Aksi

Perjuangan Pedagang Pasar Merjosari Melawan Kapitalisme Pertokoan di Malang

aksi-pasar-dinoyoPerasukan dan penjalaran kapitalisme di berbagai daerah di Indonesia tidak hanya menindas kelas buruh. Namun juga merugikan berbagai rakyat pekerja non-proletar lainnya. Kapital-kapital yang lebih banyak dan besar menyingkirkan mereka yang minim atau tuna-kapital. Termasuk para pedagang kecil seperti pedagang kaki lima dan pedagang pasar tradisional. Bisnis-bisnis padat kapital dan lebih perkasa dalam teknologi alat produksi berwujud plaza-plaza, mal-mal, hypermart, minimarket-minimarket, mewabah di berbagai kota sedangkan di sisi lain lapak-lapak pedagang kaki lima, pedagang emperan, dan pedagang pasar tradisional digusur disana-sini, bahkan sering disertai kekerasan dari aparat.

Fenomena serupa juga terjadi di Malang. Pasar Dinoyo yang merupakan pasar tradisional hendak digusur diganti dengan Mal Dinoyo. Dalihnya adalah penertiban dan pembersihan sebagaimana sering dipakai sebagai dalih pemkot kapitalistis lainnya. Namun pedagang pasar Dinoyo berjuang melawan dan mempertahankan ruang hidupnya. Sampai kemudian mereka dijanjikan diberikan pasar tradisional di samping Mal Dinoyo tersebut. Sementara itu mereka diberikan ruang penampungan sementara di Merjosari. Namun setelah pembangunan Pasar Terpadu Dinoyo selesai hasilnya ternyata tidak sesuai kesepakatan. Ukuran bedak dan kios tidak sesuai dengan kartu bedak yang dikeluarkan Pemkot Malang lewat Dinas Pasar. Kemudian tempat berdagang di Pasar Dinoyo tidak layak dan fasilitas yang tersedia tidak memadai. Berikutnya banyak kesepakatan yang dibuat oleh Koperasi Pedagang Pasar Dinoyo (Kopasdin) yang mengatasnamakan pedagang Pasar Dinoyo tapi tidak sesuai aspirasi dan keinginan pedagang Pasar Dinoyo. Dengan kata lain tidak sesuai Perjanjian Kerja Sama (PKS) Nomor Pemerintah Kota Malang: 050/558/35.72.112/2010 dan Nomor PT Citra Gading Asritama: 352/CGA.SBY/IX/2010 yang disepakati dulu. Bahkan ini diperkuat dengan hasil uji kelayakan oleh DPRD Kota Malang yang juga mengonfirmasikan bangunan pasar Dinoyo yang baru masih belum layak ditempati.

Oleh karena itu para Pedagang Pasar Merjosari menolak pindah dari Penampungan Sementara di Merjosari ke Pasar Terpadu Dinoyo sampai hak-haknya dipenuhi sebagaimana dijanjikan sebelumnya. Namun Pemkot Malang malah menunjukkan keberpihakannya ke kapitalis pertokoan, dalam hal ini PT Citra Gading Asmara (CGA). Mohammad Anton, Walikota Malang, memerintahkan penutupan Pasar Penampungan Sementara di Merjosari lewat tindakan mencabut Keputusan Walikota Malang No. 188.45/204/35.73.112/2013 tentang Penetapan Tempat Penampungan Sementara Pasar Dinoyo di Kelurahan Merjosari sebagai Pasar Tradisional Merjosari. Massa aksi menyatakan tindakan Pemkot ini mengakibatkan kerawanan status para pedagang pasar. Satu sisi Pasar Terpadu Dinoyo yang dijanjikan tidak sesuai dengan perjanjian. Sisi lainnya keberadaan mereka di Pasar Tradisional Merjosari terancam digusur pula. Lebih parahnya, menyusul pencabutan Keputusan Walikota tersebut, pihak Pemkot mencoba melakukan pemasangan seng untuk menutup Pasar Merjosari. Namun upaya ini dilawan dan berhasil digagalkan para pedagang pasar. Berikutnya malah muncul isu upaya pemutusan sambungan listrik ke pasar Merjosari.

Massa aksi menyimpulkan tindakan-tindakan sewenang-wenang demikian tidak hanya menunjukkan arogansi Pemkot Malang namun keberpihakan Pemkot yang lebih condong kepada para kapitalis daripada rakyat kecil.

Oleh karena itu pada pagi Jumat (11/11/2016), ratusan pedagang pasar Merjosari berdemonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintahan Kota (Pemkot) Malang. Massa aksi yang mengatasnamakan Aliansi Pedagang Pasar Merjosari bersama organisasi-organisasi massa dan mahasiswa mendatangi Balai Kota membawa dua tuntutan utama. Pertama, hentikan segala bentuk intimidasi yang dilakukan kepada para pedagang Pasar Merjosari. Kedua, tetapkan kembali status hukum Pasar Merjosari.

Salah satu orator aksi menyampaikan, “Bung Karno dulu sudah mewanti-wanti. Bangsa ini harus anti kapitalisme. Mengapa Bung Karno punya pesan seperti ini? Sebab penjajahan berikutnya bukan penjajahan militer tapi penjajahan ekonomi. Buktinya bisa kita lihat sekarang bangsa sendiri tapi malah membela para penjajah,” kritik anggota komunitas seni budaya Sedulur Petruk ini. “Kamu pemimpin kapitalisme atau pemimpin rakyat?!” kecamnya kepada Pemkot Malang.

Besarnya massa aksi dan tajamnya orasi-orasi yang diserukan di atas mobil komando ini berhasil memaksa Walikota Malang dan para perwakilan DPRD Kota Malang untuk turun dan menemui para pedagang pasar Merjosari dan mahasiswa. Namun siang itu mereka hanya menyatakan akan menampung aspirasi dan melakukan rapat pembahasan untuk menindaklanjutinya. Salah satu pimpinan aksi menanggapi. “Kita tidak butuh bahasa diplomasi. Tapi bahasa yang pasti. Kalau kesepakatan belum ada maka kami akan tetap melakukan aksi,” ia memperingatkan. Orator dari pihak mahasiswa juga menyatakan, “Akan kita kawal terus isu dan tuntutan ini sampai terpenuhi. Bahkan kalau perlu, kita kerahkan massa lebih besar lagi.” (lk)

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: