidaritas melawan kriminalisasi yang menimpa Anin, aktivis korban kekerasan seksual yang dikriminalisasi. Termasuk juga kampanye melawan kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa UGM. Ini bagian dari perspektif sekaligus praktik perjuangan kami untuk melawan kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual pada umumnya.

Tidak ketinggalan, LSK mendorong pembentukan Sekolah Pembebasan Perempuan dan Anti-Seksisme (SPARK). Ini sebagai sarana belajar teori-teori pembebasan perempuan dan kampanyenya. Sehingga bukan hanya agar pemahaman mengenai teori dan praktik pembebasan perempuan serta anti-seksisme bisa semakin mendalam penguasaannya sekaligus meluas jangkauannya tapi juga agar semakin banyak perempuan dari massa luas turut bergabung dalam perjuangan, bahkan juga memimpin pembebasan di satu sisi dan di sisi lain agar laki-laki dari massa luas bisa digerus pengaruh hegemoni seksisme-kapitalisme dan turut mendukung perjuangan.

Perlu dicatat juga bahwa aktivitas organisasi yang spesifik berhubungan dengan pembebasan perempuan dan anti seksisme tersebut tidak bisa dilepaskan dari beragam aktivitas organisasi lainnya. Bagi kami, pendidikan politik untuk meningkatkan kesadaran kelas buruh dan rakyat tertindas berarti melatihnya untuk berjuang melawan seluruh bentuk penindasan, yang mempengaruhi seluruh bagian dari kelas buruh dan rakyat tertindas. Pendidikan politik harus terdiri dari pendidikan mengenai seluruh persoalan sosial. Hanya dengan begitu maka kelas buruh akan menyadari kepentingan dan peran historisnya.

Sekarang organisasi dihadapkan pada kondisi dimana salah satu kader utamanya melakukan kekerasan seksual. Kami melihat dalam konteks organisasi, evaluasinya terletak pada bidang organisasional. Ideologi dan politik yang kita jalankan sudah tepat, sudah dilakukan secara sistematis dengan materi-materi serta isian yang secara umum tepat.

Dalam bidang organisasi, kami coba melihat bagaimana integrasi seluruh kader ke dalam organisasi. Hanya dengan keterlibatan maksimal seluruh kader ke dalam organisasi maka integrasi bisa terjadi. Dengan maksimalisasi seluruh kader, setiap individu-individu kader juga dapat berkembang termasuk berkembangnya kesadaran mengenai ideologi, perspektif politik dan tradisi yang dibangun oleh organisasi.

Organisasi kita adalah sebuah kolektif, bukan individualis, dan mengambil pendekatan perkawanan bukan pertemanan. Pertemanan bisa muncul dari sembarang ruang, waktu, ataupun sentimen. Entah itu teman sekelas, teman satu lingkungan perkampungan atau perumahan, teman olahraga, teman main, teman satu hobi, dan sebagainya. Namun perkawanan berbeda dengan pertemanan. Perkawanan atau disebut juga perkameradan merupakan hubungan yang dibangun berdasarkan kesamaan niatan, pemahaman, tujuan, dan komitmen kolektif untuk saling bekerjasama melawan serta menghapuskan penindasan. Jadi bukan karena sentimen koncoisme, sudah kenal lama, senior, dan lainnya. Perkameradan dengan demikian juga bisa diakhiri begitu minimal salah satu di antaranya sudah tidak memiliki kesamaan niatan, pemahaman, tujuan, dan atau komitmen kolektif untuk berjuang bersama menghancurkan penindasan serta penghisapan. Apalagi kalau sampai mengkhianati. Dalam organisasi yang berbasiskan pendekatan perkawanan, semua kader harus memainkan peran memimpin di dalam gerakan kita. Selain itu juga membantu kader-kader lain untuk menjadi pemimpin. Kita bahagia ketika melihat keberhasilan kolektif yang terintegrasi sebagai sebuah tim. Karena keberhasilan demikian juga akan mendorong kemajuan bahkan keberhasilan perjuangan melawan penindasan pula.

Partisipasi kader dalam agenda-agenda organisasi (baik secara internal maupun eksternal) masih minim. Ini bukan saja terjadi di kader-kader baru organisasi namun juga di kader-kader yang sudah lama menjadi anggota. Ini berakibat pada tugas menjalankan kepemimpinan hanya bertumpu pada beberapa orang saja. Serta kesenjangan teori dan praktek di antara para kader.

Maka tidak heran perdebatan-perdebatan yang terjadi dalam organisasi tidak terjadi. Kalaupun terjadi perdebatan itu hanya di beberapa orang saja. Sedangkan lainnya hanya mendengarkan perdebatan itu, tanpa mampu menengahi maupun menyanggah setiap perdebatan yang muncul. Ini juga yang menjadikan beberapa anggota mengalami hubungan patron-klien terhadap beberapa anggota lainnya.

Selain itu, kami menyadari masih terdapat aktivitas anggota yang meninggalkan kerja-kerja atau absen dalam kerja ideologis. Inilah salah satu penyebab mengapa anggota masih minim memahami tentang seksisme dan bagaimana modus-modusnya.

Persoalan di atas memunculkan beberapa kesalahan fatal. Indikasi terjadinya kekerasan seksual sudah dapat dilihat oleh beberapa kader namun diabaikan atau diredam.

Apa itu Kekerasan Seksual?

“Kekerasan Seksual adalah segala bentuk perilaku seksual yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, ketakutan, atau terancam. Perilaku ini merupakan aktivitas seksual yang tidak mencakup persetujuan dari salah satu pihak. Penggunakan kekerasan fisik maupun emosional untuk memaksa seseorang untuk telibat dalam aktivitas seksual juga termasuk ke dalam serangan seksual (sexual assault). Kekerasan seksual termasuk serangan seksual dapat terjadi pada semua orang dari berbagai latar belakang kebudayaan. Hal ini merupakan sebuah tindakan kejahatan atau kriminal yang membuat korban/penyintas merasa terisolasi dan terbungkam. Sebagai tambahan, kekerasan seksual juga bisa muncul dalam bentuk kekerasan seksual secara verbal.”

Bagaimana Modus Pelaku Kekerasan dan Kejahatan Seksual Sehingga Bisa Beroperasi dalam Pergerakan?

Kami menghormati keinginan penyintas untuk tidak membuka kronologi secara detail. Berikut kami jelaskan modus-modus yang dilakukan oleh Nalendro Priambodo, Sapri Maulana dan Jamal untuk melancarkan kejahatan seksualnya.

Sebelum terjadi kekerasan seksual itu ada upaya-upaya manipulating consent dan grooming alias memperdayai sasarannya. Dengan menyebarkan wacana hubungan seksual tidak terikat, menempatkan korban dalam kondisi rentan, melumpuhkan kemampuan sasaran untuk mengkritik dan membantah pelaku, menggerus independensi sasaran dan membiakkan dependensi sasaran kepada pelaku, dan biasanya pelaku juga memakai inisiuasi-inisuasi atau pujian-pujian untuk memperdayai sasaran.

Salah satu contoh umum kekerasan seksual verbal tersebut adalah pernyataan (baik dilontarkan pelaku maupun orang lain) yang menyalahkan korban dengan menganggap korban mau sama mau, mengatakan tidak padahal iya, mengatakan tidak tapi tidak diteriakkan atau tidak ditegaskan, dan sebagainya. Kekerasan seksual verbal begini bukan hanya membela pelaku serta namun mengokohkan bangunan seksisme dan objektivikasi perempuan bahkan juga mereproduksi penindasan dan luka korban itu sendiri.

  1. Menggunakan organisasi sebagai ajang mencari pasangan potensial.
  2. Diskusi seputar organisasi digunakan sebagai pendekatan (PDKT) yang mengatasnamakan belajar dengan sasarannya kawan-kawan yang baru bergabung dan berkeinginan serius mau belajar.
  3. Diskusi seputar seksualitas dengan menyebarkan pernyataan “persoalan seksualitas atau hubungan seksual itu tidak mengikat dalam suatu hubungan”. Pernyataan ini dilakukan kepada kawan yang baru serius belajar soal seksualitas.
  4. Berupaya untuk memperdayai atau menekan secara langsung maupun tidak langsung, seperti agar privasi pelaku maupun kejahatan pelaku jangan dibuka di organisasi maupun diberitakan kepada kawan yang juga anggota organisasi lainnya.
  5. Berpura-pura seolah peka atau merasa mengetahui isu perempuan dengan mendekati atau menarik perhatian perempuan lainnya. Sehingga memunculkan cap atau klaim “laki-laki pejuang feminis”. Padahal ini dijadikan kedok dan muslihat. Karena bertentangan dengan kelakuan riilnya. Pendekatan ini juga sering dimanfaatkan dalam aktivis gerakan.
  6. Pelaku sengaja menarget perempuan yang berstatus dan berposisi baru belajar. Sebab dengan demikian pelaku menganggap bisa mendominasi calon korban. Misalnya melihat usia yang masih muda agar pelaku gampang melakukan manipulasi consent.
  7. Menjadi bintang diskusi maupun aksi. Menempatkan diri bukan sebagai penyampai materi diskusi dan partisipan aksi melainkan sebagai bintang diskusi dan bintang aksi. Bukannya mendorong partisipasi tapi malah mendominasi. Bukannya menyadarkan tapi malah menggurui. Bukannya memajukan tapi malah menghegemoni. Padahal keterlibatan perempuan harusnya ditumbuhkan dan didukung serta turut diperjuangkan tidak sekadar jadi pendengar melainkan juga penyampai materi bahkan menjadi pemimpin-pemimpin dengan pembelajaran wacana serta penguasaan teori dan praktik.
  8. Faktor kesenjangan prespektif politik maupun ideologis dalam organisasi, juga berpengaruh terhadap anggota baru yang baru belajar.

Pertimbangan Penyintas terhadap Pelaku Kekerasan dan Kejahatan Seksual

Atas dasar musyawarah organisasi yang mengikutsertakan keterlibatan aktif kawan-kawan penyintas, maka dibuatlah pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

  1. Memublikasikan Pernyataan Terbuka atas tindakan pelaku kekerasan dan kejahatan seksual pelaku.
  2. Mengharuskan pelaku melakukan pengakuan secara terbuka atas tindakan kekerasan maupun kejahatan seksual yang telah dilakukan kepada penyintas.
  3. Mendorong seluas-luasnya keterlibatan organisasi dan massa untuk melakukan kampanye aktif melawan kekerasan dan kejahatan seksual serta tindakan seksisme secara terbuka.
  4. Penyintas menyadari bahwa hukuman apapun kepada pelaku tidak akan mengurangi luka maupun rasa traumatis dan hal ini berdampak dalam kehidupan sehari-hari serta tidak akan menghapuskan ingatan pelecehan dan kekerasan seksual pelaku.
  5. Penyintas melihat bahwa perlawanan terhadap kekerasan seksual harus dilakukan secara kolektif dalam perjuangan untuk menghancurkan kapitalisme.

Keputusan dan Hukuman Organisasi terhadap Pelaku Kekerasan dan Kejahatan Seksual

Terdapat hal yang perlu diketahui bersama untuk mengklarifikasi Surat Pernyataan Terbuka yang dilakukan Lingkar Studi Kerakyatan pada tanggal 13 November 2018. Sebagai catatan bahwa KPO-PRP telah memecat Jamaludin alias Jamal pada tanggal 11 November 2018 melalui keputusan Komite Sentral KPO-PRP Nasional, pemecatan tersebut belum dipublikasikan kepada massa karena seperti isi keputusannya harus berkomunikasi terlebih dahulu dengan penyintas mengenai publikasi keputusan tersebut. Klarifikasi ini bertujuan agar tidak ada anggapan bahwa KPO-PRP melindungi pelaku kekerasan seksual.

Berkaitan dengan Hukuman pelaku kekerasan dan kejahatan seksual yang dilakukan oleh Jamal, Yoyok dan Sapri, organisasi memutuskan dengan berdasarkan hasil musyawarah anggota maupun penyintas memutuskan untuk:

  1. Pelaku bukan hanya dipecat, tapi juga dihukum diwajibkan disanksi pembayaran biaya pengobatan dan perawatan penyintas. Aset-aset organisasi wajib diserahkan dan tugas-tugasnya dihentikan serta diambil alih organisasi.
  2. Pemecatan dan Pencabutan Hak-Hak Politik yang berarti pelarangan keterlibatan pelaku untuk terlibat dalam setiap kegiatan LSK beserta jaringan nasionalnya, KPO-PRP, maupun kegiatan yang menyangkut perjuangan rakyat.
  3. Mewajibkan Permintaan Maaf Terbuka dari Pelaku

Demikian penjelasan dari kami, Lingkar Studi Kerakyatan dan KPO-PRP, terkait kekerasan seksual yang dilakukan oleh mantan kader kami. Agar tulisan ini menjadi pelajaran penting dan berharga untuk berjuang dan melawan segala bentuk tindak-tanduk kekerasan dan kejahatan seksual beserta bagaimana melawannya.

Bersihkan pergerakan dari para penjahat seksual dan kejahatan seksual!

Lawan segala bentuk seksisme dan penindasan terhadap perempuan!

Hapuskan penindasan! Wujudkan Pembebasan!

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: