Opini Pembaca

Kebijakan Infrastruktur Rezim Neoliberal : Dari Space-time Compression Sampai Bisnis Jalan Tol (Bagian II)

Infrastruktur TolJalan Tol : Dari “Memfasilitasi Bisnis” Menjadi “Bisnis Itu Sendiri”

Cerita megenai berpindahnya peran jalan selain hanya sebagai fasilitasi bagi moncernya bisnis di atasnya sebenarnya memiliki cerita yang melampaui dua rezim yang disinggung selintas dalam tulisan ini. Hal ini mulai terjadi, paling tidak, sejak didirikannya sebuah perusahaan milik negara yang bergerak sebagai operator tunggal yang berhak mengoperasikan jalan berbayar pertama kali (jalan tol). Perusahaan tersebut adalah Bina Marga. BUMN ini pada awalnya diberi mandat sebagai operator tunggal yang menyelenggarakan pelayanan jalan berbayar pada tahun 1978.

Tugas ini kemudian berubah sejak tahun 1987 ketika peran sebagai operator tunggal berubah menjadi operator dan otoritas jalan tol di Indonesia. Di sini pemerintah memberi kesempatan kepada pihak swasta untuk berpartisipasi dalam mengusahakan jalan tol melalui sistem build, operate dan transfer (BOT) dengan Jasa Marga. Kewenangan ini berubah sejak akhir 2004 ketika Bina Marga menjadi BUMN yang berwenang hanya sebagai operator jalan tol dan pengembang pembangunan jal tol di Indonesia. Otoritas jalan tol dikembalikan kepada pemerintah melalui kementerian PU.

Sejak tahun 1990-an mulai muncul investor-investor swasta yang menjadi operator jalan tol. Hal ini seiring dengan tumbuhnya kebutuhan akan jalan tol. Maka semakin banyak operator-operator yang bergerak dalam bisnis jalan tol ini menjadi konsekwensi yang paling mungkin seiring dibukanya kran pengelolaan swasta dalam operator jalan tol. Hal ini terjadi baik dalam perencanaan, pembangunan maupun penyelenggaraan layanan jalan tol. Dalam hal lahirnya sejumlah usaha swasta untuk bisnis ini bisa disebut sejumlah perusahaan yang telah mejadi operator jalan swasta lebih satu dekade terakhir: PT. Bosowa Marga Nusantara, PT. Citra Marga Nusaphala Persada, PT. Marga Bumi Mataraya, PT. Kresna Kusuma Dyandra Marga, PT. Bintaro Serpong Damai Tol, PT. Citra Margatama Surabaya, PT. Marga Harjaya Infrastruktur, PT. Semesta Marga Raya (Bakrie Toll), PT Marga Sarana Jabar, PT. Jalan Tol Lingkar Barat Satu, PT. Trans Marga Jateng, PT. Lintas Marga Sedaya, PT. Sriwijaya Markmore Persada, PT. Marga Bumi Adhikarya, PT. Marga Lingkar Jakarta, Trans BSD Balaraja, PT. Jasamarga Kualanamu, Tol, PT. Pejagan Pemalang Tol Road, PT. Jakarta Tol Road Development dan PT. Marga Mandala Sakti.

Nama perusahaan-perusahaan ini adalah sebagian operator jalan swasta atau anak perusahaan dari BUMN yang mengusahakan dan menjadi operator jalan tol di Indonesia. Hal ini memperlihatkan dengan jelas betapa menggiurkan dan prosepektif untuk menanamkan investasi di Bisnis jalan tol tersebut. Tak kurang dari puluhan perusahaan dan pemodal yang mulai terjun dalam bisnis ini.

Karena begitu menggiurkannya bisnis jalan tol ini, pemerintah ikut andil untuk mendorong terciptanya loncatan pengadaan jalan tol dengan lebih mudah. Peran pemerintah disini terutama dalam memberikan fasilitas kebijakan yang mempermudah (debottlenecking) berupa Undang-undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk kepentingan publik. Secara lebih kompleks catatan Dian Yanurdi di bawah ini bisa menggambarkan bagaimana pemerintah berperan mendorong tumbuhnya industri/bisnis jalan ini, terutama dengan skema Publik Private Partnersip :

“Dengan skema PPP ini, negara dianjurkan untuk memainkan peranan yang lebih aktif dalam mereformasi dirinya, memfasilitasi dan memberi insentif pada pasar serta mengurangi keterlibatan BUMN dalam pembangunan infrastruktur. Meski demikian, bukan berarti peran negara kecil dalam pembangunan infrastruktur. Malahan, peranan negara bertambah besar utamanyauntuk memfasilitasi agar pasar dapat bekerja dengan sempurna. Untuk memperlancar pembangunan infrastruktur, misalnya, pemerintahan SBY mengeluarkan undang-undang nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan menandatangani peraturan presiden (Perpres) Nomor 71 tahun 2012 ketika pengadaan tanah bagi pembangunan dianggap masih belum dapat mempercepat pembebasan lahan.

Sejak Februari 2010, pemerintah telah melakukan berbagai macam inovasi dan perombakan organisasi negara agar percepatan pembangunan infrastruktur dapat terjadi. Sejak tahun 2010 kementerian keuangan mendirikan seuah BUMN yang bernama PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang berfungsi sebagai katalisastor bagi percepatan proyek pembangunan infrastruktur di Indonesia. Kemudian, pada agustus 2010, kementerian keuangan juga mendirikan PT. IIF (Indonesia Infrastruktur Finance) agar pelaksanaan pelaksanaan pembangunan infrastruktur di indonesia dapat dilaksanakan dengan skema PPP. PT. IIF ini didanai oleh PT. SMI, Asian Developmen Bank, The International Finance Corporation dan DEG (Deutche Investitions-und Entwiklungsgessellscaft mbH)”

Maka dengan demikian, PPP ini telah mendapatkan konteks yang tepat untuk beroperasi, baik di bawah program MP3EI maupun proyek-proyek infrastruktur seperti proyek mercusuar pemerintahan Jokowi-JK yang bermaksud mengadakan 1.050 KM jalan Tol dalam 5 tahun yang sebagiannya dengan jelas diserahkan kepada investor swasta pengelolaannya. Dalam MP3EI telah digulirkan 26 proyek prioritas berupa pembangunan Jalan Tol, Bandara, sarana Air Bersih, Saitasi/TPA dan pembangkit listrik senialai 38.190,70 juta USD serta 58 buah proyek infrastruktur sejak 2013-2015 dengan skema PPP dengan nilai proyek 51.205,97 USD . Di bawah rezim Jokowi-JK pengerjaan program 1050 KM jalan tol di seluruh Indonesia telah jelas dikerjakan dengan mekanisme PPP karena tidak dianggarkan dalam APBN. Proyek raksasa ini melibatkan sejumlah investor swasta dengan nilai investasi yang dibutuhkan adalah untuk konstruksi sebesar 98,3 trilyun dan untuk investasi sebesar Rp. 167,4 Trilyun . Di akhir tahun 2015 telah ditandatangani 714 paket proyek infrastruktur senilai Rp. 9,3 Trilyun yang akan dikerjakan pada tahun 2016 .

Jika demikian kenyataannya, maka teranglah bahwa infrastruktur saat ini, tidak saja menjadi fasilitasi bagi moncernya investasi dan membaiknya pertumbuhan ekonomi, tetapi juga sekaligus menjelaskan kalau infrastruktur adalah bisnis itu sendiri. Bisnis besar yang melibatkan jutaan kubik semen dan aspal, kontrak triliunan, baja, serta industri pendukung lainnya. Jadi di bawah SBY-Budiono dan Jokowi-JK, infrastruktur diletakkan dalam logika memprivatkan sesuatu yang sebelumnya adalah “yang publik”. Dengan begini, perubahan fungsi negara jelas terlihat: dari pembangunan yang dipandu oleh negara menuju karakter pembangunan neoliberal yang dipandu oleh pasar kapitalis, terutama melalui mekanisme Publik-private-Partnersip yang sedang digemborkan saat ini.

Pelajaran dari Praktek PPP di Negara-negara Eropa

Beberapa studi mengenai pelaksanaan PPP partnership di Eropa pernah dipublikasikan oleh sebuah lembaga nirlaba yang mengkampanyekan keburukan sistem publik-private partnersip ini. Sekelompok peneliti ini mengelola sebuah media share mengenai hasil-hasil riset tentang PPP di Eropa. Media tersebut bernama Bankwatch. Media ini mempublikasikan sejumlah temuan kegagalan praktek PPP di sejumlah negara eropa. Studi kasusnya bisa dilihat pada kajiannya mengenai pelaksanaan proyek UK Hospital PPP, London Underground PPP; D1 Motorways Phase 1, Slovakia; M25 Driving UK; Zagreb Wastewater Treatment Plan, Croatia; Sofia Water Consession, Bulgaria, M1/M15 and M5 Motorways, Hongaria; Croatian Motorways: Bina Istra and Zagreb-Macelj; The Palace Of Art, Budapest Hongaria; Arena Zagreb, Croatia; Moscow-St. Petersburg Motorways section 15-58 KM.

Secara ringkas bisa disimpulkan temuan dari beberapa kasus di beberapa negara sebagai berikut: pertama di Hongaria dengan 100 proyek PPP. Awalnya di Hongaria senang dengan janji “membangun sekarang, bayar kemudian”. Tetapi, tahun 2005, analis sudah memperingatkan tentang beban yang disebabkan oleh proyek PPP: “sektor pembangunan jalan membebani anggaran di masa depan”. Prediksi ini ternyata terbukti. Krisis di Hongaria terjadi. Krisis ini akhirnya menjadi bahan evaluasi dan pemerintah Hongaria mulai melakukan moratorium PPP baru dan mulai meninjau ulang kontrak yang ada.Kedua, di Portugal. Dimulai pada tahun 1990-an, pemerintah portugal menandatangani puluhan kontrak PPP sampai 2010.

Namun sebagai bagian dari dorongan untuk memotong pengeluaran dan memenuhi syarat untuk bantuan IMF dan UE, pada awal tahun 2011 pemerintah mengumumkan pembekuan kontrak yang ada. Pada akhir tahun itu telah ditinjau 36 kontrak PPP.Ketiga di Inggris. Kasus Inggris sama dramatisnya. Pada tahun 2010 mendorong penataan dan penurunan nyata dalam antusiasme terhadap PFI (istilah untuk praktek PPP di inggris) dan musim panas 2011 memangkas rencana pembangunan sekolah dengan kontrak PPP. Proyek ini ternyata memiliki banyak masalah. Pemborosan biaya modal, harga relatif tetap di masa depan, juga pembebanan biaya publik seperti dalam kasus pemerintah menyiapkan dana pembangunan infrastruktur GBP 2 milyar untuk proyek PFI yang kesulitan dana.

Keempat proyek jalan Tol D1 di Slovakia dan jalan raya Trakia di Bulgaria dan jalan Tol Horgos-Pozego di Serbia. Jalan tol D1 di Slovakia, jalan raya Trakia di Bulgaria dan jalan tol Horgos-Pozego di Serbia adalah representasi dari proyek yang gagal setelah kontrak ditandatangani.Jalan D1 di Slovakia. Kontroversi dari proyek ini dari dua sudut: pertama, sebagian kritik mengatakan itu terlalu mahal. Kedua, promotor proyek memutuskan untuk tidak mengikuti rute yang direkomendasikan melalui prose AMDAL.Slovakia motorways PPP D1 tahap 1 berusaha meghubungkan antara bagian barat Slovakia yang lebih maju dengan bagian timur yang kurang berkembang. Bank Investasi eropa (EIB) menyetujui pinjaman untuk proyek pada bulan desember 2008, namun pada musim panas 2010 itu masih belum menerima izin untuk proyek oleh komisi eropa. Pada bulan April 2010 EIB menyetujui pinjaman 250 juta untuk proyek tersebut dengan sisa pembiayaan diharapkan datang dari delapan bank komersial. Namun kekurangan tersebut telah menyebabkan proyek tersebut mangkrak serta runtuhnya skema PPP di Slovakia.

Bankswatch mencatat sejumlah masalah pokok dalam pelaksanaan PPP dari sejumlah negara dan kasus yang ditelitinya. Mereka menyebutnya “The Hidden Cost of PPP”. Dalam menjalankan proyek PPP, ada sejumlah masalah, atau tepatnya harga tersembunyi yang harus dibayar. Diantaranya adalah masalah: Pertama, banyak pejabat yang kurang berkomitmen untuk konsultasi luas dan mempertimbangkan semua alternatif. Kedua, akses publik terhadap informasi sering sangat sulit dan proses konsultasi publik selalu dilakukan sebagai formalitas, pada tahap akhir, dengan tidak ada maksud sebenarnya mengambil pendapat publik. Ketiga, korupsi merajalela dan masih menjadi masalah serius dalam sejumlah proyek.

Inikah yang dimaksudkan oleh Menteri Keuangan kabinet kerja, Bambang Brojonegoro sebagai ide bagus? Sebagaimana katanya pada sebuah wawancara dengan harian terkemuka di Indonesia: “Publik private-partnersip (PPP) sebagai ide bagus untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi” (Kompas:12/9/15). Pertanyaannya adalah sebagus apa ide tersebut? Apakah sebagus bagaimana ide tersebut telah ditinggalkan di Eropa karena mendorong penumpukan utang di masa depan yang akan memicu krisis karena pemberatan anggaran? Jika itu yang dimaksud, maka kita sedang berada dalam kondisi sesat pikir: menganggap bagus sebuah praktek yang gagal dan ditinggalkan di sejumlah negara.

Oleh : Muhammad Ridha, Pengajar Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar. Saat ini sedang merampungkan buku “Merebut Kembali Jalan Raya: Ekonomi Politik Jalan”.

Catatan Kaki :

  • http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0ahUKEwjCqYOhpurJAhWHkI4KHfwVCrcQFghAMAY&url=http%3A%2F%2Fwww.beritasatu.com%2Fmegapolitan%2F76634-proyek-rp410-triliun-pembangunan-infrastruktur-jabodetabek-diteken.html&usg=AFQjCNG_DVCT6sh6ayG3u-PiESoI9eyHbQ&bvm=bv.110151844,d.c2E (diunduh pada 20 Desember 2015)
  • http://swa.co.id/business-strategy/management/apbn-tak-cukup-swasta-diperlukan-bangun-infrastruktur (Diunduh pada 20 Desember 2015)
  • http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20141125123205-92-13686/pemerintah-lelang-18-ruas-tol-baru-untuk-bumn-dan-swasta/ (diunduh 3 januari 2016)
  • Hilma Safitri Debottlenecking dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) (Bandung: ARC:2014)
  • Laporan ini bertajuk Infrastructure for Development. Di sini bank dunia mengenalkan Publik Private Partnersip sebagai cara baru yang bisa ditempuh untuk memacu pertumbuhan dan melampaui keterbatasan anggaran negara mengadakan infrastruktur. Lihat lebih jauh pada buku Dian Yanuardi dan Noer fauzi MP3EI master Plan Percepatan dan Perluasan krisis sosial-ekologis (Bogos: Sayogyo Insttitute,2014)
  • Dian Yanuardy MP3EI…..Hal. 61-63
  • Katadata.org
  • Kompas. (29/12/2015)Proyek Rp. 9,3 Triliun Siap Ditandatangani
  • www.Bankswatch.com

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comment here

%d blogger menyukai ini: