DiskusiKebudayaan

Widji Thukul: Aktivis dan Seniman

Pada hari Selasa, 24 Januari 2017, KPO PRP Yogyakarta menyelenggarakan diskusi dengan tema “Widji Thukul: Perjuangan Melawan Orde Baru”. Diskusi tersebut dipantik oleh Hamcrut, salah seorang kawan seperjuangan Widji Thukul. Diskusi dihadiri sekitar 30 orang dari berbagai kampus, organisasi dan generasi aktivis.

Dalam diskusi tersebut Widji Thukul tergambar sebagai sosok yang mengagumkan. Dia bukan berasal dari dari kelas menengah atau mahasiswa. Dia berasal dari kelas bawah namun memiliki kesadaran yang maju. Dia sudah berbicara mengenai kesadaran kelas, penindasan dan hak. Itu sangat luar biasa di bawah kediktaktoran Orde Baru. Dimana aspirasi politik di luar Orde Baru mendapatkan represi besar-besaran. Sementara itu bahkan kaum intelektual seperti mahasiswa saja sulit untuk dimajukan kesadaran politiknya.

Banyak pengalaman yang diceritakan bahwa orang menjadi tergerak untuk menjadi aktivis setelah berinteraksi dengan Widji Thukul. Terlibat dalam kerja-kerja pengorganisiran dan organisasi bersama Widji Thukul.

Widji Thukul sudah aktif di kelompok teater sejak tahun 1980an. Nama “Thukul” adalah pemberian dari komunitas teater di Solo. Dia juga produktif membuat puisi-puisi. Widji Thukul juga seorang pembaca yang luar biasa. Ini yang menyebabkan dia memiliki kesadaran yang lebih maju diantara lainnya. Bahkan katanya di rumah dia, hartanya adalah buku. Thukul juga memiliki semangat belajar yang tinggi. Kemampuan bahasa inggrisnya lemah namun senang mendengarkan radio berbahasa inggris BBC.

Widji Thukul menjadi radikal tidak terlepas dari perkembangan situasi saat itu. Awalnya gerakan mahasiswa membangun solidaritas terkait dengan Kedung Ombo. Dalam pembangunan solidaritas tersebut berbagai organisasi dan individu diajak, termasuk Widji Thukul. Dari keterlibatan tersebut Thukul menjadi teradikalisasi. Termasuk juga dengan membaca majalah Progress.

Disamping gemar membaca Widji Thukul juga memiliki banyak jaringan pengorganisiran. Dia dikirim ke Australia dan Korea Selatan untuk membangun jaringan buruh. Dia melatih teater di sektor buruh dengan metode teater pembebasan. Metode tersebut membongkar hal-hal yang sulit dipahami seperti kesadaran kelas, penindasan atau hak dengan pembagian peran dalam lakon teater. Buruh-buruh memainkan peran seperti menjadi mandor, bos dan buruh di sebuah pabrik yang kemudian dianalisa bersama. Dalam teater tersebut selain buruh bergabung juga mahasiswa dan saling bertukar pikiran. Pertemuan antara buruh dan mahasiswa ini yang selalu terjadi pada tahun 1990an. Selain itu Widji Thukul juga mengorganisir petani dengan mengajarkan menggunakan ekspresi seni untuk perjuangan mereka.

Salah satu keunggulan puisi Widji Thukul adalah bahasanya yang lugas dan tepat menggambarkan penindasan dan perjuangan saat itu. Ketimbang puisi-puisi lainnya yang menggunakan bahasa-bahasa yang susah dipahami dengan aturan-aturan ketat perpuisian. Dengan begitu puisi-puisinya mudah masuk ke kalangan mahasiswa, dengan dibacakan saat aksi, teater mahasiswa ataupun ospek. Kombinasi kedua hal itu menjadikan puisinya populer seperti penggalan puisinya “hanya ada satu kata: Lawan!” Yang juga mampu membangkitkan semangat dan keberanian dari mahasiswa, buruh dan petani yang berlawan saat itu.

Hubungan antar organisasi mahasiswa, seniman, buruh dan petani semakin erat ketika pada tahun 1993 mereka mencoba menyatukan kekuatannya. Mereka melihat bahwa perjuangan untuk melawan Orde Baru tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri dan sektoral saja. Mereka kemudian membentuk Persatuan Rakyat Demokratik yang kemudian berubah menjadi Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Paska 27 Juli 1996, rejim Orde Baru memburu para aktivis dan organisasinya. Semua organisasi tiarap, Widji Thukul sendiri juga dikejar-kejar. Pengejaran juga terjadi menjelang kejatuhan Soeharto pada tahun 1998. Dalam periode ini kita bisa melihat bagaimana Widji Thukul cermat dan detail dalam beberapa hal terkait dengan keamanan. Ini tidak bisa dilepaskan dari situasi politik saat itu, dimana dibawah Orde Baru aktivis menghadapi resiko 3 B: Buang, Bunuh atau Bui. Itu ada periode yang sangat menakutkan dan sering harus sendirian. Kesendirian yagn hilang ketika bertemu kembali dengan kawan-kawan seperjuangan.

Diskusi juga sedikit membahas mengenai Reformasi 1998 yang berhasil membuka ruang demokrasi. Namun gagal menyelesaikan persoalan kekuasaan. Ini salah satu faktornya karena PRD pada waktu itu masing sangat kecil. PRD besar karena dibuat seolah-olah besar oleh Orde Baru dengan tuduhan dalang peristiwa 27 Juli. PRD pada waktu itu adalah partai kader yang berisikan hanya orang-orang yang benar-benar militan. Faktor yang lain karena PRD juga gagap menangkap sikap apa yang harus diambil saat Reformasi 1998. Misalnya kebingungan dalam menyikapi pemilu 1999. Dengan slogannya: Boikot Pemilu atau Coblos PRD.

Diskusi kali ini juga sedikit banyak mendiskusikan film “Istirahat Kata-kata”. Penonton yang sebelumnya mengerti Widji Thukul sebagai konsep, dari bacaan-bacaan ataupun cerita-cerita berharap bisa mengerti lebih jauh dari film tersebut. Namun sayangnya tidak didapatkan dari film tersebut. Demikian juga tidak ada penggambaran Wiji Thukul yang radikal dan melawan namun justru Widji Thukul yang ketakutan dan bersembunyi.

Namun harus dilihat juga periodesasi yang diambil film tersebut. Film tersebut menggambarkan periode ketika aktivis diburu oleh Orde Baru. Itu ada periode kewaspadaan, periode irit kata-kata dan penuh dengan kecemasan dan ketakutan serta sendirian. Mungkin itu juga bisa menjadi pemahaman bagaimana Orde Baru dan represi besar-besaran yang mereka lakukan. Setidaknya dengan film ini, terlepas bahwa ada kekecewaan, isu penghilangan paksa terhadap Widji Thukul naik kembali.

Geram jika melihat bahwa isu penghilangan paksa terhadap Widji Thukul dan aktivis-aktivis lain terus menjadi komoditas politik. Naik dan membesar saat menjelang Pemilihan Presiden. Dimainkan oleh baik kelompok Jokowi maupun Prabowo. Namun setelah Jokowi berkuasa janji untuk menemukan Widji Thukul tidak kunjung datang.

Generasi muda sekarang perlu bersikap secara kritis. Misalnya jangan asal percaya pada sipil karena bisa saja sipil tapi dibelakangnya tetap militerisme. Seperti kubu Jokowi yang terdapat jenderal-jenderal pelanggar HAM seperti Hendropriyono dan Wiranto.

Situasi sekarang juga menuntut kita untuk lebih waspada kembali karena ruang demokrasi yang semakin dipersempit. Di kota-kota besar masih sering terjadi pembubaran diskusi, terutama yang terkait dengan peristiwa 1965. Kelompok-kelompok reaksioner semakin percaya diri. Bahkan berani membubarkan acara di pusat kebudayaan seperti Taman Ismail Marzuki atau pusat-pusat kebudayaan luar negeri. Sementara pengelola tempat selalu kalah dihadapan mereka. Dan polisi memberikan legitimasi bagi kelompok reaksioner untuk membubarkan acara tersebut. Bahkan di kampus juga semakin tidak leluasa menyebarluaskan sikap kritis. Jika dahulu di masa Orde Baru, represi di kampus lebih banyak dilakukan oleh aparat keamanan maka sekarang represi banyak dilakukan oleh civitas akademik itu sendiri.

Untuk meningkatkan sikap kritis dan waspada maka generasi muda harus memperluas jaringannya, memperbanyak diskusi dan jangan lelah belajar seperti Widji Thukul. (imk)

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: