DiskusiReportase

Catatan Akhir Tahun 2016 dan Partai Revolusioner

Mengawali agenda tahun 2017, KPO PRP Yogyakarta menyelenggarakan diskusi koran Arah Juang Edisi 13 yang bertajuk Satu Tahun yang Kita Lalui dan Partai Revolusioner yang Kita Butuhkan. Diskusi ini bertujuan untuk melakukan refleksi atas pengalaman selama tahun 2016 serta mengambil kesimpulan dan garis-garis umum yang bisa menjadi dasar untuk melakukan proyeksi atas situasi politik ekonomi nasional dan internasional pada tahun 2017 ke depan.

Diskusi diawali dengan pemaparan tentang gejala krisis yang secara global nyata terjadi. Sejak tahun 2008 krisis mulai meletus di Amerika lalu diikuti terjadi di negara-negara lainnya seperti Jerman dan Italia. Negara-negara seperti Brazil, Russia, India, dan China (BRIC) yang sempat menjadi primadona dan diprediksi akan bisa menyaingi Amerika juga tidak luput dari terjangan krisis. Karakteristik kunci dari krisis ekonomi yang melanda secara global ini merupakan krisis yang diakibatkan dari over produksi. Hal ini semakin mempertegas fakta adanya kesenjangan di dunia dan menunjukkan bahwa ketika krisis terjadi, beban krisis semakin ditimpakan kepada kelas buruh dan rakyat.

Di tengah kondisi kesenjangan yang demikian, muncul polarisasi ideologi baik itu yang bergerak ke kanan ataupun ke kiri untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut. Kebangkitan ketertarikan ke ideologi kiri di Inggris misalnya ditandai dengan fakta bawa Das Kapital menjadi salah satu buku paling laku di sana. Sedangkan di Amerika, survey yang dilakukan kepada kaum muda menunjukjan hasil bahwa mayoritas responden mengatakan bahwa mereka bersedia terlibat dalam aksi dan demonstrasi menuntut hak-hak mereka dalam demokrasi.

Selain itu juga muncul tokoh-tokoh yang memiliki perspektif kiri di panggung politik nasional di berbagai negara seperti Bernie Sanders di Amerika Serikat maupun Jeremy Corbyn yang saat ini menjadi pemimpin Partai Buruh di Inggris. Meskipun demikian, perspektif kiri pada kedua tokoh ini merupakan perspektif kiri secara lebih luas, bukan merujuk secara khusus kepada perspektif Marxist. Akan tetapi, fenomena tersebut tidak diikuti dengan kebangkitan gerakan dan ideologi kiri di seluruh dunia. Seperti misalnya Partai Komunis Filipina yang justru memberikan dukungan kepada Roddrigo Duterte yang punya kecenderungan membangun rezim otoriter.

Pada kutub yang lain, kita dapat melihat kebangkitan kelompok ultra kanan di berbagai belahan dunia. Tulisan New York Times tanggal 5 Desember 2016 berjudul How Far Is Europe Swinging to the Right? merekam bagiamana perkembangan partai ultra kanan di Eropa selama kurun waktu 1999 – 2016. Perlu digarisbawahi bahwa kelompok ultra kanan ini berbeda dengan partai atau kelompok yang ‘sekedar’ kanan. Terdapat perkembangan yang luar biasa dari kelompok ultra kanan yang membawa rasisme, fasisme, seksime, dan homophobia. Lebih parah lagi, secara umum suara mereka naik dan berkuasa. Isu yang sering digunakan adalah isu yang kerap dibalut dengan nuansa konflik horizontal. Contoh yang paling jamak adalah penolakan terhadap imigran karena anggapan salah kaprah yang menuduh imigran sebagai penyebab krisis di Eropa.

Sementara itu di Indonesia, kondisinya juga tidak jauh berbeda. Kebijakan pemerintahan Jokowi yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal. Hal ini dapat dilihat dari Tax Amnesty, postur APBNP yang lebih banyak digelontorkan untuk menjaga keamanan, privatisasi BUMN dan sekuriti asset. Sementara itu, di sisi lain subsidi bagi rakyat semakin dihapus.

Selain itu kelompok kanan reaksioner di Indonesia juga semakin menunjukkan perkembangan ketika isu LGBT mulai naik ke permukaan. Seruan kebencian pada LGBT yang bisa mengarah pada argumen-argumen fasis juga merebak seperti di Yogyakarta. Isu anti komunis juga kerap diangkat oleh kelompok-kelompok kanan reaksioner di Indonesia. Sedangkan rasisme tercermin dari intimidasi dan intimidasi yang dilakukan oleh aparat Kepolisian bersama dengan kelompok kanan reaksioner  pada rakyat Papua yang memperjuangkan Hak Menentukan Nasib Sendiri. Meskipun demikian, gelombang perlawanan dari kelompok kiri di Indonesia juga terjadi seperti aksi tandingan mempertahankan ruang demokrasi yang dilakukan oleh Solidaritas Pro Demokrasi (SPD) di Yogykarta, LPM Daun Jati di Bandung yang melawan saat diskusi mereka hendak dibubarkan oleh kelompok reaksioner.

Diskusi kemudian dilanjutkan pada sesi interaktif dan tanya jawab. Pertanyaan mendasar yang muncul dalam diskusi adalah bagaimana melawan kelompok kanan reaksioner tersebut dan apa yang harus dilakukan untuk membangun partai revolusioner?

Tugas mendesak yang harus dilakukan untuk membangun partai revolusioner dan menandingi kekuatan yang semakin bergerak ke kanan adalah ideologisasi kiri. Salah satu faktor yang membuat kelompok kanan reaksioner bisa mendapatkan dukungan lebih banyak adalah karena mereka konsisten berbicara dan menyampaikan ideologinya. Terlepas bahwa kelompok kiri tidak setuju dengan ideologi yang disebarkan oleh kelompok kanan reaksioner, tetapi pada kenyataannya mereka konsisten menyebarkan ideologi tersebut. Maka dari itu ketika dibungkus dengan isu penistaan agama malah bisa memobilisasi massa pada aksi “411” dan “212”.

Problem utama gerakan kiri di  Indonesia adalah kurangnya ideologisasai tersebut.  Perdebatan yang seharusnya sudah selesai dilakukan pada masa Marx, Lenin, Trotsky, dsb malah masih terulang, karena masih minimnya  ideologisasi di kelompok kiri. Karena jumlahnya kecil itu pula muncul pertanyaan soal membangun persatuan kiri.  Problemnya adalah pada melihat persatuan kiri melalui logika formal, “satu ditambah satu sama dengan dua” yang berarti hanya melihat kuantitas belaka. Padahal jika ingin membangun persatuan kiri, apsek kuantitas dan kualitas juga harus diperhatikan. Taktik menggalang persatuan kelompok kiri adalah melalui membangun front persatuan. Tetapi yang perlu digarisbawahi adalah bahwa front persatuan itu, bukan menggantikan tugas partai revolusioner melainkan sebagai bagian dari taktik membangun partai revolusioner.

Persoalan kedua adalah pada mobilisasi massa. Pemahaman dasar yang harus dibangun bahwa kalau bicara massa secara umum, kelas buruh atau rakyat, tidak bisa dilihat sebagai sebuah kelompok yang kesadarannya setara atau seragam. Terdpat stratifikasi kesadaran. Pertama, mereka yang punya kesadaran maju yang jumlahnya minoritas. Kedua, mereka yang memiliki kesadaran campur aduk tetapi masih dominasi kesadaran kelas berkuasa. Mereka memandang dalam situasi ‘normal’ seperti ini, wajar jika ada yang  di atas dan di bawaa. Di sisi lain mereka tidak mau terlalu ditindas dan tidak mau terlalu ditekan.

Hal ini juga harus dilihat berkaitan dengan faktor bagaimana pendekatan organisasi kiri kepada dua kelompok kesadaran tersebut. Perbedaannya adalah, jika organisasi kiri mau memimpin massa yang banyak, itu bukan dengan menurunkan kesadarannya tapi bukan juga dengan propaganda. Karena massa luas itu tidak bisa dimenangkan hanya dengan propaganda. Seperti yang dikatakan oleh Lenin, mreka bisa dimenangkan dengan pengalaman politik secara langsung. Problemnya, partai atau organisasi kiri harus punya kualitas dan kuantitas tertentu.

Persoalan penerimaan kepemimpinan partai revolusioner itu terkait dengan kesediaan mereka mendengar dan menjalankan arahan atau instruksi dari partai. Itu yang dinamakan sebagai kualitas. Kalau bicara persoalan kuantitas, dari total jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 240 juta, apabila jumlah partai kiri masih sebanyak 100-200 orang, juga tidak akan mampu memimpin massa yang berjumlah ratusan juta tersebut.

Oleh karena itu penting untuk memenangkan orang-orang yang merupakan pelopor, yang punya kesadaran maju melalui propaganda dan ideologisasi. Menilik stratifikasi kesadaran di atas, memang pendekatan yang dilakukan akan berbeda. Koran partai, memang tidak akan bisa dipahami oleh massa secara luas. Jika ada adagium yang mengatakan bahwa propaganda kiri susah dipahami, memang hal itu betul terjadi. Propaganda yang tinggi tersebut memang dimaksudkan untuk mengorganisir lapisan massa yang maju. Kalau bisa bertemu dengan orang-orang yang maju, yang ideologis, harus dilakukan ideologisasi lebih lanjut untuk menjadi kader partai yang militant dan bisa memimpin massa. Logika tersebut pada dasarnya merupakan logika sederhana di semua organisasi. Yang dipilih jadi pengurus adalah orang-orang paling maju.

Bicara secara spesifik tentang pembangunan partai revolusioner, terdapat tahapan sebelum sebuah organisasi disebut sebagai partai. Tahap pertama, kelompok studi yang fungsinya melakukan klarifikasi ide. Gagasan dasarnya adalah untuk mendapatkan pondasi ideologi yang jelas karena itu yang bisa menunjuukkan ke mana harus melangkah. Ibarat hendak berjalan, harus jelas dulu mau ke mana arah jalannya, bukan mengejar jumlah massanya dulu. Tahapan kedua, kelompok propaganda yang kerja utamanya bukan lagi hanya melakukan klarifikasi ideologi, tetapi juga termasuk melakukan propaganda. Propaganda yang dimaksud adalah meyakinkan orang-orang yang punya kesadaran maju untuk bergabung dalam perjuangan. Tahapan ketiga adalah partai revolusioner. Dalam tahapan ini, partai selanjutnya bisa memimpin massa dengan agitasi.

Apabila melihat definisi yang rigid tersebut, di Indonesia, belum ada yang bisa disebut partai revolusioner. Ketidaktepatan dalam menilai diri sendiri bisa berujung pada anggapan bisa membesarkan partai kita dengan aksi massa saja terus-menerus dan terjebak dalam hiperaktivisme lalu meninggalkan tugas-tugas menjelaskan ideologinya. Bersolidaritas memang penting, tetapi yang tidak boleh dilupakan adalah untuk juga menjelaskan ideologi sosialis. Karena proses ideologisasi juga merupakan hal yang penting dan tidak bisa dikesampingkan.

Diskusi ditutup dengan refleksi atas perkembangan tahapan pembangunan partai revolusioner. Tahapan pertama berupa klarifikasi ideologi sebenarnya sudah diselesaikan para pendahulu. Tahapan sekarang secara umum adalah kelompok propaganda. Tugas kelompok kiri adalah meyakinkan orang terhdap ideologi marxisme dan mengajak mereka untuk terlibat berjuang. Dalam tahapan ini, yang ditekanan adalah program, ideologi dan tradisi. konsekuensinya, orang kiri itu memang suka berdebat, suka mengklarifikasi. Tidak bisa menang kalau tidak jelas langkahnya harus ke mana. Terlebih merujuk pada apa yang dikatakan lenin, tidak ada ideologi ketiga, yang ada ideologi sosialis atau borjuis. Dalam hal ini, membuat kesepakatan terkait dengan taktik gerakan bukan merupakan persoalan. Tetapi yang perlu ditekankan adalah jangan pernah memberi konsesi di bagian teoritik (lihat bagian akhir dari Koran Arah Juang edisi 13). (sk)

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: