Internasional

Tragedi Nakba, Berdirinya Israel, dan Memperjuangkan Kemerdekaan Palestina

AWAL MULA – PROPOSAL PARTISI PALESTINA OLEH PBB

Perang Dunia II telah mematahkan kemampuan Inggris untuk mengontrol imperiumnya secara efektif. Inggris kalah perang. Ia kehilangan sebagian besar dari aset luar negeri, dan industri dalam negeri terseok-seok. Meningkatkan kapasitas produksi jelas membutuhkan biaya dan sumber daya yang tidak sedikit. Sedangkan untuk ‘mengurus’ Palestina saja Inggris harus mengeluarkan lebih dari 35 juta Pound per tahun, angka yang melebihi jumlah keuntungan yang bisa didapatkannya dari negara itu. Maka pada Februari 1947, Inggris memutuskan untuk mengakhiri pemandatannya dari Palestina.

Di sisi lain, AS, negara yang tidak terlalu terdampak oleh perang, kini bangkit sebagai kekuatan adidaya dunia. Bagi AS, Timur Tengah memiliki nilai yang sangat vital. Pasokan minyak dari kawasan tersebut yang murah dan melimpah tidak hanya esensial bagi pasokan dalam negeri AS, namun juga menjadi peran kunci yang ingin dimainkan AS dalam investasi rekonstruksi Eropa pasca perang.

Jadi prospek suatu negara Yahudi, yang sepenuhnya bergantung pada patronase AS untuk bertahan hidup dan karenanya secara tidak terelakkan lagi juga mengabdikan diri pada kepentingan-kepentingan AS di kawasan, merupakan suatu hal yang sangatlah menarik bagi pemerintah Presiden Truman. Khususnya pada saat ketika tidak ada penjamin lain yang bisa diandalkan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan AS di Timur Tengah.

Kenyataan bahwa AS adalah suara terkuat di PBB, sehingga rencana-rencananya bagi Palestina bisa dengan gampangnya diselipkan ke organisasi yang rapuh itu. Demikianlah suatu proposal petisi pembagian wilayah diajukan. Rencana partisi memberikan 55 persen wilayah Palestina ke kaum Yahudi yang jumlahnya hanya 30 persen dari populasi namun hanya memiliki enam persen tanah (dan tanah ini, perlu selalu diingat, dibeli jauh hari sebelum perang dari tuan-tuan tanah Arab oleh Zionis yang kemudian menggusur kaum tani Palestina). Hampir sebanyak 400.000 orang Arab, jumlah yang hampir sama banyaknya dengan Yahudi, hidup di daerah yang diberikan pada Negara Yahudi. Sedangkan negara Arab meliputi 10.000 Yahudi dan 725.000 Arab di sisa 45% Palestina.

Rencana partisi ini disahkan dengan gampang. Semua pemerintah negara Eropa menyetujui. Uni Soviet setuju. Namun hanya tiga negara Asia dan Afrika setuju (itupun di bawah tekanan berat dari AS). Tentu saja tidak ada negara Arab yang setuju. Dalam hitungan hari para demonstran di Suriah menyerang kedubes-kedubes Barat. Ribuan rakyat Mesir turun ke jalanan Kairo, bentrokan dengan polisi dan melempari konsulat Inggris dengan bebatuan. Rakyat Leban0n dan Irak tidak ketinggalan turut menyerang properti-properti Amerika. Intinya: proposal dari Komite PBB itu bukanlah solusi untuk rakyat Yahudi atau rakyat Palestina; itu solusi murni dan khusus bagi negara-negara imperialis.

Golda Meier, salah satu pimpinan Zionis mengatakan Komite PBB menunjukkan “pemahaman” dan “melakukan pekerjaan yang sangat baik dalam waktu yang sangat singkat” karena meloloskan proposal pemisahan wilayah. Perjanjian partisi wilayah ini, yang ditandatangani pada 29 November 1947, merupakan duri legal yang seketika memicu perampasan segala macam hak hidup yang dilakukan Zionis pada Palestina.

RENCANA DALET

Di jantung rencana Zionis, yang disebut “Rencana Dalet” yang merupakan sebuah masterplan untuk merebut seluruh atau sebagian besar Palestina, terletak teror dengan skala luar biasa raksasa. Mereka akan menyapu rakyat Palestina keluar dari negeri mereka sendiri dengan menciptakan suatu iklim pertumpahan darah dan kekerasan serta atmosfer ketakutan yang menyebar ke seluruh penjuru.

10 Maret 1948, sekelompok orang yang terdiri dari sebelas laki-laki berkumpul, dari veteran pemimpin Zionis hingga prajurit militer muda Yahudi, memberi sentuhan terakhir pada rencana pembersihan etnis Palestina. Sebelas orang yang dalam beberapa waktu lalu memegang peranan penting dalam militer dan politik Israel, dan sekarang hanya sedikit yang masih hidup. Saat itu mereka menyiapkan penghancuran sistematik terhadap sebagian besar wilayah Palestina. Perintah dalam rancangan itu secara detil dijelaskan tentang bagaimana metode mengusir paksa orang-orang Palestina: intimidasi skala besar; memblokade dan memborbardir desa-desa dan pusat pemukiman; membakar rumah-rumah, ladang-ladang, dan barang-barang; peledakan; penghancuran; dan menanam ranjau di puing-puing agar tidak ada yang bisa kembali lagi ke rumah mereka. Rencana ini diberi kode Rencana D (Dalet dalam Bahasa Ibrani). Ini adalah rencana keempat dan dengan lantang menyatakan: rakyat Palestina harus pergi.

Sejak keputusan melakukan Rencana Dalet diambil, butuh enam bulan untuk menyelesaikannya. Ketika itu selesai, lebih dari separuh penduduk asli Palestina, hampir 800.000 orang dicerabut dari kampung halamannya, 531 desa dihancurleburkan, dan sebelas kota menjadi kota hantu tanpa penghuni. Rencana Dalet diputuskan pada 10 Maret 1948, dan implementasi sistematik selama berbulan-bulan itu jelas-jelas adalah kasus operasi pemusnahan etnis. Pemusnahan etnis yang sekarang merupakan kejahatan kepada kemanusiaan di bawah hukum internasional.

Rencana Dalet adalah rencana keempat yang dibuat Zionis. Rencana A (rencana Elimelech) yang dibuat tahun 1937, merencanakan pengambilalihan kekuasaan saat Inggris menarik pasukannya dari Palestina. Rencana B digabungkan pada 1946 dan kedua rencana kini digabungkan dalam Rencana C. Rencana C menunjukkan dengan jelas tindakan apa yang akan dilakukan Israel, sebagai berikut:

  1. Membunuh pemimpin politik Palestina.
  2. Memunuh agitator dan penyandang dana perjuangan Palestina.
  3. Membunuh siapapun orang Palestina yang melawan Yahudi.
  4. Membunuh petugas pemerintahan senior Palestina dan petugas pemerintahan di sistem Kemandatan Inggris.
  5. Menghancurkan system transportasi Palestina.
  6. Menghancurkan sumber kehidupan rakyat Palestina: sumber air, pabrik, dll.
  7. Menyerang desa-desa Palestina di sekitar untuk menghindari serangan di masa mendatang.
  8. Menyerang pusat hiburan, warung-warung kopi, tempat-tempat pertemuan, dll.

Untuk melakukan itu semua Israel tentu sudah mengumpulkan daftar pemimpin politik dan sosial, aktivis, ‘target potensial’, peta presisi desa-desa, dan lain-lain. Namun dalam beberapa bulan, rencana lain dibuat, Rencana D (Dalet), yang jauh lebih kejam dari yang bisa dibayangkan. Sebuah penghancuran sistematis dan pembumihangusan total kampung halaman rakyat Palestina.

PEMUSNAHAN ETNIS

Februari 1947, Inggris memutuskan untuk mengakhiri pemandatannya dari Palestina dan menyerahkan statusnya pada PBB untuk mengurusnya di masa mendatang. PBB membutuhkan waktu enam bulan untuk mendiskusikan Palestina, dan berakhir dengan memutuskan pembagian wilayah.  Resolusi Partisi PBB 181 itu diberlakukan pada 29 November 1947, dan pemusnahan etnis Palestina dimulai langsung di awal Desember itu, dengan rangkaian serangan Yahudi ke desa-desa dan pemukiman Palestina. Meskipun sporadis, serangan ini menyebabkan hampir 75.000 orang mengungsi besar-besaran.

Pada 9 Januari, unit militer Arab memasuki Palestina dan bertempur melawan militer Israel dalam pertempuran-pertempuran kecil. Tentu saja dimenangkan dengan mudah oleh Israel karena pertempuran ini hanya sekedar formalitas. Begitu mudahnya sampai Israel percaya diri untuk melakukan operasi pemusnahan etnis dan meningkatkan kapasitas daya rusak militernya. Pada pertengahan Februari, militer Yahudi berhasil menghancurkan dan mengosongkan lima desa Palestina dalam satu hari. Maka pada 10 Maret 1948, Rencana Dalet diberlakukan.

Setelah Maret, para pemimpin Zionis dengan terang-terangan menyatakan – dua bulan sebelum mandat Inggris benar-benar ditarik dari Palestina – bahwa Zionis akan merampas tanah dan mengusir populasi setempat dengan paksa: dengan Rencana Dalet.

Begitu Rencana Dalet dimulai, Hagana (kelompok Zionis paling besar) memiliki 50.000 tentara, hampir separuh dari tentara yang dilatih Inggris dalam Perang Dunia Kedua.

Tanggal 9 April 1948, para prajurit Irgun, suatu laskar Zionis yang sangat fanatik di bawah komando Menachem Begin, yang kelak akan menjadi Perdana Menteri Israel pada saat invasi ke Lebanon tahun 1982, memasuki desa Palestina, desa Deir Yassin, dan mengatakan kepada para penduduknya bahwa mereka hanya punya waktu 15 menit untuk mengosongkan rumah-rumah mereka. Lalu para prajurit menyerang. Dalam beberapa jam saja, laskar Irgun membantai dua sampai tiga ratus laki-laki, perempuan, dan anak-anak, dengan tangan dingin. Pembantaian serupa juga terjadi di desa Sabra-Shatila di Beirut 24 tahun kemudian.

Dua minggu kemudian pasukan-pasukan Inggris ditarik mundur dari Haifa. Saat senja 21 April, Zionis melempar 27 kilo peledak ke perempatan yang penuh orang Arab. Bom-bom barel diisi dengan bensin dan dinamit, digelindingkan ke dalam gang-gang sempit dan meledak, menciptakan kobaran api besar dan meledak-ledak. Pengeras-pengeras suara memutar rekaman-rekaman horor berisi jeritan anak-anak dan perempuan.

Dalam seminggu serangan kilat nan psikologis serupa berhasil mengosongkan kota pelabuhan Jaffa, suatu kota yang menurut rencana harusnya bagian dari negara Arab Palestina. Dari ladang-ladang subur Galilea hingga ke kota benteng Acre, rakyat Palestina lari meninggalkan rumah-rumah, desa-desa, dan tanah-tanah mereka.

Bulan Mei menandai peningkatan besar dalam operasi-operasi Yahudi skala luas, karenanya juga menandai emigrasi Arab secara massal dan menyebarluas. Tidak selalu serangan Yahudi yang menentukan, namun faktor teror psikologis yang mempengaruhi tingkat emigrasi. Misalnya adanya berondongan artileri secara berkepanjangan dan penggunaan pengeras-pengeras suara yang menyiarkan pesan-pesan ancaman sebagai faktor-faktor yang memicu pelarian. Jatuhnya kota-kota besar seperti Tiberias, Safad, Samakh, Jaffa, Haifa, dan Acre menimbulkan munculnya banyak gelombang emigran ke beberapa daerah atau negara lain. Kaum Arab yang lebih kaya tidak mengalami masalah perpindahan tersebut namun sebagian besar emigran adalah kaum miskin; sebagian besar melarikan diri tanpa harta benda, dan ini berujung pada persoalan pencarian tempat tinggal yang akut. Dari ratusan ribu orang Palestina yang mengungsi dari perang atau diusir tentara Israel, 200.000 pergi ke Gaza, membuat populasinya berlipat tiga. Krisis kemanusiaan di sana sangat besar. Sebagian pengungsi ditampung di bangunan publik dan masjid, tapi jumlah mereka terlalu besar. Sebagian orang membuat atap dari ranting yang mereka tutup dengan selimut untuk bernaung.

Menjelang Resolusi Rencana Partisi PBB pada 27 November 1947, menurut laporan intelijen yang dipublikasikan sejarawan Benny Morris pada 1986, terdapat 219 desa Arab dan empat kota Arab, atau separuh Arab, di daerah-daerah yang ditandai sebagai wilayah negara Yahudi – dengan total populasi Arab sebesar 342.000. Hingga 1 Juni, 180 desa dan kota ini telah dievakuasi dengan 239.000 orang Arab melarikan diri dari area-area negara Yahudi. 152.000 orang Arab dari 70 desa dan tiga kota (Jaffa, Jenin, dan Acre) kemudian juga lari meninggalkan rumah-rumah mereka di daerah-daerah yang ditandai sebagai negara Arab Palestina dan dari area Yerusalem menurut Resolusi Partisi. Hingga 1 Juni, dengan demikian, menurut laporan, total pengungsi mencapai 391.000 orang atau 10 hingga 15 persen.

Menurut sumber dari Palestina, digabungkan dengan arsip militer Israel dan sejarah lisan, menjabarkan setidaknya ada tiga puluh satu pembantaian yang terkonfirmasi. Dimulai dari pembantaian di Tirat Haifa pada 11 Desember 1947 dan diakhiri dengan pembantaian Khirbat Ilin di wilayah Hebron pada 19 Januari 1949 – dan masih ada setidaknya enam pembantaian lagi yang tidak diakui Israel. Sekitar 750.000 rakyat Palestina dicerabut dari kampung halamannya dalam fase ini, diiringi dengan begitu banyak pembantaian, terutama yang paling terkenal, Pembantaian Deir Yassin.

Al NakbaBERDIRINYA NEGARA ISRAEL

Sehari sebelum Inggris meninggalkan Palestina tanggal 15 Mei 1948, jauh lebih maju dari yang dijadwalkan pada bulan Agustus, David Ben-Gurion memproklamasikan lahirnya Negara Israel pada 14 Mei 1948. Kemudian sehari setelahnya, negara-negara Arab berkumpul melalui Liga Arab untuk menyerang. Namun serangan tersebut tidak lebih rill dari sekedar unjuk senjata saja. Liga Arab sendiri didominasi oleh negara-negara bentukan Inggris, yang masih memainkan pengaruh menentukan. Dalam kasus apapun keluarga-keluarga feodal yang berkuasa di Timur Tengah memang tidak punya nyali untuk bertempur. Raja Abdullah dari Trans-Jordan menerima Golda Meir seketika setelah perang dimulai. Negosiasinya dengan Golda Meir dan kemudian dengan Moshe Dayan segera menunjukkan niatan aslinya. Abdullah dengan senang hati membantu sabotase yang dilakukan Zionis terhadap perjanjian partisi PBB dengan mencaplok Tepi Barat Jordan untuk dirinya sendiri. Pasukan Abdullah adalah pasukan yang terlatih paling baik di antara negara-negara Liga Arab. Sikap menduanya langsung meruntuhkan moral lainnya.

Propaganda Zionis telah membingkai fakta bahwa 600.000 Yahudi berperang melawan 40 juta orang Arab pada “Perang Kemerdekaan” tahun 1948. Bagaimanapun juga kenyataannya malah sebaliknya. Angkatan bersenjata Liga Arab yang terdiri dari lima negara Arab, hanya menghimpun total 15.000 orang; kendaraan beratnya terdiri dari 22 tank kecil dan 10 pesawat tempur Spitfire. Sementara Zionis memiliki pasukan regular yang termobilisasi penuh berjumlah 30.000 orang, ditambah pasukan garis dua sebanyak 32.000 orang, plus 12.000 polisi pendudukan dan garda dalam negeri sebanyak 32.000 orang. Apalagi diperkuat sekitar 3.000 hingga 5.000 pasukan Irgun.

Akhirnya PBB mengirim seorang mediator, Count Folke Bernadotte, untuk mencoba memaksakan rencana partisi. Dia datang menyaksikan perampasan rumah-rumah Arab, toko-toko Arab, dan tanah Arab dalam skala spektakuler; 80 persen tanah, 50 persen pepohonan jeruk, 90 persen pepohonan zaitun, 10 ribu toko. Bernadotte memang pada kenyataannya berusaha membendung perginya warga Palestina. Ia mendokumentasikan kekejaman dan menantang propaganda Zionis. Kaum Zionis segera memberi imbalan padanya. Tanggal 17 September dia dibunuh oleh para anggota Stern Gang, yang mana Itzhak salah seorang wakil Perdana Menteri Israel, adalah salah satu anggotanya. Pembunuhan tersebut memicu protes skala dunia dan hal ini mendatangkan tekanan pada Israel untuk menerima gencatan senjata pada Januari 1949. Sudah agak terlambat. Israel kini menduduki 80 persen tanah Palestina.

Dalam penciptaan negara-bangsanya, gerakan Zionis bukan melakukan perang yang ‘secara tragis tak bisa menghindari’ membumihanguskan sebagian besar populasi, tapi justru sebaliknya: tujuan utamanya adalah pemusnahan etnis seluruh Palestina.

Sebagaimana yang dikatakan Weizmann mengenai eksodus Palestina, itu merupakan suatu penyederhanaan menakjubkan dari tugas-tugas kami.”

Maksudnya adalah, pengusiran lebih dari tiga perempat juta rakyat Palestina menjadi basis berdirinya negara Israel.

PERJUANGAN KEMERDEKAAN PALESTINA

Selama hampir 70 tahun penindasan yang dilakukan Israel terhadap Palestina, selama itu pula perjuangan kemerdekaan Palestina tidak pernah berhenti. Perjuangan yang diteruskan ke generasi selanjutnya. Perjuangan yang meluas dan mengglobal setiap detiknya. Berikut adalah penjelasan singkat beberapa perjuangan kemerdekaan Palestina yang telah dilakukan hingga kini.

INTIFADA

Dalam bahasa Arab, “intifada” berarti bangkit atau mengguncangkan. Intifada adalah perjuangan rakyat Palestina untuk memenangkan kebebasan dasar yang sejak lama dihancurkan oleh Israel melalui penyingkiran dan dominasi mereka. Intifada terjadi dengan latar belakang 20 tahun pendudukan Gaza, Tepi Barat dan Sinai – dan hampir 40 tahun perampasan Palestina oleh Israel. Pada tahun 1987, rakyat Palestina hidup di bagian sangat kecil dari tanah mereka sendiri, dengan jutaan orang hidup sebagai pengungsi akibat dari 1948, ketika Israel didirikan melalui pengusiran dengan paksa lebih dari 700 ribu rakyat Palestina dan tahun 1967 ketika perang Israel memaksa generasi baru diasingkan.

Kaum muda, dewasa dan anak-anak turun ke jalan untuk melancarkan protes dengan berbagai cara. Ikon gambar rakyat Palestina melempar batu ke tank-tank dan tentara Israel dilahirkan dari Intifada Pertama. Intifada pertama dimulai sebagai aksi spontan namun kemudian menjadi lebih terorganisir, seiring organisasi akar rumput memobilisasi dirinya untuk merespon kondisi baru.

Perempuan, buruh, tenaga medis, mahasiswa, organisasi agrikultur dan komunitas mengambil tugas-tugas baru – membuat makanan di rumah dan bercocok tanam di kebun untuk menggantikan barang-barang Israel yang diboikot, menjaga jalan-jalan desa pada malam hari dengan peluit untuk memberi peringatan jika tentara Israel datang, klinik mobile untuk menyediakan bantuan medis di desa tau kota yang terkena jam malam, protes pajak, menjalankan pemogokan komersial harian yang menutup semua bisnis Palestina disiang hari.

Kepemimpnan muncul di bawah tanah, dengan selebaran didistribusikan semalam, memberikan informasi mengenai hari-hari pemogokan, perayaan khusus Intifada atau kelompok-kelompok tertentu yang akan dimobilisasi diwaktu tertentu.

Kedepannya agar pemberontakan yang muncul bisa menghasilkan perubahan pokok bagi rakyat Palestina, maka dibutuhkan solidaritas rakyat seluruh dunia yang menolak pendudukan, perang dan perluasan kolonialisme Israel.

Al Nakba PalestineGERAKAN BOIKOT, DIVESTASI, DAN SANKSI

Selama sembilan tahun keberadaannya, gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) telah terang-terangan mendefinisikan ulang perjuangan untuk Palestina dengan istilah hak asasi manusia yang sederhana dan tepat sasaran. Dibandingkan dengan taktik gerakan pembebasan Palestina lainnya, kampanye BDS telah berhasil menciptakan curahan dukungan untuk hak-hak asasi rakyat Palestina dan menempatkan pelanggaran yang dilakukan Israel di bawah pengawasan ketat internasional, hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Titik balik kesadaran tentang Israel-Palestina yang menempatkan BDS ke level yang lebih besar adalah Operation Cast Lead. Selama tiga minggu di musim dingin 2008-2009, Israel menggunakan salah satu dari senjata militer paling mematikan di dunia pada Gaza, membuat lebih dari 1.400 rakyat Palestina tewas (tiga belas orang Israel tewas, 9 dari mereka adalah tentara), dan 1,5 juta sisa penduduknya terjebak di balik dinding beton dengan perlengkapan pengawasan berteknologi tinggi. Pembantaian Gaza, dengan nama sandi Operation Cast Lead, diikuti pemberlakukan kekejaman perang Israel dengan blokadenya yang mencegah pergerakan bebas barang, jasa, dan manusia, untuk masuk dan keluar dari Gaza, sebuah pengepungan yang masih berlangsung hingga sekarang.

Fokus gerakan solidaritas internasional ini harus tetap pada kekuatan di dalam Palestina dan secara internasional yang mau dan bisa melakukan sesuatu. Jalan menuju pembebasan Palestina mengalir di pusat-pusat industri utama di daerah tersebut dimana terdapat potensi kemenangan revolusioner yang dipimpin oleh kelas pekerja di dunia Arab, dari Kairo hingga Amman.

AKSI MOGOK MAKAN TAHANAN PALESTINA

Aksi Mogok Makan oleh tahanan Palestina telah beberapa kali dilakukan. Periode tahun 2012 dan baru-baru ini yang masih berlangsung termasuk dua aksi terbesar. Dimulai pada 17 April 2017, bertepatan dengan Hari Tahanan Palestina, 1800 tahanan Palestina melakukan pemogokan, termasuk serangkaian pemimpin terkemuka gerakan narapidana dan gerakan nasional Palestina. Aksi Mogok untuk Martabat dan Kemerdekaan ini dimulai oleh Marwan Barghouthi, anggota komite pusat Fatah; seluruh pemimpin gerakan politik, termasuk dari Sekretaris JenderalPopular Front for the Liberation of Palestine-Front Popular untuk Pembebasan Palestina (PFLP), Ahmad Sa’ adat, pemimpin PFLP Ahed Abu Ghoulmeh, pemimpin Islamic Jihad Zaid Bseiso, pemimpin Hamas Hasan Salameh dan Abbas al-Sayyed, pemimpin DFLP Wajdi Jawdat, pemimpin People’s Party Bassam Kandakji dan masih banyak lainnya, termasuk tahanan Palestina terlama Nael Barghouthi dan Karim Younes.

Tuntutan mereka sederhana. Di antaranya disediakan instalasi telepon umum untuk bisa berkomunikasi dengan keluarganya, kunjungan keluarga dua kali sebulan, pelayanan kesehatan yang lebih baik, diijinkan berfoto bersama keluarganya secara reguler, dan menyediakan pengatur suhu yang memadai. Mereka juga menuntut Israel mengakhiri penahanan administratif, yang menahan individu-individu atas dasar “bukti rahasia” berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, dan mengakhiri penggunaan berlebihan ruang isolasi, yang mana berkontradiksi dengan hukum internasional.

APA YANG HARUS DILAKUKAN

Kebebasan dan kemerdekaan Palestina bukanlah sesuatu yang dihadiahkan dari PBB atau kelompok negara-negara yang memiliki kepentingan. Bahkan frase ‘proses perdamaian’ telah menimbulkan banyak kebingungan dan penderitaan. ‘Proses perdamaian’ yang selama ini berjalan, hanya menuju ke kehampaan, karena jelas-jelas mengabaikan jantung persoalan. Perang tak henti terhadap rakyat Palestina dianggap sebagai pertahanan diri Israel, sebuah usaha menuju perdamaian. Sedangkan perlawanan sekecil apapun dari rakyat Palestina dianggap sebagai rintangan bagi perdamaian, bahkan disebut terorisme. Ini terjadi karena frase ‘perdamaian’ dibentuk maknanya oleh para penindas dan penguasa. Perdamaian adalah kebebasan dan kemerdekaan. Perdamaian yang sesungguhnya adalah dihapusnya seluruh penindasan dalam bentuk apapun di muka bumi. Satu-satunya cara adalah dengan mecabut kolonialisme, kapitalisme, dan imperialism sampai ke akar-akarnya, baik di Palestina maupun di setiap pojok bumi.

Maka yang harus dilakukan adalah dengan:

  1. Menolak berdirinya ‘negara Israel’ karena ia adalah proyek kolonialisasi rasis modern dan bentukan imperialis.
  2. Menuntut dibentuknya negara demokratis Palestina yang menjamin kesetaraan hak asasi manusia untuk seluruh rakyatnya.
  3. Menggugat diberikannya Hak untuk Kembali ke kampung halaman mereka pada rakyat Palestina yang terpaksa mengungsi ke luar Palestina.
  4. Menolak terjebak pada kesadaran bentukan kelas penguasa, baik para provokator Zionis yang menuntut mengorbankan diri demi altar bernama negara, maupun provokator atas nama agama yang menjebak dalam genangan darah demi keuntungan dan dompet mereka.
  5. Menyerukan dibangunnya front solidaritas langsung antara seluruh organisasi, lembaga, dan serikat rakyat tertindas di seluruh dunia untuk bersatu dalam front bersama melawan imperialis dan agen-agennya sampai ke akar-akarnya.

ditulis oleh Aghe Bagasatriya, anggota Solidaritas Rakyat untuk Pembebasan Palestina (SRuPP).

REFERENSI

Levidow, Les. Zionist origins of the global War on Terror: implications for Palestine Solidarity dalam Rance, Roland., Terry Conway. 2007. Middle East: War, Imperialism, and Ecology. Sixty Years of Resistance. Britain: Socialist Resistance.

Pappe, Ilan. 2006. The Ethnic Cleansing of Palestine. Oxford: Oneworld.

Rose, John. 2014. Israel: Negara Pembajak. Anjing Penjaga Amerika di Timur Tengah. Bintang Nusantara. Hal. 52-60.

Sacco, Joe. 2014. Catatan Kaki dari Gaza. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 21-22.

Selebaran Revolutionary Communist League of Palestine yang berjudul Against partition!  (September 1947) dan Against the Stream (1948) dalam Rance, Roland., Terry Conway. 2007. Middle East: War, Imperialism, and Ecology. Sixty Years of Resistance. Britain: Socialist Resistance.

Publikasi Solidaritas Rakyat untuk Pembebasan Palestina (SRuPP), post halaman Facebook, tanggal 10 November dan 13 Desember 2016, serta 12 dan 13 Mei 2017.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: