DiskusiPerempuan dan LGBTPerspektif

Sebuah Manifesto Anti Seksisme: Hak-hak Perempuan dan Tanggung Jawab Laki-laki Sosialis

Pengantar Redaksi

Artikel berikut ini adalah resume dari diskusi dan materi berjudul “Manifesto Anti Seksisme”. Diskusi ini merupakan salah satu dari rangkaian diskusi KPO PRP Yogyakarta menyambut Hari Perempuan Sedunia 2016 dengan tema besar “Sosialisme dan Perjuangan Pembebasan Perempuan”. Rangkaian diskusi tersebut mengambil tema-tema: “Akar Penindasan Perempuan”, “Akar Kekerasan Seksual”, “Manifesto Anti Seksisme” dan bedah buku “Feminisme dan Sosialisme”.

Diskusi “Manifesto Anti Seksisme” ini sendiri mengambil referensi dari pamflet karya Sandra Booldworth berjudul “An Anti Sexism Manifesto: The Rights of Women and the Responsibilites of Socialist Man”. Pamflet ini menggambarkan politik seksisme dalam kehidupan dan hubungan personal serta hubungannya dengan organisasi revolusioner.

Selamat membaca

Pendahuluan

  • Pamflet ini berawal dari masukan dari perempuan-perempuan anggota Socialist Alternative
    • Bacaan pendahuluan: Figting for women’s liberation today karya Sandra Bloodworth
  • Politics of sexism” menjelma dalam kehidupan dan relasi personal, terutama antara laki-laki dan perempuan.
    • Sulit dibicarakan, bahkan oleh kalangan sosialis sekalipun.
    • Selama ini kita terbiasa menganggap bahwa kehidupan privat sebagai hal yang terpisah dari kehidupan publik dan politik.
    • Ilusi kontrol atas kehidupan privat sebagai satu-satunya hal yang dapat kita kontrol, yang mana kita dapat menerima kenyamanan dan cinta; sekaligus tempat “istirahat” dari berbagai tekanan sosial masyarakat ini.
  • Ilusi yang diciptakan oleh kapitalisme bahwa kita memiliki kontrol atas kehidupan personal kita dan bisa berlaku secara murni sebagai individu.
    • Padahal ketimpangan yang terjadi di ranah publik tetap terbawa sampai ke rumah maupun ketika kita nongkrong bersama kawan-kawan, misalnya ketimpangan sebagai berikut:
      • Status yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan di ranah publik
      • Gaji yang lebih rendah dan kesempatan kerja yang lebih buruk bagi perempuan
      • Ungkapan atau gambaran sexist tentang perempan dalam berbagai bentuk komunikasi
  • Dalam pamflet Fighting for Women’s Liberation Today, disebutkan bahwa ketimpangan tersebut berpengaruh dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai situasi, misalnya:
    • Laki-laki cenderung mendominasi situasi sosial, termasuk topik pembicaraan.
    • Perempuan dan laki-laki cenderung mendengarkan argumen yang keluar dari mulut laki-laki dan menganggapnya lebih serius dibandingkan apabila dikatakan oleh perempuan.
    • Hal ini kemudian berlanjut sampai ke relasi yang sifatnya privat.
  • Stereotipe gender ini dipelihara dan direproduksi oleh ideologi dan pengalaman dalam keluarga.
    • Gagasan dasar struktur keluarga memelihara penindasan terhadap perempuan.
    • Relasi timpang, double burden pada perempuan, bahkan dalam keluarga sosialis sekalipun.
    • Oleh karena itu, laki-laki sosialis juga harus berbagi beban kerja domestik dalam keluarganya. Jika tidak, maka laki-laki sosialis justru berkontribusi untuk mempersulit keterlibatan perempuan dalam politik, padahal seharusnya tidak begitu.
    • Perempuan juga hanya memiliki 24 jam dalam sehari.
  • Perempuan diharapkan untuk selalu merawat, mencintai, dan memberi dukungan. Laki-laki dianggap sebagai pihak yang proaktif dalam menyusun agenda. Hal ini memperlihatkan gagasan yang kadaluwarsa akan “pencari nafkah utama.” Fakta tentang gaji yang timpang, prospek karir dan peluang kerja yang timpang, menjadikan pasangan manapun kesulitan untuk mengatasi ketimpangan ini bahkan ketika mereka ingin keluar dari jerat tersebut.
    • Perempuan mengalami ketimpangan ketika berhadapan dengan orang tua dalam keluarganya; di tempat kerja, perempuan mengalami penindasan seksual dan eksploitasi sebagai pekerja. Kedua hal ini berinteraksi dan mendorong satu sama lain. Laki-laki kelas pekerja mengalami eksploitasi, tetapi tidak mengalami penindasan berbasis gender.
  • Peran gender diasosiasikan dengan keluarga kapitalis – laki-laki yang kuat dan agresif; perempuan yang pasif dan mengayomi – mendera di semua lapisan masyarakat melalui sistem pendidikan, media massa, hiburan, dsb. Tidak ada individu yang bisa meloloskan diri dari hal ini, meskipun mereka tidak menjalani hidup dalam “keluarga batih”; menikah atau tidak; punya anak atau tidak.
  • Titik pijak untuk memahami hak-hak perempuan dan tanggung jawab laki-laki sosialis adalah sebuah pengakuan yang nyata bahwa semua pasangan heteroseksual memasuki hubungan mereka dalam sebuah relasi yang tidak adil.
    • Dan hal tersebut tidak dapat dirubah jika kapitalisme masih ada.
    • Akan tetapi, hal ini tidak untuk menjerumuskan kita dalam pemikiran bahwa kita hanya korban dari struktur tempat kita hidup ini, dan bahwa perilaku kita ini diprogram dan ditahbiskan begitu saja.
    • Kita bukan robot. Kita juga sebenarnya dapat memodifikasi perilaku kita apabila kita memiliki pemahaman politik yang jelas mengenai pengaruh dari ide-ide kapitalisme yang ‘mengerikan’ dan struktur yang senantiasa mendukung serta memperbaharui  ide-ide tersebut.
    • Sosialis tidak akan secara pasif menrima bahwa pekerja akan selalu tunduk pada otoritas bos mereka, atau bahwa klas pekerja akan secara otomatis mengadopsi gagasan rasis maupun gagasan lain yang berupaya memecah belah klas pekerja seperti pembagian “tenaga kerja terampil” dan “tenaga kerja tidak terampil;” “kerah putih” dan “kerah biru;” dsb. Kita, sebagai sosialis harus dapat melawan ini setiap ada kesempatan.
    • Dan tentu saja hal ini berlaku pula dengan sexisme.
  • Memahami argumen politik mengenai struktur dalam masyarakat, pengalaman diskriminatif yang nyata dialami oleh perempuan, dan kehidupan bermasyarakat yang mendorong stereotipe gender adalah langkah pertama ketika kita mengangkat kesadaran kita mengenai relasi personal dan ‘kehidupan privat.’

Munculnya Kesadaran

  • Laki-laki dibesarkan untuk percaya dan diharapkan bahwa ide-ide mereka, hasrat mereka, serta kebutuhan mereka adalah paling penting. Mereka didorong untuk melihat diri mereka sebagai aktor dominan disegala hal, dan terutama dalam hubungan seksual.
  • Disisi yang lain perempuan dibesarkan untuk tunduk pada orang-orang disekeliling mereka, untuk lebih sensitif pada kebutuhan dan tuntutan orang lain. Mereka didorong untuk berpikir dalam hubungan heteroseksual sebagai yang memuaskan laki-laki, tidak mendapatkan kepuasan untuk diri mereka.
  • Perempuan muda secara khusus akan sangat keras dihakimi, dibandingkan dengan laki-laki, atas tindakan yang dianggap tidak pantas.
  • Jadi bagi seorang laki-laki sosialis untuk memiliki hubungan yang tidak seksis dengan perempuan mereka harus mengintegrasikan pemahaman mengenai alasan struktural, sosial kenapa ide-ide tersebut begitu dominan. Namun mereka juga harus secara sadar memahami bagaimana kehidupan bermasyarakat mempengaruhi tingkah laku mereka sendiri, dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi respon perempuan dalam berbagai situasi. Dan mereka harus secara sadar berjuang untuk mengenali tanggapan-tanggapan seksis oleh mereka sendiri.
  • Cukup sering dalam organisasi sosialis – perempuan yang naik menggapai peran kepemimpinan kerap kali mendapat cap agresif., ‘Bossy’
  • SA memiliki struktur formal dalam pertemuannya ketika semua orang diharapkan untuk mendengarkan secara tenang atas semua pembicara, tidak menyisipkan, tidak mengejek, atau berbisik-bisik dengan kawannya ketika seseorang sedang berkontribusi dalam diksusi politik. SA memiliki panitia untuk memfasilitasi dan meyakinkan bahwa tidak ada satu orangpun yang dieksklusi karena mereka adalah perempuan atau karena alasan apapun. SA mendorong perempuan untuk melakukan peran penting dan mengharapkan laki-laki dan perempuan untuk mendukung mereka ketika mereka melakukannya.
  • Hanya saja, struktur formal ini hanya dapat menyediakan arena temporer bagi semua kawan-kawan untuk berpartisipasi dan untuk diperlakukan dengan hormat dan dihargai.
    • Apabila dalam situasi sosial, stereotipe masih ada, maka struktur formal itu hanya merupakan hal yang palsu.

Seksisme Dalam Kehidupan Personal

  • Sebagai konsekuensi dari pengertian politik di atas, berikut ini kesimpulan terkait bagaimana sosialis harus berjuang untuk hidup, pada khususnya laki-laki. List “do” and “don’ts”
  1. Laki-laki seharusnya tidak membicarakan perempuan sebagai objek sex,
  • mendiskusikan:
    • siapa yang “mahir di ranjang” dan siapa yang tidak;
    • apakah mereka akan mau melakukan hubungan seks dengan perempuan tertentu;
    • ekspektasi mereka apakah mereka bisa mengajak perempuan ke ranjang.
  • Laki-laki juga seharusnya tidak men-stigma perempuan yang memiliki partner seksual yang lebih dari satu sebagai seorang “pelacur”; atau bahwa perempuan itu kemudian pasti mau melakukan hubungan seksual dengan semua orang, termasuk dengan laki-laki yang sedang menggunjingkannya itu. 
  1. Relasi Heterosesual: seorang laki-laki seharusnya tidak melulu menandai bahwa seorang perempuan adalah “miliknya” di dalam ruang-ruang politik dengan cara menggelayuti, memegang tangannya setiap saat, merangkulnya setiap saat. Perilaku sedemikian ini akan memperkuat pesan kepada laki-laki lain, “jaga jarak, perempuan ini adalah milikku.” Hal yang lebih parah, perilaku semacam ini akan semakin mempertegas persepsi yang seksis atas relasi kepemilikan antara laki-laki terhadap perempuan; semakin menguatkan asumsi bahwa laki-laki jauh lebih dominan daripada perempuan. Hal ini akan melemahkan otonomi dan independensi seorang perempuan sebagai individu, karena hanya akan dipandang sebagai “pelengkap”-nya laki-laki yang senantiasa menguasainya.

Kita seharusnya tidak berasumsi bahwa seorang perempuan secara otomatis akan setuju dengan opini dari laki-laki yang memiliki hubungan dengannya. Respon yang semacam ini jamak terjadi mengingat bahwa dalam proses sosialisasi dalam masyarakat kita, cenderung lebih menanggapi pendapat dari laki-laki secara lebih serius dibandingan dengan pendapat seorang perempuan.

Seorang laki-laki seharusnya tidak berasumsi, tidak berharap, maupun tidak meminta kepada seorang perempuan yang memiliki hubungan dengannya untuk senantiasa setuju dengan pendapatnya sebagai tanda loyalitas. Seorang laki-laki juga jangan sampai berasusmsi bahwa dia selalu berada di posisi yang paling dominan, atau menjadi terlampau posesif terhadap seorang perempuan. Laki-laki tidak bisa memungkiri bahwa perempuan memilik otonomi, hak atas kebebasan, dan hak untuk memiliki pendapat politik mereka sendiri.

  1. Terdapat tendensi yang cukup kuat dalam masyarakat kita untuk tidak menghormati relasi lesbian. Sosialis menghormati segala bentuk hubungan baik itu antara pasangan heteroseksual maupun homoseksual. 
  1. “Tidak” Berarti “Tidak”. Tidak peduli “Tidak” tidak diteriakan. Atau tidak diulang. Atau tidak diungkapkan dengan kuat. “Tidak” berarti “Tidak” ketika terdengar. “Tidak” berarti “tidak” kapanpun, tidak peduli sejauh apa hubungan seks sudah dilakukan.

 Laki-laki harus setiap saat ingat bahwa dia cenderung menganggap bahwa hasratnya akan selalu dikabulkan, dan penolakan terhadapnya cenderung tidak akan muncul karena perempuan secara umum enggan untuk memulai hubungan seks atau tindakan seks tertentu dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan jauh lebih mungkin merasa tertekan untuk kemudian mengikuti apapun yang dilakukan oleh laki-laki. Jadi jika ada tanda-tanda apapun bahwa perempuan tidak nyaman, menolak hal-hal tertentu atau ragu-ragu, laki-laki harus bertanya, dan memberikannya kesempatan jelas untuk meminta berhenti. Jika ragu-ragu, jika laki-laki tidak yakin dengan persetujuan perempuan, laki-laki harus berhenti kapanpun si perempuan terlihat tidak menyetujuinya.

Sexual assault

segala bentuk perilaku seksual yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, ketakutan, atau terancam. Perilaku ini merupakan aktivitas seksual yang tidak mencakup persetujuan dari salah satu pihak. Penggunakan kekerasan fisik maupun emosional untuk memaksa seseorang untuk telibat dalam aktivitas seksual juga termasuk ke dalam sexual assault. Sexual assault dapat terjadi pada semua orang dari berbagai latar belakang kebudayaan. Hal ini merupakan sebuah tindakan kriminal yang membuat korban/ penyintas merasa terisolasi dan terbungkam. Korban/ penyintas tidak pernah meminta/ mendorong sexual assault, jangan sampai dipersalahkan dan bukanlah pihak yang bertanggung jawab atas perilaku penyerangnya. [http://www.thewomens.org.au/SexualAssaultsDefinitions]

Consent

Menurut undang-undang di Australia, “persetujuan” berarti seseorang telah menyetujui atas sesuatu secara sukarela dan bebas – karena seseorang menginginkannya.

  • ketika seseorang tidak melawan balik ketika sexual assault terjadi, hal ini masih tetap saja merupakan sexual assault. Hal ini bukanlah persetujuan hanya karena seseorang tidak melawan balik.
  • Apabila seseorang mengancam, menakut-nakuti atau menipumu untuk setuju melakukan hubungan seksual dengannya – misalnya seseorang mengancam untuk menyakiti orang terdekat kita jika kita menolak, hal ini tetap merupakan sexual assault
  • Kita bisa setuju untuk berhubungan seksual dan lalu kemudian berupah pikiran. Alasannya bisa karena alasan apapun. Apabila seseorang tetap memaksa melanjutkannya meskipun dia tahu bahwa kita tidak menginginkannya, ini tetap merupakan sexual asault.
  • Sexual assault dalam pernikahan/ hubungan juga merupakan sebuah tindakan kriminal. Laki-laki tidak memiliki hak secara otomatis untuk melakukan hubungan seksual dengan istrinya (atau pasangannya). Apabila dia melakukannya tanpa persetujuannya, hal ini tetap merupakan perkosaan, bahkan jika istri (atau pasangan) pernah menyetujui untuk melakukan hubugan seksual dengan suami (atau pasangan) pada saat sebelumnya.

 Tanggung Jawab Laki-laki Sosialis

  • Survey Australian Study of Helath and Relationship 2001-2002, reponden ditanyai mengenai pengalaman seksual mereka dalam pekan sebelum survey tersebut dilakukan. 95% laki-laki mengatakan mereka mengalami orgasme, akan tetapi, hanya 79% perempuan mengalami orgasme.
  • Tidak ada bukti yang secara biologis menunjukkan bahwa perempuan secara umum mengalami kesulitan untuk mencapai orgasme dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini terkait dengan perilaku laki-laki (dan sebagian karena kurangnya kepercayaan diri dari perempuan untuk meminta kepuasan dari laki-laki) yang akhirnya berujung pada kesenjangan dalam pengalaman kepuasan seksual mereka.
  1. Safe Sex: Tidak dapat diterima bagi seorang sosialis untuk secara sengaja membahayakan kesehatan dan kemaslahatan orang lain. Beberapa hal sangat serius seperti penularan HIV, kehamilan yang tidak dikehendaki – dan oleh karena itu aborsi – tidak bisa dianggap enteng. Ini bukanlah masalah kecil untuk dihadapi oleh perempuan.

Kadang dipikir bahwa menjadi “revolusioner” itu berarti tidak boleh ada batasan terhadap bagaimana tingkah laku dalam kehidupan seksual. Tidak ada istilah revolusioner dalam safe sex dengan membahayakan hidup kita sendiri. Dan jelas tidak ada yang konservatif dalam hal melindungi kemaslahatan orang lain atau mencegah perempuan menjadi hamil jika dia tidak menginginkannya.

Dalam masalah kesehatan terdapat beban yang besar dalam dinamika ketidakadilan hubungan laki-laki dan perempuan.

  1. Political Space/ Ruang Politik: Laki-laki (maupun perempuan, dalam situasi tertentu) seharusnya tidak memperlakukan ruang politik di Socialist Alternative sebagai arena untuk mencari jodoh atau pasangan belaka. Jika anggota ingin mendekati seorang perempuan yang datang ke pertemuan, atau mengatur jadwal pertemuan untuk urusan pendekatan intim secara pribadi dengan cara ‘sambil menyelam minum air’ dalam kegiatan politik, hal ini merupakan pertanda bahwa anggota tersebut tidak berhubungan dengan perempuan tersebut untuk urusan politik, dan tidak berkaitan dengan tujuan membangun dan kontribusi terhadap politik organisasi, ataupun tidak bertujuan untuk bertukar argumen politik untuk meyakinkannya akan politik organisasi Socialist Alternative. Justru cara yang demikian ini mengindikasikan bahwa anggota tersebut berpikir bahwa perempuan ini merupakan objek seks. Sangat jelas apabila ada seorang perempuan yang berkunjung ke stand informasi Socialist Alternative, atau kemudian perempuan ini kita kontak setelah dia meninggalkan rincian kontaknya di formulir kontak, atau perempuan tersebut hadir di dalam pertemuan kita untuk pertama kalinya, seharusnya tidak serta merta diajak berkencan intim maupun diperlakukan sebagai orang yang potensial menjadi teman kencan. Dalam hal ini, jika seorang perempuan merasa tidak nyaman terhadap orang yang mengajak berkencan tersebut, hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap kenyamanan dia selanjutnya untuk datang ke acara kita lagi jika dia diperlakukan demikian oleh orang yang pertama kali mengajaknya bicara sebagai perwakilan organisasi. Terlebih, jika perempuan tersebut memiliki kepekaan atas isu seksisme, maka kemungkinan besar dia akan mengganggap bahwa organisasi kita adalah organisasi yang mentolerir adanya perilaku seksis dari anggota laki-lakinya, dan tentu saja akan menolak bergabung ke organsiasi kita.

The Personal Is Political

  • “The Personal is Political”. Isu kekerasan dalam pacaran maupun kekerasan dalam rumah tangga, bukanlah hal yang personal dan privat maupun terpisah dari isu politik dalam organisasi sosialis. Untuk dapat bertahan dalam masyarakat ini, sebagai sosialis yang memiliki prinsip, kita membutuhkan konsistensi yang setinggi mungkin dalam kehidupan kita sehari-hari.

Dampak dan Konsekuensi

Perilaku kriminal perkosaan, memiliki dampak langsung, jangka pendek, maupun jangka panjang pada sisi fisik dan emotional well being. Beberapa dampak dari perkosaan mencakup: Syok dan penyangkalan, Ketakutan, Kebungkaman, Kecemasan, Depresi, Rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri, Self esteem yang rendah, Mengisolasi diri, Mimpi buruk dan flashback, Mood swings, Kehialangan kepercayaan diri, Kehilangan rasa percaya terhadap orang lain.

  • Sebagian besar isu dalam kehidupan privat ini memang bukanlah hal yang terbuka bagi pengawasan sehari-hari oleh organisasi politik. Organisasi juga tidak mungkin memiliki “polisi ranjang;” tidak akan dan tidak ingin untuk membongkar setiap sudut dan celah dari kehidupan anggotanya. Akan tetapi, apabila organisasi gagal untuk memperlakukan isu ini secara serius dan untuk mengintegrasikannya ke dalam pandangan politik organisasi, maka yang terjadi justru penghancuran ke dalam. Apabila perempuan anggota organisasi megalami seksisme secara terbuka maupun tidak dari anggota lainnya, maka hal ini dapat mengkerdilkan kepercayaan diri individu-individu perempuan anggota organisasi. Hal ini akan menggerogoti integritas organisasi tepat di jantungnya.
  • Perilaku-perilaku yang diskriminatif, terutama seksime, harus dilawan ketika ini terjadi. Hasil terburuknya adalah ketika terjadi kasus, organisasi tidak menindak secara serius, akan tetapi orang-orang membicarakannya sebagai desas-desus belaka setelah kasus terjadi.
  • Isu seksisme bukanlah hal sepele, isu tersebut merupakan hal pokok bagi kerja politik utama, propaganda dan kehidupan organisasi revolusioner. Setiap kaum revolusioner butuh mempelajari dan memikirkan isu ini secara serius seperti juga persoalan-persoalan politik lainnya. Hak dan tanggung jawab anggota bukanlah tambahan ekstra dalam debat politik, teori dan seluruh kerja yang ada dalam membangun organisasi revolusioner.
  • Seksisme adalah tanggung jawab semua anggota, laki-laki dan perempuan. Sikap dan perilaku anti-sexist harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya organisasi revolusioner sehingga laki-laki dapat dikritik secara terbuka ketika mereka terjerembab dalam perilaku yang seksis dan sehingga perempuan juga memiliki kepercayaan diri untuk menuntut agar mendapat hak dan perlakuan yang setara. Hal ini bukanlah pertanyaan abstrak belaka, namun merupakan hal yang sangat penting dan vital bagi siapa saja yang ingin menjadi seorang sosialis dan berpartisipasi dalam membangun organisasi revolusioner secara serius.

ditulis oleh Pipin J. Kader KPO PRP.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: