Perspektif

Mogok Nasional untuk Cabut PP Pengupahan?

Saat melakukan aksi di depan Istana Negara berbagai serikat buruh melakukan konferensi pers bersama. Konferensi pers tersebut dilakukan oleh Said Iqbal dari KSPI, Nining Elitos dari Konfederasi KASBI, Michael Oncom dari FPBI serta hadir juga perwakilan dari KSPSI. Dalam pernyataan sikapnya mereka menyatakan: “Jika RPP Pengupahan ini tetap disahkan, maka kami akan menyiapkan diri untuk keluar dari kawasan-kawasan industri untuk melakukan aksi pemogokan serentak. Kami akan pastikan untuk memblokade jalan tol, pelabuhan, bandara dan semua kawasan industri.” (Sumber : Kabar Buruh)

Keesokan harinya Gerakan Buruh Indonesia (GBI), yang terdiri dari KSPSI, KSBSI, KSPI serta KP KPBI menyelenggarakan konferensi pers di Hotel Mega Proklamasi. Mereka menyatakan bahwa “akan bersatu melawan RPP Pengupahan…akan memulai pemanasan (dengan) aksi…hingga nanti kita persiapkan aksi Mogok Nasional jilid III November 2015… 2-3 juta buruh untuk melumpuhkan mesin-mesin produksi dan semua kawasan industri se-Indonesia.” (Sumber : Garis Dua)

Adalah hal yang bagus ketika massa buruh bersemangat menyambut dan mempersiapkan Monas November besok. Seruan persatuan juga gencar dikumandangkan. Mogok, apalagi secara nasional, akan menjadi tempat bagi massa buruh untuk belajar dalam praktek langsung mengenai kekuatan yang mereka miliki.

Namun tanpa ketepatan perspektif dan kekuatan ideologi, gegap gempita mensukseskan Monas bisa jadi justru menghambat kelas buruh untuk mengambil kesimpulan yang tepat dari perjuangan sebelumnya. Hambatan yang bisa berakibat pada kegagalan perjuangan kelas buruh itu sendiri.

Pelajaran pertama adalah jujur terhadap sejarah gerakan buruh itu sendiri. Gerakan Buruh Indonesia dalam konferensi pers di Hotel Mega Proklamasi mengatakan bahwa Monas bulan depan adalah Monas jilid III. Ini menutupi fakta tahun 2014 kemarin ada seruan Monas Jilid III. Mungkin karena rencana Monas III tahun 2014 hasilnya adalah kegagalan yang memalukan.

Seruan Monas Jilid III dikeluarkan di Gedung Juang pada tanggal 27 November 2014. Dikeluarkan oleh beberapa organisasi-organisasi yang kemudian menginisiasi Gerakan Buruh Indonesia itu sendiri. Yaitu KSPSI, KSPI, KSBSI, SBTPI serta SPN. Dikatakan bahwa Monas III yang akan dilancarkan pada tanggal 10-11 Desember 2014 akan diikuti oleh sekitar 5 juta buruh dan dilakukan di 20 provinsi, 150 kabupaten/ kota. Tuntutan yang dibawa adalah upah layak dan menolak kenaikan harga BBM. Namun rencana Monas III tersebut kemudian dirubah menjadi “unjuk rasa nasional”. Perubahannya dilakukan oleh rapat “KSPSI, KSPI, KSBSI dan puluhan federasi serta serikat pekerja.” Kedua, beberapa tulisan saya di Arah Juang edisi IV maupun V menegaskan bahwa faktor utama melemahnya gerakan buruh dan termasuk gagalnya Monas adalah cengkraman elit birokrasi serikat buruh itu sendiri.

Dalam kondisi gegap gempita seperti sekarang, baik Monas dan persatuan, dapat menutupi cengkraman elit birokrasi serikat buruh itu sendiri. Dan dalam beberapa kesempatan, mengalihkan kesalahan maupun kegagalan pada mereka yang bersikap kritis terhadap persatuan dengan elit birokrasi serikat buruh dengan tuduhan anti persatuan ataupun tidak mendukung perjuangan (Monas) buruh.

Persoalan dengan elit birokrasi serikat buruh ini masih dianggap setengah hati oleh banyak kelompok. (lihat berbagai posisi dan perdebatan di dalam website arahjuang.com, Arah Juang cetak edisi IV dan V). Banyak yang mengabaikan begitu saja keberadaan elit-elit birokrasi serikat buruh. Bahwa tidak ada lapisan elit birokrasi serikat buruh. Sehingga beranggapan cukup untuk membuat seruan-seruan persatuan dari bawah serta perjuangan yang radikal. Mereka mengabaikan fakta bagaimana selama 3-4 tahun terakhir ini elit-elit birokrasi serikat buruh menggagalkan Monas serta mencekik gerakan buruh itu sendiri.

Beberapa diantaranya menganggap bahwa para elit birokrasi tersebut hanya tersesat, membuat kesalahan-kesalahan yang bersifat sementara saja. Yang entah bagaimana dapat tiba-tiba sadar akan kepentingan kelas buruh, kemudian konsisten memperjuangkan hak-hak buruh.

Bahkan ada juga yang melihat bahwa elit birokrasi serikat buruh itu sama saja dengan buruh pada umumnya. Sehingga adalah tugas kaum revolusioner untuk menyadarkan para elit birokrasi serikat buruh tersebut. Biasanya pandangan ini juga bersanding dengan pandangan bahwa untuk dapat mengorganisir buruh-buruh maka harus mendekati dan membangun kesepakatan dengan para elit birokrasi serikat buruhnya.

Tidak heran banyak yang kehilangan sifat kritisnya ketika mendengar para elit birokrasi serikat buruh menyerukan sesuatu yang radikal atau “maju”. Seperti dukungan yang diberikan ketika ada pimpinan serikat buruh yang ingin maju dalam Pilkada ataupun ketika GBI menyerukan pembangunan partai massa buruh. Walaupun pada akhirnya, fakta memukul berulang-ulang mereka yang kehilangan sifat kritisnya. Fakta-fakta seperti tidak ada tindaklanjut serius dalam pembangunan partai massa buruh, bahkan GBI-nya sendiri juga baru muncul kembali saat konferensi pers diatas. Ataupun fakta bahwa para elit birokrasi serikat buruh tersebut lebih berusaha membangun koalisi bersama elit borjuis KMP untuk mensukseskan calonnya dalam pilkada Bekasi.

Mereka mengabaikan fakta bahwa para elit birokrasi serikat buruh itu memiliki kepentingan yang berbeda sepenuhnya dengan massa buruh. Para elit birokrasi serikat buruh itu tidak lagi dalam kondisi ketakutan terhadap goncangan-goncangan dalam kondisi kerjanya. Mereka tidak ketakutan terhadap PHK ataupun upah murah.

Mereka menjadi mediator untuk negosiasi antara kepentingan massa buruh dengan borjuasi dan mendapatkan keuntungan dari posisi tersebut. Mereka bisa mendapatkan tawaran menjadi menteri tenaga kerja oleh Prabowo. Ataupun diangkat menjadi komisaris BUMN oleh Jokowi.

Dari situlah muncul kolaborasi para elit birokrasi serikat buruh dengan elit-elit borjuis. Fungsi para elit birokrasi serikat buruh tersebut adalah untuk meredam gerakan buruh atau menjalankan politik dari para elit borjuis.

Tentunya para elit birokrasi serikat buruh itu tidak dapat seenak dirinya sendiri menjalankan kepentingan elit borjuis. Seberapa kuat kolaborasi antara elit birokrasi serikat buruh dan eli borjuis akan bergantung pada keseimbangan kekuatan antara kelas buruh dan borjuis. Jika gerakan buruh sedang menurun maka elit birokrasi serikat buruh akan lebih bebas menjalankan kolaborasi dengan elit borjuis.

Para elit birokrasi serikat buruh tidak dapat sepenuhnya memandulkan serikat buruh, karena itu akan membuat mereka kehilangan anggota serikat buruh dan melemahkan posisinya sendiri. Disisi yang lain mereka tidak dapat sepenuhnya mendorong maju gerakan buruh. Yang dapat berakibat serangan bukan saja terhadap elit politik namun juga keseluruhan kelas borjuis dan tatanan kapitalisme.

Oleh karena itu, jangan gumunan dan kehilangan kekritisan ketika pada saat-saat tertentu para elit birokrasi serikat buruh berbicara sesuatu yang terdengar radikal atau “maju”. Itu bisa berarti dua hal: entah tekanan dari massa buruh di bawah, kepentingan dari elit borjuis itu sendiri atau bahkan dalam kondisi tertentu adalah untuk mengejar kepentingan dari elit birokrasi serikat buruh itu sendiri.

Keberhasilan Monas IV yang direncanakan pada bulan November 2015 besok akan tergantung dari 3 faktor utama:

Pertama, tentunya persatuan dari kekuatan kelas buruh itu sendiri, tidak ada yang menyangkal bahwa dibutuhkan kekuatan seluruh massa buruh terorganisir untuk keberhasilan mogok nasional. Fokus utama kita adalah membangun persatuan dimana terdapat potensi radikalisasi yang besar. Termasuk hingga ke luar jangkauan dari elit birokrasi serikat buruh. Alasannya sederhana, karena semakin besar radikalisasi maka semakin mudah ide-ide revolusioner diterima oleh massa.

Namun kita tidak membicarakan sekedar persatuan semata. Persatuan tanpa kualitas-kualitas tertentu belum pasti berujung pada kemenangan. Persatuan tersebut harus juga berarti (kedua) mendorong massa buruh untuk percaya pada kekuatannya sendiri dan melepaskan diri dari cengkraman elit birokrasi serikat buruh. Setiap kolaborasi antara elit birokrasi serikat buruh dan elit borjuis harus dibuka seluas-luasnya. Demikian semaksimal mungkin kekuatan untuk menentukan segala hal terkait dengan mogok nasional harus berada ditangan massa buruh, bukan para elit birokrasi serikat buruh.

Kecuali jika massa buruh ingin mogoknya dirubah menjadi sekedar aksi nasional berdasarkan keputusan para elit birokrasi serikat buruh. Atau bahkan berhenti ditengah jalan karena diajak berunding ataupun di telepon oleh Menaker atau Presiden, seperti yang terjadi saat Monas I, II dan III kemarin.

Ketiga, kita sudah sering mendengar berulang-ulang bahwa pemogokan akan menjadi sekolah bagi kaum buruh, akan memudahkan kaum buruh menerima ide-ide sosialis, ide-ide revolusioner. Bahwa pemogokan dapat menunjukan kepada klas buruh watak sejati dari pemerintahan dan membongkar kolaborasi jahat antara elit birokrasi serikat buruh dengan para elit borjuis tersebut.

Namun aktivitas pemogokan hanya akan memunculkan embrio pemahaman tersebut. Pemahaman itu tidak akan berkembang sempurna tanpa intervensi dari kaum revolusioner. “Hanya partai buruh sosialis yang dapat melaksanakan perjuangan ini dengan menyebarluaskan di antara para buruh sebuah konsepsi yang benar tentang pemerintah dan cita-cita klas buruh.” (Sumber : Marxist.org)

Faktanya kerja-kerja kaum revolusioner terjebak pada hal-hal praktis. Membatasi dirinya pada persiapan-persiapan teknis Monas, larut dalam persiapan-persiapan yang bersifat keserikat-buruhan ataupun terkunci pada front yang dia bangun sendiri. Kaum revolusioner menjadi buntut pada perkembangan gerakan buruh dan tidak dapat menunjukan independensinya untuk menjadi barisan terdepan memberikan kepemimpinan politik dan ideologi.

Padahal bagi sebuah pemogokan untuk berhasil, tidak dapat bersandarkan hanya pada kesadaran pemogokan saja. “Pemogokan-pemogokan hanya akan dapat berhasil ketika para buruh telah cukup berkesadaran kelas, ketika mereka mampu memilih peluang momentum untuk pemogokan, ketika mereka mengetahui bagaimana mengajukan tuntutan-tuntutannya, dan ketika mereka memiliki hubungan-hubungan dengan kaum sosialis dan mampu mendapatkan leaflet-leaflet dan pamflet-pamflet melalui kaum sosialis itu.” (Sumber : Marxist.org)

Kaum revolusioner harus menunjukan dirinya dengan menyebarluaskan ide-ide dan perspektifnya dalam pemogokan nasional. Mendorong mogok nasional menjadi perjuangan kelas buruh secara keseluruhan. Menjelaskan bahwa PP Pengupahan merupakan bagian dari Paket Kebijakan Ekonomi yang merupakan kepentingan dari para pemilik modal. Kebijakan yang akan menyengsarakan kelas buruh maupun mayoritas besar rakyat. Itu kenapa penerapan kebijakan ekonomi seperti itu terkait erat dengan penyempitan ruang demokrasi. Dengan meningkatnya represi politik dan ideologi. Dari melegalkan keterlibatan militer kembali untuk menjaga perusahaan para pemilik modal hingga “Bela Negara” saat ini.

Oleh : Ignatius Mahendra Kusumawardhana, Kontributor Arah Juang dan Anggota KPO-PRP.

Loading

Print Friendly, PDF & Email

Comments (1)

  1. mari kelas pekerja dan petani bersatu! hentikan sistem kapitalisme dan bangun sistem sosialisme. hanya dengan merebut semua alat produksi (pabrik, tempat kerja, alat-alat kerja, alat produksi kebutuhan manusia dll) yang dikuasai kelas pekerja dan bersama dan terencana maka hak-hak manusia dapat dipenuhi. karena selama ini sistem ekonomi kapitalisme (dimana alat produksi dikuasi individu dan dijadikan hak milik pribadi), dan karena ini kelas pekerja, petani, pengangguran tidak dapat mendapatkan hak kita sebagai manusia (Hak mendapatkan upah layak, pendidikan, kesehatan, rumah, kerja terus menerus yang melelahkan, dll ) hanya dengan mengahancurkan sistem kapitalisme dan negara kapitalisme, militer kapitalisme lah kita dapat merebut hak-hak kita. karena perubahan tidak jatuh dari langit. hancurkan sistem kapitalisme, negara kapitalisme, militer, kaum oportunis di serikat buruh, jauhkan perjuangan lewat pemilu atau parlemen (ini perjuangan omong kosong, tidak mendapatkan apapun hak-hak kita sebagai manusia. Contoh di negara prancis, inggris, amerika latin, jerman, yunani) dan bangun sistem sosialisme (dimana semua alat-alat produksi kebutuhan hak manusia yang dikuasai bersama (kelas pekerja, petani dll) dan terencana (dimana kita merencanakan bersama manajemen di tempat kerja) dan bangun negara sosialisme (negara yang dipimpin kelas pekerja). kaum kelas pekerja sedunia bersatulah! jangan pernah menyerah untuk membangun sosialisme. Jangan mau di dalam perjuangan menghentikan sistem kapitalisme dan pembangunan sistem sosialisme mau dipimpin oleh kelas borjuis (pemilik modal dan alat-alat produksi kebutuhan manusia) karena mereka selalu mendahulukan kepentingan kelas borjuis dari pada kelas pekerja dan petani, penganguran (contoh liat Perjuangan partai komunis indonesia, perjuangan sosialisme di cina, uni soviet di bawah kepimpinan stalin, reformasi 1998 indonesia kelas buruh selalu di khianati hak-hak mereka). Kelas pekerja ambil kepemimpinan dalam menghentikan sistem kapitalisme, negara kapitalisme dan bangun sistem sosialisme dan negara sosialisme. kaum pelajar bersiaplah untuk mendukung kelas pekerja dalam revolusi sosialis revolusioner!

Comment here

%d blogger menyukai ini: