Opini Pembaca

Venom Maju di Konsep Mentok di Layar

Film Venom produksi Sony datang dengan lagak ambisius. Slogannya: “There are too many superheroes” atau “Sudah ada terlalu banyak pahlawan super” dan “Release Your Inner Anti-Heroes” atau “Lepaskan Anti-Pahlawan dalam dirimu.” Konsepnya, seorang jurnalis yang terpapar organisme simbiosis alien melawan penemu/konglomerat perusahaan bioteknologi jenius/edan dengan ancaman penjagalan terhadap umat manusia.

Konsep ini sebenarnya relevan dengan konteks masa kini. Sekarang zaman penuh skandal Wikileaks. Zamannya jurnalis muda macam Isobel Yeung dari VICE menyelidik ke medan perang Suriah di satu kesempatan lalu di kesempatan lainnya mengorek permasalahan ketergantungan narkotik di Amerika Serikat (AS). Zaman terungkapnya raksasa teknologi terobosan baru yang dielu-elukan ternyata adalah monster dalam artian kiasan. Steve Jobs yang secara personal pernah jahat terhadap pasangan dan anaknya serta dengan Apple-nya memperlakukan para buruh Tiongkok di FoxConn dengan kondisi parah, tidak manusiawi, dan mendorong depresi, serta bunuh diri. Gurita Google yang menjalankan pengintaian massal dan bekerjasama dengan Pentagon. Mark Zuckenberg dengan Facebook-nya yang semakin membesar monopoli dan dominasinya dalam sektor pertambangan data. Steve Bezzos dengan Amazon-nya yang mengupah para pekerjanya dengan kurang layak dan baru mau diubah setelah didesak perlawanan buruh. Hingga Elon Musk, CEO SpaceX yang mengaku sosialis tapi punya rekam jejak mendukung imperialisme AS. Para kapitalis-inovator yang ternyata adalah monster macam begini sebenarnya model penjahat bagus untuk konteks kekinian, di atas kertas. Jauh lebih potensial daripada model kapitalis gila macam Lex Luthor yang diperankan

Sayangnya penerapannya belepotan. Carlton Drake, CEO Life Foundation yang jadi penjahat inovator/kapitalis, justru diberi identitas pemuda Pakistan, alih-alih kulit putih seperti Jobs, Gates, Zuckerberg, atau Musk. Sah-sah saja sebenarnya kalau mau membantah akomodasi ras minoritas ke dalam posisi kapitalisme tidak akan menghapuskan rasisme melainkan mengooptasi ke dalam borjuasi. Toh Maserati sang CEO (fiktif) di Jurassic World juga memakai identitas etnis India. Lagipula karena persis inilah yang ditunjukkan Beyonce, seniman kulit hitam yang berhasil naik ke kelas kapitalis, tapi mengupah buruhnya di Bangladesh dengan super rendah. Sayangnya film Venom melakukan ini dengan menempatkan kaum non-kulit putih kalau bukan sebagai penjahat maka sebagai korban. Identitas Pakistan-Amerika diberikan ke Carlton Drake, identitas Latin-Amerika diberikan ke Maria sang tuna wisma yang dijadikan kelinci percobaan, dan identitas Tionghoa-Amerika diberikan ke Nyonya Chen sang pemilik toko kelontong yang jadi korban pemerasan preman, dimana preman pemalak tersebut juga beridentitas Latin-Amerika. Sedangkan identitas protagonis utama seperti Eddie Brock, Anne Weying, dan Reid Scott tetap berdasarkan kulit putih. Bahkan Dokter Dora Skirth, whistle blower atau sang peniup peluit, orang dalam Life Foundation yang tidak setuju praktik Drake diperankan aktor berdarah Yahudi, yang nasib karakternya juga tidak sebaik Brock, Weying, maupun Scott. Meskipun demikian, ini masih bisa dimaafkan. Karena khusus untuk mercenaries atau para tentara swasta yang disewa Drake, mayoritas masih diberi identitas kulit putih.

Sayangnya karakter Drake sendiri tidak berkembang melampaui konsep. Tidak terasa kharisma sekaligus ego megalomaniak kapitalis-inovator yang acap kita temukan pada Jobs, Musk, sampai Zuckerberg. Tidak ada kisah penjelas atau narasi latar belakang mengapa Drake bisa demikian menghalalkan segala cara dan mengorbankan nyawa orang lain untuk mencapai tujuannya. Ini bukan salah Riz Ahmed. Karena Ahmed sebelumnya menunjukkan kemampuan aktingnya lebih bagus di Rogue One: A Star Wars Story sebagai pilot pembelot, bahkan lebih bagus lagi sebagai Rick di Nightcrawler.

Berbeda dengan itu, Anne Weying walaupun aktingnya cenderung datar namun setidaknya tidak berakhir menjadi klise seperti Mary Jane dalam trilogi film Spider-Man yang disutradarai Sam Raimi. Ia bukanlah tokoh klise model kekasih sang protagonis yang harus diselamatkan dan hanya bisa teriak-teriak. Sebaliknya bahkan beberapa kali ia membantu dan menyelamatkan Brock. Saat ia menyatakan, “I can play ugly too” atau “Aku juga bisa bermain kotor” ia tidak hanya memaksudkan mampu menusuk musuhnya dari belakang tapi juga menampik pandangan (dalam film dinyatakan Brock) bahwa perempuan jangan ikut bertempur karena terlalu berbahaya.

Sisi lain, Tom Hardy sendiri lumayan apik memerankan Eddie Brock, yang jadi inang simbiot. Ia kembali membawa model pecundang jadi pahlawan. Ia berangkat dari pandangan Sartrean “L’enfer, c’est les autres” atau “neraka adalah orang-orang lain”, yang mengandung pandangan serta perjuangan ontologis untuk melihat diri sebagai objek dari pandangan kesadaran lain. Eddie Brock adalah jurnalis dengan kanal siaran sendiri yang banyak menginvestigasi mengenai berbagai skandal. Namun kepahlawanan kewartawanannya terbukti semu juga ketika dihadapkan dengan situasi preman memeras pemilik toko kelontong langganannya, ia memilih diam, sembunyi, cari selamat sendiri. Begitu pula saat terpuruk kehilangan pekerjaannya, Broke juga awalnya malah menampik permintaan tolong dari Dokter Dora Skirth, sang peniup peluit dari kalangan internal Life Foundation. Ini sebenarnya titik tolak yang lumayan untuk membangun anti-hero atau anti-pahlawan ketika sosok Venom tercipta sebagai hasil penggabungan dan pergulatan Eddie Brock dengan sang simbiot.

Anti-pahlawan adalah protagonis dalam suatu kisah yang kurang memiliki kualitas-kualitas  maupun sifat-sifat kepahlawanan konvensional seperti idealisme, keberanian, dan moralitas. Motivasi, niatan, atau tujuannya biasanya lebih merupakan kepentingan pribadi walaupun memiliki dampak atau konsekuensi membawa kebaikan bagi orang banyak. Bahkan seringkali ini dilakukan dengan melanggar etika umum.

Sayangnya Venom gagal mendayagunakan konsep ini. Paling jauh etika yang dilanggarnya adalah merangsek masuk secara ilegal, menyerang pasukan SWAT yang hendak meringkusnya, serta membunuh, atau lebih tepatnya, memakan penjahat. Tidak banyak ‘etika’ peradaban kapitalisme yang dibantah apalagi dilanggar dan dipatahkan. Paling banter hanya memberi ceceran hint atau petunjuk mengenai kebusukan peradaban di sana-sini. Seperti ketika kaum gelandangan diculik, dijadikan kelinci percobaan tidak ada perlindungan polisi maupun perlindungan HAM bagi mereka. Sementara ketika perusahaan besar diterobos atau dibobol, aparat dengan sigap mengirimkan pasukannya. Weying juga beralih profesi dari pengacara perusahaan menjadi pengacara pro bono sehingga membawa pesan tersirat daripada membudak kepada korporat lebih baik membantu publik yang tidak mampu tapi sangat membutuhkan pendampingan hukum. Tapi tentu saja kesan pesan ini gampang dilewatkan dan tidak ditangkap penonton awam.

Apakah Venom yang direncanakan setidaknya memiliki dua sekual (dan menjadi suatu trilogi film) di kemudian hari bisa menambal kelemahan-kelemahan demikian? Tidak ada jaminan. Bahkan dalam adegan pasca-ending ditunjukkan bahwa lawannya di masa depan adalah Cletus Cassady, pembunuh berantai yang kelak akan mendapatkan simbiosisnya sendiri dan menjadi Carnage. Karakter kombinasi konsep Joker ditambah simbiot. Minus latar belakang degenerasi peradaban kapitalisme yang menyebabkan keterpurukan manusia sebagai pemicu. Dengan demikian lagi-lagi malah (akan) memakai stereotip penyandang disabilitas penyakit mental sebagai penjahat gila untuk kegilaan itu sendiri. Alih-alih melanjutkan melawan musuh jurnalis dan kelas bawah yang sebenarnya itu sendiri.

ditulis oleh Hendrik Malaka, anggota Sosialis Muda

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: