Kebudayaan

Rogue One dan Dialektika Progresivitas

sw-rogue-one

Alternative-Right, kelompok neo-fasis AS, mencaci Rogue One – A Star Wars’ Story sebagai karya konspirasi Yahudi yang mempromosikan rasa benci diri kaum kulit putih serta pemujaan keanekaragaman representasi ras dalam sinema. Mereka bahkan melancarkan boikot Rogue One berikut tagar #DumpStarWars. Nah, saat kaum reaksioner membenci suatu hal seperti itu, kita—kaum sosialis bukan hanya wajib mengamati tapi juga mencermatinya. Karena kita tidak hanya didefinisikan dari apa yang kita perjuangkan dan bagaimana caranya, namun juga siapa musuh kita.

Rogue One adalah film yang masuk dalam salah satu waralaba film Star Wars. Meskipun tidak jadi bagian resmi saga trilogi pertama, kedua, maupun ketiga, ia menjadi jembatan dari Star Wars:Revenge of The Sith ke Star Wars:A New Hope. Sebagai suatu waralaba yang terlalu sering dieksploitasi, Rogue One membawa beban resiko menjadi film yang membosankan. Namun kenyataannya tidak demikian. Meskipun plot Rogue One sebenarnya sederhana: sekelompok pejuang mencoba mencuri dokumen senjata pemusnah massal milik rezim diktator agar pihak pemberontak bisa menghancurkannya dan berpeluang memenangkan peperangan. Namun di dalamnya bisa kita temukan banyak hal yang maju atau progresif.

Pertama, sebagaimana dikeluhkan oleh kaum fasis dan rasis Alt-Right, kru Rogue One kaya keanekaragaman representasi ras dalam sinema. Kru Rogue One adalah pasukan pemberontak terdiri dari kaum kulit berwarna  yang dipimpin oleh seorang perempuan. Felicity Jones memainkan peran perempuan pemimpin itu: Jyn Erso. Cassian, kapten kapal sekaligus intel pemberontak, diperankan oleh aktor Mexico bernama Diego Luna. Lalu Bodhi Rook, seorang pilot Kekaisaran yang membelot ke kubu pemberontak, diperankan seorang muslim Arab bernama Riz Ahmed. Kemudian ada Terrence Howard, seorang kulit hitam/afro-amerika, yang memerankan Gerrera, salah seorang pemimpin gerilyawan. Tidak ketinggalan pula aktor-aktor dari Asia seperti Donny Yen yang memerankan Chirrut Imwe, seorang ksatria Jedi buta tanpa lightsaber, dan Jiang Wen yang memerankan Baze Malbus, tentara bayaran agnostis sekaligus sahabat Chirrut Imwe.

Kedua, narasi Star Wars tidak lagi (setidaknya tidak sepenuhnya) berbasiskan konflik (ke)baik(an) lawan (ke)jahat(an). Terdapat banyak unsur kompleksitas yang bisa kita temukan dalam perang nyata ditampilkan dalam Rogue One. Kita bisa lihat untuk pertama kalinya dalam saga Star Wars, kubu pemberontak ditampilkan tidak berupa satu kubu monolitis heterogen yang solid. Terdapat faksi-faksi di dalamnya.

Ini bisa dilihat dari keberadaan gerilyawan (mirip) jihadis yang dalam film ini direpresentasikan oleh kelompok partisan pimpinan Gerrera. Atribut sorban, cadar, daerah operasi gerilya di sekitar kota suci bernama Jedha, bahkan pernyataan Dewan Pemberontak yang menyatakan “…kita terpaksa harus putus hubungan dengan kelompok Gerrera karena mereka adalah militan ekstremis…” tak pelak membuat kita bertanya. Mungkinkah Perang Sipil Suriah dengan keberadaan berbagai faksi dan pasukan Islamis meresap pula ke dalam narasi Rogue One? Bisa jadi.

Lalu kita juga mendapati Jyn Erso, seorang karakter utama, yang tak kalah kompleks dan menariknya. Ia adalah putri Galen Erso, seorang ilmuwan yang diculik tentara Kekaisaran untuk bekerja merampungkan senjata pemusnah massal: Deathstar. Suatu stasiun luar angkasa berbentuk seperti bulan yang mampu menghancurkan planet. Deathstar, pada dasarnya adalah alegori atau kiasan terhadap bom atom dan atau senjata nuklir. Jyn, menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana ibunya dibunuh karena menolak suaminya diculik. Bagaimana Gerrera, kawan lama ibunya dari kubu pemberontak yang diminta untuk menyelamatkan Jyn, malah membuatnya jadi semacam Child Soldier atau Tentara Anak. Tumbuh dengan pengalaman demikian, Jyn memang menyimpan perasaan benci terhadap Kekaisaran di satu sisi namun di sisi lain ia juga menyimpan skeptisisme bahkan kecurigaan yang tak kalah pahit bagi kubu pemberontak. Sikap apolitismenya sangatlah kental dan baru berubah sampai perkembangan situasi, yaitu dikembangkannya senjata pemusnah massal yang mampu memusnahkan planet dan membunuh milyaran penghuninya, kemudian memaksanya mengambil pilihan. Maka di sini kita melihat suatu ketetapan merupakan buah pergolakan batin dalam pergolakan sosial. Bukan sesuatu yang muncul secara instan dari seseorang yang terlahir sebagai pahlawan.

Sedangkan peran Galen Erso (yang dimainkan oleh Mads Mikkelsen) tak pelak mengingatkan kita pada Werner Heisenberg, seorang fisikawan sekaligus ilmuwan nuklir yang dipaksa bekerja untuk NAZI Jerman. Mitos yang berkembang, Heisenberg sengaja bekerja dari dalam secara diam-diam, menyabotase dan memperlambat upaya NAZI Jerman untuk merampungkan bom atom dan senjata nuklir. Heisenberg sebelumnya berkali-kali dicaci NAZI dan dicap “White Jew” atau Yahudi Kulit Putih karena ia ngotot mengajarkan peran Yahudi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam Rogue One, Gyn menerima paksaan bekerja untuk Kekaisaran, dengan niatan membangun celah dan cacat dalam Death Star yang mana kalau diserang akan memicu reaksi berantai yang bisa menghancurkannya. Ini menghadirkan kepada audiens, isu-isu kompleks. Seperti bagaimana ilmuwan tidak pernah benar-benar bisa netral secara ideologis apalagi politis. Termasuk isu kompleks pilihan perjuangan kooperatif atau non-kooperatif. Apakah di masa rezim tirani, ilmuwan sebaiknya memilih melakukan pekerjaan kooperatif (dengan agenda rahasia: menyabotase dari dalam) dengan resiko dicap pengkhianat dan kolaborator ataukah memilih perjuangan non-kooperatif dengan membelot dan bergabung ke perlawanan?

Sisi lain juga ada Cassian, yang memainkan wajah dan sifat paradoks dari kubu pemberontak. Sebagai kapten sekaligus seorang intel, ia rela melakukan cara-cara kotor dan keji demi memajukan perlawanan serta mencapai cita-cita menumbangkan Kekaisaran. The End Justifies The Means. Tujuan akhir memberikan pembenaran terhadap cara-cara yang diterapkan. (Terjemahan tujuan menghalalkan segala cara tidak tepat disini karena berkonotasi negatif alih-alih netral). Sebagai orang yang terjun bergabung ke pemberontakan sejak umur enam tahun, ia terbiasa mematuhi perintah atasan, rela membunuh informan, bahkan mencabut nyawa orang yang dianggap membahayakan Pemberontakan. Dalam Rogue One, salah satu tugasnya adalah membunuh Galen Erso, yang saat Cassian mengetahui bahwa Galen bukanlah seorang kolaborator, ketetapannya pada tugas mulai goyah.

Sosok Cassian mengingatkan kita pada Moe Berg, seorang agen Office of Strategic Service (OSS) atau Kantor Dinas Strategis—cikal bakal Central Intelligence Agency (CIA) atau Badan Intelijen Pusat. Berg suatu kali pernah ditugaskan untuk menghadiri kuliah Heisenberg di Swiss, saat itu negara netral dalam konflik PD II. Ia dibekali pistol dan ditugaskan untuk menembak mati Heisenberg bilamana ada indikasi rezim NAZI Jerman hampir merampungkan bom atom. Sesuatu yang tidak dilakukannya.

Kita juga menyaksikan untuk pertama kalinya, pihak Kekaisaran atau Imperium (Empire) menggunakan retorika yang ‘baik’. Berbeda dengan film-film Star Wars sebelumnya yang dengan terang-terangan memakai retorika ‘jahat’. Rogue One menampilkan pihak Kekaisaran dan seluruh aparatusnya, dari birokrat sampai tentaranya, memakai retorika keamanan, stabilitas, serta penegakan hukum dan tata tertib (Law and Order). Saat Galen Erso mengatakan tidak mau diculik dan dijadikan sandera untuk membuat senjata pemusnah masal Kekaisaran, Orson Krennic seorang birokrat sekaligus perwira Kekaisaran dengan enteng dan santai membantahnya dengan mengatakan (dan memelintir pernyataan keberatan Galen Erso): kami tidak datang untuk menculik tapi menjemputmu dan tidak menjadikanmu sandera tapi membuatmu menjadi pahlawan bagi Kekaisaran. Bahkan ia menyatakan senjata pemusnah massal itu berperan penting untuk menjaga perdamaian.

Penerapan retorika demikian ke dalam narasi musuh/antagonis di Star Wars adalah sesuatu yang positif karena mendekati kenyataan. Kenyatannya memang tidak ada satupun tirani di dunia yang terang-terangan mengaku jahat, tidak hanya NAZI Jerman dan Fasis Italia yang totaliter, namun juga Kolonialisme Britania dan Imperialisme AS. Mereka semua mengaku sebagai pihak yang baik. Memang Star Wars The Force Awakens lebih awal menggunakannya. Namun Rogue One adalah film Star Wars pertama yang menggunakannya dengan intensif. Ini bisa mengubah stereotip yang menggambarkan tirani sebagai pihak yang selalu berwajah bengis dan berkata sadis. Bahkan misantropis atau membenci makhluk yang terlihat buruk rupa (seolah-olah cacat atau bahkan perbedaan fisik inheren dengan kejahatan).

Ini diimbangi dengan penokohan di kubu antagonis yang menempatkan para birokrat sekaligus militeris tua yang bertanggungjawab sebagai komandan operator proyek senjata pemusnah massal Kekaisaran. Kontradiksi mereka di pihak lawan ditunjukkan lewat paradoks retorika keamanan, stabilitas, disiplin, serta hukum dan tata tertib dalam perkataan namun di sisi lain menjalankan birokratisme dalam praktik saling telikung, menikam dari belakang, lobi-lobi licik, dan menjilat kekuasaan. Rogue One menunjukkan bahwa di pihak tirani pun tidak sekokoh dan sesolid kelihatannya.

Dari sekian hal progresif di atas, sebagai produk yang merupakan anak zamannya sekaligus buah pengaruh perjuangan hak-hak sipil, sayangnya dan sebenarnya lewat Rogue One, progresi Star Wars  justru datang terlambat. Star Trek puluhan tahun datang lebih awal membawa keanekaragaman representasi ras. (Trilogi awal Star Wars (IV,V, dan VI) malah hanya punya satu aktor kulit hitam untuk setting seluruh galaksi(!)) dan tokoh utamanya adalah trio monarkis, pasangan lumpen proletar, dan semacam pejuang jihadis/tentara salib. Progresivitas yang diusung Star Wars terlambat, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Relevansi progresivitasnya malah menguat di masa seperti sekarang dengan kebangkitan gerakan kanan reaksioner di berbagai negara.

Oleh karena itu secara keseluruhan, Rogue One, adalah film yang progresif. Dengan multikulturalismenya, keanekaragaman rasnya, pencampakannya terhadap konsep Damsel in Distress atau Putri yang Harus Diselamatkan (Protagonis), serta lain sebagainya. Namun Rogue One tidaklah revolusioner. Rogue One pada khususnya dan Star Wars pada umumnya tidak membawa imajinasi apalagi seruan (ideologis maupun politis) mengenai seperti apa dunia tanpa Kekaisaran serta tatanan masyarakat alternatif yang lebih baik dari itu. Di sini harus kita pahami, betapapun tidak kebalnya waralaba Star Wars dari pergolakan sosial di luarnya (baik secara positif maupun negatif), harus kita pahami baik Disney dan Lucas Arts sama sekali tidak tertarik pada isu itu. (Bahkan Disney punya rekam jejak sangat panjang dalam memproduksi propaganda anti-kiri). Namun massa yang menontonnya bisa jadi (ada yang) sangat tertarik isu-isu dan progresivitas itu. Memang kita perlu menyadari bahwa progresivitas demikian tidaklah cukup kalau masih berada dalam kerangka sistem yang menindas seperti sekarang ini. Namun kita bisa menggunakan isu-isu dan progresivitas demikian sebagai titik awal untuk bicara ke massa. Lalu kemudian memajukkannya dari sekadar progresif ke arah progresif revolusioner. Kalau kita tidak bicara ke massa tentang itu maka kaum reaksioner yang akan bicara ke mereka. Alt-Right yang fasistis sudah melakukannya. Mengapa kita tidak? Toh, perjuangan kelas bukan cuma di medan ekonomi, politik, dan ideologi saja tapi juga di medan kebudayaan, termasuk film sebagai produk budaya pop.

ditulis oleh Leon Kastayudha, kader KPO PRP

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: